Laman

Sabtu, 24 Januari 2004

Teungku Cik Di Tiro


Perang Sabil dari Tanah Rencong

www.pahlawanindonesia.com
Perang Aceh, yang terus berkobar, membuat ulama besar dari Tiro ini memutuskan meninggalkan Mekah dan kembali ke Tanah Rencong. Di Bumi Serambi Mekah ini, ia mengobarkan Perang Sabil untuk mengusir penjajah.
Sepulang dari ibadah haji dan menuntut ilmu di Tanah Suci, Teungku Cik Di Tiro, atau Haji Muhammad Saman, tidak berpangku tangan. Begitu tiba di Tiro, Aceh, ia disibukkan dengan urusan madrasah dan murid-murid yang lama ditinggalkan.

Kehadiran ulama besar dari Tiro ini akhirnya sampai ke telinga para pejuang yang bergerilya di rimba raya Gunung Seulawah dan Gunung Biram. “Teman-teman, kabarnya ulama besar dari Tiro sudah tiba dari Mekah. Bagaimana kalau beliau kita jadikan pemimpin?” seru pemimpin pejuang dari Gunung Seulawah.
“Setuju…! Kita segera ke sana,” sahut para pejuang, hampir serempak. Di hadapan para pejuang dari Gunung Seulawah dan Gunung Biram, ulama besar dari Tiro ini menyatakan kesanggupannya membela agama dan kedaulatan tanah airnya. “Saya bersedia,” jawab Cik Di Tiro, penuh semangat.

Kesediaan untuk memimpin itu tentunya bukan tanpa dasar. Walau, ia sadar, pasukan asing yang akan dihadapi itu jumlahnya sangat besar dan dengan persenjataan yang modern. Sementara para gerilyawan jumlahnya bisa dihitung dengan jari. Konon, pasukan Kompeni Belanda berjumlah 7.000 orang, baik yang berjalan, berkuda, maupun bermeriam. Mereka bahkan sudah hidup tenang di Kota Raja sejak Belanda menduduki Aceh pada 24 Januari 1873.

Siasat pun disusun. “Dalam keadaan seperti ini kita tidak mungkin mengalahkan Kompeni Belanda di Kota Raja. Kita harus menggalang kekuatan baru,” kata Cik Di Tiro kepada para pejuang. Dari pamannya, Teungku Cik Dayat Cut, ia mendapat persenjataan dan 15 orang murid dari madrasah Tiro untuk ikut berjuang. Lebih membahagiakan lagi ketika sahabat-sahabatnya, Pak Asih dan Teungku Muhammad Saleh Lampoh Raya, ikut bergabung.

Dengan kekuatan tidak lebih dari seratus orang, Cik Di Tiro berangkat ke Kota Raja. Pasukan kecil itu diberi nama Angkatan Perang Sabil, mengacu puisi epik Hikayat Perang Sabil yang digubahnya dalam perjalanan pulang antara Jedah dan Penang, sebagai sumbangsih untuk membangkitkan semangat jihad melawan kape (kafir) Belanda. Kelak, hikayat ini dibacakan setiap malam menjelang perang.

Sebelum berangkat, ulama dari Tiro ini berziarah ke makam ayahnya di Meunasah Pante Garot. Untuk tambahan biaya perjuangan, ia menjual beberapa petak sawahnya. Perjuangan ini mendapat restu dari Sultan Mahmud Syah di Padangbiji.

Kreung Meujangkhep adalah tempat pertama yang dijadikan markas. Dari sini ia mulai menjalankan semua rencananya. Ditemani Panglima Itam dan Panglima Asik, Cik Di Tiro mengunjungi para pemimpin pejuang yang terpencar, seperti Teungku Cik Tanah Abeu, Haji Cut, dan Panglima Polem.

grahabudayaindonesia.at.webry.info
Panglima Polem, yang sudah tua, bersedia membantu perjuangan ulama dari Tiro tersebut. Kehadirannya di benteng Krueng Meujangkhep, membuat para hulu balang dan  ulama lain menyusul dengan pasukannya. Atas saran Polem, untuk menampung lebih banyak pejuang, markas Angkatan Perang Sabil dipindahkan ke Mereu di seberang Krueng Inong. Di sekitar Mereu segera dibangun beberapa benteng, dan Cik Di Tiro menunjuk pemimpin-pemimpinnya.

Sebagai panglima utama perang, Cik Di Tiro dibantu tangan kanannya, Pang Jarueng. Sedangkan kepala barisan pengawal adalah Pang Tamreh, dan penasihat utamanya Teungku Kuta Karang.

Itu semua dilakukan dalam hitungan bulan. Sebab, pada pertengahan Mei 1881, Cik Di Tiro memutuskan melancarkan perang serentak. Sasarannya adalah benteng Belanda di Indrapuri. Sebagian besar pasukan Belanda di benteng itu binasa. Sisanya melarikan diri  ke benteng Krueng Ireu dan benteng Gle Kamang. Namun, kedua benteng ini pun akhirnya dibumihanguskan oleh pasukan Perang Sabil. 

Sisa lainnya, dengan susah payah melarikan diri ke kota Sielemun. Di kota ini terdapat markas Belanda yang sangat kuat. Dari markas ini biasanya pasukan kafir menyerang persembunyian para pejuang Aceh hingga ke pedalaman.

Namun, kali ini situasinya berbalik. Pasukan Belanda dengan ketakutan luar biasa bertahan di dalam benteng. Tanpa ampun lagi, pasukan Cik Ti Tiro membinasakan tentara-tentara kafir itu dan menghancurkan benteng Seilemun. 

Namun bukan pekerjaan mudah untuk menguasai seluruh Kota Raja, karena dihubungkan dengan beberapa benteng. Benteng yang sangat kuat, di antaranya, benteng Ancuk Galang dan benteng Lambaro. Berkali-kali Pasukan Sabil gagal merebut benteng-benteng itu. Pasukan Belanda dengan segala daya terus mempertahankan semua benteng di Kota Raja.

barboek.blogspot.com


Menyadari hal itu, Cik Di Tiro kemudian mengubah siasat. Mereka mengepung dan menggempur dari segala penjuru dengan kapal-kapal laut yang dilengkapi busur-busur panah berapi. Pasukan perang Belanda hanya bisa bertahan. Padahal usaha menundukkan Aceh telah berlangsung lima belas tahun. Biaya sudah banyak dikeluarkan, namun belum juga berhasil. Kini, kaum kafir itu bahkan hanya bisa bertahan di Kota Raja. Siasat adu domba atau divide et impera yang dilancarkan kemudian juga tidak memberikan hasil. Dengan janji yang muluk-muluk, kaum kafir mencoba membujuk para pejuang dan panglima-panglima Cik Di Tiro. Cik Di Tiro sediri juga tak luput dari usaha licik mereka. Rayuan gombal untuk berdamai ditepis, karena ia tahu, itu hanya akal busuk.

Rangkaian kegagalan itu nyaris membuat Belanda putus asa. Di saat tidak ada harapan lagi, datang seseorang yang sangat berambisi menjadi Panglima Sagi. Pucuk dicinta, ulam tiba. Belanda sangat merestui. Syaratnya, asal ia bisa menangkap Cik Di Tiro, hidup atau mati. 

Pengkhianat ini rupanya sudah lama mengamati kehidupan pribadi Teungku Cik Di Tiro. Sudah menjadi kebiasaan ulama besar dari Tiro ini, di mana berada, ia senantiasa dielu-elukan dan dihormati rakyat. Tak jarang mereka mempersembahkan aneka macam makanan. Sebagai ulama rakyat, Cik Di Tiro menerima semuanya itu dengan tangan terbuka dan tidak segan-segan makan hidangan tersebut dengan rasa syukur.

Suatu hari, setelah menunaikan salat fardu di masjid, Cik Di Tiro menerima bingkisan makanan yang diberikan seorang perempuan pedesaan. Tanpa curiga, ulama besar ini menyantap hidangan itu. Tak berapa lama, Cik Di Tiro jatuh sakit. Pori-pori tubuhnya mengeluarkan darah sehingga merenggut nyawanya. Ia gugur bukan karena peluru musuh, tetapi karena pengkhianatan dari bangsanya sendiri. Sejarah mencatat, ia gugur pada Januari 1891.

Ulama Besar

www.bijeh.com
Lahir pada 1251 H/1831 M di Dajah Jrueng, Kenegerian Tjombok Lamlo, Tiro, Pidie, Aceh, ia putra Teungku Sjech Ubaidillah. Sedangkan ibunya, Siti Aisyah, putri Teungku Sjech Abdussalam Muda Tiro. “Semoga Saman menjadi ulama besar seperti leluhurnya dari Tiro,” ungkap Teungku Cik Dayat Cut, pamannya. 

Bila di Garot, Saman senang bergaul dan bermain dengan murid-murid ayahnya. Sedang bila di Tiro ia menghabiskan waktu dengan pamannya itu, yang mempunyai madrasah di Tiro. Tidak mengherankan bila, dalam usia 15 tahun, ia sudah punya dasar yang sangat kuat untuk menjadi ulama besar. Ia sudah hafal Al-Quran, pandai menulis Arab, tahu tentang ilmu sejarah Islam dan tasawuf.

Muhammad Saman mengikuti nasihat pamannya untuk mengembara dan beguru kepada para ulama besar. Ia pergi ke Lakrak, Aceh Besar, dan mendalami ilmu agama pada Teungku Cik di Lakrak.

Dua tahun kemudian, pamannya mengharapkan Saman segera menggantikan posisinya sebagai pengasuh pondok pesantren. Ia pun pulang dan memimpin serta mengajar di madrasah warisan leluhurnya itu. Dalam waktu singkat, nama Muhammad Saman banyak dibicarakan orang, karena kepandaian dan pengetahuannya tentang ilmu agama Islam tidak diragukan lagi. Akhirnya ia dikenal sebagai ulama dari Tiro atau Teungku Cik Di Tiro.

Menyadari fungsi ulama, yang banyak dibutuhkan umat, Saman terus menambah pengetahuannya di bidang agama. Ia banyak membaca buku dan berkeinginan menunaikan rukun Islam kelima.

Sebelum ke Mekah, Cik Di Tiro ikut berjuang dan bergerilya di Lakrak. Tidak jarang ia ditunjuk sebagai pemimpin, karena semangat juangnya yang tinggi. Namun, hal itu tidak berlangsung lama. Baru sekitar dua bulan berjuang, pihak keluarga meminta Cik Di Tiro menunaikan ibadah haji 

Ia mengikuti nasihat keluarga. Dengan menumpang perahu layar, Cik Di Tiro sampai di Kuala Idi. Dari sini ia menuju Penang. Dari Penang, ia menumpang sebuah kapal Inggris menuju Mekah. Di Tanah Suci, Cik Di Tiro mendapat inspirasi dari gagasan kebangkitan dunia Islam Gerakan Wahabi pimpinan Muhammad bin Abdul Wahab dan gerakan pembaruan Said Jamaluddin Afghanistan. Selain itu, buku-buku syair Arab, terutama karya penyair epos perang di zaman Rasul – seperti Hasan bin Tsabit, Abdullah bin Malik, Ka'ab bin Zubair – yang ia pelajari. Sekaligus, pengenalan yang mendalam pada riwayat hidup para pahlawan Islam, seperti Khalid bin Walid, Umar bin Khaththab, Hamzah, Usamah bin Zaid, dan Thariq bin Ziyad.

Saat Cik Di Tiro berada di Mekah, Belanda semakin leluasa menaklukkan Aceh. Pendudukan ini dilandasi adanya Perjanjian Sumatra, sebuah perjanjian antara Inggris dan Belanda yang menegaskan bahwa Inggris tidak akan campur tangan bila Belanda menyerang Aceh.

Pada 7 Maret 1873, Nieuwenhuyzen, wakil pemerintah Belanda, memaksa Raja Aceh, Sultan Mahmud Syah, untuk mengakui kekuasaan Belanda. Namun sang sultan, dengan dukungan para hulu balang, panglima, dan ulama, tidak mau menyerah. Pada 8 April 1873, pasukan Belanda, dipimpin Jenderal Kohler, menyerang Pelabuhan Uleleuheu. Pertempuran hebat pun pecah.

Karena Belanda mendapat tambahan pasukan dari Batavia yang begitu besar dengan persenjataan meriam, pasukan Sultan Mahmud, dipimpin Panglima Polem, Imam Leung Bata, dan Teungku Ibrahim, menyingkir ke Gunung Seulawah dan Gunung Biram. Para pejuang dari dua gunung inilah yang akhirnya meminta Teungku Cik Di Tiro menjadi pemimpin saat baru tiba dari Tanah Suci. Berkat semangat jihad untuk membela agama dan kedaulatan tanah air, ulama besar dari Tiro ini mengamini.

Domery/Dari berbagai sumber
Catatan: Pernah dimuat di majalah islam Alkisah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar