Perang Sabil
dari Tanah Rencong
www.pahlawanindonesia.com |
Perang Aceh, yang
terus berkobar, membuat ulama besar dari Tiro ini memutuskan meninggalkan Mekah
dan kembali ke Tanah Rencong. Di Bumi Serambi Mekah ini, ia mengobarkan Perang
Sabil untuk mengusir penjajah.
Sepulang dari ibadah haji dan menuntut ilmu di Tanah Suci, Teungku Cik Di
Tiro, atau Haji Muhammad Saman, tidak berpangku tangan. Begitu tiba di Tiro,
Aceh, ia disibukkan dengan urusan madrasah dan murid-murid yang lama
ditinggalkan.
Kehadiran ulama besar dari Tiro ini akhirnya sampai ke telinga para pejuang
yang bergerilya di rimba raya Gunung Seulawah dan Gunung Biram. “Teman-teman,
kabarnya ulama besar dari Tiro sudah tiba dari Mekah. Bagaimana kalau beliau
kita jadikan pemimpin?” seru pemimpin pejuang dari Gunung Seulawah.
“Setuju…! Kita
segera ke sana,” sahut para pejuang, hampir serempak. Di hadapan para pejuang
dari Gunung Seulawah dan Gunung Biram, ulama besar dari Tiro ini menyatakan
kesanggupannya membela agama dan kedaulatan tanah airnya. “Saya bersedia,”
jawab Cik Di Tiro, penuh semangat.
Kesediaan untuk
memimpin itu tentunya bukan tanpa dasar. Walau, ia sadar, pasukan asing yang
akan dihadapi itu jumlahnya sangat besar dan dengan persenjataan yang modern. Sementara
para gerilyawan jumlahnya bisa dihitung dengan jari. Konon, pasukan Kompeni
Belanda berjumlah 7.000 orang, baik yang berjalan, berkuda, maupun bermeriam.
Mereka bahkan sudah hidup tenang di Kota Raja sejak Belanda menduduki Aceh pada
24 Januari 1873.
Siasat pun disusun. “Dalam keadaan seperti ini kita tidak mungkin
mengalahkan Kompeni Belanda di Kota Raja. Kita harus menggalang kekuatan baru,”
kata Cik Di Tiro kepada para pejuang. Dari pamannya, Teungku Cik Dayat Cut, ia
mendapat persenjataan dan 15 orang murid dari madrasah Tiro untuk ikut
berjuang. Lebih membahagiakan lagi ketika sahabat-sahabatnya, Pak Asih dan
Teungku Muhammad Saleh Lampoh Raya, ikut bergabung.
Dengan kekuatan
tidak lebih dari seratus orang, Cik Di Tiro berangkat ke Kota Raja. Pasukan
kecil itu diberi nama Angkatan Perang Sabil, mengacu puisi epik Hikayat Perang
Sabil yang digubahnya dalam perjalanan pulang antara Jedah dan Penang, sebagai
sumbangsih untuk membangkitkan semangat jihad melawan kape (kafir)
Belanda. Kelak, hikayat ini dibacakan setiap malam menjelang perang.
Sebelum
berangkat, ulama dari Tiro ini berziarah ke makam ayahnya di Meunasah Pante
Garot. Untuk tambahan biaya perjuangan, ia menjual beberapa petak sawahnya.
Perjuangan ini mendapat restu dari Sultan Mahmud Syah di Padangbiji.
Kreung
Meujangkhep adalah tempat pertama yang dijadikan markas. Dari sini ia mulai
menjalankan semua rencananya. Ditemani Panglima Itam dan Panglima Asik, Cik Di
Tiro mengunjungi para pemimpin pejuang yang terpencar, seperti Teungku Cik
Tanah Abeu, Haji Cut, dan Panglima Polem.
grahabudayaindonesia.at.webry.info |
Panglima Polem,
yang sudah tua, bersedia membantu perjuangan ulama dari Tiro tersebut.
Kehadirannya di benteng Krueng Meujangkhep, membuat para hulu balang dan ulama lain menyusul dengan pasukannya. Atas
saran Polem, untuk menampung lebih banyak pejuang, markas Angkatan Perang Sabil
dipindahkan ke Mereu di seberang Krueng Inong. Di sekitar Mereu segera dibangun
beberapa benteng, dan Cik Di Tiro menunjuk pemimpin-pemimpinnya.
Sebagai panglima
utama perang, Cik Di Tiro dibantu tangan kanannya, Pang Jarueng. Sedangkan
kepala barisan pengawal adalah Pang Tamreh, dan penasihat utamanya Teungku Kuta
Karang.
Itu semua
dilakukan dalam hitungan bulan. Sebab, pada pertengahan Mei 1881, Cik Di Tiro
memutuskan melancarkan perang serentak. Sasarannya adalah benteng Belanda di
Indrapuri. Sebagian besar pasukan Belanda di benteng itu binasa. Sisanya
melarikan diri ke benteng Krueng Ireu
dan benteng Gle Kamang. Namun, kedua benteng ini pun akhirnya dibumihanguskan
oleh pasukan Perang Sabil.
Sisa lainnya,
dengan susah payah melarikan diri ke kota Sielemun. Di kota ini terdapat markas
Belanda yang sangat kuat. Dari markas ini biasanya pasukan kafir menyerang
persembunyian para pejuang Aceh hingga ke pedalaman.
Namun, kali ini
situasinya berbalik. Pasukan Belanda dengan ketakutan luar biasa bertahan di
dalam benteng. Tanpa ampun lagi, pasukan Cik Ti Tiro membinasakan
tentara-tentara kafir itu dan menghancurkan benteng Seilemun.
Namun bukan
pekerjaan mudah untuk menguasai seluruh Kota Raja, karena dihubungkan dengan
beberapa benteng. Benteng yang sangat kuat, di antaranya, benteng Ancuk Galang
dan benteng Lambaro. Berkali-kali Pasukan Sabil gagal merebut benteng-benteng
itu. Pasukan Belanda dengan segala daya terus mempertahankan semua benteng di
Kota Raja.
![]() |
barboek.blogspot.com |
Menyadari hal
itu, Cik Di Tiro kemudian mengubah siasat. Mereka mengepung dan menggempur dari
segala penjuru dengan kapal-kapal laut yang dilengkapi busur-busur panah
berapi. Pasukan perang Belanda hanya bisa bertahan. Padahal usaha menundukkan
Aceh telah berlangsung lima belas tahun. Biaya sudah banyak dikeluarkan, namun
belum juga berhasil. Kini, kaum kafir itu bahkan hanya bisa bertahan di Kota
Raja. Siasat adu domba atau divide et impera yang
dilancarkan kemudian juga tidak memberikan hasil. Dengan janji yang
muluk-muluk, kaum kafir mencoba membujuk para pejuang dan panglima-panglima Cik
Di Tiro. Cik Di Tiro sediri juga tak luput dari usaha licik mereka. Rayuan
gombal untuk berdamai ditepis, karena ia tahu, itu hanya akal busuk.
Rangkaian
kegagalan itu nyaris membuat Belanda putus asa. Di saat tidak ada harapan lagi,
datang seseorang yang sangat berambisi menjadi Panglima Sagi. Pucuk dicinta,
ulam tiba. Belanda sangat merestui. Syaratnya, asal ia bisa menangkap Cik Di
Tiro, hidup atau mati.
Pengkhianat ini
rupanya sudah lama mengamati kehidupan pribadi Teungku Cik Di Tiro. Sudah
menjadi kebiasaan ulama besar dari Tiro ini, di mana berada, ia senantiasa
dielu-elukan dan dihormati rakyat. Tak jarang mereka mempersembahkan aneka
macam makanan. Sebagai ulama rakyat, Cik Di Tiro menerima semuanya itu dengan
tangan terbuka dan tidak segan-segan makan hidangan tersebut dengan rasa
syukur.
Suatu hari,
setelah menunaikan salat fardu di masjid, Cik Di Tiro menerima bingkisan
makanan yang diberikan seorang perempuan pedesaan. Tanpa curiga, ulama besar
ini menyantap hidangan itu. Tak berapa lama, Cik Di Tiro jatuh sakit. Pori-pori
tubuhnya mengeluarkan darah sehingga merenggut nyawanya. Ia gugur bukan karena
peluru musuh, tetapi karena pengkhianatan dari bangsanya sendiri. Sejarah
mencatat, ia gugur pada Januari 1891.
Ulama Besar
![]() |
www.bijeh.com |
Lahir pada 1251 H/1831
M di Dajah Jrueng, Kenegerian Tjombok Lamlo, Tiro, Pidie, Aceh, ia putra
Teungku Sjech Ubaidillah. Sedangkan ibunya, Siti Aisyah, putri Teungku Sjech
Abdussalam Muda Tiro. “Semoga Saman menjadi ulama besar seperti leluhurnya dari
Tiro,” ungkap Teungku Cik Dayat Cut, pamannya.
Bila di Garot,
Saman senang bergaul dan bermain dengan murid-murid ayahnya. Sedang bila di
Tiro ia menghabiskan waktu dengan pamannya itu, yang mempunyai madrasah di
Tiro. Tidak mengherankan bila, dalam usia 15 tahun, ia sudah punya dasar yang
sangat kuat untuk menjadi ulama besar. Ia sudah hafal Al-Quran, pandai menulis
Arab, tahu tentang ilmu sejarah Islam dan tasawuf.
Muhammad Saman
mengikuti nasihat pamannya untuk mengembara dan beguru kepada para ulama besar.
Ia pergi ke Lakrak, Aceh Besar, dan mendalami ilmu agama pada Teungku Cik di
Lakrak.
Dua tahun
kemudian, pamannya mengharapkan Saman segera menggantikan posisinya sebagai
pengasuh pondok pesantren. Ia pun pulang dan memimpin serta mengajar di
madrasah warisan leluhurnya itu. Dalam waktu singkat, nama Muhammad Saman
banyak dibicarakan orang, karena kepandaian dan pengetahuannya tentang ilmu
agama Islam tidak diragukan lagi. Akhirnya ia dikenal sebagai ulama dari Tiro
atau Teungku Cik Di Tiro.
Menyadari fungsi
ulama, yang banyak dibutuhkan umat, Saman terus menambah pengetahuannya di
bidang agama. Ia banyak membaca buku dan berkeinginan menunaikan rukun Islam
kelima.
Sebelum ke Mekah,
Cik Di Tiro ikut berjuang dan bergerilya di Lakrak. Tidak jarang ia ditunjuk
sebagai pemimpin, karena semangat juangnya yang tinggi. Namun, hal itu tidak
berlangsung lama. Baru sekitar dua bulan berjuang, pihak keluarga meminta Cik
Di Tiro menunaikan ibadah haji
Ia mengikuti
nasihat keluarga. Dengan menumpang perahu layar, Cik Di Tiro sampai di Kuala
Idi. Dari sini ia menuju Penang. Dari Penang, ia menumpang sebuah kapal Inggris
menuju Mekah. Di Tanah Suci, Cik Di Tiro mendapat inspirasi dari gagasan
kebangkitan dunia Islam Gerakan Wahabi pimpinan Muhammad bin Abdul Wahab dan
gerakan pembaruan Said Jamaluddin Afghanistan. Selain itu, buku-buku syair
Arab, terutama karya penyair epos perang di zaman Rasul – seperti Hasan bin
Tsabit, Abdullah bin Malik, Ka'ab bin Zubair – yang ia pelajari. Sekaligus,
pengenalan yang mendalam pada riwayat hidup para pahlawan Islam, seperti Khalid
bin Walid, Umar bin Khaththab, Hamzah, Usamah bin Zaid, dan Thariq bin Ziyad.
Saat Cik Di Tiro
berada di Mekah, Belanda semakin leluasa menaklukkan Aceh. Pendudukan ini
dilandasi adanya Perjanjian Sumatra, sebuah perjanjian antara Inggris dan
Belanda yang menegaskan bahwa Inggris tidak akan campur tangan bila Belanda
menyerang Aceh.
Pada 7 Maret
1873, Nieuwenhuyzen, wakil pemerintah Belanda, memaksa Raja Aceh, Sultan Mahmud
Syah, untuk mengakui kekuasaan Belanda. Namun sang sultan, dengan dukungan para
hulu balang, panglima, dan ulama, tidak mau menyerah. Pada 8 April 1873,
pasukan Belanda, dipimpin Jenderal Kohler, menyerang Pelabuhan Uleleuheu.
Pertempuran hebat pun pecah.
Karena Belanda
mendapat tambahan pasukan dari Batavia yang begitu besar dengan persenjataan
meriam, pasukan Sultan Mahmud, dipimpin Panglima Polem, Imam Leung Bata, dan
Teungku Ibrahim, menyingkir ke Gunung Seulawah dan Gunung Biram. Para pejuang
dari dua gunung inilah yang akhirnya meminta Teungku Cik Di Tiro menjadi
pemimpin saat baru tiba dari Tanah Suci. Berkat semangat jihad untuk membela
agama dan kedaulatan tanah air, ulama besar dari Tiro ini mengamini.
Domery/Dari berbagai
sumber
Catatan: Pernah dimuat di majalah islam Alkisah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar