Dalam usianya
yang sudah senja, novelis La Rose terus bertekad meneruskan pencahariannya.
Kerinduannya kepada Sang Khaliq tak pernah pupus.
www.tamanismailmarzuki.co.id |
Boleh jadi, La Rose sudah sangat menyakininya.
Kematian adalah suatu tanda kehidupan yang baru. Dan, maut pasti segera
menjemputnya suatu saat nanti, entah di mana. Bukankah setiap makhluk hidup
pasti mengalami kematian, seperti tersebut dalam Al-Quran: “Kulu nafsin
zaiqatul maut” (Setiap yang hidup pasti akan merasakan mati).
Hanya saja, orang yang sangat dicintai telah
mendahului. Pada enam April lalu, pagi setelah menjalankan salat Subuh, sang
suami dijemput Sang Kholiq, menuju hidup dalam bara api keTuhanan yang baqa.
![]() |
www.aksiku.com |
Saat
itu, tak ada ratap tangis, kecuali ikhlas mengantar suami sampai ke tempat
peristirahatannya yang terakhir. Sebelumnya, ia turut “memandikan”,
“mangkafani”, dan menyalati secara khusuk. Bahkan, ia menegakkan ajaran Islam
secara murni, meski bukan pengikut junjungan Nabi Muhammad sejak kecil:
tidak ada tahlilan sampai tiga, tujuh, atau empat puluh hari di rumahnya.
Namun, setiap tamu yang berta’ziah tetap dijamunya secara baik.
Tatkala
ibunya berpulang, La Rose pun menyalati secara Islam. Meski sang ibu masih
menganut ajaran Kristen Adven Hari Ketujuh. Bagi La Rose, ibu adalah segalanya.
Ia yang mengajari nilai-nilai agama. “Karena itu, saya berdoa dengan cara saya
sendiri. Semoga Tuhan menerima kebaikan ibu saya,” ungkap La Rose ketika banyak
orang bertanya-tanya bagaimana cara ia
memberikan penghormatan yang terakhir kali kepada ibunya itu.
La
Rose berkeyakinan, Tuhan pasti akan mengabulkan doa umatnya yang meminta dengan
khusuk. Sang Kekasih tentu mengetahui dan hanya manusia saja yang
membeda-bedakannya. “Masa sih, Tuhan tidak mendengar doa dari hambanya,” tutur
La Rose yang selalu berharap.
Ingatan
pun menerawang saat awal ia masuk Islam. Ibunya dengan bijak pernah berpesan,
“Bila kamu bahagia, saya sudah merasa senang karena Tuhan mempunyai dombanya
masing-masing,” kata La Rose.
Karena
itu, tidak ada gejolak yang luar biasa dalam jiwa La Rose saat sang ibu
menghadap Yang Maha Suci. “Bukankah dalam Advent juga banyak kemiripan dengan
ajaran Islam?” ungkapnya, mencoba menghibur diri.
Sikap
yang dinilai oleh sementara orang begitu bijak itu, tentu lahir bukan secara
tiba-tiba. Namun, melalui proses yang amat panjang dalam kehidupannya. La Rose
kecil, memang tumbuh dalam kehidupan religius.
Mulanya,
tak ada tanda-tanda khusus saat ia dilahirkan di kota Tegal, Jawa Tengah, 22
Desember 1932 lalu. Sementara ayah La Rose baru mendaftarkan kelahiran anaknya
ini di kota batik Pekalongan. Masa kecil dan remaja ia habiskan di desa
Naongan, Menado, Sulawesi Utara. “Masa kecil saya sangat indah,” kenangnya. La
Rose berada di sana mengikuti ayahnya yang seorang pendeta.
Hanya
saja, ia selalu dalam ketakutan menghadapi hidup sesudah mati. Pasalnya, ayah
La Rose selalu mengatakan hidup di alam fana ini hanya sebentar dan akan segera
mati. Karena itu, ia tidak boleh berbuat jahat atau berbohong karena akan masuk
neraka dan di sana panas sekali. “Maka itu, saya menjadi takut. Tapi, sekarang
dengan bertambahnya usia, sudah barang tentu menjadi sebuah kesadaran,”
urainya.
www.amartapura.com |
La
Rose kecil sudah senang bergaul dan mengamati perilaku orang lain, baik kepada
teman-teman sebayanya maupun yang lebih dewasa. Ia mengaku tumbuh jauh lebih
dewasa ketimbang dari usianya. Bisa jadi ini pengaruh dari banyak membaca buku
dan membaca alam sekelilingnya. Di usianya yang masih dini, misalnya, ia sudah
senang membaca Al-Kitab Perjanjian Lama, kisah Sodom dan Gomorrah. Inilah cikal bakal bakat kepenulisannya.
Ia
juga punya segudang cita-cita. Suatu kali ia pernah bercita-cita menjadi
penyanyi. Juga, menjadi petenis. Dalam benaknya pernah pula hinggap sebuah
keinginan, suatu saat, punya rumah, kemudian punya anak-anak, menjadi seorang
ibu yang baik, menunggu suami pulang dari kantor. Hanya saja ayah La Rose
pernah berkeinginan anaknya menjadi seorang dokter. “Papi sempat mau
menyekolahkan saya ke sekolah Cina di Menado untuk menuju ke sekolah dokter,
tapi saya menolaknya,” kenang perempuan yang menguasai dengan fasih empat
bahasa (Inggris, Perancis, Jerman dan Belanda) itu.
La
Rose kemudian tumbuh menjadi gadis dewasa. Kisah pertemuan La Rose dengan sang
suami, Sostrodanukusumo terjadi di Hongkong. Saat itu, ia yang sudah bekerja di
sebuah perusahaan hendak mengadakan kunjungan ke Jepang dan keliling Eropa.
Namun, pesawat yang ia tumpangi transit dulu ke Hongkong. Di sanalah, ia
bekenalan dengan suaminya itu.
Singkat
cerita, empat minggu setelah mereka bertemu, dua pasangan ini menikah. Di
situlah La Rose paham, cinta adalah komitmen. Maka, ia beralih menjadi
muslimat. “Saya masuk Islam karena awalnya melihat sang calon suami begitu
disiplin dan sangat jujur,” jelas perempuan yang pernah mendapat penghargaan
Kalpataru sebagai Perintis Lingkungan Hidup dari Gubernur DKI Jakarta tahun
1988 ini.
Dalam
mengarungi bahtera hidup selanjutnya, La Rose terus mendalami Islam secara
kafah. Selain banyak mempelajari lewat buku, peranan suami dalam memberi
pendidikan Islam juga turut menambah tebal keimanannya. Pada tahun 1965,
akhirnya mereka berdua menunaikan ibadah haji.
Sang
suami selalu mengajak salat berjamaah, baik pagi, siang maupun malam. Akhirnya
menjadi sebuah kebiasaan dan keharusan. Tak heran, bila dalam ber”cinta” dengan
Khaliqnya, ia mengaku tak pernah telat. Ia mengibaratkan pertemuan itu saat
hendak bertatap muka dengan seorang pejabat tinggi: tidak boleh terlambat,
berpakaian rapi dan bagus. “Menghadap Tuhan juga harus begitu,” kata perempuan
yang memiliki Madrasah di daerah Bogor itu.
www.aksiku.com |
Setiap
saat, suami La Rose selalu membimbing cara membaca Al-Quran secara baik. Lelaki tinggi ganteng ini juga
setiap hari selalu membuat tanda dan coretan penting di dalam tafsir Al-Quran
dan menunjukinya. Bila ada yang kurang jelas, maka penerima penghargaan khusus
sastra ini tak segan-segan untuk mendiskusikannya.
Dalam
mendidik anak-anaknya, ia selalu memberi contoh lebih dulu. Ia tak ingin
anak-anaknya menjadi esktrem. “Saya tidak mau menyalahkan seseorang di luar
agama saya adalah kafir. Karena kamu bukan muslim maka kafir,” kata pendiri
Partai Perempuan Indonesia itu.
Kini
dalam kesehariannya, ia tinggal bersama tujuh “keluarga”, yaitu para
pembantunya. Ia selalu makan bersama mereka dengan makanan yang sama. Ia juga
mengajari mereka tentang adab dan disiplin. Pasalnya, masyarakat kita sudah
banyak pengagum berhala.
Usai
suaminya berpulang, La Rose menghibur diri dengan menghadiri Sydney Writer
Festival di Australia. Ia diundang oleh panitia festival bersama Dra. Hj.
Faiqoh Mansyur dari Departemen Agama. Di sana, ia mendapat sambutan yang sangat
luar biasa. Padahal, sebelumnya ia sering diundang di festival-festival penulis
internasional di luar negeri tapi jarang menghadirinya. Kali ini bersedia
hadir.
Selain
menghadiri serangkaian acara festival, ia menyempatkan diri berkunjung ke
sekolah-sekolah muslim di Sydney. “Ternyata, anak-anak sekolah muslim di sana
begitu santun bahasanya. Tempatnya juga selalu bersih meski sederhana, hanya
berlantai semen,” tutur si empunya Radio La Rose itu.
Ia juga sempat mengamati cara
berpakaian perempuan-perempuan muslim di negeri Kanguru itu. Ia menyaksikan
perempuan-perempuan muslim di sana begitu halus budi pekertinya dan selalu
mengenakan jilbab. Ia menjadi merinding seluruh jiwanya. Hati pun kemudian
tersentuh dan luluh. “Lain di negeri ini, perempuan-perempuanya banyak yang
memakai jilbab, tapi berkombinasi dengan celana jean dan berkaos ketat,” La
Rose miris.
Hanya
saja, ia mengaku terus terang belum sempurna betul mengenakan jilbab. Hanya
pada momen-momen tertentu. “Saya sebenarnya kepingin selalu pakai jilbab,
katanya lebih cakep,” ungkap perempuan yang sejatinya punya nama lain itu.
Ibu
dari empat orang anak ini, memang menggunakan nama “Rose” di belakang namanya
untuk menunjukkan kegemarannya pada bunga mawar yang indah. Sebenarnya, ia
punya nama asli Jenny Marcelina Laloan. Ayahnya berasal dari Menado, Sulawesi
Utara. Sedangkan Ibunya masih berdarah Portugis. Pantas saja, wajah La Rose
begitu Indo nan cantik, paduan Minahasa dan Eropa. Ayahnya bernama Gerson
Laloan, sedang Ibunya, Souline.
Nama
Rose punya kisah tersendiri. Nama itu ia ambil dari buku karya Kahlil Gibran,
Sang Nabi. Salah satu puisi yang dimuat dalam buku itu mengisahkan bunga rose
dan bunga violet. Bunga violet itu rendah, sedangkan bunga rose itu tinggi.
Suatu kali bunga violet melihat bunga rose yang begitu tinggi dan ia ingin
seperti bunga rose itu. Tapi, teman-temannya mengatakan, “Ah… untuk apa, sudah
enak di bawah ini, kok kepengin yang tinggi,” tutur La Rose. Bunga rose
pun kemudian menjawab, “Eh, hidup di atas ini nggak enak, banyak
tantangannya,” kata sang mawar itu.
![]() |
www.bukalapak.com |
“Ah,
kamu yang di atas ini ‘kok enak saja menasihati,” timpal bunga violet.
Sejurus kemudian, bunga violet itu menjadi rose. Namun, baru lima menit menjadi
rose, dia disambar petir dan mati layu. Kemudian teman-temannya bilang, “Nah,
andai saja tadi kamu tidak jadi rose, tentu kamu masih hidup”.
“Tidak
apa,” katanya. “Walau hanya lima menit, tapi saya dapat melihat dunia ini
dengan mata yang lain. Bukan terus-terusan berada di bawah. Dunia ternyata
begitu indah,” ungkap bunga violet. “Itulah kenapa saya memakai nama rose.
Sebagai bunga, mungkin saya hidup sebentar, tetapi rose akan hidup selamanya.
Sedangkan La, saya ambil dari Laloan,” kata La Rose.
Kenyataan,
kini bintang tetap bersinar pada diri La Rose. Di usianya yang sudah memasuki
senja, ia tetap sehat dan terus berkarya. Karya-karyanya yang jumlahnya lebih
dari 80-an itu, baik fiksi maupun non fiksi masih dibicarakan dan dikagumi
banyak orang. “Saya melihat anak-anak muda sekarang banyak yang sudah pikun,”
sindir penulis buku “Pribadi Mempesona” yang pernah menjadi best seller tahun
1987 itu.
Domery Alpacino
Catatan: Pernah dimuat di
majalah Firdaus
Tidak ada komentar:
Posting Komentar