Laman

Kamis, 08 Januari 2004

Senandung Imani Sang Bunga Mawar

Dalam usianya yang sudah senja, novelis La Rose terus bertekad meneruskan pencahariannya. Kerinduannya kepada Sang Khaliq tak pernah pupus.


www.tamanismailmarzuki.co.id
Boleh jadi, La Rose sudah sangat menyakininya. Kematian adalah suatu tanda kehidupan yang baru. Dan, maut pasti segera menjemputnya suatu saat nanti, entah di mana. Bukankah setiap makhluk hidup pasti mengalami kematian, seperti tersebut dalam Al-Quran: “Kulu nafsin zaiqatul maut” (Setiap yang hidup pasti akan merasakan mati).

Hanya saja, orang yang sangat dicintai telah mendahului. Pada enam April lalu, pagi setelah menjalankan salat Subuh, sang suami dijemput Sang Kholiq, menuju hidup dalam bara api keTuhanan yang baqa.


www.aksiku.com
Saat itu, tak ada ratap tangis, kecuali ikhlas mengantar suami sampai ke tempat peristirahatannya yang terakhir. Sebelumnya, ia turut “memandikan”, “mangkafani”, dan menyalati secara khusuk. Bahkan, ia menegakkan ajaran Islam secara murni, meski bukan pengikut junjungan Nabi Muhammad sejak kecil: tidak ada tahlilan sampai tiga, tujuh, atau empat puluh hari di rumahnya. Namun, setiap tamu yang berta’ziah tetap dijamunya secara baik.

Tatkala ibunya berpulang, La Rose pun menyalati secara Islam. Meski sang ibu masih menganut ajaran Kristen Adven Hari Ketujuh. Bagi La Rose, ibu adalah segalanya. Ia yang mengajari nilai-nilai agama. “Karena itu, saya berdoa dengan cara saya sendiri. Semoga Tuhan menerima kebaikan ibu saya,” ungkap La Rose ketika banyak orang  bertanya-tanya bagaimana cara ia memberikan penghormatan yang terakhir kali kepada ibunya itu.

La Rose berkeyakinan, Tuhan pasti akan mengabulkan doa umatnya yang meminta dengan khusuk. Sang Kekasih tentu mengetahui dan hanya manusia saja yang membeda-bedakannya. “Masa sih, Tuhan tidak mendengar doa dari hambanya,” tutur La Rose yang selalu berharap.

Ingatan pun menerawang saat awal ia masuk Islam. Ibunya dengan bijak pernah berpesan, “Bila kamu bahagia, saya sudah merasa senang karena Tuhan mempunyai dombanya masing-masing,” kata La Rose.

Karena itu, tidak ada gejolak yang luar biasa dalam jiwa La Rose saat sang ibu menghadap Yang Maha Suci. “Bukankah dalam Advent juga banyak kemiripan dengan ajaran Islam?” ungkapnya, mencoba menghibur diri.

Sikap yang dinilai oleh sementara orang begitu bijak itu, tentu lahir bukan secara tiba-tiba. Namun, melalui proses yang amat panjang dalam kehidupannya. La Rose kecil, memang tumbuh dalam kehidupan religius.

Mulanya, tak ada tanda-tanda khusus saat ia dilahirkan di kota Tegal, Jawa Tengah, 22 Desember 1932 lalu. Sementara ayah La Rose baru mendaftarkan kelahiran anaknya ini di kota batik Pekalongan. Masa kecil dan remaja ia habiskan di desa Naongan, Menado, Sulawesi Utara. “Masa kecil saya sangat indah,” kenangnya. La Rose berada di sana mengikuti ayahnya yang seorang pendeta.

Hanya saja, ia selalu dalam ketakutan menghadapi hidup sesudah mati. Pasalnya, ayah La Rose selalu mengatakan hidup di alam fana ini hanya sebentar dan akan segera mati. Karena itu, ia tidak boleh berbuat jahat atau berbohong karena akan masuk neraka dan di sana panas sekali. “Maka itu, saya menjadi takut. Tapi, sekarang dengan bertambahnya usia, sudah barang tentu menjadi sebuah kesadaran,” urainya.


www.amartapura.com
La Rose kecil sudah senang bergaul dan mengamati perilaku orang lain, baik kepada teman-teman sebayanya maupun yang lebih dewasa. Ia mengaku tumbuh jauh lebih dewasa ketimbang dari usianya. Bisa jadi ini pengaruh dari banyak membaca buku dan membaca alam sekelilingnya. Di usianya yang masih dini, misalnya, ia sudah senang membaca Al-Kitab Perjanjian Lama, kisah Sodom dan Gomorrah.  Inilah cikal bakal bakat kepenulisannya.

Ia juga punya segudang cita-cita. Suatu kali ia pernah bercita-cita menjadi penyanyi. Juga, menjadi petenis. Dalam benaknya pernah pula hinggap sebuah keinginan, suatu saat, punya rumah, kemudian punya anak-anak, menjadi seorang ibu yang baik, menunggu suami pulang dari kantor. Hanya saja ayah La Rose pernah berkeinginan anaknya menjadi seorang dokter. “Papi sempat mau menyekolahkan saya ke sekolah Cina di Menado untuk menuju ke sekolah dokter, tapi saya menolaknya,” kenang perempuan yang menguasai dengan fasih empat bahasa (Inggris, Perancis, Jerman dan Belanda) itu.

La Rose kemudian tumbuh menjadi gadis dewasa. Kisah pertemuan La Rose dengan sang suami, Sostrodanukusumo terjadi di Hongkong. Saat itu, ia yang sudah bekerja di sebuah perusahaan hendak mengadakan kunjungan ke Jepang dan keliling Eropa. Namun, pesawat yang ia tumpangi transit dulu ke Hongkong. Di sanalah, ia bekenalan dengan suaminya itu.

Singkat cerita, empat minggu setelah mereka bertemu, dua pasangan ini menikah. Di situlah La Rose paham, cinta adalah komitmen. Maka, ia beralih menjadi muslimat. “Saya masuk Islam karena awalnya melihat sang calon suami begitu disiplin dan sangat jujur,” jelas perempuan yang pernah mendapat penghargaan Kalpataru sebagai Perintis Lingkungan Hidup dari Gubernur DKI Jakarta tahun 1988 ini.

Dalam mengarungi bahtera hidup selanjutnya, La Rose terus mendalami Islam secara kafah. Selain banyak mempelajari lewat buku, peranan suami dalam memberi pendidikan Islam juga turut menambah tebal keimanannya. Pada tahun 1965, akhirnya mereka berdua menunaikan ibadah haji.

Sang suami selalu mengajak salat berjamaah, baik pagi, siang maupun malam. Akhirnya menjadi sebuah kebiasaan dan keharusan. Tak heran, bila dalam ber”cinta” dengan Khaliqnya, ia mengaku tak pernah telat. Ia mengibaratkan pertemuan itu saat hendak bertatap muka dengan seorang pejabat tinggi: tidak boleh terlambat, berpakaian rapi dan bagus. “Menghadap Tuhan juga harus begitu,” kata perempuan yang memiliki Madrasah di daerah Bogor itu.

www.aksiku.com
Setiap saat, suami La Rose selalu membimbing cara membaca Al-Quran  secara baik. Lelaki tinggi ganteng ini juga setiap hari selalu membuat tanda dan coretan penting di dalam tafsir Al-Quran dan menunjukinya. Bila ada yang kurang jelas, maka penerima penghargaan khusus sastra ini tak segan-segan untuk mendiskusikannya.

Dalam mendidik anak-anaknya, ia selalu memberi contoh lebih dulu. Ia tak ingin anak-anaknya menjadi esktrem. “Saya tidak mau menyalahkan seseorang di luar agama saya adalah kafir. Karena kamu bukan muslim maka kafir,” kata pendiri Partai Perempuan Indonesia itu.

Kini dalam kesehariannya, ia tinggal bersama tujuh “keluarga”, yaitu para pembantunya. Ia selalu makan bersama mereka dengan makanan yang sama. Ia juga mengajari mereka tentang adab dan disiplin. Pasalnya, masyarakat kita sudah banyak pengagum berhala.

Usai suaminya berpulang, La Rose menghibur diri dengan menghadiri Sydney Writer Festival di Australia. Ia diundang oleh panitia festival bersama Dra. Hj. Faiqoh Mansyur dari Departemen Agama. Di sana, ia mendapat sambutan yang sangat luar biasa. Padahal, sebelumnya ia sering diundang di festival-festival penulis internasional di luar negeri tapi jarang menghadirinya. Kali ini bersedia hadir.

Selain menghadiri serangkaian acara festival, ia menyempatkan diri berkunjung ke sekolah-sekolah muslim di Sydney. “Ternyata, anak-anak sekolah muslim di sana begitu santun bahasanya. Tempatnya juga selalu bersih meski sederhana, hanya berlantai semen,” tutur si empunya Radio La Rose itu.

Ia juga sempat mengamati cara berpakaian perempuan-perempuan muslim di negeri Kanguru itu. Ia menyaksikan perempuan-perempuan muslim di sana begitu halus budi pekertinya dan selalu mengenakan jilbab. Ia menjadi merinding seluruh jiwanya. Hati pun kemudian tersentuh dan luluh. “Lain di negeri ini, perempuan-perempuanya banyak yang memakai jilbab, tapi berkombinasi dengan celana jean dan berkaos ketat,” La Rose miris.

Hanya saja, ia mengaku terus terang belum sempurna betul mengenakan jilbab. Hanya pada momen-momen tertentu. “Saya sebenarnya kepingin selalu pakai jilbab, katanya lebih cakep,” ungkap perempuan yang sejatinya punya nama lain itu.

Ibu dari empat orang anak ini, memang menggunakan nama “Rose” di belakang namanya untuk menunjukkan kegemarannya pada bunga mawar yang indah. Sebenarnya, ia punya nama asli Jenny Marcelina Laloan. Ayahnya berasal dari Menado, Sulawesi Utara. Sedangkan Ibunya masih berdarah Portugis. Pantas saja, wajah La Rose begitu Indo nan cantik, paduan Minahasa dan Eropa. Ayahnya bernama Gerson Laloan, sedang Ibunya, Souline.

Nama Rose punya kisah tersendiri. Nama itu ia ambil dari buku karya Kahlil Gibran, Sang Nabi. Salah satu puisi yang dimuat dalam buku itu mengisahkan bunga rose dan bunga violet. Bunga violet itu rendah, sedangkan bunga rose itu tinggi. Suatu kali bunga violet melihat bunga rose yang begitu tinggi dan ia ingin seperti bunga rose itu. Tapi, teman-temannya mengatakan, “Ah… untuk apa, sudah enak di bawah ini, kok kepengin yang tinggi,” tutur La Rose. Bunga rose pun kemudian menjawab, “Eh, hidup di atas ini nggak enak, banyak tantangannya,” kata sang mawar itu.

www.bukalapak.com
“Ah, kamu yang di atas ini ‘kok enak saja menasihati,” timpal bunga violet. Sejurus kemudian, bunga violet itu menjadi rose. Namun, baru lima menit menjadi rose, dia disambar petir dan mati layu. Kemudian teman-temannya bilang, “Nah, andai saja tadi kamu tidak jadi rose, tentu kamu masih hidup”.

“Tidak apa,” katanya. “Walau hanya lima menit, tapi saya dapat melihat dunia ini dengan mata yang lain. Bukan terus-terusan berada di bawah. Dunia ternyata begitu indah,” ungkap bunga violet. “Itulah kenapa saya memakai nama rose. Sebagai bunga, mungkin saya hidup sebentar, tetapi rose akan hidup selamanya. Sedangkan La, saya ambil dari Laloan,” kata La Rose.

Kenyataan, kini bintang tetap bersinar pada diri La Rose. Di usianya yang sudah memasuki senja, ia tetap sehat dan terus berkarya. Karya-karyanya yang jumlahnya lebih dari 80-an itu, baik fiksi maupun non fiksi masih dibicarakan dan dikagumi banyak orang. “Saya melihat anak-anak muda sekarang banyak yang sudah pikun,” sindir penulis buku “Pribadi Mempesona” yang pernah menjadi best seller tahun 1987 itu.


Domery Alpacino
Catatan: Pernah dimuat di majalah Firdaus

Tidak ada komentar:

Posting Komentar