Setelah menyaksikan banyak orang salat Jumat, ia memeluk Islam.
Memahami konsep zakat dan sedekah, ia menyisihkan sebagian hartanya untuk fakir
miskin dan anak yatim.
Pagi hari minggu ketiga setiap
bulan, puluhan jemaah memadati masjid Namira di Tebet Barat Dalam V, Jakarta
Selatan. Mereka mengikuti pengajian yang digelar oleh Majelis Taklim Al-Manthiq
pimpinan Dr. Bambang Sukamto -- yang menghimpun para mualaf, saudara
seiman yang baru memeluk Islam.
Seorang di antara mereka, yang hampir tak pernah absen selama beberapa
tahun terakhir, ialah Denny Daniel Rawis. Sejak enam tahun lalu, pemasok
alat-alat kedokteran ini memeluk Islam. Lelaki kelahiran Minahasa ini memang
rajin mendengarkan pengajian di beberapa masjid. Selain di Namira, ia juga
mengikuti pengajian di masjid Al-Barkah, tak jauh dari rumahnya di
bilangan Pancoran, Jakarta Selatan. Bahkan belakangan ia juga menjadi bendahara
di masjid itu.
Menurut
pengakuannya sendiri, sejak memeluk Islam rezekinya melimpah. Maka sebagai rasa
syukur, ia selalu mengeluarkan sedekah untuk fakir miskin dan anak-anak yatim.
Tampaknya Allah SWT berkenan membukakan rezeki dari sumber yang sama sekali
tidak terduga, sebagaimana termaktub dalam Al-Quran surah At-Thalaq:2-3 yang
intinya, Dan Ia membukakan rezeki baginya dari (sumber) yang tak
terduga-duga.
Setiap
Hari Raya Idul Adha ia juga berkurban dengan menyembelih beberapa ekor kambing.
“Setiap saat saya selalu mencoba bersedekah. Saya tidak pernah
menghitung-hitung berapa uang yang saya sedekahkan,” katanya. Kini ia sudah
mampu membangun rumah baru yang cukup besar, juga memiliki tanah ratusan meter
persegi di Bogor, Jawa Barat. Padahal, sebelum memeluk Islam ia hanya menumpang
di rumah mertua.
Lahir pada 7 Desember 1964 di Sendangan, Kawangkoan,
Minahasa, sekitar 40 kilometer dari Menado, ia anak sulung dari tiga bersaudara
pasangan M.F. Diky Rawis dan Betty Carly Moniung -- keluarga yang taat menganut
Kristen Pantekosta. Kakeknya dari garis ayah adalah seorang pendeta kenamaan di
Minahasa. Hampir 99 persen penduduk kampung Sendangan adalah pemeluk Kristen
Pantekosta. Tak heran, bila di masa kecilnya ia tak pernah mengenal satu masjid
pun. Sejak masa kanak-kanak, ia selalu ke gereja dan mengunjungi Sekolah Minggu
sebagaimana layaknya keluarga Nasrani.
Ketika Daniel berusia enam tahun keluarganya pindah ke
Jakarta. Di Jakarta, ayahandanya bekerja di Departmen Store Sarinah, Jalan
Thamrin, Jakarta Pusat, sementara keluarga tinggal di belakang bioskop
Jayakarta, tak jauh dari Sarinah. Di Jakarta, Daniel bersekolah di SD Katholik
Belarminus, Jalan Gereja Theresia, Jakarta Pusat.
Setiap Rabu pagi, sebelum masuk sekolah, bersama teman-temannya ia wajib
pergi ke sebuah gereja kecil yang disebut kapel. “Saya selalu diminta mengambil
air suci lalu berlutut dengan mengisyaratkan tanda salib di dada. Ketika itu
saya tidak tahu apa maksudnya,” tuturnya. Selanjutnya ia masuk SMP Negeri di
Perumnas Klender, lalu SMA 51 di Condet, Jakarta Timur.
Menjajakan Buku
Ketika belajar di SMA, ia sering bertanya dalam hati,
“Mengapa para perempuan Islam diharuskan mengenakan jilbab? Mengapa umat Islam
terkesan jorok dan malas? Mengapa dalam berdoa dan sembahyang selalu
menggunakan bahasa Arab?” Tapi, anehnya, selepas SMA dan bekerja menjadi sales
man buku dan kaset pelajaran bahasa asing di Gorontalo (1984-1990), ia
justru paling banyak menjajakan buku dan kaset pelajaran bahasa Arab. “Buku dan
kaset pelajaran bahasa Arab dan agama Islam paling laku,” katanya.
Awal 1991, ia kembali ke Jakarta. Kebetulan seorang
kenalan yang sering sama-sama ke gereja menawarinya untuk bekerja di sebuah
perusahaan alat-alat kedokteran. Maka ia pun bekerja di perusahaan ini sebagai
penjaja produk perusahaan tersebut. Pada 1994, seorang kenalan yang lain
menawari pekerjaan serupa di perusahaan lain. Ia pun pindah ke perusahaan
tersebut. Tapi, gara-gara memeluk Islam pada 1998, ia dipecat. Padahal ia
termasuk sales man yang cukup sukses.
Setelah memeluk Islam, ia mendirikan perusahaan sendiri,
CV Hasana Dara Mandiri, pemasok alat-alat kedokteran ke beberapa rumah sakit di
Jabotabek. Kini perusahaan tersebut berkembang pesat dengan sejumlah karyawan
yang hampir semuanya para tetangganya sendiri.
Sebelum memeluk Islam, ia in de cost di Bintara,
Kranji, Bekasi. Di sana ia sempat bergaul dengan anak-anak muda yang suka
minum-minuman keras dan mengisap ganja. Ia bahkan sempat satu kali tergoda ikut
mabuk-mabukan. Untung ia segera sadar. Untuk menghindari pergaulan dengan
anak-anak muda itu, setiap hari pagi-pagi buta ia sudah keluar rumah untuk
bekerja dan baru pulang baru setelah larut malam.
Tapi, di lain pihak, ia juga menyaksikan sebuah pemandangan yang sama
sekali lain. Setiap Jumat ia suka memperhatikan kaum muslimin
berbondong-bondong ke mesjid untuk salat Jumat. Tua, muda, anak-anak, kaya,
miskin, semua berbaur menjadi satu, sama sekali tidak ada perbedaan.
Wajah-wajah mereka tampak bersih, segar, ceria, bercahaya tapi juga teduh.
Mesjid pun penuh sesak. “Saat itu saya betul-betul terkesan. Saya melihat
tidak ada perbedaan antara kaya dan miskin, antara orang berpangkat dan orang
biasa. Mereka semua dalam barisan yang sama untuk salat. Saat itu rasanya saya
ingin salat bersama mereka, padahal tak seorang pun yang mempengaruhi saya,” tuturnya
Daniel berkaca-kaca.
Selama beberapa tahun ia mengamati kaum muslimin yang dengan khidmad dan
khusyuk salat Jumat. Bukan hanya mereka yang kaya, yang sedang-sedang bahkan
yang tampak sangat sederhana pun bersaf-saf melakukan sembahyang di mesjid. Tanpa
perbedaan. Sangat berbeda keadaannya dengan di gereja. “Ketika itu saya
sebenarnya ingin segera masuk Islam. Tapi mencari kesempatannya sangat susah,”
katanya.
Seiring dengan itu, ia juga mulai membanding-bandingkan
agamanya yang sejak kecil ia peluk dengan Islam. Ia mulai bertanya-tanya:
Mengapa dalam Al-Quran, Isa tidak disebut sebagai anak Tuhan tapi anak Maryam?
Mengapa dalam Al-Quran ada penegasan bahwa tidak layak bagi Allah mempunyai
anak? Padahal dalam Injil, Isa sendiri bersabda, “Sesungguhnya Allah adalah
Tuhanku dan Tuhanmu.”
Coba-coba
Dulu
Meyakini
bahwa Islam agama sempurna dan benar, tanpa membuang-buang waktu ia segera
menghubungi Yunaldi Irwan, teman sekantornya dan mengutarakan niatnya memeluk
Islam. Tapi, sebelumnya ia ingin mencoba dulu bagaimana rasanya jadi muslim;
kalau tidak nyaman, ia akan keluar lagi. “Bagaimana kira-kira kalau saya masuk
Islam? Bisakah saya coba-coba dulu?” tanyanya kepada Yunaldi Irwan.
“Kalau masuk Islam jangan pakai coba-coba, dong. Harus
yakin bahwa Islam adalah agama yang benar dan sempurna. Untuk itu, kamu harus
punya persiapan matang lebih dahulu,” jawab Yunaldi.
Di lain hari, ia bercerita kepada saudara-saudaranya
bahwa ia hendak memeluk Islam. Apa kata mereka? “Kamu mau masuk Islam, sudah
baca buku-buku tentang agama Islam apa belum? Jangan-jangan kamu mau masuk
Islam karena jatuh cinta kepada perempuan Islam?” kata mereka.
Daniel berusaha meyakinkan, bahwa ia masuk islam bukan
karena perempuan. “Kalau saya masuk Islam karena perempuan, lihat saja nanti
perilaku saya,” jawab Daniel. ATapi, karena merasa belum punya persiapan
matang, untuk sementara ia mengurungkan niatnya memeluk Islam. Beberapa bulan
setelah merasa mantap, ia kembali menemui Yunaldi, sahabatnya itu. “Kamu sudah
belajar banyak tentang Islam? Sudah siap untuk memeluk Islam?” tanya Yunaldi.
“Ya, saya sudah siap dan mantap,” jawab Daniel. Mendengar
jawaban sahabatnya itu, Yunaldi segera mencari informasi kepada tetangganya,
siapa yang pantas mengislamkan Daniel. Tetangganya menunjuk nama KH Ubaidillah
yang tinggal tak jauh dari kompleks perumahan Permata Hijau, Senayan, Jakarta
Selatan. Setelah ditanya mengenai kemantapannya masuk Islam, ia dianjurkan
untuk khitan terlebih dahulu (Padahal, seharusnya membaca dua kalimat syahadat
terlebih dahulu, baru belakangan dikhitan – Red).
Ia
pun pulang dan berniat untuk khitan. Tapi, ia tidak punya dana cukup untuk
keperluan tersebut. “Terus terang saya tidak punya uang sama sekali untuk
melaksanakan khitan,” keluhnya kepada Wawan, teman kerjanya yang lain. Tak
disangka, Wawan membantu semua biaya khitan dengan laser. Setelah sembuh,
bersama Ynaldi dan Wawan, ia menemui KH Ubaidillah. “Sebenarnya, orang masuk
Islam itu gampang. Kapan, di mana, dan siapapun bisa memeluk Islam asal
bersungguh-sungguh,” nasihat KH Ubaidillah.
Singkat cerita, pada bulan Maret 1998 Daniel mengucapkan
dua kalimat syahadat dengan dibimbing oleh KH Ubaidillah. Segera setelah itu ia
menerima ucapan selamat dari kedua sahabat yang menyaksikannya. Rasa haru,
lega, bercampur bahagia, lebur jadi satu. Tak terasa, ia berurai airmata. “Saya
lega dan terharu karena sudah boleh masuk ke dalam mushalla atau masjid,” ujar
Daniel berkaca-kaca lagi.
Sampai kini ia tetap menggunakan nama lengkapnya: Denny
Daniel Rawis. Sebab, menurut KH Ubaidillah, hal itu tidak jadi soal. Bahkan
sebaliknya bisa menjadi sarana dakwah: Denny Daniel Rawis adalah seorang
Minahasa yang muslim. Di rumah, ia bercerita kepada orangtuanya bahwa sudah
masuk Islam. Mereka tidak percaya, bahkan menganggap, Daniel bercanda.
Sejak menjadi muslim, ia selalu berusaha menolak secara
halus untuk makan bersama keluarga. Ia lebih nyaman makan sendiri di tempat cost.
“Saya khawatir kalau-kalau peralatan dapur yang mereka gunakan bekas untuk
mengolah makanan dari daging babi atau minyak babi. Sebab, keluarga kami kan
suka makan daging babi atau makanan lain yang dimasak dengan minyak babi,” ujar
Daniel.
Ibadah Haji
Lama
kelamaan keluarganya yakin bahwa Daniel benar-benar menjadi muslim. Maka,
setiap kali ia pulang ke rumah, orangtuanya selalu mengajak berdiskusi soal
agama. Merasa risih, Daniel berkata, “Saya datang ke rumah karena ingin senang.
Tapi, kalau setiap kali datang ke sini dimusuhi terus, saya tidak bakalan
datang lagi.”
Dalam pada itu, untuk lebih mendalami ajaran Islam, ia
pun membeli sejumlah buku mengenai Islam dan mempelajarinya. Dengan tekun dan
penuh gairah ia melahap buku-buku tersebut. Akhirnya, ia berhasil menemukan
simpul kebenaran yang khakiki. Konsep ketuhanan Islamlah yang benar: Allah itu
esa, tiada beranak, tidak diperanakkan, dan tak satu makhluk pun setara
dengan-Nya.
Sementara ia asyik mempelajari Islam, ia bertemu dengan
Nurhasanah, yang bekerja di bagian penjualan sebuah perusahaan leasing
di Jatinegara, Jakarta Timur. Ketika itu Daniel sedang membayar cicilan motor
Vespa. Setiap bulan ia bertemu dengan perempuan asli Betawi itu untuk membayar
cicilan Vespa. Suatu hari ia berkata kepada Nurhasanah: “Boleh dong, saya minta
diantar ke toko buku Walisongo untuk membeli buku-buku Islam.”
Nurhasanah kaget bukang kepalang. “Dia kan Kristen? Masak
minta antar saya ke toko buku Islam,” pikir Nurhasanah sebagaimana diceritakan
kembali oleh Daniel. Nurhasanah pun menolak. Tapi, pada kesempatan lain, ketika
Daniel memperbaiki motornya di kantor Nurhasanah, kebetulan hari itu Jumat. Ia
pamit sebentar kepada Nurhasanah karena akan salat Jumat. “Mbak, saya mau salat
Jumat dulu, ya?” katanya.
Sejak itu barulah Nurhasanah tahu bahwa Daniel
betul-betul sudah memeluk Islam. Maka, hubungan mereka pun semakin akrab, dan
kemudian berpacaran. Setiap malam Minggu dan Minggu pagi, Daniel belajar
mengaji kepada Nurhasanah. “Saya hanya punya satu niat, ingin belajar mengaji
sampai bisa. Entah keluarga Nurhasanah mau bicara apa, terserah,” katanya.
Belakangan ia juga mengikuti pengajian setiap malam Selasa di masjid Al-Barkah
di depan rumah Nurhasanah. Ia juga belajar salat kepada Nurhasanah, selain
membaca buku-buku tuntunan salat. “Mula-mula saya salat hanya pakai celana
pendek. Dan lucunya setiap rekaat saya duduk lebih dahulu,” kenang Daniel
sambil tertawa.
Beberapa minggu setelah bisa salat dengan cukup baik, ia salat di mushola
supermarket Atrium, Senen, Jakarta Pusat. Saat sedang khusyuk salat, ia merasa
didatangi seorang lelaki berjubah putih, dengan wajah bermandikan cahaya. Tapi,
sejurus kemudian lenyap. “Mungkin orang itu jin Islam atau Rasulullah, saya
tidak tahu. Saya bukannya grogi, sebaliknya malah semakin khusyuk,” tuturnya.
Pada bulan Nopember 1998, Daniel mengajak Nurhasanah
untuk menikah. Tapi, keluarga Nurhasanah, khususnya ibunda dan
saudara-saudaranya, sempat menolak. “Dia masuk Islam mungkin hanya pura-pura
saja. Setelah itu, dia akan balik kembali ke agamanya semula,” kata Daniel
menirukan ucapan ibunda Nurhasanah yang disampaikannya kepada anak perempuannya
itu. Untunglah, ayahanda Nurhasanah sudah yakin bahwa Daniel benar-benar sudah
masuk Islam. Maka pinangan pun lancar.
Setelah menikah, Daniel makin rajin beribadah. Ia pun
berniat merekrut para mualaf -- juga para penganggur yang beragama Islam –
untuk bekerja di kantornya. Dan kini, pasangan Daniel dan Nurhasanah hidup
dalam keluarga sakinah bersama dua anaknya yang masih balita. Katanya kepada Alkisah,
“Semoga beberapa tahun lagi saya bisa menunaikan ibadah haji yang pertama.”
Amin.
Domery Alpacino
Catatan: Pernah dimuat di majalah Islam
Alkisah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar