Laman

Selasa, 06 Januari 2004

Ilmuwan dengan Disertasi Luar Biasa

Prof Dr Zakiah Daradjat:

Ia adalah pemikir, psikolog, pendidik, mubalighah. Disertasinya mengenai psikoterapi model non-directive yang pertama di Indonesia.

RUMAH itu tak terlalu besar, berdiri di lahan seluas 150 M2. Warna temboknya putih susu berpadu biru keabu-abuan. Meski tanpa alat pendingin, rumah itu terasa sejuk, terletak di Kompleks Departemen Agama, Jalan Fatmawati, Jakarta Selatan. Di sanalah guru besar Universitas Islam Negeri Jakarta ini membuka praktik konsultasi psikologi selama 38 tahun.
Buka praktik sejak 1965, Zakiah tidak pernah menetapkan tarif. Bahkan dulu kerap pasien-pasiennya hanya membawa buah-buahan sebagai alat pembayar. Ia memang tak mau pasang tarif, karena banyak warga masyarakat yang tak mampu membayar. “Kan rezeki datangnya dari Allah,” kata psikolog yang buka praktik setiap hari sejak pukul 16.00 hingga 20.00 ini.

Di pagi hari ia masih aktif mengajar, baik di program S1 maupun program pascasarjana Universitas Islam Negeri Jakarta Syarif Hidayatullah (d/h IAIN). Sejak 1967 hingga kini ia mengajar psikologi agama meski mata kuliah itu bukan bidangnya. Ia adalah doktor ilmu psikologi dengan spesialisasi kesehatan mental. Meski begitu, ia mampu menyusun diktat psikologi agama yang kemudian diterbitkan sebagai buku oleh Penerbit Bulan Bintang dengan judul Ilmu Jiwa Agama.
Selain sebagai intelektual, Zakiah juga dikenal sebagai ulama. Ia tercatat sebagai satu-satunya perempuan yang menduduki posisi sebagai salah seorang ketua Majelis Ulama Indonesia periode 2002-2004. Sebagai muballighah, sekali-sekali ia diundang mengisi pengajian atau seminar di beberapa tempat. Tapi kini sudah mulai jarang, tidak seperti 20 tahun lalu. Dulu, setiap hari ia bisa dua tiga kali diundang mengisi pengajian atau seminar di berbagai tempat.
Pembawaan Zakiah sebagai muballighah yang bersuara lembut mulai dikenal sejak 1969 ketika ia rajin mengisi Kuliah Subuh di RRI Jakarta. Kala itu ia menggantikan Prof Hamka yang sedang berkunjung ke Aljazair. Sejak itu RRI minta dia mengisi beberapa acara seperti Pembinaan Keluarga (pukul 01:00 dinihari); Renungan Malam (02.00 dinihari); Pendidikan Budi Pekerti dan Hikmah Ramadhan.
Beberapa tahun kemudian, TVRI dan beberapa radio swasta memintanya mengisi acara keagamaan. Dan ketika beberapa televisi swasta muncul hingga beberapa tahun sesudahnya, ia masih sempat menyemarakkan acara kuliah subuh. Di usia menjelang 74 tahun, Zakiah masih memimpin Yayasan Pendidikan Islam Ruhama di Ciputat, Jakarta Selatan, tempat ia mencoba menerapkan pandangan yang mengaitkan agama dan kesehatan mental sebagai realisasi ide-ide besarnya.
Zakiah juga dikenal sebagai penulis yang produktif. Sampai kini, di sela-sela kesibukannya, ia masih menulis. Sudah banyak buku-buku mengenai agama dan kaitannya dengan kesehatan mental yang lahir dari tangannya. Misalnya, Shalat dan Kesehatan Mental; Puasa dan Kesehatan Mental; Zakat dan Kesehatan Mental, yang semuanya diterbitkan oleh Yayasan Ruhama.
Buku-buku Zakiah yang khusus membahas masalah kesehatan mental, di antaranya Agama dan Kesehatan Mental; Menghadapi Masa Menapause (Mendekati Usia Tua); Pendidikan Agama dalam Pembinaan Mental; Membina Nilai-nilai Moral di Indonesia; Pembinaan Jiwa/Mental; Kunci Kebahagiaan; Pembinaan Remaja; Pendidikan Orang Dewasa – semuanya diterbitkan oleh Penerbit Bulan Bintang, Jakarta.
Zakiah juga menerjemahkan buku dari bahasa Arab, seperti Ilmu Jiwa dan Pokok-pokok Kesehatan Jiwa, keduanya karangan Prof Dr Abdul Aziz al-Qudsy. Selain itu juga Kesehatan Jiwa dalam Keluarga, Sekolah, dan Masyarakat karya Prof Dr Musthafa Fahmi, dosen Zakiah di Universitas Eins Shams, Kairo. “Saya lebih senang menulis dan menerjemahkan buku tentang kesehatan mental ketimbang menulis otobiografi. Riwayat hidup saya bisa ditulis orang lain, sementara ilmu tentang kesehatan mental belum tentu bisa ditulis orang lain,” ujarnya.

Saling Pengertian

Zakiah memiliki pandangan khusus terhadap posisi perempuan dalam Islam. Ia mendudukkan perempuan pada posisi yang cukup tinggi. Menurutnya, perempuan boleh saja menjadi pemimpin, sebab tidak ada larangan baik dalam Alquran maupun hadist. “Hanya saja, hal itu tentu sepanjang suami mengizinkan dan sesuai kesepakatan. Yang tidak boleh ialah menjadi imam shalat bagi laki-laki dewasa,” kata Zakiah.
Mengenai lembaga perkawinan, pandangan Zakiah cukup demokratis: suami dan istri harus saling memiliki pengertian dan kesadaran akan adanya hak dan kewajiban yang seimbang. Dari situlah lahirnya rumahtangga yang bahagia. Menurut dia, Islam membolehkan perempuan mencari nafkah di luar rumah, karena di zaman Rasulullah tidak ada larangan; dan memang saat itu perempuan tidak ada yang bekerja di luar rumah. “Hanya ketika itu kodrat sebagai perempuan yang sudah menikah ialah sebagai ibu,” ungkap Zakiah.
Di mata Zakiah, saat ini banyak perempuan yang bekerja tidak semata-mata untuk mencari uang tapi untuk mengisi kesibukan. “Sekarang banyak perempuan yang pandai. Untuk memanfaatkan kepandaian itu mereka bekerja. Karena itu harus ada saling pengertian dengan suami. Usahakan jam kerja isteri sama atau tidak terpaut jauh dengan jam kerja suami sehingga mereka bisa ketemu di rumah,” tuturnya.
Zakiah menekankan, bagaimanapun seorang istri tidak boleh melawan suami -- sepanjang suami tidak melanggar ajaran agama. Bila perempuan bekerja di luar rumah, harus menyadari bahwa mereka adalah anggota keluarga. Mereka juga harus memahami kondisi dan psikologi sang suami. Sebaliknya, suami juga harus memberikan pengertian pada isterinya. “Kalau kesempatan bertemunya sebentar, lalu bertengkar, buat apa hidup berumah tangga? Dan semua persoalan rumah tangga hendaknya diselesaikan melalui musyawarah,” ujar Zakiah yang juga menulis buku Islam dan Peranan Wanita.
Berbagai hal tentang perempuan menjadi perhatian Zakiah, termasuk soal busana. Menurutnya, kini banyak muslimah tidak mengenakan busana yang tergolong sopan. Meski lelaki lebih senang memandang busana perempuan yang terbuka, sejatinya mereka lebih menghargai perempuan yang menutup aurat. Tapi, perempuan sendiri sepertinya ingin mendapat perhatian -- karena merasa penghargaan dan pendidikan yang diterimanya kurang. Karena tidak punya hal-hal yang dibanggakan untuk mempercantik diri, mereka lantas menonjolkan bagian-bagian tubuh lewat pakaian yang lebih terbuka.
Perempuan, menurut Zakiah, merupakan kunci utama keberhasilan dalam mendidik anak. Karena itu, perempuan dituntut menjadi contoh dan mendidik anak-anaknya berbuat yang serba baik. “Jika para ibu membiasakan anak-anak mereka berbuat baik, dan menjadi contoh berbuat baik, niscaya kemampuan pikir dan emosi, kecerdasan, dan pertumbuhan fisik anak-anak juga cepat berkembang baik. Sebaliknya, bila bapak ibunya sering bertengkar, anak-anak pun terbiasa ribut,” katanya.

Angin Baru Psikoanalisis

Zakiah lahir 6 November 1929 di Kampung Kotamerak, Kecamatan Ampek Angkek, Bukittinggi, Sumatera Barat. Ia adalah anak sulung dari 11 bersaudara pasangan Daradjat dan Rapiah. Ayahnya aktif dalam pergerakan Muhammadiyah, ibunya giat di Sarekat Islam. Sejak kecil ia sudah terbiasa menghadiri pengajian agama dan shalat berjamah di masjid. Tak sekadar hadir, sekali-sekali ia juga memberikan ceramah di majlis taklim.
Orang tua Zakiah mendidik anak-anaknya dengan lembut tapi tegas. Mereka tidak pernah memukul anak-anak. “Alhamdullillah, kekerasan itu tidak ada dalam keluarga saya,” tuturnya. Mula-mula, Zakiah kecil bercita-cita menjadi dokter. Apalagi nilai pelajaran berhitungnya di SD selalu sembilan. “Lucunya, ketika itu saya tidak tahu apa itu profesi dokter. Saya hanya berangan-angan, kelak setelah dewasa de-er di belakang nama saya, yang merupakan singkatan nama orangtua, akan saya pindahkan ke depan nama saya. Dan alhamdulillah, akhirnya semua terlaksana,” tutur Zakiah.
Seperti anak-anak keluarga muslim ketika itu, di pagi hari Zakiah belajar di SD Muhammadiyah dan sore harinya belajar Madrasah Diniyah. Lulus SMP, ia meninggalkan Padang Panjang untuk melanjutkan ke SMAA (Sekolah Menengah Atas Asisten Apoteker) di Bukittinggi. Tapi belakangan ia pindah ke SMA (Sekolah Menengah tingkat Atas). Sesekali ia “mencuri waktu” balik ke kampung halaman untuk mengikuti kulliyatul mubalilighah, kursus calon muballighah.
Setamat SMA pada 1950, ia ingin melanjutkan ke Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Namun, karena teman-temannya bilang buku pelajaran di fakultas kedokteran banyak yang berbahasa Jerman, Zakiah mengurungkan niatnya. Ia pun lalu mendaftar ke Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) di Yogyakarta; sekalian kuliah di Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII), di kota yang sama.
Sebagai mahasiswa berprestasi, pada 1964 ia berhasil mendapat ikatan dinas dari Departemen Agama. Dialah satu-satunya perempuan di antara sejumlah mahasiswa laki-laki yang berangkat kuliah di Universitas Eins Shams, Kairo, universitas umum ternama kedua di Mesir.
Selama kuliah, ada satu hal yang sangat mendukung: para dosen dan teman-temannya begitu ramah. Meski ketika itu Zakiah belum menguasai benar bahasa Arab, mereka menerima kehadiran Zakiah dengan senang. Di sana Zakiah mengambil diploma pascasarjana sebelum melanjutkan ke program pascasarjana. Ia lulus dengan spesialisasi pendidikan. Setelah empat tahun, ia menggondol gelar MA dengan tesis Problema Remaja di Indonesia, dengan spesialisasi psiko-hygiene. Dari 10 mahasiswa Indonesia, dialah yang pertama kali lulus.
Ketika mengikuti kuliah S2, Zakiah dilibatkan oleh universitas untuk mengelola klinik psikologi di kampus, bahkan ia juga mendapat satu ruangan khusus. Kalau selama kuliah ia menyukai mata kuliah pendidikan, mungkin karena pengaruh keluarga ayahnya. Ada lima orang dari keluarga ayahnya yang menjadi guru. “Ketika itu saya tidak berpikir jauh, misalnya untuk mencerdaskan bangsa. Yang penting bisa pulang membawa ijasah dan tidak bikin malu keluarga. Itu sebabnya, dengan niat itu saya rajin belajar,” tuturnya.
Usai tamat S2, ia ditawari mengambil S3 di universitas yang sama sambil bekerja di Kedutaan Besar RI di Kairo sebagai pegawai tidak tetap bidang kebudayaan. Tujuh bulan bekerja di KBRI, ia mengajar Bahasa Indonesia di Sekolah Tinggi Bahasa di Kairo. Belakangan ada beberapa muridnya yang bekerja sebagai diplomat di Indonesia.
Ketika itu ia memperoleh gaji sekitar 55 pound Mesir. Saat itu 1 pound Mesir senilai 3-4 dollar AS. Dengan gaji sebesar itu ia sudah bisa hidup nyaman dan membeli sejumlah buku. Bahkan ia bisa menabung untuk mengunjungi negara-negara Arab seperti Syria, Yordania, Irak, Iran, Palestina. Tentu saja ia juga menyempatkan diri untuk menunaikan ibadah haji. Bukan hanya itu, ia bahkan juga mampu mendatangkan kedua orangtuanya ke Mesir sekaligus menunaikan ibadah haji. “Mereka naik kapal, dan tinggal di Mesir selama satu tahun,” cerita Zakiah.
Pada 1964 ia lulus S3 dan menggondol gelar doktor. Disertasinya mengenai psikoterapi model non-directive dengan fokus psikoterapi bagi anak-anak bermasalah di Mesir sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berjudul Perawatan Jiwa Anak. Ketika Zakiah mengajukan disertasi, universitas dan dosen pembimbingnya sangat mendukung karena saat itu perkembangan psikologi di Mesir, bahkan mungkin juga di seluruh dunia, masih didominasi oleh psikoanalisis Sigmund Freud.
Zakiah ternyata membawa angin baru. Dari ratusan pasien yang ia peroleh dari berbagai pelosok di Mesir, yang relevan hanya 15 orang. “Yang perlu dicatat, saya adalah perintis atau pengembang teori non-directive di Mesir,” katanya. Dan barangkali juga yang pertama di Indonesia. Sayang, ia tak bisa membawa semua bahan penelitiannya ke Indonesia. Para dosen pembimbingnya minta semua bahan – yang data komparasinya lebih dari dua meter – supaya ditinggal di Mesir karena mereka membutuhkannya.

Seperti “Dipasung”

Di Indonesia sendiri sampai kini psikoterapi model non-directive masih kurang berkembang. Padahal, menurut Zakiah, model non-directive sangat relevan dengan ajaran Islam. Dalam psikoterapi model non-directive, tidak ada pengarahan untuk pasien, sementara Islam adalah agama yang tidak diarahkan. Metodenya ialah memberi kesempatan pasien mengungkapkan diri secara bebas, sehingga terjadi pembinaan oleh diri sendiri. Pasien diharapkan menjawab pertanyaan dengan jujur, sehingga mereka mendapat manfaat dalam hal pengembangan diri. “Islam kan juga agama yang dikerjakan secara suka rela, tanpa paksaan. Seorang muslim mengerjakan shalat, puasa, dan sebagainya karena kesadaran, bukan paksaan,” kata Zakiah.
Tapi sampai di tanahair, Zakiah merasa seperti “dipasung” oleh Departemen Agama. Ia disuruh mengajar psikologi agama di IAIN, bukannya bidang studi non-directive. Bisa dimaklum, sebab ketika itu memang belum ada mata kuliah non-directive. Ia sudah minta agar pemerintah membuka mata kuliah tersebut, tapi hingga kini tak berhasil. “Di Indonesia model non-directive tidak berkembang, mungkin karena orang belum tahu, atau saya tak punya partner. Selain itu, ada image yang berkembang, orang yang belajar di Timur Tengah pasti belajar ilmu agama. Padahal saya doktor psikologi, bukan doktor agama,” kata Zakiah dengan tenang.
            Sampai di tanahair, sejumlah perguruan tinggi “meminang” Zakiah untuk menjadi mahaguru. Misalnya, IAIN Yogyakarta, IAIN Padang, IAIN Palembang. Bakhirnya ia ditugaskan di Departemen Agama – dengan pertimbangan agar ia bisa menjadi dosen keliling di beberapa universitas. Selain mengajar, Zakiah mendapat tugas tambahan mempraktekkan keahliannya. Ia mendapat ruangan khusus untuk membuka praktek psikologi, khusus bagi karyawan Departemen Agama. Dan pada 1965 ia membuka praktek di rumah sampai kini.
Pada 1967 ia diangkat oleh Menteri Agama sebagai Kepala Dinas Penelitian dan Kurikulum Perguruan Tinggi di Biro Perguruan Tinggi dan Pesantren Luhur. Dan lima tahun kemudian ia diangkat sebagai Direktur di Direktorat Pendidikan Agama (1977-1982). Selepas dari jabatan tersebut, ia diangkat sebagai Dekan Fakultas Pascasarjana dan Pendidikan Doktoral IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (1984-1992). Dan bersamaan dengan itu ia dikukuhkan sebagai guru besar bidang ilmu jiwa agama.
Zakiah Daradjat adalah perempuan ilmuwan Indonesia yang berprestasi. Bidang penelitiannya – yang antara lain mengkritik teori psikoanalisis Sigmund Freud yang memandang penting faktor libido seksualitas  – merupakan karya ilmiah yang luar biasa. Nah, siapa yang siap mewarisi dan melanjutkan prestasi hebat itu?

Domery Alpacino
Catatan: Pernah dimuat di majalah Islam Alkisah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar