Prof Dr Zakiah Daradjat:
Ia adalah pemikir, psikolog,
pendidik, mubalighah. Disertasinya mengenai psikoterapi model non-directive
yang pertama di Indonesia.
RUMAH itu tak
terlalu besar, berdiri di lahan seluas 150 M2. Warna temboknya putih susu
berpadu biru keabu-abuan. Meski tanpa alat pendingin, rumah itu terasa sejuk,
terletak di Kompleks Departemen Agama, Jalan Fatmawati, Jakarta Selatan. Di
sanalah guru besar Universitas Islam Negeri Jakarta ini membuka praktik konsultasi
psikologi selama 38 tahun.
Buka praktik sejak 1965, Zakiah tidak pernah menetapkan tarif. Bahkan dulu
kerap pasien-pasiennya hanya membawa buah-buahan sebagai alat pembayar. Ia
memang tak mau pasang tarif, karena banyak warga masyarakat yang tak mampu
membayar. “Kan rezeki datangnya dari Allah,” kata psikolog yang buka praktik
setiap hari sejak pukul 16.00 hingga 20.00 ini.
Di pagi hari ia masih aktif mengajar, baik di program S1 maupun program
pascasarjana Universitas Islam Negeri Jakarta Syarif Hidayatullah (d/h IAIN).
Sejak 1967 hingga kini ia mengajar psikologi agama meski mata kuliah itu bukan
bidangnya. Ia adalah doktor ilmu psikologi dengan spesialisasi kesehatan
mental. Meski begitu, ia mampu menyusun diktat psikologi agama yang kemudian diterbitkan
sebagai buku oleh Penerbit Bulan Bintang dengan judul Ilmu Jiwa Agama.
Selain sebagai intelektual, Zakiah juga dikenal sebagai ulama. Ia tercatat
sebagai satu-satunya perempuan yang menduduki posisi sebagai salah seorang
ketua Majelis Ulama Indonesia periode 2002-2004. Sebagai muballighah,
sekali-sekali ia diundang mengisi pengajian atau seminar di beberapa tempat.
Tapi kini sudah mulai jarang, tidak seperti 20 tahun lalu. Dulu, setiap hari ia
bisa dua tiga kali diundang mengisi pengajian atau seminar di berbagai tempat.
Pembawaan Zakiah sebagai muballighah yang bersuara lembut mulai dikenal
sejak 1969 ketika ia rajin mengisi Kuliah
Subuh di RRI Jakarta. Kala itu ia menggantikan Prof Hamka yang sedang
berkunjung ke Aljazair. Sejak itu RRI minta dia mengisi beberapa acara seperti Pembinaan Keluarga (pukul 01:00
dinihari); Renungan Malam (02.00
dinihari); Pendidikan Budi Pekerti
dan Hikmah Ramadhan.”
Beberapa tahun kemudian, TVRI dan beberapa radio swasta memintanya mengisi
acara keagamaan. Dan ketika beberapa televisi swasta muncul hingga beberapa
tahun sesudahnya, ia masih sempat menyemarakkan acara kuliah subuh. Di usia
menjelang 74 tahun, Zakiah masih memimpin Yayasan Pendidikan Islam Ruhama di
Ciputat, Jakarta Selatan, tempat ia mencoba menerapkan pandangan yang
mengaitkan agama dan kesehatan mental sebagai realisasi ide-ide besarnya.
Zakiah juga dikenal sebagai penulis yang produktif. Sampai kini, di
sela-sela kesibukannya, ia masih menulis. Sudah banyak buku-buku mengenai agama
dan kaitannya dengan kesehatan mental yang lahir dari tangannya. Misalnya, Shalat dan Kesehatan Mental; Puasa dan
Kesehatan Mental; Zakat dan Kesehatan
Mental, yang semuanya diterbitkan oleh Yayasan Ruhama.
Buku-buku Zakiah yang khusus membahas masalah kesehatan mental, di
antaranya Agama dan Kesehatan Mental;
Menghadapi Masa Menapause (Mendekati Usia Tua); Pendidikan Agama dalam
Pembinaan Mental; Membina Nilai-nilai Moral di Indonesia; Pembinaan
Jiwa/Mental; Kunci Kebahagiaan; Pembinaan Remaja; Pendidikan Orang Dewasa –
semuanya diterbitkan oleh Penerbit Bulan Bintang, Jakarta.
Zakiah juga menerjemahkan buku dari bahasa Arab, seperti Ilmu Jiwa dan Pokok-pokok Kesehatan Jiwa, keduanya karangan Prof Dr Abdul Aziz
al-Qudsy. Selain itu juga Kesehatan Jiwa
dalam Keluarga, Sekolah, dan Masyarakat karya Prof Dr Musthafa Fahmi, dosen
Zakiah di Universitas Eins Shams, Kairo. “Saya lebih senang menulis dan
menerjemahkan buku tentang kesehatan mental ketimbang menulis otobiografi.
Riwayat hidup saya bisa ditulis orang lain, sementara ilmu tentang kesehatan
mental belum tentu bisa ditulis orang lain,” ujarnya.
Saling Pengertian
Zakiah memiliki pandangan khusus terhadap posisi perempuan dalam Islam. Ia
mendudukkan perempuan pada posisi yang cukup tinggi. Menurutnya, perempuan
boleh saja menjadi pemimpin, sebab tidak ada larangan baik dalam Alquran maupun
hadist. “Hanya saja, hal itu tentu sepanjang suami mengizinkan dan sesuai
kesepakatan. Yang tidak boleh ialah menjadi imam shalat bagi laki-laki dewasa,”
kata Zakiah.
Mengenai lembaga perkawinan, pandangan Zakiah cukup demokratis: suami dan
istri harus saling memiliki pengertian dan kesadaran akan adanya hak dan
kewajiban yang seimbang. Dari situlah lahirnya rumahtangga yang bahagia.
Menurut dia, Islam membolehkan perempuan mencari nafkah di luar rumah, karena
di zaman Rasulullah tidak ada larangan; dan memang saat itu perempuan tidak ada
yang bekerja di luar rumah. “Hanya ketika itu kodrat sebagai perempuan yang
sudah menikah ialah sebagai ibu,” ungkap Zakiah.
Di mata Zakiah, saat ini banyak perempuan yang bekerja tidak semata-mata
untuk mencari uang tapi untuk mengisi kesibukan. “Sekarang banyak perempuan
yang pandai. Untuk memanfaatkan kepandaian itu mereka bekerja. Karena itu harus
ada saling pengertian dengan suami. Usahakan jam kerja isteri sama atau tidak
terpaut jauh dengan jam kerja suami sehingga mereka bisa ketemu di rumah,”
tuturnya.
Zakiah menekankan, bagaimanapun seorang istri tidak boleh melawan suami --
sepanjang suami tidak melanggar ajaran agama. Bila perempuan bekerja di luar
rumah, harus menyadari bahwa mereka adalah anggota keluarga. Mereka juga harus
memahami kondisi dan psikologi sang suami. Sebaliknya, suami juga harus
memberikan pengertian pada isterinya. “Kalau kesempatan bertemunya sebentar,
lalu bertengkar, buat apa hidup berumah tangga? Dan semua persoalan rumah
tangga hendaknya diselesaikan melalui musyawarah,” ujar Zakiah yang juga
menulis buku Islam dan Peranan Wanita.
Berbagai hal tentang perempuan menjadi perhatian Zakiah, termasuk soal
busana. Menurutnya, kini banyak muslimah tidak mengenakan busana yang tergolong
sopan. Meski lelaki lebih senang memandang busana perempuan yang terbuka,
sejatinya mereka lebih menghargai perempuan yang menutup aurat. Tapi, perempuan
sendiri sepertinya ingin mendapat perhatian -- karena merasa penghargaan dan
pendidikan yang diterimanya kurang. Karena tidak punya hal-hal yang dibanggakan
untuk mempercantik diri, mereka lantas menonjolkan bagian-bagian tubuh lewat
pakaian yang lebih terbuka.
Perempuan, menurut Zakiah, merupakan kunci utama keberhasilan dalam
mendidik anak. Karena itu, perempuan dituntut menjadi contoh dan mendidik
anak-anaknya berbuat yang serba baik. “Jika para ibu membiasakan anak-anak
mereka berbuat baik, dan menjadi contoh berbuat baik, niscaya kemampuan pikir dan
emosi, kecerdasan, dan pertumbuhan fisik anak-anak juga cepat berkembang baik.
Sebaliknya, bila bapak ibunya sering bertengkar, anak-anak pun terbiasa ribut,”
katanya.
Angin Baru Psikoanalisis
Zakiah lahir 6 November 1929 di Kampung Kotamerak, Kecamatan Ampek Angkek,
Bukittinggi, Sumatera Barat. Ia adalah anak sulung dari 11 bersaudara pasangan
Daradjat dan Rapiah. Ayahnya aktif dalam pergerakan Muhammadiyah, ibunya giat
di Sarekat Islam. Sejak kecil ia sudah terbiasa menghadiri pengajian agama dan
shalat berjamah di masjid. Tak sekadar hadir, sekali-sekali ia juga memberikan
ceramah di majlis taklim.
Orang tua Zakiah mendidik anak-anaknya dengan lembut tapi tegas. Mereka
tidak pernah memukul anak-anak. “Alhamdullillah,
kekerasan itu tidak ada dalam keluarga saya,” tuturnya. Mula-mula, Zakiah kecil
bercita-cita menjadi dokter. Apalagi nilai pelajaran berhitungnya di SD selalu
sembilan. “Lucunya, ketika itu saya tidak tahu apa itu profesi dokter. Saya
hanya berangan-angan, kelak setelah dewasa de-er di belakang nama saya,
yang merupakan singkatan nama orangtua, akan saya pindahkan ke depan nama saya.
Dan alhamdulillah, akhirnya semua
terlaksana,” tutur Zakiah.
Seperti anak-anak keluarga muslim ketika itu, di pagi hari Zakiah belajar
di SD Muhammadiyah dan sore harinya belajar Madrasah Diniyah. Lulus SMP, ia
meninggalkan Padang Panjang untuk melanjutkan ke SMAA (Sekolah Menengah Atas
Asisten Apoteker) di Bukittinggi. Tapi belakangan ia pindah ke SMA (Sekolah
Menengah tingkat Atas). Sesekali ia “mencuri waktu” balik ke kampung halaman
untuk mengikuti kulliyatul mubalilighah,
kursus calon muballighah.
Setamat SMA pada 1950, ia ingin melanjutkan ke Fakultas Kedokteran
Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Namun, karena teman-temannya bilang buku
pelajaran di fakultas kedokteran banyak yang berbahasa Jerman, Zakiah
mengurungkan niatnya. Ia pun lalu mendaftar ke Perguruan Tinggi Agama Islam
Negeri (PTAIN) di Yogyakarta; sekalian kuliah di Fakultas Hukum Universitas
Islam Indonesia (UII), di kota yang sama.
Sebagai mahasiswa berprestasi, pada 1964 ia berhasil mendapat ikatan dinas
dari Departemen Agama. Dialah satu-satunya perempuan di antara sejumlah
mahasiswa laki-laki yang berangkat kuliah di Universitas Eins Shams, Kairo,
universitas umum ternama kedua di Mesir.
Selama kuliah, ada satu hal yang sangat mendukung: para dosen dan
teman-temannya begitu ramah. Meski ketika itu Zakiah belum menguasai benar
bahasa Arab, mereka menerima kehadiran Zakiah dengan senang. Di sana Zakiah
mengambil diploma pascasarjana sebelum melanjutkan ke program pascasarjana. Ia
lulus dengan spesialisasi pendidikan. Setelah empat tahun, ia menggondol gelar
MA dengan tesis Problema Remaja di
Indonesia, dengan spesialisasi psiko-hygiene. Dari 10 mahasiswa Indonesia,
dialah yang pertama kali lulus.
Ketika mengikuti kuliah S2, Zakiah dilibatkan oleh universitas untuk
mengelola klinik psikologi di kampus, bahkan ia juga mendapat satu ruangan
khusus. Kalau selama kuliah ia menyukai mata kuliah pendidikan, mungkin karena
pengaruh keluarga ayahnya. Ada lima orang dari keluarga ayahnya yang menjadi
guru. “Ketika itu saya tidak berpikir jauh, misalnya untuk mencerdaskan bangsa.
Yang penting bisa pulang membawa ijasah dan tidak bikin malu keluarga. Itu
sebabnya, dengan niat itu saya rajin belajar,” tuturnya.
Usai tamat S2, ia ditawari mengambil S3 di universitas yang sama sambil
bekerja di Kedutaan Besar RI di Kairo sebagai pegawai tidak tetap bidang
kebudayaan. Tujuh bulan bekerja di KBRI, ia mengajar Bahasa Indonesia di
Sekolah Tinggi Bahasa di Kairo. Belakangan ada beberapa muridnya yang bekerja
sebagai diplomat di Indonesia.
Ketika itu ia memperoleh gaji sekitar 55 pound Mesir. Saat itu 1 pound
Mesir senilai 3-4 dollar AS. Dengan gaji sebesar itu ia sudah bisa hidup nyaman
dan membeli sejumlah buku. Bahkan ia bisa menabung untuk mengunjungi
negara-negara Arab seperti Syria, Yordania, Irak, Iran, Palestina. Tentu saja
ia juga menyempatkan diri untuk menunaikan ibadah haji. Bukan hanya itu, ia
bahkan juga mampu mendatangkan kedua orangtuanya ke Mesir sekaligus menunaikan
ibadah haji. “Mereka naik kapal, dan tinggal di Mesir selama satu tahun,”
cerita Zakiah.
Pada 1964 ia lulus S3 dan menggondol gelar doktor. Disertasinya mengenai
psikoterapi model non-directive dengan fokus psikoterapi bagi anak-anak
bermasalah di Mesir sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berjudul Perawatan Jiwa Anak. Ketika Zakiah
mengajukan disertasi, universitas dan dosen pembimbingnya sangat mendukung
karena saat itu perkembangan psikologi di Mesir, bahkan mungkin juga di seluruh
dunia, masih didominasi oleh psikoanalisis Sigmund Freud.
Zakiah ternyata membawa angin baru. Dari ratusan pasien yang ia peroleh
dari berbagai pelosok di Mesir, yang relevan hanya 15 orang. “Yang perlu
dicatat, saya adalah perintis atau pengembang teori non-directive di
Mesir,” katanya. Dan barangkali juga yang pertama di Indonesia. Sayang, ia tak
bisa membawa semua bahan penelitiannya ke Indonesia. Para dosen pembimbingnya
minta semua bahan – yang data komparasinya lebih dari dua meter – supaya ditinggal
di Mesir karena mereka membutuhkannya.
Seperti
“Dipasung”
Di Indonesia sendiri sampai kini psikoterapi model non-directive
masih kurang berkembang. Padahal, menurut Zakiah, model non-directive
sangat relevan dengan ajaran Islam. Dalam psikoterapi model non-directive,
tidak ada pengarahan untuk pasien, sementara Islam adalah agama yang tidak
diarahkan. Metodenya ialah memberi kesempatan pasien mengungkapkan diri secara
bebas, sehingga terjadi pembinaan oleh diri sendiri. Pasien diharapkan menjawab
pertanyaan dengan jujur, sehingga mereka mendapat manfaat dalam hal
pengembangan diri. “Islam kan juga agama yang dikerjakan secara suka rela,
tanpa paksaan. Seorang muslim mengerjakan shalat, puasa, dan sebagainya karena
kesadaran, bukan paksaan,” kata Zakiah.
Tapi sampai di tanahair, Zakiah merasa seperti “dipasung” oleh Departemen
Agama. Ia disuruh mengajar psikologi agama di IAIN, bukannya bidang studi non-directive.
Bisa dimaklum, sebab ketika itu memang belum ada mata kuliah non-directive. Ia sudah minta agar
pemerintah membuka mata kuliah tersebut, tapi hingga kini tak berhasil. “Di
Indonesia model non-directive tidak berkembang, mungkin karena orang
belum tahu, atau saya tak punya partner.
Selain itu, ada image yang berkembang, orang yang belajar di Timur
Tengah pasti belajar ilmu agama. Padahal saya doktor psikologi, bukan doktor
agama,” kata Zakiah dengan tenang.
Sampai di tanahair,
sejumlah perguruan tinggi “meminang” Zakiah untuk menjadi mahaguru. Misalnya,
IAIN Yogyakarta, IAIN Padang, IAIN Palembang. Bakhirnya ia ditugaskan di
Departemen Agama – dengan pertimbangan agar ia bisa menjadi dosen keliling di
beberapa universitas. Selain mengajar, Zakiah mendapat tugas tambahan
mempraktekkan keahliannya. Ia mendapat ruangan khusus untuk membuka praktek psikologi,
khusus bagi karyawan Departemen Agama. Dan pada 1965 ia membuka praktek di
rumah sampai kini.
Pada 1967 ia diangkat oleh Menteri Agama sebagai Kepala Dinas Penelitian
dan Kurikulum Perguruan Tinggi di Biro Perguruan Tinggi dan Pesantren Luhur.
Dan lima tahun kemudian ia diangkat sebagai Direktur di Direktorat Pendidikan
Agama (1977-1982). Selepas dari jabatan tersebut, ia diangkat sebagai Dekan
Fakultas Pascasarjana dan Pendidikan Doktoral IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
(1984-1992). Dan bersamaan dengan itu ia dikukuhkan sebagai guru besar bidang
ilmu jiwa agama.
Zakiah Daradjat adalah perempuan ilmuwan Indonesia yang berprestasi. Bidang
penelitiannya – yang antara lain mengkritik teori psikoanalisis Sigmund Freud
yang memandang penting faktor libido seksualitas – merupakan karya ilmiah yang luar biasa.
Nah, siapa yang siap mewarisi dan melanjutkan prestasi hebat itu?
Domery Alpacino
Catatan: Pernah dimuat di majalah Islam Alkisah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar