Ia menegakkan amar makruf nahi mungkar di Mesir yang dikuasai imperialis
Inggris. Aroma perjuangannya terus menebar di pelbagai belahan dunia.
antiliberalnews.com |
Para pengamat menyejajarkan Al-Banna dengan Muhammad Abduh, bagai satu
badan dan ruh. Bila Abduh yang lebih senior dianggap sebagai kepala, Al-Banna
sebagai ekornya. Bila Abduh sebagai otak, Al-Banna sebagai penggerak
kebangkitan perjuangan umat Islam internasional. Keduanya memang tidak berada
dalam satu kurun waktu, namun pemikiran dan visi keduanya berada dalam tujuan
yang sama.
Al-Banna telah mengejutkan Mesir, dunia Arab, dan dunia Islam lewat dakwah,
kaderisasi, serta jihad yang luar biasa. Di dalamnya terdapat pemikiran yang
brilian, daya nalar yang terang menyala, perasaan bergelora, hati yang penuh
limpahan berkah, jiwa yang dinamis nan cemerlang, dan lidah yang tajam lagi
berkesan.
Lewat tulisannya yang lembut, Al-Banna menghidupkan kembali Al-Quran di
tanah Arab dan umat dunia. Hal itu tampak jelas pada jejak langkahnya. Ia
berhasil menyurutkan deburan ombak materialisme yang merajai laut kehidupan.
Sementara, barisan generasi baru, pelopor kebangkitan berada di sampingnya.
Hasan Al-Banna lahir pada 1906 di desa Mahmudiyah, kawasan Al-Buhairah, Mesir.
Ayahnya, Syekh Ahmad Abdurrahman Al-Banna, adalah ulama fikih dan hadis meski
sehari-hari sibuk sebagai tukang jam dan penjilid buku (As-Sa’atiy).
Sejak kecil, Al-Banna telah menunjukkan tanda-tanda sebagai orang cerdas.
Di usia 12 tahun, ia mampu menghafal separuh isi Al-Quran. Ia juga mampu
membaca buku-buku berat di perpustakaan pribadi ayahnya, seperti Al-Kutub
AS-Sittah, Muwaththa Malik, Musnad Asy-Syafi’iy dan beberapa buku karangan
ayahnya. Pada usia 14 tahun, Al-Banna mampu menghafal seluruh Al-Quran.
Pendidikannya bermula di Madrasah Mahmudiyah, Madrasah Al-Mualimin di
Damanhur, Universitas Daar Al-Uluum di Kairo. Usia 21, ia menjadi guru SD
Al-Isma’iliyah di wilayah Suez setelah lulus dari Daar Al-Uluum. Kelak, di
tempat inilah ia menggagas terbentuknya Al-Ikhwan Al-Muslimun (IM). Di setiap
jenjang pendidikan, ia tidak hanya cerdas dalam menimba ilmu, tapi juga cekatan
dalam berorganisasi.
Lima Terbaik
www.eramuslim.com |
Hari-harinya dilewati dengan penuh kegiatan. Sepulang dari madrasah, ia
membantu ayahnya sebagai tukang jam sampai sore. Kelak, hal itu sangat
mempengaruhi dalam ketelititian, sabar, dan disiplin. Menjelang tidur,
dimanfaatkan untuk mengulang pelajaran sekolah. Sementara, membaca dan
mengulang hafalan Al-Quran dilakukan seusai salat Subuh. Tidak mengherankan,
jika ia mampu menghafal seluruh isi Al-Quran dengan cepat dan lulus dengan
predikat terbaik dan “lima terbaik” di tingkat Nasional.
Sebagai remaja, Al-Banna sangat prihatin dengan kelakuan penjajah Inggris
yang memperbudak bangsanya. Benaknya dijejali berbagai persoalan besar dan
serius yang menimpa negerinya, seperti krisis ruhani, mental, sosial, ekonomi
dan lain-lain. Saat itu khalifah Utsmaniyah di Turki sebagai pengayom umat
Islam di seluruh dunia mengalami keruntuhan. Kemal Attaturk memberangus ajaran
Islam di Turki.
Untuk
mencari solusi hal-hal tersebut, Hasan sering menemui para ulama dan tokoh
masyarakat. Namun, hanya sedikit yang memberi respons positif. Di lain pihak,
Hasan merasa punya kemampuan untuk berbuat sesuatu. Oleh karena itu, Al-Banna kemudian
bergabung dengan halakah zikir sebelum pada akhirnya bergerak ke bidang dakwah.
Ia menggalang sekelompok orang dan berdakwah di
kedai-kedai kopi dua minggu sekali dengan menggunakan metode ceramah dan
diskusi tentang persoalan-persoalan Islam. Dakwahnya dalam waktu singkat
mendapat sambutan sangat luas baik dari kaum buruh, petani, usahawan, ilmuwan,
ulama, maupun praktisi. Puncaknya terjadi pada 1928, saat Hasan mengumumkan
berdirinya organisasi Al-Ikhwan Al-Muslimun (IM) yang merangkum para pengemudi,
tukang cukur, penjahit, dan tukang kayu.
Dalam waktu singkat, pengikutnya bertambah luas dan makin leluasa untuk
mendiskusikan masalah-masalah Islam dan tantangan serta mengenalkan
sumber-sumber kekuatan dan pemberdayaan potensi tersebut.
Ia lebih suka menggunakan frasa atau kelompok kata “wahai umat manusia”
daripada “wahai kaum muslimin”. Hal itu mengacu pada nilai-nilai universal
sehingga masalah jarak tidak lagi jadi kendala. Kecintaannya pada nilai-nilai
kemanusiaan dan komitmennya pada ukhuwah Islamiah, mendorong Al-Banna
mendirikan dan memimpin Komite Solidaritas bagi kemerdekaan Indonesia.
Setelah opini publik dan sumber-sumber kekuatan, dari bawah hingga atas, terbentuk,
Hasan memindahkan gerakannya dari kota Ismailiah ke Kairo, sambil melanjutkan
kuliah di Universitas Daar Al-Uluum pada 1933.
Saat itu, bertepatan dengan memanasnya suhu politik dan pemikiran yang
mengubah Mesir. Umat Islam sedang mengalami keguncangan hebat. Al-Banna memandang
fenomena itu dengan kacamata orang kampung yang taat beragama dan mencari
solusinya.
Dua kelompok di Kairo yang dihubungi Hasan untuk
menggalang kekuatan Islam tidak memberikan sambutan yang memuaskan, yaitu
Thariqat Hushafiah dan Jamiah Makarim Al-Akhlaq Al-Islamiyah. Padahal, ancaman
yang dihadapi umat Islam Mesir telah menimbulkan kesenjangan antara kaum
muslimin dan akidah Islam beserta ajarannya.
Hasan kemudian mengorganisir sekelompok mahasiswa Universitas Al-Azhar dan
Daar Ulum guna menyelenggarakan pelatihan dakwah – tugas penyadaran dan pembumian
ajaran Islam – di tengah masyarakat. Beberapa lama kemudian, kader-kader ini
dapat melakukan kegiatan-kegiatan dakwah di masjid-masjid untuk kemudian
dilanjutkan di tempat-tempat umum secara langsung berinteraksi dengan rakyat
untuk memperkokoh idealisme Islam dan menyebarluaskannya.
Untuk menyosialisasikan pemikiran dan gerakan
dakwahnya, pada 1933, Hasan menerbitkan mingguan Al-Ikhwan Al-Muslimun
bersama Thanthawi Jauhari dan Muhibuddin Khatib. Ia juga menerbitkan An-Nadzir
dan At-Ta’aruf pada 1938
dan harian Al-Ikhwan pada 1946. Di samping itu, ia juga
menjadi pemimpin redaksi Daar Ash-Shahafah milik
Al-Ikhwan. Honor bulanan media yang dipimpinnya dia sumbangkan pada kaum fakir
miskin.
Ketika didirikan, IM hanya memiliki 100 orang anggota yang dipilih sendiri
oleh Hasan Al-Banna. Dalam perjalanannya, IM berkembang luas hingga melampaui
batas Mesir, seperti Yordania, Siria, dan Sudan. Ketika PD II berkobar, IM
berkembang pesat dan menjadi elemen penting dalam peta kekuatan Mesir. Kelompok
ini menarik perhatian mahasiswa, pegawai negeri, pekerja, dan berbagai
kalangan. Tak mengherankan, jika IM kemudian terwakili di setiap strata sosial
masyarakat Mesir dan membuka mata khalayak pada kenyataan, pemerintah Mesir
telah berkhianat pada kepentingan nasionalisme Mesir sendiri.
Ternyata, gerakan ini banyak kesamaan dengan ormas Muhammadiah di
Indonesia. Dari mengelola amal sosial, seperti panti asuhan, rumah sakit,
lembaga pendidikan, perdagangan hingga para kadernya banyak menguasai
organisasi profesi, seperti persatuan wartawan, organisasi kedokteran,
organisasi persatuan pengacara serta perdagangan.
Di kancah politik, organisasi IM berupaya mewujudkan dunia Islam yang
bersih serta menolak sekularisasi dan westernisasi atau turut serta melawan
parsialisme terhadap risalah Islam. Hasan Al-Banna juga menyerukan pengikutnya
untuk masuk dalam Perang Palestina. Ribuan mujahid IM masuk ke Palestina pada
gelombang pertama, meski mendapat tentangan dari pemerintah Mesir.
Para Mujahid
scarrymozcie.blogspot.com |
Hal itu mereka lakukan karena kecintaan untuk menunaikan kewajiban
berjihad. Dengan menggunakan kelengkapan militer, para mujahid itu menggunakan
gerbong-gerbong kereta api pengangkut barang, kemudian berjalan jauh memotong Padang
Pasir Sinai untuk menyelinap melintasi batas. Beberapa minggu kemudian, setelah
pecah perang, Al-Ikhwan mengibarkan bendera jihad kepada seluruh masyarakat
Arab.
Pemikiran dan visi IM memang tidak terlepas dari cara pandang Hasan
Al-Banna. Pemahaman IM terhadap Islam bersifat universal. “Gerakan Ikhwan adalah
dakwah salafiah, tarekat Suniah, hakikat sufiah, lembaga politik, klub
olahraga, lembaga ilmiah dan kebudayaan, perserikatan ekonomi dan pemikiran sosial,”
kata Hasan.
Sedang ciri gerakan IM, Hasan mengatakan, “Jauh dari sumber pertentangan,
jauh dari pengaruh ria dan kesombongan, jauh dari partai politik dan
lembaga-lembaga politik.” Ia justru lebih memperhatikan kaderisasi,
mengutamakan aspek-aspek amaliah produktif daripada propaganda dan reklame,
memberi perhatian sangat serius kepada para pemuda di kota maupun di kampung-kampung.
Dakwah Hasan Al-Banna, selain berkarakter rabaniah
– menyeru manusia menjauhi, menentang, melawan tirani materialisme dan kembali
beriman kepada Allah dan selalu merasa dalam pengawasan-Nya – juga memiliki
karakter insaniah –mengajak kepada persaudaraan di antara sesama manusia dan
berusaha membahagiakan mereka, untuk semua golongan.
Dari sisi ideologi, IM banyak mengadopsi dakwah salafiah menjadi gerakan
dakwahnya. Hasan menekankan kepada pentingnya penelitian dan pembahasan
terhadap dalil serta pentingnya kembali kepada Quran dan sunah serta
membersihkan diri dari segala bentuk kemusyrikan untuk mencapai kesempurnaan
tauhid. Dakwah Ikhwan banyak dipengaruhi Syekh Abdul Wahhab, Sanusiah, dan
Rasyid Ridha. Pada umumnya, dakwah tersebut merupakan kelanjutan dari Madrasah
Ibnu Taimiyyah (1328 M) yang juga merupakan kelanjutan Imam Ahmad Hambal.
Namun, jalan yang ditempuh tidak semulus yang dibayangkan. Para pengikut
IM, telanjur menjadi ancaman bagi pemerintah Mesir. Para aktivis IM mulai mendapat
tekanan. Serbuan fitnah seakan mengikuti langkah kaki Hasan Al-Banna. Suatu
hari, ia dituduh komunis yang menentang negara dan raja Arab Saudi. Pada
kesempatan lain, sebuah petisi seorang warga menyebutkan, Hasan Al-Banna diskriminatif,
membedakan perlakuan terhadap murid beragam Islam dan Kristen. Uniknya,
pembelaan justru datang dari umat Kristen. Sekumpulan tokoh Kristen dipimpin
Pastur gereja Ortodoks Ismailiah menolak petisi tersebut. Salah satunya adalah
Ketua Asosiasi Gereja, Jirjis Sorial Afandi.
Tokoh-tokoh mereka kemudian ditangkap, disiksa, dan dihukum gantung oleh
penguasa Djamal Abdul Nasser. Hasan Al-Banna sendiri, pada 12 Februari 1949,
dibunuh dengan berondongan enam butir peluru oleh dua penembak misterius, yang
oleh banyak kalangan diyakini sebagai penembak titipan pemerintah. Sebelum
pukul dua tengah malam esok harinya, upaya medis tidak bisa menyelamatkan
nyawanya.
Ia
meninggalkan sepuluh hal yang menjadi lentera bagi kepribadian langka,
kefasihan berbicara; pemahaman dan penguasaan masalah-masalah khilafiah yag
luar biasa; pengetahuannya yang luas tentang mazhab, teori, ideologi dan
pertentangan-pertentangannya dengan Islam; berterus terang menyampaikan
kebenaran kepada setiap penguasa yang tiran; mengaplikasikan metode Islam di
dalam perdebatan dan menghadapi kebatilan, memahami pentingnya dakwah kepada
Allah secara benar; melepaskan diri dari semua belenggu dan keterikatan,
kecuali keterikatan terhadap Islam; menatap masa depan; dan mengimani kematian
yang suci.
Dua karya monumentalnya adalah Muzdakkirat Al-Dakwah
wa Da’iyyah (Catatan Harian Dakwah dan Dai) dan Majmu’ah Rasail
(Kumpulan Surat).
Domery Alpacino, dari
berbagai sumber
Catatan: pernah dimuat di majalah
Islam Alkisah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar