Laman

Minggu, 13 November 2005

Antisipasi Upaya Pemurtadan

Dari pemeluk Katolik dan Paguyuban Ngesti Tunggal, akhirnya ia memeluk Islam. Kini ia berdakwah di Yogyakarta dan sekitarnya.

http://duniamuallaf.blogspot.com
Rangkaian dakwahnya lebih banyak mengupas kajian Kristologi: membahas berbagai masalah yang berhubungan dengan kekristenan lewat titik pandang Al-Quran dan hadis. Itulah H. Wahid Rosyid Lasiman, mantan penginjil yang sejak 24 tahun lalu memeluk Islam.

Untuk lebih memperkuat upaya dakwahnya, ia juga menggelar dialog atau konsultasi perbandingan agama, khususnya antara Islam dan Kristen, baik di pondok pesantren miliknya sendiri maupun di majelis-majelis taklim di Yogyakarta. 

Ia berharap, seseorang yang pernah berdialog atau berkonsultasi bisa memeluk Islam secara kaffah alias sempurna. Ia memang sangat concern untuk mengantisipasi upaya pemurtadan yang belakangan ini mulai marak diusahakan oleh kalangan nonmuslim. Caranya, ya dengan menggelar dialog atau konsultasi tersebut.
Sebab, ia sangat terkesan akan peringatan Allah SWT mengenai bahaya pemurtadan tersebut, sebagaimana terungkap dalam Al-Quran surah Al-Baqarah ayat 217: “Barang siapa murtad lalu mati dalam kekafiran, sia-sialah amal mereka di dunia dan akhirat. Mereka itulah penghuni neraka, kekal di dalamnya.”

Sebaliknya, menurut Lasiman, amal ibadah yang terbesar ialah mengantisipasi upaya pemurtadan. Syukur jika bisa menarik orang yang sudah telanjur murtad kembali ke pangkuan Islam, atau orang kafir bisa memeluk Islam.

Sebab, menurut Lasiman, pahalanya emas sepenuh bumi sebagaimana terungkap dalam Al-Quran surah Ali Imran ayat 91: “Sesungguhnya orang-orang kafir yang mati dalam kekafiran, tidaklah akan diterima dari mereka emas sepenuh bumi, walaupun mereka menebus diri dengan emas sebanyak itu. Bagi mereka siksa yang pedih dan sekali-kali mereka tidak mendapat pertolongan.”

“Kalau dahulu saya suka memurtadkan orang, sekarang paling tidak saya harus mengembalikan satu orang muslim yang telanjur murtad kembali memeluk Islam. Dan bagi saya, dakwah seperti itu hukumnya adalah perintah,” ujar Lasiman.

Itu sebabnya ia tak segan-segan lebih banyak terjun ke pedesaan di Yogyakarta dan sekitarnya, sampai ke Jawa Tengah, dan sekali-sekali ke pedalaman Sumatera. Sebab, menurutnya, masyarakat desa yang miskin harta dan ilmu itu, gampang sekali dimurtadkan. Dalam sebulan biasanya ia berdakwah sekitar 60 kali di berbagai tempat, sampai ke desa-desa terpencil.

Kambing Korban

duniamuallaf.blogspot.com
Lasiman memang sangat peduli pada warga miskin. Terlebih jika Hari Raya Idul Adha tiba. Dengan suka rela ia mengambil sendiri kambing-kambing kurban dari kaum muslimin yang berkurban untuk dibawa ke perkampungan warga miskin. “Tapi, tentu saja saya lebih senang jika orang-orang mampu menyerahkan sendiri kambing kurban ke warga desa yang miskin,” katanya.

Ia kini masih aktif mengajar di SMP Negeri 15, selain sebagai dosen pendamping agama Islam di Universitas Gajah Mada dan Universitas Islam Indonesia, semuanya di Yogyakarta, serta mengajar di beberapa pondok pesantren.

Sambil berdakwah, dalam beberapa tahun terakhir ini, Lasiman juga menjual buku-buku panduan dakwah seharga Rp 1.000 perbuah. “Karena niatnya berdakwah, buku-buku saku itu laku keras. Bahkan para jemaah banyak yang memberikan uang lebih. Tapi sebaliknya juga tidak sedikit yang tidak membayar,” ujar Lasiman tersenyum.

Nah, dari hasil menjual buku saku itulah, Lasiman bisa berdakwah sampai pelosok-pelosok desa. Tentu saja juga berkat kerja keras istrinya yang berjualan pakaian. Meski hidup sederhana, Lasiman tak kenal lelah dalam berdakwah. Sebab baginya,  “Hidup memang untuk dakwah.”

Lahir pada 11 Mei 1956 di Yogyakarta, ia anak kedua dari lima bersaudara pasangan Totinomo dan Semi. Ia dibesarkan dalam keluarga Katolik, meski sebelum menikah orangtuanya sebenarnya pemeluk “Islam KTP”: identitasnya muslim, namun tidak melaksanakan syariat Islam dalam kehidupan sehari-hari. 

Lasiman kecil juga dibesarkan dalam lingkungan masyarakat yang beragama Katolik. Hampir 98% penduduk Kampung Daratan Tiga, Sendang Arum, Minggir, Sleman, Yogyakarta, adalah pemeluk Katolik. Padahal, sebelum misionaris Belanda masuk ke sana, masyarakat Sendang Arum rata-rata adalah muslim. Tak heran, jika dimasa kecilnya Lasiman tak pernah mengenal satu masjid pun di kampungnya.

Seperti teman-teman kecilnya, Lasiman juga mendapat subsidi untuk belajar di Sekolah Dasar Katolik di kampung Daratan yang didirikan oleh Misionaris Belanda pada 1817. Tamat dari sana, ia melanjutkan sekolah di SMP Santo Yosef, kemudian di Sekolah Pendidikan Guru Katolik, semuanya di Yogyakarta.
Saat belajar di SMP Santa Yosef dan SPG Katolik, Lasiman mengikuti pendidikan yang sangat berdisiplin – layaknya di sekolah-sekolah Katolik pada umumnya. Khususnya dalam hal pemahaman agama Katolik. Tak heran jika kemudian ia sangat fanatik. Belakangan ia menjadi seorang misionaris. Ia juga aktif membagi-bagikan sumbangan dari Sarekat Yesuit, sebuah lembaga misionaris Katolik yang antara lain bergerak di bidang sosial keagamaan.

Domba Tersesat

kabarnet.in
Tujuannya untuk mencari “domba-domba yang tersesat,” yaitu mereka yang belum Katolik. Menurut Lasiman, setiap orang Nasrani harus berprinsip sebagaimana dipesankan dalam salah satu ayat Kitab Matheus yang antara lain menugaskan kaum Nasrani untuk membaptis semua orang. 

Bagaimana caranya? Menurut Lasiman, setiap orang Kristen wajib berperilaku tampil bagus, halus, sopan, dermawan, dan peduli pada sesama. Untuk menjalankan misi itu, mereka dibekali dana secukupnya. Setelah “domba tersesat” dicukupi kebutuhannya, mereka digiring ke sebuah lembaga pendidikan Kristiani, lalu dicarikan lapangan kerja yang lebih baik. Dengan cara seperti itu, mereka berharap sang “domba tersesat” itu bisa tertarik dan memeluk Katolik.

Selain di Sarikat Yesuit, Lasiman juga aktif dalam kegiatan keagamaan, baik di sekolah maupun di gereja. Bahkan selama beberapa tahun ia sempat menjadi pelatih vokal dalam latihan-latihan teater untuk kegiatan-kegiatan keagamaan, seperti Natal, Paskah, Wafat dan Kenaikan Isa Almasih. Tamat dari Sekolah Pendidikan Guru Katolik, Lasiman melanjutkan kuliah di Universitas Gajah Mada (UGM), selain di Akademi Kemaritiman, keduanya di Yogyakarta.

Ketika masih kuliah di UGM, di semester dua, secara kebetulan ia sering berdiskusi dengan Muhammad Daim, teman satu kuliahnya. Daim kebetulan juga merangkap kuliah di Fakultas Usuluddin, Institut Agama Islam (IAIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Sebelum masuk mengikuti kuliah, ia kerap berdiskusi soal agama dengan Daim di bawah pohon cemara di belakang Fakultas Sosial Politik UGM.

Mula-mula Lasiman berusaha menarik Daim untuk memeluk Katolik. Belakangan ia mencoba memberikan beberapa argumentasi yang melemahkan Islam. Misalnya, Islam adalah agama yang sangat berat dan susah: seorang muslim minimal harus menjalankan salat lima waktu sehari semalam; harus selalu bersih dan suci, baik dalam berpakaian maupun saat salat. Pendek kata, Islam adalah agama yang terlalu banyak mengatur dan melarang. 

Lasiman juga berusaha memberikan penilaian negatif terhadap tempat peribadatan Islam. Katanya, masjid-masjid di Indonesia sebagian besar kotor dan kumal. Sementara gereja-gereja selalu bersih. Sekolah-sekolah Islam juga kumuh dan tidak terawatt, sedangkan sekolah-sekolah Kristen tampak megah, bersih, dan disiplin. Pendek kata, dalam hal fasilitas peribadatan dan pendidikan, umat Islam jauh ketinggalan.
      
Mengikuti Retrat

Namun, Daim tidak terpengaruh atas argumentasi Lasiman. “Bukan ajaran Islam-nya yang tidak benar, tapi hanya orang-orangnya yang belum mampu menjalankan ajaran Islam secara benar,” kata Daim kepada Lasiman. Belakangan Daim melontarkan banyak pertanyaan yang berkaitan dengan Injil sembari memberikan catatan mengenai beberapa kelemahannya.
duniamuallaf.blogspot.com

“Meski begitu, saya bertekad harus lebih tahu tentang Injil karena saya seorang misionaris. Tapi, ternyata dalam menjelaskan isi Injil, saya sering kewalahan. Misalnya, ketuhanan, dosa turunan, keaslian Injil, dan tentang Yesus – siapa dia sebenarnya, dia manusia atau Tuhan, dia anak Tuhan atau manusia biasa?”

Merasa penasaran, Lasiman lalu berguru lagi pada Pendeta David di Gereja Kristen Baptis, Yogyakarta, untuk mempelajari tafsir Injil yang juga disebut Alkitab. David dikenal sebagai pendeta yang memiliki pemahaman mengenai tafsir Alkitab yang jauh lebih maju ketimbang pendeta-pendeta yang lain. Selain itu ia juga belajar bahasa Inggris dan lagu-lagu kerohanian, serta mengikuti retreat – semacam khalwat atau menyepi dalam agama Nasrani.

Tapi, semakin dalam menggali tafsir Alkitab, semakin ia menemukan banyak persoalan yang tidak bisa dijawab. Ia pun kecewa ketika David pun bahkan tak bisa menjelaskannya. Maka, pada suatu hari, Lasiman pun menemui sahabatnya, Muhammad Daim. Kali ini ia ingin meminjam Al-Quran – untuk dicermati kelemahan-kelemahannya. “Saya pernah mengkritik Alkitab dan banyak menemukan kelemahan-kelemahannya. Nah, sekarang saya akan mencari kelemahan Al-Quran,” katanya.

Perasaan seperti itulah yang mendorong Lasiman setiap hari mempelajari Al-Quran. Tapi, semakin menggali Al-Quran, semakin ia tak mampu menemukan kelemahannya. Sebaliknya, ia semakin menemukan simpul-simpul kebenaran. Dan, ketika ia menanyakan secara ilmiah konsep tentang ketuhanan, kenabian dan salat, dengan gamblang Daim menjelaskannya secara ilmiah, bahkan mampu mengaitkannya dengan ayat-ayat di dalam Injil.

Maka iman Kristiani Lasiman pun goyah. Saat itu secara diam-diam sebenarnya ia ingin segera memeluk Islam, namun gengsinya masih terlalu besar. “Masa hanya karena kalah dalam perdebatan lalu langsung memeluk Islam? Bukankah saya seorang misionaris?” kata Lasiman di dalam hati. Suatu hari ia mengambil keputusan penting: mencari alternatif dengan mempelajari ajaran kebatinan Pengestu (Paguyuban Ngesti Tunggal).

Semacam Wangsit

Dalam waktu hampir empat bulan ia mendalami kitab Sasongko Jati, Sabdo Khusus, dan beberapa kitab dari Kitab Sembilan yang diajarkan oleh pendiri Pangestu, Raden Sunarto. Intinya: orang harus eling (ingat), taat, rela, sabar. Tak lama kemudian di pun menjadi pengikut Pangestu.

Beberapa hari kemudian, Lasiman mengajak Daim dan kawan-kawannya untuk mendalami ajaran kebatinan 
Pangestu. Mereka bersedia, tapi mereka mempelajarinya sebatas sebagai pengetahuan, bukan untuk diamalkan. Sementara Lasiman betul-betul mendalami ajaran tersebut untuk mendapatkan ketenangan batin.
Namun, tak lama kemudian ia berpikir, pembawa ajaran kebatinan Pangestu yaitu Sunarto – yang kemudian dibukukan dalam Kitab Sembilan – mengaku mendapat semacam “wangsit” ketika melakukan salat malam. 
“Nah, itu kan berarti saya kembali ke Islam,” kata Lasiman, mengenang.

Akhirnya, ia mengurungkan niatnya untuk mendalami ajaran Pangestu lebih jauh. Tapi, kemudian ia mendalami ilmu kebatinan tradisional Jawa dari beberapa guru kebatinan yang terkenal di Yogyakarta, Surakarta dan Cianjur. Termasuk mendalami beberapa kitab primbon dan mempraktikkan berbagai macam sesajian.

Ia juga sering berpuasa pati geni (tidak makan, minum, tidur) selama 40 hari, puasa mutih (hanya makan nasi), kungkum (berendam di sungai pada malam hari) selama beberapa hari, dan mempelajari jurus-jurus pernafasan tenaga dalam. Semua itu untuk memperkuat daya kebal tubuh. Dan semua itu ia lakukan selama hampir empat-lima tahun. 

Meskipun ia sudah benar-benar merasa kebal, ternyata ia kalah bertanding. Suatu hari ia bertanding bela diri melawan seorang pemuda muslim dari Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang. Tapi, kalah. Ia kena pukul dan terpental. Padahal, selama berlatih kekebalan dalam rangka mempelajari ilmu kebatinan tradisional Jawa, tak pernah sekalipun ia kena pukul.

Wali Songo 

duniamuallaf.blogspot.com
Ia berpikir, semua ajaran itu hanyalah omong kosong belaka. Merasa kecewa, ia lalu bertanya kepada beberapa tokoh kebatinan, “Sesungguhnya dari mana asal-usul ilmu kekebalan itu, dan siapa tokoh yang mereka kagumi?” Ternyata, mereka semua mengaku mendapatkan ilmu dari Wali Songo – yang sangat mereka kagumi. 

Lasiman semakin penasaran. Ia semakin terdorong untuk mencari kebenaran. Ia ingin sekali bertemu dengan seorang guru yang dapat memberi penjelasan yang cukup mumpuni atau memadai, mengenai Islam. Maka bertemulah ia dengan seorang ulama terkenal, Prof. Dr. Anwar Musyaddat, yang ketika itu menjadi Rektor Institut Agama Islam Negeri Sunan Gunung Jati, Bandung, dan Wakil Rais Am Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama.

Lasiman yang sangat penasaran, mencoba beradu ilmu dengan Prof Musyaddat – yang juga dikenal sebagai ulama yang sangat menguasai seluk-beluk agama Nasrani. Mereka sepakat untuk bertemu setiap Sabtu minggu pertama setiap bulan. Di sinilah iman Kristiani Lasiman semakin goyah, karena semua argumentasinya dapat dipatahkan oleh Prof Musyaddat.

Sejak itulah kesan Lasiman terhadap ajaran Islam dan kaum muslimin berubah. “Islam ternyata tidak sebagaimana penggambaran orang-orang yang membencinya selama ini,” pikirnya. Ia kemudian kembali menyimak kitab Injil, Sangko Jati, Sabdho Khusus, Kitab Sembilan, beberapa primbon, dan Al-Quran. Setelah mencermati selama beberapa bulan, ia berkesimpulan bahwa puncak dari semua ajaran dan kebenaran itu ternyata terkandung semuanya di dalam Al-Quran -- kitab suci yang sempurna dan terlengkap serta masuk akal.

Tak berapa lama kemudian ia mengambil keputusan penting: ingin memeluk Islam. Ia lalu menulis surat kepada sahabatnya, Muhammad Daim, mengemukakan keinginannya untuk memeluk Islam. Ia ingin sahabatnya itu menyaksikannya. Singkat cerita, 15 April 1980, Daim pun mengantar Lasiman ke Kanwil Departemen Agama Yogyakarta untuk membaca dua kalimah. Upacara itu dibimbing oleh KH Munir, disaksikan oleh beberapa tokoh MUI setempat seperti KH Zaidanhady dan KH Syamsan Sulaeman. Ketika itu usianya 24 tahun.

Dan saat itu juga, nama baptisnya Willibrordus Romanus segera diganti dengan Wahid Rosyid. Maka jadilah nama baru: Wahid Rosyid Lasiman. “Nama itu pemberian Prof Anwar Musyaddat. Beliau berpesan, Kelak kalau kamu memeluk Islam, namamu perlu diganti dengan Wahid Rosyid Lasiman,” tuturnya. Nama itu berarti “Lasiman yang mendapat petunjuk Allah.”

Beberapa hari setelah resmi sebagai muslim, Lasiman mendapat tawaran dari Prof Musyaddat: tinggal di Yogyakarta atau masuk pondok pesantren. Lasiman lebih memilih masuk pondok pesantren di Jaga Satru Cirebon, sebelah barat Kraton Kasepuhan Cirebon. “Karena benar-benar ingin mendalami Islam, maka saya pilih masuk pondok pesantren,” katanya.
      
Dilempari Batu

Lasiman pun mondok di Jaga Satru selama dua tahun. “Kesan saya ketika pertama kali tinggal di pondok pesantren tradisional ini ialah kumuh, tidak tertib, para santri tidur dalam satu kamar, dan makanannya sering tidak enak. Dibanding dengan lembaga pendidikan Katolik sangat jauh berbeda. Tapi, di sana saya bisa belajar menghargai kehidupan para santri yang sangat sederhana,” tuturnya lagi.

kabepiilampungcom.wordpress.com
 Lepas dari pondok pesantren, ia kuliah di IAIN Sunan Gunung Jati, Cirebon – cabang dari IAIN Sunan Gunung Jati Bandung, hingga sempat menggondol gelar sarjana muda untuk jurusan Pendidikan Agama Islam. Setelah itu ia pulang ke Yogyakarta dengan niat bulat: mengislamkan keluarga, masyarakat kampung halamannya di Daratan Tiga, Sendang Arum, Sleman, dan masyarakat Yogyakarta pada umumnya. Namun, setiap kali melaksanakan misi tersebut, ia mendapat tantangan berat.

Ketika membangun mushalla ukuran 7 X 14 meter persegi di kampung halamannya, masyarakat sekitarnya – yang sebagian besar memeluk Katolik -- menghalang-halanginya. Bahkan salah seorang anggota panitia pembangunan mushalla sempat dirawat di rumah sakit selama 24 hari karena luka parah gara-gara dilempari batu.

Belakangan, ia dilaporkan kepada polisi dengan tuduhan menghina Injil dengan cara membanding-bandingkan antara Injil dan Al-Quran. Ia bahkan sempat ditahan dan diinterogasi di Koramil. Karena mampu berargumentasi secara jelas dan mantap, ia bebas. Namun, dakwaan di kepolisian sempat diproses hingga ke meja hijau.

Hajar Aswad

syahrilmyblog98.wordpress.com
Dalam persidangan, lagi-lagi ia mampu memberi argumentasi secara rinci dan jelas, tak sedikit pun bermaksud menghina agama lain. Alhamdulilah, akhirnya ia bebas. Kini, berkat perjuangan Lasiman yang tak pernah lelah, 78% warga kampung halamannya telah menjadi muslim. Termasuk kedua orangtuanya dan tiga dari lima saudara sekandungnya.

Setiap kali menghadapi cobaan, ia mengaku selalu sabar dan melaksanakan salat tahajud, sebagaimana perintah Allah SWT dalam surah Al-Baqarah ayat 153: Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan salat sebagai penolongmu. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.

Dan, berkat dakwahnya yang ikhlas, ia mendapat hadiah dari Dewan Dakwah Islamiyah di Jakarta untuk menunaikan ibadah haji pada 1991. Dan dua tahun kemudian ia kembali melaksanakan rukun Islam yang kelima itu. “Alhamdulillah, saya berhasil mencium Hajar Aswad meski dengan susah payah. Padahal, saya lihat ada seorang jemaah haji perempuan bertubuh kecil bisa mencium batu hitam itu dengan sangat mudah. Inilah ujian bagi saya agar lebih bertakwa kepada Allah SWT,” katanya.

Beberapa tahun kemudian, ia mendapat kesempatan kuliah di IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, hingga meraih gelar S1 jurusan Psikologi Islam dengan predikat memuaskan. Dan kini ia sedang melanjutkan program master di perguruan tingga yang sama. “Saya tinggal menyelesaikan tesis, isya Allah sedikit lagi selesai,” ujarnya optimistis.

Bersama istrinya, Haniah, dan dua orang anaknya, kini Lasiman hidup dalam keluarga sakinah. Anak sulungnya, perempuan, kini masih kuliah semester tujuh di IAIN Yogyakarta, sementara anak kedua, laki-laki, mondok di pondok pesantren Tebu Ireng, Jombang. Kini, ada satu hal yang dicita-citakannya: sebagai seorang muslim yang baik, yang hidupnya bermanfaat bagi orang lain, sementara di masa tuanya bisa lebih meningkatkan ibadah.

Domery Alapacino
catatan: Pernah dimuat di majalah Islam Alkisah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar