Laman

Minggu, 20 November 2005

Hidayah Lewat Buku Kusam

Bekas penginjil ini menemukan kebenaran Islam dalam buku kusam. Dulu pendeta, kini ustaz.

acehselatan.com
JADUAL ustaz ini padat. Sejak pagi hingga tengah malam ia berdakwah. Dari mesjid, hotel, kantor, kampung, dari satu kota ke kota lain. Bahkan sesekali ia berdakwah ke Malaysia, Singapura, Thailand. Selama sebulan, kadang ia hanya satu dua hari saja beristirahat. Itulah Ustaz Syamsul Arifin Nababan.

Suaranya mantap, nada  ceramahnya pun keras. Kalimat-kalimatnya mudah dipahami, ia selalu menyisipkan dalil-dalil Alquran dan hadis dengan fasih. Ia pun mampu menjawab semua keluhan dan pertanyaan jemaah yang bermasalah dengan bijak. Dan tak ketinggalan, ia pun memberikan resep jitu berlandaskan Alquran dan hadis. 


Tak heran, bila banyak jemaah terkesima dan mengangguk-anggukkan kepala. Tapi, tak sedikit pula jemaah yang mencurigainya. Seperti ketika ia berdakwah di Sumatera Barat belum lama ini. Beberapa jemaah mencurigai Nababan sebagai orang Nasrani yang disisipkan untuk menghancurkan Islam dari dalam. Lho? Bisa dimaklum, sebab ia adalah mantan penginjil. Tapi sudah 11 tahun ia memurnikan kembali agamanya setelah menemuan kebenaran Islam. Dan kini ia sangat fasih menguasai Alquran dan hadis.
 
Lantas, bagaimana sikap Ustaz Nababan? Ia sama sekali tak tersinggung atau marah sedikit pun. Ia bahkan menilai sikap seperti itu sebagai sesuatu yang wajar. “Saya memakluminya, karena mereka begitu cinta pada Islam. Tidak mungkin mereka curiga kalau tidak mencintai Islam,” katanya. Pada suatu malam, sepulang dari tablig akbar di Bekasi, Jawa Barat, ia diberondong tembakan saat diantar oleh panitia dengan mobil BMW. Alhamdulillah, ia selamat tapi kaca mobil depan hancur. Ia menduga motif penembakan itu: mungkin ceramahnya terlalu keras hingga melukai umat agama lain, atau penembakan itu dilakukan oleh orang Islam sendiri yang mencurigainya sebagai mualaf.
            
Apapun yang terjadi, ia bertekad tetap berdakwah sampai akhir hayat. Sejak menemukan kebenaran Islam, baginya dakwah merupakan panggilan jiwa. Ia ingin berdakwah dengan ikhlas. Karena itu ia agak sungkan untuk menerima imbalan. “Keinginan saya semula begitu. Sebab, Nabi dan para sahabat berdakwah tanpa mengarapkan materi. Sebaliknya, mereka memanfaatkan semua potensi untuk syiar Islam,” ujarnya mantap.

Proses Dialog 

Hanya saja, karena tidak ada pekerjaan lain kecuali berdakwah, mau tak mau, ia menerima juga sekedar uang transpor dan untuk keperluan keluarga. “Tapi, saya tidak mau menerima uang transpor yang berlebihan. Sekarang ini kan banyak orang kaya karena berdakwah. Padahal, mestinya kita berjuang untuk Islam dengan ikhlas,” katanya lagi. 

muhammad-areev.blogspot.com

Sejak menemukan kebenaran Allah pada 1991, Ustaz Nababan sudah mengislamkan lebih dari 200 orang Nasrani maupun agama lainnya. Mereka rata-rata sarjana yang berwawasan luas. Proses penerimaan Islam itu biasanya melalui dialog atau diskusi yang amat panjang. Setelah yakin betul apa dan bagaimana sesungguhnya Islam itu, mereka baru benar-benar yakin. Nababan sendiri menemukan kebenaran melalui proses dialog yang juga sangat panjang.

Anak dari pasangan Wilmar Nababan dan Setia Siregar ini mula-mula mengimani agama Kristen Protestan. Bahkan ayahnya adalah seorang penginjil ternama di Sumatera Utara, sementara ibunya sering memimpin paduan suara lagu-lagu kerohanian di gereja. Lahir di Tebingtinggi, Sumatera Utara, 10 Nopember 1966, Nababan mendapat pendidikan nilai-nilai Kristen Protestan. Sejak berusia empat tahun, anak ketiga dari tujuh bersaudara ini, sudah mengikuti sekolah minggu. “Kalau tidak ke sekolah minggu saya sering ditakut-takuti masuk neraka. Sebaliknya, bila rajin saya mendapat uang,” kenang Nababan. 

Seiring dengan bertambahnya usia, Nababan yang dulu punya nama baptis Bernard, semakin tebal keimanannya dalam beragama. Ia sering mengikuti lomba membaca liturgi, pembacaan ayat-ayat Injil. Karena suaranya merdu, ia pun jadi terkenal di kalangan jemaat gereja. Belakangan ia masuk seminari dan menjadi penginjil. Saat itu, ia berkeyakinan, Kristen adalah agama paling benar, dan penganut agama lain harus “diselamatkan”. Maka, tak segan-segan ia keluar masuk kampung mendakwahkan agama Protestan, sambil berpura-pura memperhatikan dan menyantuni kehidupan penduduk.

Suatu hari, ketika sedang menjalankan “misi penyelamatan” di Simalungun, Sumatera Utara, ia bertemu dengan seorang pedagang keliling asal Madura di pinggir jalan. Mereka pun saling berkenalan, dan obrolan pun sampai ke soal-soal agama. Pedagang keliling itu katanya ingin seperti Wali Songo, berdagang sambil berdakwah. Ia juga tahu persis bahwa Nababan ialah seorang penginjil. Di akhir obrolan, pedagang keliling itu memperlihatkan sebuah buku yang sudah lapuk, warnanya kuning kusam, sebagian isinya hilang. Judul buku itu, Dialog Masalah Ketuhanan Yesus, antara Kyai Bahauddin Muthori dari Madura dan Pendeta Antonius Suduri, 1970. Diceritakan, pendeta itu akhirnya masuk Islam karena kalah dalam perdebatan.

Kyai Bahaudin

my-paris.club
Nababan segera memfotokopi buku itu, dan membacanya sampai tuntas. Setelah dicocokkan dengan Injil, semua komentar kyai dalam buku tersebut ternyata benar: Islam lebih unggul. Maka Nababan pun penasaran. Ia ingin menjumpai kyai tersebut. “Di mana Kyai Bahauddin itu tinggal? Apakah ia masih hidup? Bisakah aku ikut denganmu?” katanya kepada pedagang dari Madura itu. Singkat cerita, Nababan dan  sang pedagang keliling itu pun segera menemui Kyai Bahauddin di Jember, Jawa Timur. “Saya ingin menjajak berdialog. Kalau tidak ketemu, saya ingin ketemu dengan guru atau murid kyai itu,” tuturnya.
Ternyata Kyai Bahauddin sudah wafat. Maka Nababan pun dipertemukan dengan seorang kyai lain yang ahli dalam hal perbandingan agama. Merasa tidak puas, ia pun berkeliling dari satu kyai ke kyai lain. Setiap kali bertemu dengan seorang kyai, ia selalu mengajak dialog dengan tema kelemahan dan kelebihan Kristen dan Islam. Ia juga banyak membaca sejumlah buku. Terutama buku-buku yang menyoroti kelemahan agama Kristen. Di ujung pencariannya, ia bertemu dengan KH Khatib Umar, pengasuh Pondok Pesantren Raudhatul ‘Ulum, Jember. Usai berdialog panjang-lebar menelisik apa dan bagaimana sesungguhnya Islam, Nababan pun mendapat hidayah Allah: ia membaca kalimat syahadat di hadapan Kyai Khatib Umar. Nama baptisnya, Bernard, diganti dengan Syamsul Arifin. “Saya menerimanya dengan sukacita,” tuturnya dengan senyum. 

Banyak faktor mengapa Nababan memeluk Islam. Selain dengan Kyai Khatib, dari bacaan-bacaannya ia melihat Islam sebagai agama untuk semesta alam, rahmatan lil ‘alamin. Selain itu, ia melihat begitu disiplinnya orang Islam melaksanakan salat lima waktu. Sejak pagi-pagi buta mereka sudah menyembah Tuhan, sementara orang Kristen hanya sekali seminggu. “Ketika saya bandingkan dengan Alquran, memang banyak sekali kelemahan pada Alkitab,” katanya. Hal lain yang ia amati ialah, mesjid dibuka 24 jam dan selalu ramai dikunjungi orang; kebersihannya pun terjamin. Selain itu, dari buku-buku yang ia baca, ternyata Islam lebih mendetil bicara soal kehidupan, baik kehidupan di dunia maupun di akhirat. “Ketika saya mempelajari buku-buku mengenai Islam secara serius, apa yang selama ini saya dapatkan dari agama Kristen ternyata semuanya ada dalam Alquran, bahkan jauh lebih sempurna,” kata lagi.

Secara Kaffah

Begitulah, akhirnya pada usia 27 tahun, ia memutuskan memeluk Islam sebagai agamanya. “Ketika masuk Islam, tidak ada keraguan lagi dalam jiwa saya. Saya memang ingin masuk Islam secara total, secara kaffah,” katanya dengan mantap. Ketika itu ia seperti mimpi. Sebab, sebelumnya mendengar nama Islam saja ia sudah antipati. “Tapi, ternyata Allah punya rencana lain. Dan ternyata pilihan saya adalah pilihan yang terbaik,” katanya lagi. Usai membaiat Nababan sebagai muslim, Kyai Khatib menawarinya belajar di pondok pesantrennya. Tentu saja ia menerimanya dengan suka cita. Di sinilah ia belajar mengenai Islam selama dua tahun.

likecakra4.blogspot.com


Mula-mula ia belajar membaca Alquran secara khusus, langsung dibimbing oleh Kyai Khatib. Tak menyia-nyiakan waktu, kapan saja ia bertanya kapada santri lain yang bacaannya sudah fasih. Hanya dalam satu minggu, Nababan sudah mampu membaca Alquran dengan baik. “Padahal Kiai Khatib mengajari saya hanya dua jam dalam sehari. Karena saya punya keinginan kuat untuk bisa membaca Alquran dengan baik, Allah memberikan kemudahaan dan kecerdasan kepada saya,” ujarnya. Di pesantren itu ia juga mempelajari ilmu-ilmu agama dan sejarah Islam.

Dua tahun di pesantren, Nababan pulang kampung di Tapanuli Utara. Ia ingin sekali berjumpa dengan orangtua dan saudara-saudaranya. Maklum, selama hampir empat tahun ia tak pernah satu kalipun berkirim surat. Keluarganya bahkan mengira ia sudah meninggal. Selama ia mencari kebenaran Islam, ia memang sengaja tidak memberi kabar kepada keluarga. Begitu tiba di kampung, dan tahu bahwa Nababan sudah muslim, orangtua dan saudara-saudaranya kaget. Ia langsung kena damprat habis-habisan.

Leli Yuheni

Karena sering diintimidasi oleh kakak kandungnya, ia pindah ke kota lain. Dan sejak itu ia berdakwah dari kota ke kota: Padang, Lampung, bahkan sampai ke Dili. Sampai akhirnya ia ke Jakarta. Suatu hari, seseorang menyarankan agar ia belajar bahasa Arab di Pondok Pesantren Darul Rahman, Jakarta. Di sini ia diterima oleh KH Syukron Makmun dengan suka cita. Ia mendapat bimbingan langsung dari Kyai Syukron selama setahun. Setelah itu ia kembali pulang kampung untuk berdakwah. Di sana pula ia memperoleh jodoh seorang muslimah, Leli Yuheni Hasibuan, alumni Universitas Islam Sumatera Utara. Maka diboyonglah isteri tercinta ke Jakarta.
Suatu hari timbul keinginan dalam hatinya untuk belajar agama ke Timur Tengah. Ia pun mendatangi Kedutaan Besar Arab Saudi; dan disarankan belajar di Lembaga Pendidikan Agama Islam dan Bahasa Arab Universitas Ibnu Suud di Salemba, Jakarta. Ia diterima sebagai mahasiwa tingkat isti’dati (pra-universitas) selama tiga tahun. Belakangan ia mendapat beasiswa dan hadiah menunaikan ibadah haji pada 1997. “Ibadah haji ini betul-betul hadiah dari Allah. Di depan Ka’bah saya menangis. Dulu saya pernah mendengar cerita bahwa di atas Ka’bah ada salib Yesus. Ternyata tidak benar. Yang ada hanya burung-burung yang beterbangan,” kata Nababan.

Selama menunaikan ibadah haji, ia tak pernah mendapat cobaan berat, melainkan justru banyak memperoleh kemudahan. Ia merasa seperti di Indonesia, karena di mana-mana ia berjumpa dengan orang Indonesia. “Dalam hati saya bertekad, usai ibadah haji saya akan terus mengembangkan dakwah, terutama kepada keluarga dan masyarakat pada umumnya,” katanya lagi. Pulang haji, ia membuktikan janjinya dengan berdakwah dari satu tempat ke tempat lain. Sebagian besar waktunya semata hanya untuk berdakwah.

Suatu malam, beberapa bulan lalu, ia bermimpi ketemu Rasulullah. Ia bermimpi salat di Mesjidil Haram, makmum kepada seseorang. Usai salat dan berdoa, banyak orang berteriak bahwa sang imam itu adalah Rasulullah. Tak menyia-nyiakan kesempatan, ia langsung bersalaman dan mencium tangan Rasulullah. Tapi, sang Rasul menarik tangannya. “Ketika itu saya lihat Rasul berperawakan tinggi, berjanggut tebal, mengenakan sorban. Seluruh tubuhnya sangat harum,” tuturnya dengan penuh haru.

Wisma Mualaf 

kmm.uny.web.id

Usai salat, masih dalam satu mimpi, Nababan berziarah ke tiga makam yang tidak ia kenal. Setelah membaca surat Yasin, tiba-tiba terlihat tiga jenazah muncul di permukaan makam dengan posisi terbaring. Jenazah yang di tengah mencoba duduk. Ketika itu ia mendengar ada yang berbisik bahwa itu adalah jenazah Rasulullah. Wajahnya sangat cerah, janggutnya tebal. “Setelah itu saya terjaga karena mendengar azan subuh,” tutur Nababan. Baginya, mimpi itu suatu kenikmatan yang luar biasa. “Tidak ada jaminan setelah bermimpi ketemu dengan Rasul lalu orang menjadi baik. Semua tergantung pada perilaku kita sendiri,” ujarnya.

Saat ini Nababan merasa masih punya PR (pekerjaan rumah). Orangtua dan kedua kakak serta seorang adiknya belum Islam, sementara dua adiknya sudah muslim sejak dua tahun lalu. Namun, berkat kesabaran dan sering bersilaturahmi ke kampung halaman, akhirnya orangtuanya dapat menerima kembali Nababan dengan baik. Nababan berusaha memuliakan ibundanya dengan membawa beliau ke Jakarta. Di Jakarta ia mengontrakkan sebuah rumah buat ibunya.

“Dalam Islam, kita diwajibkan berbakti kepada orangtua meski kita berbeda agama sekalipun,” kata Nababan kepada ibundanya. “Jika saya konsisten mengantungkan diri kepada Allah, niscaya Allah akan memberikan sesuatu yang terbaik. Tapi, seandainya ibu belum masuk Islam sampai akhir hayatnya, maka sebagai orang beriman saya menilai itu sebagai takdir Allah. Tapi, saya sudah berusaha membawanya ke jalan kebenaran,” kata Nababan lagi.  

Ada obsesi Nababan yang ingin sekali dicapainya. Pertama, membangun sebuah wisma khusus untuk kaum mualaf, lebih khusus bagi mualaf yang diusir keluarga atau diperhentikan dari pekerjaannya. Kedua, membangun pesantren khusus kaum dhuafa dan anak yatim. Ketiga, ingin menghafal Alquran secara keseluruhan. Keempat, ingin menjadi ulama yang alim. 

Para pembaca, mari kita berdoa bersama-sama, semoga semua obsesi Ustaz Nababan dikabulkan oleh Allah. Amin.

Domery Alpacino
Catatan: Pernah dimuat di majalah Islam Alkisah


Tidak ada komentar:

Posting Komentar