Laman

Senin, 31 Oktober 2005

Kisah Wartawan Mencari Tuhan

Ia memeluk Islam setelah mengakui agama yang dibawa Rasulullah itu paling sempurna. Setelah menjadi muslim, ia merasa tenang dan damai. 

store.tempo.co
KINI rumah itu sudah berdiri kokoh kembali setelah terbakar habis bersama sederet rumah-rumah lain sekitar 12 tahun silam. Ketika itu, saat sahur tiba, empat hari menjelang hari raya Idul Fitri, rumah itu terbakar habis. Kini, rumah kecil di lahan kurang dari 100 m2 di Jalan Kenari, Depok Utara, itu sudah kembali tertata baik. Ruang tamu rapih dan apik. Di salah satu sudut ruangan bertengger sebuah lukisan abstrak cukup besar. Meja kursi mungil berselimutkan kain warna hijau toska melengkapi keasriannya. 

Di rumah bertingkat dua itulah Suwatdi Bachrun dan keluarganya tinggal. “Alhamdulillah, saya bisa membangun rumah ini kembali. Saat rumah itu terbakar habis beserta isinya, harta saya yang tersisa hanyalah baju yang melekat di tubuh. Namun, berkat ridha Allah, saya bisa membangun rumah itu kembali,” kata Bachrun bersyukur. 

            Mantan wartawan majalah TEMPO ini juga menjadikan rumah itu sebagai tempat bekerja. Ia punya tiga keahlian. Sebagai penerjemah bahasa Jepang “tersumpah” (diakui keahliannya oleh pemerintah), konsultan feng shui (tata letak), dan fisiognomi (membaca wajah). “Yang dijadikan mata pencaharian adalah penerjemahan bahasa Jepang ke dalam bahaa Indonesia, sedangkan konsultan feng shui dan fisiognomi sekadar hobi saja,” ujar Bachrun yang berencana membentuk grup penggemar kedua hobi itu.

            Alhamdulillah, sampai saat ini ada beberapa biro penerjemah yang memesan terjemahan secara teratur kepada Bachrun. Mialnya, Toyota Astra dan beberapa perusahaan besar Jepang lainnya, meski tidak langsung. Sedangkan kliennya di bidang feng shui dan fisiognomi kebanyakan teman-teman Bachrun sendiri. 

            Ia mendalami dua pengetahuan asal Cina itu dari sejumlah buku, selain mendapat warisan dari ayahandanya yang memang ahli di dua bidang tersebut. Salah satu rujukan utama Bachrun adalah buku fisiognomi yang sangat terkenal di dunia karya Hendry B. Lin, What Your Face Reveals. “Ternyata fisiognomi sudah ada di Cina sejak 2697 sebelum Masehi,” kata Bachrun sambil menunjukkan sebagian isi buku itu. 

            Ia tidak menyangkal ada orang-orang yang memiliki dua keahlian itu yang mengaku mendapat bisikan Tuhan atau jin. “Tapi alhamdulillah, setelah tiga tahun terakhir ini banyak membaca buku asing tentang feng shui dan fisiognomi dari Amerika, Inggris, dan Malaysia, pengetahuan saya mengenai kedua bidang itu semakin bertambah,” tambahnya.

            Ia merasa puas bila berhasil membantu seseorang. Misalnya, ia pernah menasihati seseorang agar kalau tidur kakinya tidak menghadap ke pintu. Sebab, dalam pemikiran orang Cina, hanya tidur mayatlah yang kakinya menghadap ke pintu. Bila dikaji secara ilmiah pun, telapak kaki yang sensitif bisa terkena energi negatif dari lingkungan yang rusak sehingga menjadi sakit. “Jadi, kalau lingkungannya rusak, akibatnya berpengaruh pada kita,” katanya.

Oen Hoat Giap

Di tengah kesibukannya sehari-hari, Bachrun tak pernah telat menjalankan salat fardu lima kali sehari semalam. Bahkan, ia sering bangun malam untuk salat tahajud. Ia juga sering menjalankan ibadah-ibadah sunat lainnya, seperti salat duha dan puasa-puasa sunat. Di usianya yang sudah 58 tahun, ia merasa semakin dekat kepada Allah SWT. Padahal, saat kecil hingga dewasa, lelaki keturunan Tionghoa ini punya latar belakang nonmuslim. 

afandriadya.com

            Bachrun lahir pada 4 Juni 1946 di Jakarta, dari sepasang suami istri berdarah Tionghoa. Ayahandanya bernama Oen Ay Tjiang; ibundanya bernama Thio Soen Nio. Berdasarkan garis keturunan, ayahandanya adalah keturunan ke tiga dari para perantau asal Cina Daratan, sementara ibundanya keturunan ke sembilan. Semula, anak kedua dari empat bersaudara ini bernama Oen Hoat Giap. Pada tahun 1968, saat rezim Orde Baru mengimbau agar orang-orang keturunan Tionghoa berganti nama dengan nama Indonesia, ia pun mengganti namanya dengan Suwatdi Bachrun.

            Nama “Bachrun” ia dapatkan setelah sekian lama mencari-cari di beberapa kuburan dan membaca beberapa buku petunjuk pemberian nama seseorang. “Akhirnya saya menemukan nama Bachrun di satu batu nisan di sebuah makam, meski saat itu saya tidak tahu artinya. Hanya karena ada satu suku kata un di belakang nama itulah, saya tertarik. Kemudian saya diskusikan dengan ayah. Dan ternyata ayah setuju,” katanya sambil tersenyum. 

            Sedangkan nama “Suwatdi” berasal sebuah kata dalam bahasa Thailand, suwatdikrab, yang artinya “selamat.” Ia menemukan kata itu setelah sekian lama sering mengamai orang-orang Thailand yang bila saling bertemu selalu mengucapkan kata suwatdikrab yang artinya selamat. Merasa pas, ia menambahkan nama Suwatdi di belakang nama Bachrun. Namun, saat ia menjadi wartawan Majalah TEMPO (1985-1992), entah bagaimana pemimpin redaksi majalah itu, Goenawan Mohamad membalikkan namanya menjadi Bachrun Suwatdi. Akhirnya, dalam dunia pers ia lebih dikenal dengan nama Bachrun Suwatdi.

            Sejak kecil ia dididik dalam keluarga pemeluk Konghucu yang taat. Menurut Bachrun, Konghucu yang dianut oleh kedua orangtuanya lebih sebagai pandangan hidup, sikap dan cara berpikir ala Konghucu. Dalam kehidupan sehari-hari, ayahandanya mendidik isteri dan anak-anaknya supaya tidak pernah berbuat curang dan culas. Ia juga mempraktikkan kejujuran, loyalitas, dan hormat kepada orang tua. Kalau mau melanggar pola pikiran Konghucu, sebenarnya ayah Bachrun bisa dengan mudah melakukannya. Sebagai ahli feng shui dan fisiognomi, ia selalu dibanjiri banyak tamu yang sebagian besar perempuan cantik. “Pada kesempatan itulah ayah saya bisa saja memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan. Tapi, ia tidak melakukannya,” tutur Bachrun.

Hanya Artifisial

Bachrun juga dididik dalam keluarga yang sangat demokratis. Kedua orangtuanya, khususnya ayahandanya, tidak pernah memaksakan anak-anaknya mengikuti jejak mereka. “Karena itu, ayah saya tidak pernah mengajak anak-anaknya pergi ke kelenteng. Apalagi harus merayakan hari besar Imlek,” katanya. Bachrun sendiri saat itu sudah berpandangan bahwa semua acara itu hanyalah artifisial belaka. Sebab, yang jauh lebih penting adalah mempraktikkan filosofi ajaran Konghucu seperti yang dilakukan oleh ayahandanya.

gkkkmabes.blogspot.com

            Tapi, sejak duduk di SMP Kristen, Jakarta, Bachrun remaja mulai aktif pergi ke gereja, meski tak pernah dibaptis.  Selain terpengaruh oleh teman-temannya, ia juga mendapat dorongan kuat dari ibundanya sendiri -- seorang pemeluk Kristiani yang taat. Hampir setiap Minggu ia tak pernah meninggalkan kegiatan gereja. Aktivitas itu berlangsung terus hingga ia kuliah di Fakultas Sastra Jepang Universitas Indonesia, Jakarta. Di tingkat empat ia mendapat beasiswa dua tahun untuk mengikuti kursus bahasa Jepang di Osaka University of Foreigns Studies, Jepang (1973-1975). 

            Suatu sore, saat hendak masuk ke asrama International Student House – tempat ia mengambil kursus bahasa Jepang – Bachrun mendengar alunan azan dari seorang mahasiswa Pakistan. Alunan azan yang merdu itu membuat jiwa Bachrun tersentuh. Berangsur-angsur terasa adanya ketentraman yang sulit dilukiskan dengan kata-kata. Ingatannya kemudian segera melayang ke kampung halaman di Jakarta. “Usai azan, tiba-tiba saya berurai airmata,” kata Bachrun. Sejak itu, ia mulai mengenal Islam. Hatinya selalu merinding mendengar alunan azan. Padahal, ia belum tahu artinya.

            Saat bekerja di TEMPO, rasa penasarannya terhadap Islam semakin besar. Meski dalam tugas-tugas kewartawanan ia lebih banyak meliput hal-hal yang berkaitan dengan masalah Cina, Budha, dan Konghucu. Ia mencoba bertanya tentang Islam kepada beberapa seniornya seperti Syu’bah Asa. “Dari sinilah saya merasa mendapat pengetahuan baru. Dan, dari sini pula saya belajar apa sebenarnya hakikat kehidupan ini,” katanya. 

            Setiap kali bertanya, ia selalu mencari hal-hal yang berkaitan dengan sebab akibat, masuk di akal atau tidak. Misalnya, benarkah manusia berasal dari tanah? Sebab, sepengetahuan Bachrun, manusia muncul ke permukaan bumi dari hasil hubungan sex antara lelaki dan perempuan.  Mengapa orang yang hendak salat harus berwudhu lebih dahulu? Mengapa orang Islam harus melakukan salat lima kali dalam sehari semalam? 

            Pertanyaan-pertanyaan itu ada yang dijawab secara memuaskan, ada pula yang hingga kini masih terus menggelayut dalam pikirannya. Di antara beberapa jawaban itu ada yang ia dapatkan sendiri setelah sekian lama memeluk Islam. Seperti, mengapa kita harus salat lima kali dalam sehari semalam. “Setelah rajin salat, saya baru ingat bahwa hidup hanya sementara dan pasti akan kembali kepada Sang Khalik. Bila saya pulang dalam keadaan khusnul khatimah, Allah akan memasukkan saya ke dalam surga jannatul firdaus,” katanya.   

Rapi, Detil, Komplet

jakarta45.wordpress.com
Akhirnya ia menilai Islam adalah agama yang terbaik dan paling sempurna. Semua gerak dan tingkah laku makhluk hidup sudah diatur dalam Al-Quran. Pedoman hidup itu demikian rapi, detil, komplet, dan sempurna sehingga apa saja ada, dan cocok pada zaman apa saja. Di tengah pencariannya mengenai hakikat Islam, dua tiga kali Bachrun diam-diam pergi ke masjid Luar Batang, Jakarta Barat. Saat itu, Bachrun memang hanya berani ke masjid itu karena di serambinya ada makam seorang mualaf Tionghoa. “Saya seperti masuk ke dalam rumah sendiri,” katanya.

            Ia tak berani masuk ke masjid-masjid lain, takut ditertawakan orang. Saat itu memang perbedaan ras begitu terasa. Salah sedikit melangkah, bisa jadi panjang urusannya. “Ngapain orang Cina masuk ke masjid?” ujar Bachrun menirukan celotehan orang-orang yang berpikir dangkal tentang Islam. Padahal, sesungguhnya Islam adalah agama rahmatan lil ‘alamin, rahmat bagi semesta alam. 

            Di serambi masjid yang berdiri pada 1730 itu, ia duduk seorang diri. Di sinilah mata Bachrun memandang lama-lama sebuah makam yang terletak di serambi sebelah kiri masjid, yaitu makam Abdul Qadir, seorang mualaf Tionghoa, sahabat seperjuangan dan orang kepercayaan Habib Husain bin Abu Bakar Alaydrus yang wafat pada hari Kamis, 17 Ramadhan 1169 Hijri, bertepatan dengan 24 Juni 1756 Masehi, dimakamkan di sebelah makam Abdul Qadir. “Ternyata, sejak abad 18 sudah ada orang Tionghoa memeluk Islam di daerah ini,” ungkap Bachrun sambil mengagumi sepak terjang sang mualaf.

            Setiap kali duduk di serambi masjid Luar Batang, jiwanya merasa sejuk dan damai. Akhirnya, Bachrun yang saat itu berusia 24 tahun bertekad memilih Islam. Dalam kunjungannya yang ketiga, suatu sore ia menemui imam masjid itu, mengungkapkan niatnya masuk Islam. “Saya ingin masuk Islam,” katanya. “Baik. Kamu ikuti saja kata-kata saya,” jawab imam masjid itu sambil mengucapkan dua kalimat syahadat. Bachrun pun mengikuti ikrar tersebut dengan khusyu. Sejurus kemudian, ia berurai air mata. Kebahagiaan bercampur haru menyelimuti jiwanya. Ia tetap menggunakan nama Bachrun, sebab menurut imam masjid tersebut, Bachrun dalam bahasa Arab berarti “laut”.

            Usai mendengarkan nasihat sang imam masjid, Bachrun segera mengambil air wudhu lalu salat ashar. “Saya salat sendirian meski belum tahu bacaannya. Saya hanya mengikuti apa yang pernah saya lihat,” tuturnya sambil tersenyum. Belakangan, kedua orangtuanya mengetahui ia memeluk Islam. Bachrun pun dipanggil. “Apakah kamu benar sudah masuk Islam? Bila benar, jalankanlah agama barumu itu dengan baik. Semoga kamu menjadi orang yang baik pula,” kata Bachrun menirukan ucapan sang ibunda.

Saling Jatuh Cinta

Kedua orangtua, seorang kakak dan dua adiknya tidak mempermasalahkannya. “Keluarga saya memang dididik dalam suasana demokratis, tidak saling menyalahkan,” ujar Bachrun. Seiring dengan itu, wartawati senior Majalah TEMPO, Tuti Kakiailatoe, memperkenalkannya dengan adiknya, dr. Sri Suprihyati. Perkenalan itu mula-mula biasa-biasa saja, tapi lama kelamaan mereka saling jatuh cinta. Bachrun pun berniat menjalin pernikahan dengan Sri Suprihyati. Tapi, calon istri minta Bachrun masuk Islam dengan bukti selembar surat resmi. Sebaliknya, Bachrun sendiri merasa sudah resmi masuk Islam, meski tanpa selembar surat pengakuan. 

Belakangan Bachrun baru tahu, dalam perkawinan di Indonesia, seseorang yang tadinya nonmuslim dan masuk Islam disyaratkan melampirkan surat resmi dari Kantor Urusan Agama. Maka ia pun meminta saran kepada seorang tokoh muslim keturunan Tionghoa, Yunus Yahya. “Pak, saya punya kesulitan mengurus surat-surat yang menyatakan diri saya masuk Islam,” katanya. “Gampang. Datang saja ke masjid Istiqlal, Jakarta,” saran Yunus Yahya.

Di Istiqlal, ia mengutarakan maksudnya, lalu dibimbing mengucapkan kembali dua kalimat syahadat, meski sejatinya ia sudah muslim. Maka ia pun mendapat secarik kertas yang menyatakan sudah masuk Islam pada Juni 1981. Saat hendak melaksanakan ijab kabul dalam upacara pernikahan, kembali ia harus mengucapkan dua kalimat syahadat. Maka Bachrun pun melangsungkan pernikahan pada 3 Oktober 1981, dan kini dikaruniai dua orang anak.

Di awal masuk Islam, Bachrun belum bisa melaksanakan salat secara semurna. Sebaliknya, ia malu bertanya kepada sembarang orang muslim. Akhirnya ia bertemu dengan Muhaimin Ali, salah seorang teman baiknya, sekaligus pengurus sebuah masjid. “Mas, saya minta tolong diajari salat, ya?” kata Bachrun. “Baik. Ayo ikuti saya salat dhuhur,” jawab Muhaimin. Setelah belajar dan menghafal bacaan salat beberapa kali, Bachrun mulai bisa mempraktekkannya lebih lancar. Ia berterima kasih kepada Muhaimin yang mampu mengajarinya dengan sabar dan tekun, tanpa mentertawakannya. Ia sempat belajar mengaji kepada tetangga depan rumahnya, seminggu tiga kali. Karena kesibukannya, hanya dua bulan ia bisa belajar mengaji secara tekun. Tapi, dalam waktu sesingkat itu ia sudah agak fasih membaca Al-Quran.  
 Naik Haji
zadandunia.blogspot.com
Pada tahun 1997, tiba-tiba Bachrun mendapat telepon dari Yunus Yahya. “Run, kamu mau beribadah haji?” kata Yunus. “Duitnya dari mana, pak?” jawab Bachrun.
“Kalau kamu mau, sediakan saja uang untuk tiket pesawat. Soal penginapan dan lain-lainnya saya tanggung,” kata Yunus lagi. “Saya pikir-pikir dululah,” jawab Bachrun sambil lalu. “Tidak ada pikir-pikir. Saya beri kamu waktu lima menit!” sela Yunus setengah memaksa. “Baik, saya terima!” jawab Bachrun mantap, meski sejatinya ia ragu-ragu. 

Dua hari kemudian, ternyata ia hanya diminta membayar biaya fiskal saja. Semua biaya perjalanan haji ditanggung oleh Rabiah Alam Islami dari Kerajaan Arab Saudi. Organisasi ini setiap tahun memberi biaya perjalanan haji secara gratis kepada beberapa orang Indonesia melalui sebgai lembaga. Salah satunya Yayasan Masjid Abdoel Karim Oei, Jakarta. Di tengah kebahagiaan itu, Bachrun mengalami pergolakan batin luar biasa.

Ia masih bekerja di salah satu perusahaan Jepang yang sangat ketat aturan cutinya. Segala yang berkaitan dengan cuti, maksimal hanya diberi waktu 12 hari kerja, padahal ibadah haji perlu waktu minimal 40 hari. “Kalau saya keluar dari pekerjaan ini belum tentu mendapat pekerjaan lagi yang posisinya sama. Di tempat ini saya menduduki posisi manajer dan orang ketiga di PT Bando Indonesia dengan gaji yang besar. Sementara, kalau saya mengajukan cuti selama menunaikan ibadah haji, rasanya tidak mungkin diterima. Padahal, saya sudah telanjur menerima tawaran beribadah haji secara gratis. Kalau dibatalkan, saya malu dan merasa salah,” pikir Bachrun.

Suatu malam, Bachrun melakukan salat tahajud. Usai salat ia berdoa kepada Allah SWT agar mendapat petunjuk yang baik bagaimana memecahkan persoalan yang rumit ini. Pagi harinya, Bachrun memberanikan diri menghadap bosnya di kantor. Sebelum menghadap pimpinan, ia melakukan salat dhuha. Ia berdoa sekali lagi minta diberi kemudahan untuk bisa menjalankan rukun Islam kelima itu. Dan, alhamdulillah, ternyata bosnya mengizinkannya menunaikan ibadah haji.

“Wah, Anda mestinya bersyukur. Sebagai orang Islam, Anda harus beribadah haji. Kapan Anda berangkat? Berapa lama Anda minta cuti, saya kasih,” kata sang bos. “Saya pernah ke sana. Pokoknya kamu harus ke sana juga. Mekah benar-benar menakjubkan,” ujar bosnya meyakinkan. Meski pimpinan kantor Bachrun nonmuslim, pernah menginjakkan kaki di Mekah sebagai teknisi peralatan sound system – setelah mendapat izin Kerajaan Arab Saudi.

Bersungut dan Ngotot

plus.google.com
Di tanah suci, Bachrun mendapat cobaan yang aneh. Suatu siang, ia baru saja selesai berdesak-desakan mengambil air zamzam. Setelah itu, ia salat sunat. Usai salat, tiba-tiba ada seorang Iran minta air milik Bachrun. Merasa telah bersusah payah mengambil air zamzam, ia tak mau memberikannya meski hanya sebagian. Ia menyuruh orang itu mengambil sendiri. “Ambil saja sendiri di sana supaya kamu puas!” kata Bachrun bersungut.
Tapi, orang itu ngotot. Tanpa disadari, Bachrun mengeluarkan kata-kata umpanan dalam bahasa Indonesia.

            Saat hendak pulang ke hotel, ia kesasar. Beberapa jam lamanya ia bingung tak tahu arah. Untunglah, ia ingat punya kartu nama yang dikalungkan di lehernya. Ia lalu minta bantuan petugas untuk mengantarkan pulang. “Saya merasa ini cobaan dari Allah. Ternyata, orang tidak boleh ngomong sembarangan,” kata Bachrun membaca istigfar. Tapi ia juga empat mendapat kenikmatan luar biasa. Di depan Kabah ia menangis terharu. Ia tak menyangka bisa mengunjungi Rumah Allah tanpa mengeluarkan biaya. Ia berdoa agar sesampai di tanah air bisa lebih mendarmabaktikan hidupnya untuk Allah. Pulang dari berhaji, ia aktif di Masjid Karim Oei di Jalan Lautse, Pasar Baru, Jakarta Pusat. Ia sempat memimpin seksi penelitian dan pengembangan selama satu tahun.

Ia sudah lupa cobaan Allah di Mekah, sampai ketika suatu hari, ada seorang teman yang baru pulang berhaji memberikan air zamzam. Ia berucap dalam hati, “Air yang hanya begini saja kok begitu banyak dikagumi orang. Sebenarnya ada apanya, sih?” Sejurus kemudian seluruh tubuh Bachrun terasa kaku dan berat. Seolah ia kena stroke. Ia pun ingat kejadian di Mekah dulu. Ia lalu buru-buru salat sunah dan bertaubat.

Ia menangis dan mohon ampun kepada Allah SWT. Ia berdoa agar seluruh tubuhnya dikembalikan sehat seperti sedia kala. Tak beberapa lama, seluruh tubuh Bachrun kembali normal. Ia bersyukur. “Orang memang tidak boleh takabur, sekalipun dalam batin. Sebaliknya, Allah akan mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Nya seperti disebutkan dalam surat Al-Baqarah ayat 186,” katanya lagi. Maka Haji Bachrun Suwatdi pun tak habis-habisnya bersyukur….

Domery Alpacino
Catatan: Pernah dimuat di majalah Islam Alkisah


Tidak ada komentar:

Posting Komentar