Ia memeluk Islam setelah mengakui agama yang dibawa
Rasulullah itu paling sempurna. Setelah menjadi muslim, ia merasa tenang dan
damai.
store.tempo.co |
Di
rumah bertingkat dua itulah Suwatdi Bachrun dan keluarganya tinggal.
“Alhamdulillah, saya bisa membangun rumah ini kembali. Saat rumah itu terbakar
habis beserta isinya, harta saya yang tersisa hanyalah baju yang melekat di
tubuh. Namun, berkat ridha Allah, saya bisa membangun rumah itu kembali,” kata
Bachrun bersyukur.
Mantan
wartawan majalah TEMPO ini juga menjadikan rumah itu sebagai tempat bekerja. Ia
punya tiga keahlian. Sebagai penerjemah bahasa Jepang “tersumpah” (diakui
keahliannya oleh pemerintah), konsultan feng shui (tata letak), dan
fisiognomi (membaca wajah). “Yang dijadikan mata pencaharian adalah
penerjemahan bahasa Jepang ke dalam bahaa Indonesia, sedangkan konsultan feng
shui dan fisiognomi sekadar hobi saja,” ujar Bachrun yang berencana
membentuk grup penggemar kedua hobi itu.
Alhamdulillah,
sampai saat ini ada beberapa biro penerjemah yang memesan terjemahan secara
teratur kepada Bachrun. Mialnya, Toyota Astra dan beberapa perusahaan besar
Jepang lainnya, meski tidak langsung. Sedangkan kliennya di bidang feng shui
dan fisiognomi kebanyakan teman-teman Bachrun sendiri.
Ia
mendalami dua pengetahuan asal Cina itu dari sejumlah buku, selain mendapat
warisan dari ayahandanya yang memang ahli di dua bidang tersebut. Salah satu
rujukan utama Bachrun adalah buku fisiognomi yang sangat terkenal di dunia
karya Hendry B. Lin, What Your Face Reveals. “Ternyata fisiognomi sudah
ada di Cina sejak 2697 sebelum Masehi,” kata Bachrun sambil menunjukkan
sebagian isi buku itu.
Ia
tidak menyangkal ada orang-orang yang memiliki dua keahlian itu yang mengaku
mendapat bisikan Tuhan atau jin. “Tapi alhamdulillah, setelah tiga tahun
terakhir ini banyak membaca buku asing tentang feng shui dan fisiognomi
dari Amerika, Inggris, dan Malaysia, pengetahuan saya mengenai kedua bidang itu
semakin bertambah,” tambahnya.
Ia
merasa puas bila berhasil membantu seseorang. Misalnya, ia pernah menasihati
seseorang agar kalau tidur kakinya tidak menghadap ke pintu. Sebab, dalam
pemikiran orang Cina, hanya tidur mayatlah yang kakinya menghadap ke pintu.
Bila dikaji secara ilmiah pun, telapak kaki yang sensitif bisa terkena energi
negatif dari lingkungan yang rusak sehingga menjadi sakit. “Jadi, kalau
lingkungannya rusak, akibatnya berpengaruh pada kita,” katanya.
Oen
Hoat Giap
Di tengah kesibukannya
sehari-hari, Bachrun tak pernah telat menjalankan salat fardu lima kali sehari
semalam. Bahkan, ia sering bangun malam untuk salat tahajud. Ia juga sering
menjalankan ibadah-ibadah sunat lainnya, seperti salat duha dan puasa-puasa
sunat. Di usianya yang sudah 58 tahun, ia merasa semakin dekat kepada Allah
SWT. Padahal, saat kecil hingga dewasa, lelaki keturunan Tionghoa ini punya
latar belakang nonmuslim.
afandriadya.com |
Bachrun
lahir pada 4 Juni 1946 di Jakarta, dari sepasang suami istri berdarah Tionghoa.
Ayahandanya bernama Oen Ay Tjiang; ibundanya bernama Thio Soen Nio. Berdasarkan
garis keturunan, ayahandanya adalah keturunan ke tiga dari para perantau asal
Cina Daratan, sementara ibundanya keturunan ke sembilan. Semula, anak kedua
dari empat bersaudara ini bernama Oen Hoat Giap. Pada tahun 1968, saat rezim
Orde Baru mengimbau agar orang-orang keturunan Tionghoa berganti nama dengan
nama Indonesia, ia pun mengganti namanya dengan Suwatdi Bachrun.
Nama
“Bachrun” ia dapatkan setelah sekian lama mencari-cari di beberapa kuburan dan
membaca beberapa buku petunjuk pemberian nama seseorang. “Akhirnya saya
menemukan nama Bachrun di satu batu nisan di sebuah makam, meski saat itu saya
tidak tahu artinya. Hanya karena ada satu suku kata un di belakang nama
itulah, saya tertarik. Kemudian saya diskusikan dengan ayah. Dan ternyata ayah
setuju,” katanya sambil tersenyum.
Sedangkan
nama “Suwatdi” berasal sebuah kata dalam bahasa Thailand, suwatdikrab,
yang artinya “selamat.” Ia menemukan kata itu setelah sekian lama sering
mengamai orang-orang Thailand yang bila saling bertemu selalu mengucapkan kata suwatdikrab
yang artinya selamat. Merasa pas, ia menambahkan nama Suwatdi di belakang nama
Bachrun. Namun, saat ia menjadi wartawan Majalah TEMPO (1985-1992), entah
bagaimana pemimpin redaksi majalah itu, Goenawan Mohamad membalikkan namanya
menjadi Bachrun Suwatdi. Akhirnya, dalam dunia pers ia lebih dikenal dengan
nama Bachrun Suwatdi.
Sejak
kecil ia dididik dalam keluarga pemeluk Konghucu yang taat. Menurut Bachrun,
Konghucu yang dianut oleh kedua orangtuanya lebih sebagai pandangan hidup,
sikap dan cara berpikir ala Konghucu. Dalam kehidupan sehari-hari, ayahandanya
mendidik isteri dan anak-anaknya supaya tidak pernah berbuat curang dan culas.
Ia juga mempraktikkan kejujuran, loyalitas, dan hormat kepada orang tua. Kalau
mau melanggar pola pikiran Konghucu, sebenarnya ayah Bachrun bisa dengan mudah
melakukannya. Sebagai ahli feng shui dan fisiognomi, ia selalu dibanjiri
banyak tamu yang sebagian besar perempuan cantik. “Pada kesempatan itulah ayah
saya bisa saja memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan. Tapi, ia tidak
melakukannya,” tutur Bachrun.
Hanya
Artifisial
Bachrun juga dididik dalam
keluarga yang sangat demokratis. Kedua orangtuanya, khususnya ayahandanya,
tidak pernah memaksakan anak-anaknya mengikuti jejak mereka. “Karena itu, ayah
saya tidak pernah mengajak anak-anaknya pergi ke kelenteng. Apalagi harus
merayakan hari besar Imlek,” katanya. Bachrun sendiri saat itu sudah
berpandangan bahwa semua acara itu hanyalah artifisial belaka. Sebab, yang jauh
lebih penting adalah mempraktikkan filosofi ajaran Konghucu seperti yang
dilakukan oleh ayahandanya.
![]() |
gkkkmabes.blogspot.com |
Tapi,
sejak duduk di SMP Kristen, Jakarta, Bachrun remaja mulai aktif pergi ke
gereja, meski tak pernah dibaptis.
Selain terpengaruh oleh teman-temannya, ia juga mendapat dorongan kuat
dari ibundanya sendiri -- seorang pemeluk Kristiani yang taat. Hampir setiap
Minggu ia tak pernah meninggalkan kegiatan gereja. Aktivitas itu berlangsung
terus hingga ia kuliah di Fakultas Sastra Jepang Universitas Indonesia,
Jakarta. Di tingkat empat ia mendapat beasiswa dua tahun untuk mengikuti kursus
bahasa Jepang di Osaka University of Foreigns Studies, Jepang (1973-1975).
Suatu
sore, saat hendak masuk ke asrama International Student House – tempat ia
mengambil kursus bahasa Jepang – Bachrun mendengar alunan azan dari seorang
mahasiswa Pakistan. Alunan azan yang merdu itu membuat jiwa Bachrun tersentuh.
Berangsur-angsur terasa adanya ketentraman yang sulit dilukiskan dengan
kata-kata. Ingatannya kemudian segera melayang ke kampung halaman di Jakarta.
“Usai azan, tiba-tiba saya berurai airmata,” kata Bachrun. Sejak itu, ia mulai mengenal Islam. Hatinya
selalu merinding mendengar alunan azan. Padahal, ia belum tahu artinya.
Saat bekerja di TEMPO, rasa penasarannya terhadap Islam
semakin besar. Meski dalam tugas-tugas kewartawanan ia lebih banyak meliput
hal-hal yang berkaitan dengan masalah Cina, Budha, dan Konghucu. Ia mencoba
bertanya tentang Islam kepada beberapa seniornya seperti Syu’bah Asa. “Dari
sinilah saya merasa mendapat pengetahuan baru. Dan, dari sini pula saya belajar
apa sebenarnya hakikat kehidupan ini,” katanya.
Setiap kali bertanya, ia selalu
mencari hal-hal yang berkaitan dengan sebab akibat, masuk di akal atau tidak.
Misalnya, benarkah manusia berasal dari tanah? Sebab, sepengetahuan Bachrun,
manusia muncul ke permukaan bumi dari hasil hubungan sex antara lelaki dan
perempuan. Mengapa orang yang hendak
salat harus berwudhu lebih dahulu? Mengapa orang Islam harus melakukan salat
lima kali dalam sehari semalam?
Pertanyaan-pertanyaan
itu ada yang dijawab secara memuaskan, ada pula yang hingga kini masih terus
menggelayut dalam pikirannya. Di antara beberapa jawaban itu ada yang ia
dapatkan sendiri setelah sekian lama memeluk Islam. Seperti, mengapa kita harus
salat lima kali dalam sehari semalam. “Setelah rajin salat, saya baru ingat
bahwa hidup hanya sementara dan pasti akan kembali kepada Sang Khalik. Bila
saya pulang dalam keadaan khusnul khatimah, Allah akan memasukkan saya ke dalam
surga jannatul firdaus,” katanya.
Rapi,
Detil, Komplet
jakarta45.wordpress.com |
Ia
tak berani masuk ke masjid-masjid lain, takut ditertawakan orang. Saat itu
memang perbedaan ras begitu terasa. Salah sedikit melangkah, bisa jadi panjang
urusannya. “Ngapain orang Cina masuk ke masjid?” ujar Bachrun menirukan
celotehan orang-orang yang berpikir dangkal tentang Islam. Padahal,
sesungguhnya Islam adalah agama rahmatan lil ‘alamin, rahmat bagi
semesta alam.
Di
serambi masjid yang berdiri pada 1730 itu, ia duduk seorang diri. Di sinilah
mata Bachrun memandang lama-lama sebuah makam yang terletak di serambi sebelah
kiri masjid, yaitu makam Abdul Qadir, seorang mualaf Tionghoa, sahabat
seperjuangan dan orang kepercayaan Habib Husain bin Abu Bakar Alaydrus yang wafat
pada hari Kamis, 17 Ramadhan 1169 Hijri, bertepatan dengan 24 Juni 1756 Masehi,
dimakamkan di sebelah makam Abdul Qadir. “Ternyata, sejak abad 18 sudah ada
orang Tionghoa memeluk Islam di daerah ini,” ungkap Bachrun sambil mengagumi
sepak terjang sang mualaf.
Setiap
kali duduk di serambi masjid Luar Batang, jiwanya merasa sejuk dan damai. Akhirnya, Bachrun yang saat itu berusia 24 tahun
bertekad memilih Islam. Dalam kunjungannya yang ketiga, suatu sore ia menemui
imam masjid itu, mengungkapkan niatnya masuk Islam. “Saya ingin masuk Islam,”
katanya. “Baik. Kamu ikuti saja kata-kata saya,” jawab imam masjid itu sambil
mengucapkan dua kalimat syahadat. Bachrun pun
mengikuti ikrar tersebut dengan khusyu. Sejurus kemudian, ia berurai air mata.
Kebahagiaan bercampur haru menyelimuti jiwanya. Ia tetap menggunakan nama Bachrun, sebab menurut
imam masjid tersebut, Bachrun dalam bahasa Arab berarti “laut”.
Usai mendengarkan nasihat sang imam masjid, Bachrun
segera mengambil air wudhu lalu salat ashar. “Saya salat
sendirian meski belum tahu bacaannya. Saya hanya mengikuti apa yang pernah saya
lihat,” tuturnya sambil tersenyum. Belakangan, kedua orangtuanya mengetahui ia
memeluk Islam. Bachrun pun dipanggil. “Apakah kamu benar sudah masuk Islam?
Bila benar, jalankanlah agama barumu itu dengan baik. Semoga kamu menjadi orang
yang baik pula,” kata Bachrun menirukan ucapan sang ibunda.
Saling
Jatuh Cinta
Kedua orangtua, seorang kakak
dan dua adiknya tidak mempermasalahkannya. “Keluarga saya memang dididik dalam
suasana demokratis, tidak saling menyalahkan,” ujar Bachrun. Seiring dengan itu, wartawati senior Majalah
TEMPO, Tuti Kakiailatoe, memperkenalkannya dengan adiknya, dr. Sri Suprihyati.
Perkenalan itu mula-mula biasa-biasa saja, tapi lama kelamaan mereka saling jatuh
cinta. Bachrun pun berniat menjalin pernikahan dengan Sri
Suprihyati. Tapi, calon istri minta Bachrun masuk Islam dengan bukti selembar
surat resmi. Sebaliknya, Bachrun sendiri merasa sudah resmi masuk Islam, meski
tanpa selembar surat pengakuan.
Belakangan
Bachrun baru tahu, dalam perkawinan di Indonesia, seseorang yang tadinya
nonmuslim dan masuk Islam disyaratkan melampirkan surat resmi dari Kantor
Urusan Agama. Maka ia pun meminta saran kepada seorang tokoh muslim keturunan
Tionghoa, Yunus Yahya. “Pak, saya punya kesulitan mengurus surat-surat yang
menyatakan diri saya masuk Islam,” katanya. “Gampang. Datang saja ke masjid
Istiqlal, Jakarta,” saran Yunus Yahya.
Di Istiqlal, ia mengutarakan
maksudnya, lalu dibimbing mengucapkan kembali dua kalimat syahadat, meski
sejatinya ia sudah muslim. Maka ia pun mendapat secarik kertas yang menyatakan
sudah masuk Islam pada Juni 1981. Saat hendak melaksanakan ijab kabul dalam
upacara pernikahan, kembali ia harus mengucapkan dua kalimat syahadat. Maka
Bachrun pun melangsungkan pernikahan pada 3 Oktober 1981, dan kini dikaruniai
dua orang anak.
Di
awal masuk Islam, Bachrun belum bisa melaksanakan salat secara semurna.
Sebaliknya, ia malu bertanya kepada sembarang orang muslim. Akhirnya ia bertemu
dengan Muhaimin Ali, salah seorang teman baiknya, sekaligus pengurus sebuah
masjid. “Mas, saya minta tolong diajari salat, ya?” kata Bachrun. “Baik. Ayo
ikuti saya salat dhuhur,” jawab Muhaimin. Setelah belajar dan menghafal bacaan
salat beberapa kali, Bachrun mulai bisa mempraktekkannya lebih lancar. Ia
berterima kasih kepada Muhaimin yang mampu mengajarinya dengan sabar dan tekun,
tanpa mentertawakannya. Ia sempat belajar mengaji kepada tetangga depan
rumahnya, seminggu tiga kali. Karena kesibukannya, hanya dua bulan ia bisa
belajar mengaji secara tekun. Tapi, dalam waktu sesingkat itu ia sudah agak
fasih membaca Al-Quran.
Naik Haji
zadandunia.blogspot.com |
“Kalau kamu mau, sediakan saja uang untuk tiket
pesawat. Soal penginapan dan lain-lainnya saya tanggung,” kata Yunus lagi.
“Saya pikir-pikir dululah,” jawab Bachrun sambil lalu. “Tidak ada pikir-pikir.
Saya beri kamu waktu lima menit!” sela Yunus setengah memaksa. “Baik, saya
terima!” jawab Bachrun mantap, meski sejatinya ia ragu-ragu.
Dua hari kemudian, ternyata ia
hanya diminta membayar biaya fiskal saja. Semua biaya perjalanan haji
ditanggung oleh Rabiah Alam Islami dari Kerajaan Arab Saudi. Organisasi ini
setiap tahun memberi biaya perjalanan haji secara gratis kepada beberapa orang
Indonesia melalui sebgai lembaga. Salah satunya Yayasan Masjid Abdoel Karim
Oei, Jakarta. Di tengah kebahagiaan itu, Bachrun mengalami pergolakan batin luar
biasa.
Ia masih bekerja di salah satu
perusahaan Jepang yang sangat ketat aturan cutinya. Segala yang berkaitan
dengan cuti, maksimal hanya diberi waktu 12 hari kerja, padahal ibadah haji
perlu waktu minimal 40 hari. “Kalau saya keluar dari pekerjaan ini belum tentu
mendapat pekerjaan lagi yang posisinya sama. Di tempat ini saya menduduki
posisi manajer dan orang ketiga di PT Bando Indonesia dengan gaji yang besar.
Sementara, kalau saya mengajukan cuti selama menunaikan ibadah haji, rasanya
tidak mungkin diterima. Padahal, saya sudah telanjur menerima tawaran beribadah
haji secara gratis. Kalau dibatalkan, saya malu dan merasa salah,” pikir
Bachrun.
Suatu malam, Bachrun melakukan
salat tahajud. Usai salat ia berdoa kepada Allah SWT agar mendapat petunjuk yang
baik bagaimana memecahkan persoalan yang rumit ini. Pagi harinya, Bachrun
memberanikan diri menghadap bosnya di kantor. Sebelum menghadap pimpinan, ia
melakukan salat dhuha. Ia berdoa sekali lagi minta diberi kemudahan untuk bisa
menjalankan rukun Islam kelima itu. Dan, alhamdulillah, ternyata bosnya
mengizinkannya menunaikan ibadah haji.
“Wah, Anda mestinya bersyukur.
Sebagai orang Islam, Anda harus beribadah haji. Kapan Anda berangkat? Berapa
lama Anda minta cuti, saya kasih,” kata sang bos. “Saya pernah ke sana.
Pokoknya kamu harus ke sana juga. Mekah benar-benar menakjubkan,” ujar bosnya
meyakinkan. Meski pimpinan kantor Bachrun nonmuslim, pernah menginjakkan kaki
di Mekah sebagai teknisi peralatan sound system – setelah mendapat izin
Kerajaan Arab Saudi.
Bersungut
dan Ngotot
plus.google.com |
Tapi, orang itu ngotot. Tanpa disadari, Bachrun
mengeluarkan kata-kata umpanan dalam bahasa Indonesia.
Saat
hendak pulang ke hotel, ia kesasar. Beberapa jam lamanya ia bingung tak tahu
arah. Untunglah, ia ingat punya kartu nama yang dikalungkan di lehernya. Ia
lalu minta bantuan petugas untuk mengantarkan pulang. “Saya merasa ini cobaan
dari Allah. Ternyata, orang tidak boleh ngomong sembarangan,” kata Bachrun
membaca istigfar. Tapi ia juga empat mendapat kenikmatan luar biasa. Di depan
Kabah ia menangis terharu. Ia tak menyangka bisa mengunjungi Rumah Allah tanpa
mengeluarkan biaya. Ia berdoa agar sesampai di tanah air bisa lebih
mendarmabaktikan hidupnya untuk Allah. Pulang dari berhaji, ia aktif di Masjid
Karim Oei di Jalan Lautse, Pasar Baru, Jakarta Pusat. Ia sempat memimpin seksi
penelitian dan pengembangan selama satu tahun.
Ia sudah lupa cobaan Allah di
Mekah, sampai ketika suatu hari, ada seorang teman yang baru pulang berhaji
memberikan air zamzam. Ia berucap dalam hati, “Air yang hanya begini saja kok
begitu banyak dikagumi orang. Sebenarnya ada apanya, sih?” Sejurus kemudian
seluruh tubuh Bachrun terasa kaku dan berat. Seolah ia kena stroke. Ia pun
ingat kejadian di Mekah dulu. Ia lalu buru-buru salat sunah dan bertaubat.
Ia menangis dan mohon ampun
kepada Allah SWT. Ia berdoa agar seluruh tubuhnya dikembalikan sehat seperti
sedia kala. Tak beberapa lama, seluruh tubuh Bachrun kembali normal. Ia
bersyukur. “Orang memang tidak boleh takabur, sekalipun dalam batin.
Sebaliknya, Allah akan mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia
memohon kepada-Nya seperti disebutkan dalam surat Al-Baqarah ayat 186,” katanya lagi. Maka Haji Bachrun Suwatdi pun
tak habis-habisnya bersyukur….
Domery Alpacino
Catatan: Pernah dimuat di majalah Islam Alkisah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar