Setelah memeluk Islam, seorang keturunan Cina ini selalu
menjaga wudlu dan zikir. Kini dalam hidupnya ia merasa lebih tenang, sabar dan
rendah hati. Teristimewa, sering berjumpa dengan Rasulullah SAW.
nasional.inilah.com |
“Saya tidak memaksakan diri dari
keadaan bersuci. Tapi,
sebisa mungkin saya selalu berwudlu kembali bila batal atau emosi. Bukahkah
dengan wudhu, marah bisa dipadamkan?” tutur Bina, seraya menyitir sebuah hadish
yang diriwayatkan Imam Abu Dawud. Muhammad Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya
marah itu termasuk perbuatan setan, dan setan itu diciptakan dari api. Api
hanya dapat dipadamkan dengan air. Oleh karena itu apabila seseorang di antara
kalian marah, hendaknya ia berwudlu.”
Sejak
menjaga wudlunya setiap saat – bahkan saat hendak tidur sekalipun -- Bina
mengaku terhindar dari sifat marah dan nafsu laumamah, nafsu amarah. Selain,
ia mengaku lebih dekat kepada sang Khalik-Nya. “Dengan terbiasa mensucikan
diri, saya merasa bisa lebih tenang dan bersabar dalam menghadapi segala
sesuatu. Bukankah Allah menyukai orang-orang yang sabar dan salat? Tutur Bina,
sambil menyitir Al-Quran, surah Al-Baqarah (2: 153): Hai orang-orang yang
beriman, jadikanlah sabar dan salat sebagai penolongmu. Sesungguhnya Allah
beserta orang-orang yang sabar.
Awal
menjaga wudlu, ia ekstrim. Ia sempat menolak bersalaman kepada bukan
mukhrimnya. Tapi, lambat laun, ia sadar. Allah SWT saja tidak menyulitkan
hambanya untuk selalu berbakti kepada-Nya. “Ya, Allah, apakah saya harus begini
terus?” doanya dalam hati.
Rupanya, Allah membukakan mata hatinya. Selain tidak lagi ekstrim, ia juga mendapat petunjuk dari-Nya agar tidak lepas dari zikir, setiap saat. “Saya berusaha tidak pernah lepas dari alat Tasbih. Saya tidak ada niat untuk nampang atau ria. Dan, Tasbih bagi saya hanyalah alat. Ia punya dua fungsi. Pertama, alat untuk mengingatkan saya selalu berzikir. Kedua, alat untuk menghitung, meski angka sebenarnya tidak diperlukan,” katanya.
Rupanya, Allah membukakan mata hatinya. Selain tidak lagi ekstrim, ia juga mendapat petunjuk dari-Nya agar tidak lepas dari zikir, setiap saat. “Saya berusaha tidak pernah lepas dari alat Tasbih. Saya tidak ada niat untuk nampang atau ria. Dan, Tasbih bagi saya hanyalah alat. Ia punya dua fungsi. Pertama, alat untuk mengingatkan saya selalu berzikir. Kedua, alat untuk menghitung, meski angka sebenarnya tidak diperlukan,” katanya.
Nah,
dengan ibu jari serta jari telunjuk menggerakkan tasbih, maka sebenarnya itu
bagian dari olahraga. Seiring jari-jarinya setengah berputar menggerakkan
tasbih, metabolisme darah berjalan. “Karena
metabolisme darah bergerak ke seluruh tubuh, akhirnya tubuh dan pikiran
menjadi lebih cerah,” urainya.
Kini
memang banyak orang menilai ia lebih cerah, sabar, kalem, dan tenang. “Tapi,
semata-mata saya tidak punya tujuan ke arah sana. Saya hanya punya tujuan
bagaimana bisa selalu ingat kepada Allah sang Pencipta dan selalu bersyukur
kepada-Nya,” jelasnya.
Sejak
memeluk Islam empat tahun lalu – dan entah karena selalu menjaga wudlu dan
berzikir -- Bina mengaku kerap bertemu dengan Rasulullah dan beberapa
sahabatnya, baik lewat mimpi atau sedang dalam keadaan sadar. Ceritanya, saat
ia umroh kali pertama pada tahun 2000, setelah menunaikan ibadah haji pertama.
Suatu sore, ia berzikir di Masjid Nabawi, Medinah. Di puncak melafazkan
kalimat-kalimat Allah itulah, seorang berpakaian panglima perang masa
Rasulullah mendatangi Bina. Ia mengucapkan salam dan sejurus kemudian lenyap.
“Suara hati saya, ia adalah Umar Bin Khatab, sahabat Rasulullah,” katanya.
beritadaerah.co.id |
Pada
kesempatan lain, masih saat Umroh tahun 2000, Bina sedang berzikir di lereng
gunung Jabal Nur dekat Gua Hira. Tiba-tiba,
seseorang dengan jubah putih, berdiri tidak jauh dari Bina. Sejurus
kemudian, seseorang dengan wajah yang sangat terang itu mengucap kepada
beberapa orang yang ada di dekatnya, “Mari kita doakan untuk Bina”. Tak lama
kemudian orang itu hilang. “Suara hati saya, lagi-lagi mengatakan bahwa orang
itu adalah Rasulullah,” ungkapnya. Dan, ketika ia mengisahkan peristiwa itu
kepada seorang kiai yang wara, lagi-lagi mengamininya.
Dua
tahun kemudian, saat menunaikan ibadah haji yang kedua, Bina diajak seorang
kiai wara untuk melakukan salat Tahajud di Masjidil Haram, Mekah. Nah, usai
salat malam itu, sang kiai menunjuki Bina seseorang bersorban hijau sedang
melakukan tawaf. “Lihat, itu Rasulullah sedang melakukan tawaf,” kata sang kiai
itu kepada Bina. Dan, Bina memang menyaksikan orang yang dimaksud sedang
melakukan tawaf begitu cepat bagai kilat, sehingga yang tampak hanya seperti sorban
yang berputar. Sejurus kemudian, Bina melakukan sujud syukur.
play.google.com |
Ketaqwaannya
yang terus meningkat, tentu saja lahir bukan seperti mendapatkan “durian
runtuh”, tapi melalui sebuah proses yang berliku. Lahir di
Jakarta, pada 21 Januari 1948, ia anak bungsu dari tujuh bersaudara pasangan Na
Thay Oe dan Tan Oen Yoe. Berdasarkan garis keturunan, kedua orangtuanya adalah
asli Cina totok kelahiran provinsi Hok Yan, Cina – sebelah selatan Taiwan. Setelah menikah, mereka hijrah ke Indonesia.
Semula ia bernama Na Tjoe Bin,
dengan panggilan akrab Bina. Pada awal 1967, saat rezim Orde Baru mengimbau
agar keturunan Tionghoa berganti nama dengan nama Indonesia, ia mengganti nama
dirinya dengan Bina Suhendra – semua kakaknya juga menggunakan nama Suhendra.
Tidak seperti keturunan Tionghoa
pada umumnya, yang setia pada tradisi Konghucu, Bina kecil hanya dibesarkan
dalam tradisi keluarga Kristen Pantekosta yang kental. Maklum, sejak kecil
kedua orangtuanya sudah setia menganut agama Kristen Pantekosta di tanah
leluhurnya. Bahkan, kakeknya – dari garis ayah – adalah pengabar Injil yang
cukup ternama di propinsi Hok Yan, Cina.
Setiap Minggu, keluarga ini
mengikuti kebaktian di sebuah gereja tak jauh dari rumahnya di daerah Pasar
Baru, Jakarta Pusat. Bina dan kakak-kakaknya selalu ikut serta. “Kedua orangtua
saya tidak pernah memaksakan saya pergi ke gereja. Cuma, yang namanya anak
bungsu, bila mereka pergi ke gereja, maka saya selalu ikut serta,” tutur Bina,
mengenang.
Sejak kecil, ia mengaku sudah punya
banyak kelebihan. Misalnya, bila seseorang berbuat jahat kepadanya, ia cukup
menggunakan perkataan yang diucapkannya, seseorang itu niscaya kena balasnya.
Suatu hari saat kecil, seseorang pernah melukai Bina. Karena kesal, ia pun
berucap, “Kamu pasti nanti tertabrak!”. Betul. Tidak beberapa lama kemudian
orang itu tertabrak mobil. Sejak itu, ia selalu menjaga dari perkataan kotor
atau negatif.
Kelebihan lain saat kecil, setiap
hari ia selalu bangun dari tempat tidurnya di sepertiga malam. Sejurus
kemudian, ia duduk bersila di lantai selama sepuluh hingga setengah jam lamanya.
Setelah itu, ia menuju ranjang dan tidur kembali. Peristiwa itu berlangsung
beberapa tahun lamanya, semenjak ia mulai menuntut ilmu di sekolah dasar. Suatu
hari, ia kemudian berpikir, “Orang yang duduk bersila itu, cuma ada di ajaran
Budha, sementara di ajaran agama Kristen tidak ada. Lantas, sesungguhnya
siapakah saya?” tanyanya berulang-ulang dalam hati.
Bertahun-tahun
lamanya, ia kemudian mencari pengembaraan soal itu. Mulai belajar di sekolah
dasar (SD) Sin Hua, Pasar Baru, Jakarta, hingga SMP dan SMA Pacung, Mangga
Besar, Jakarta, ia belum menemukan jawabnya. Akhirnya, saat awal-awal kuliah di
Jurusan Kimia Teknik, Universitas Teknik Barmstabt, Jerman, (1966), ia
menemukan sedikit titik terang, “Siapa sesungguhnya
saya?”
Bermula
dari banyak membaca buku berbagai macam agama hingga bertanya kepada para ahli
agama. “Anehnya, kalau baca Alkitab, saya kok susah menangkapnya. Mungkin saya
sudah tidak ada minat lagi. Padahal, kalau saya membaca buku-buku agama lain,
sedikit banyak bisa nyantel,” ungkapnya.
Sepuluh
tahun kemudian – beberapa bulan sebelum memperoleh gelar doctor di bidang Kimia
Teknik, di Universitas Teknik Barmstabt, Jerman, dengan predikat cum laude, pada Juli 1976 – Bina berkenalan
dengan H. Tumenggung di Jerman. Suatu hari, kenalan barunya ini mampir ke rumah
Bina di sebuah kota di negeri seorang Hilter pernah berkuasa dengan tangan
besi. Tiba-tiba, laki-laki dengan nama Jawa ini, mengetahui kemelut yang ada
dalam diri Bina, entah dari mana. Saat itu, memang ia sedang punya masalah
dengan Kantor Kedutaan Besar RI di Jerman.
“Kamu lagi punya masalah, ya?” tanya Tumenggung.
“Tidak,”
jawab Bina, pura-pura mengelak. Tapi dalam hatinya, ia sempat berucap, “Kok,
dia tahu persoalan saya,” pikirnya.
Sejurus
kemudian, Tumenggung memberikan buku Mutiara Hadish kepada Bina. “Cobalah baca
buku ini, siapa tahu bermanfaat,” ungkapnya.
Lain
hari, Tumenggung mengajak Bina untuk berlatih senam pernafasan Orhiba
(organisasi hidup baru) yang saat itu sedang popular. Gayung pun bersambut.
Bina mau mengikuti ajakan teman barunya itu. Tumenggung mengajari Bina senam
pernafasan Orhiba dengan gaya seperti orang sedang salat. Setiap menarik dan
melepaskan nafas, Bina dianjurkan mengucapkan kata “Hu”.
“Apa
itu, ‘Hu’?” tanya Bina, spontan.
“Hu
itu kepanjangan dari kalimat Allah Akbar, Allah Maha Besar,” jawab Tumenggung.
Rupanya,
Tumenggung tidak hanya mengajarkan kata “Hu” dalam gerakan senam Orhiba. “Kalau
kamu sedang diskusi dengan pejabat atau sedang dizalimi seseorang, maka kamu
juga bisa menyebut kata ‘Hu’ beberapa kali. Seiring dengan itu, lepaskan
kepalan kedua tanganmu secara berlahan-lahan ke bawah,” saran Tumenggung.
“Apa
manfaatnya?” tanya Bina.
“Pokoknya
kamu coba lebih dulu. Selain itu, jangan lupa wirid?” saran Tumenggung lagi.
“Apa
pula itu wirid?” balik Bina bertanya.
“Wirid
itu mengagungkan nama Allah dengan menyebut berulang-ulang kalimat Allahu
Akbar, Subhana Allah, dan Alhamdulillah,” jelas Tumenggung.
Sejak
itu, Bina mencoba melakukan wirid bila sedang menghadapi masalah, meski tidak
tahu artinya. Ternyata, anjuran Tumenggung cukup ampuh. “Sejak saya wirid
berulang-ulang, tidak ada lagi orang berbuat jahat kepada saya. Hati pun merasa
tentram”, kata Bina, mengenang.
Tapi,
Bina masih penasaran. Mengapa hal itu bisa terjadi. Ia pun menanyakan kembali
kepada Tumenggung, “Kenapa saya yang bukan Islam bisa juga mendapatkan
manfaatnya?” tanya Bina.
“Kekuatan
manusia terletak di kedua telapak tangannya, seperti air yang mengalir deras
yang mampu meluluhlantakkan sesuatu yang ada,” jawab Tumenggung.
“Mengapa
bisa begitu?” tanya Bina lagi. Rupanya Bina masih tidak puas dengan jawaban
Tumenggung, yang menurutnya masih mengambang. “Kelak, kamu akan tahu jawabnya,”
ungkap Tumenggung, singkat.
Bina
kemudian mencari-cari jawabnya lewat buku-buku agama Islam. Ternyata, ia belum
bisa menemukan jawabnya hingga merasa prustasi. “Padahal, hampir semua buku
agama, khususnya tentang Islam sudah saya baca,” katanya, tersenyum.
Lebih
dari dua puluh tahun kemudian, tepatnya pada 1998, Bina berkenalan dengan
Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, yang saat itu masih menjabat Ketua PBNU. Bina
saat itu baru saja keluar dari perusahaan asing yang bergerak di bidang farmasi
dan obat-obatan. Rencananya, ia ingin aktif dalam sebuah organisasi politik.
Tapi, setelah melihat politik itu kotor, ia mengurungkan niatnya masuk ke dalam
kacah politik praktis.
Saat
berkenalan, Bina melihat jari-jari tangan Gus Dur bergerak terus alias tak
pernah henti. Ia kemudian bertanya kepada salah seorang teman dekat Gus Dur.
“Mengapa tangan Gus Dur bergerak terus seperti menulis angka 99?” tanya Bina.
![]() |
www.muslimedianews.com |
“Oh,
dia lagi berzikir,” jawab si teman dekat Gus Dur itu.
“Kenapa
zikir seperti mau menulis angka 99?” tanya Bina lagi, merasa tidak puas.
“Angka
99 itu adalah Asmaul Husna, yaitu nama-nama Allah dengan jumlah 99,” jawab
teman Gus Dur lagi.
Entah
kenapa, Kedua telapak tangan Bina seolah ada yang menggerakkan untuk dibuka.
Dan, pada telapak tangan masing-masing terdapat angka alif alias satu dan angka
delapan, huruf Arab. Bila dijumlah, maka menjadi sembilan. Dan, bila kedua
telapak tangannya disejajarkan, maka dua angka sembilan menjadi satu dan
membentuk angka 99 alias angka Asmaul Husna. “Rupanya, rahasia Asmaul Husna ada
di dua telapak tangan manusia. Ternyata jawaban itu baru ketemu selama lebih
dari 20 tahun lamanya,” ungkap Bina dalam hati. Seketika Bina menyebut nama
Allah berkali-kali.
“Lima
jari kita sebenarnya juga nama Allah, yaitu Alif, Lam, Lam, dan Hu. Maka, bila
kita berbuat jahat atau kotor, berarti kita mengotori Allah,” tuturnya lagi.
“Bukankah
segala perbuatan itu diwujudkan dengan menggunakan tangan? Nah, kalau kita
berbuat jahat atau kotor, berarti kita mengotori Allah, juga kan?” ungkapnya.
Sejak
itu, Bina tergerak hatinya ingin mendalami Islam lebih jauh lagi. Selain
membaca banyak buku, ia juga suka mengunjungi beberapa ulama terkenal di negeri
ini, seperti KH. Agil Siraj, KH. Munasir Ali, KH. Idris, Gus Mus, KH. Abdullah
Faqih, dan Gus Nur Arifin (panglima Pasukan Berani mati dari Semarang). “Bila
saya belajar, prinsip saya tidak ingin setengah-setengah. Karena itu saya harus
mencari guru yang mumpuni,” ungkap Bina, tidak bermaksud meninggikan hati.
Tak
heran, dalam pengembaraanya itu, ia mendapatkan bapak angkat yang banyak
memberikan ilmu agama, yaitu KH. Munasir Ali, seorang ulama wara dari
Mojokerto.
Setiap
bersilaturakhmi ke para kiai yang wara ini, Bina selalu mengajak diskusi, dari
mulai agama hingga ke persoalan kehidupan sehari-hari. Tak jarang, ia mengajak
berdebat. Setelah pulang, ia pasti menganalisis kembali pertemuan itu. “Kalau
minimal ada tiga orang kiai punya jawaban sama, maka saya baru yakin.
Sebaliknya, bila ada seorang kiai menjawab sedikit berbeda, maka saya terus
mencecarnya hingga merasa puas. Dan, bila isi pembicaraan seorang kiai itu
ngawur, maka saya tidak bakal mendatangani lagi. Karena saya mencari kebenaran,
bukan membenarkan,” tuturnya.
Sebagai
pembanding, ia juga banyak membaca buku agama Islam. Sembari berguru ke banyak
ulama wara, Bina belajar salat wajib sendiri dari membaca buku. Ia sering
melakukannya, kadang sampai lima waktu sehari semalam.
Suatu
hari, Bina bertanya kepada Gus Nur. “Apakah saya perlu mengucapkan dua kalimah
syahadat?”
“Tidak
usah, karena kamu sudah salat. Ukuran seorang pemeluk Islam, juga bisa dilihat
dari perilaku sehari-harinya. Apakah ia sudah Islami atau tidak?” kata Gus Nur.
Bina
sendiri merasa sudah Islami karena telah salat. Hanya saja ia belum bisa
melakukan salat lima waktu sehari semalam, secara rutin dan sepenuh hati.
“Berat sekali rasanya menjalankan salat lima waktu. Rasanya, kok repot amat
ya…,” pikirnya, berkali-kali.
www.tribunnews.com |
“Tapi,
kalau kamu mau mengucapkan dua kalimah syahadat disaksikan oleh banyak jemaah
dan dapat sertifikat, silakan! Itu, toh formalitas saja. Kalau orang Indonesia
maunya begitu, saya akan buatkan surat bahwa kamu sudah memeluk Islam,” tegas
Gus Nur.
Maka,
suatu hari dalam suatu pengajian di rumah Roji Munir, mantan menteri BUMN, Bina
mengucapkan dua kalimah syahadat. Sebenarnya, KH. Agil Siraj yang hendak
membimbing mengucapkan dua kalimah syahadat. Berhubung sang kiai terlambat
hadir, maka Gus Nur lah yang membimbing mengucapkan dua kalimah syahadat.
Setelah itu, Gus Nur memberi nama tambahan Tarqobin di depan namanya. Menurut
Gus Nur, nama itu adalah nama seorang malaikat. Tapi, menurut KH. Aqil Siraj,
nama itu adalah nama salah satu jin. Bina sendiri akhirnya tidak menggunakan
nama itu. Peristiwa sacral ini terjadi pada 17 Januari 2000. “Perasaan saya
biasa saja. Wong saja sudah salat, artinya saya sudah memeluk Islam,” tuturnya,
polos.
Hanya
saja, sejak itu ia mengaku makin rajin salat dan mendalami Islam lewat
buku-buku. Selain, makin meningkatkan silaturakhmi kepada para kiai wara dan
berziarah ke para makam wali dan syuhada, “Tapi, baik kepada para kiai yang
masih hidup maupun makam yang saya kunjungi, saya tidak pernah minta sesuatu.
Bahkan, kiai Abdullah Faqih dari Langitan sering menawari saya untuk minta
didoakan apa, tapi saya tolak dengan halus,” tutur Bina, terus terang.
Tiga
tahun setelah memeluk Islam, Bina melepaskan jabatan sebagai Presdir di PT
Phapros Tbk., Semarang (1999-2003). Setelah itu, ia mengaku tidak merasakan
post power sindrom sedikitpun. “Saya ini orangnya nothing to lose.
Seorang pemimpin yang baik dalam perusahaan, mestinya tahu kapan ia naik, dan
kapan ia turun. Ia harus menyadari hal itu. Bila tidak, maka orang lain lah
yang akan menurunkan,” nasihatnya.
Malah,
sejak itu ia banyak mendapat tawaran yang lebih menarik, tapi menolaknya. “Saya
tidak mau lagi pada pekerjaan yang serupa. Saya ingin bekerja yang lain. Saya
mengerjakan apa saja yang saya suka,” katanya. Karena itu, ia pernah menjadi
dosen di Pasca Sarjana MM Undip, Semarang, dosen luar biasa S1 di UI, Jakarta,
dan dosen di beberapa perusahaan. “Rezeki seolah terus mengejar saya
sebagaimana diungkapkan dalam sebuah hadish yang diriwayatkan Ibnu Hiban dan
Bazaar. Abu Darda mengabarkan, Rasulullah SAW bersabda: Sesungguhnya rezeki
itulah yang mengejar manusia, sebagaimana kematian mengejarnya,” ungkapnya.
Bina
juga aktif di organisasi masyarakat Nahdlatul Ulama (NU). Di organisasi
masyarakat Islam terbesar di dunia ini, ia menjadi Wakil Ketua II Pimpinan
Pusat Lembaga Sosial Mabarrot NU. Di tempat ini, ia ingin mencoba mengarahkan
kembali hal-hal yang lebih bermanfaat dan efektif. Misalnya, bagaimana bisa mencari dana yang lebih
continu untuk disumbangkan kepada orang-orang yang tidak mampu alias duafa dan
yatim piatu. “Kami lagi mencoba mengumpulkan pakaian bekas pantas pakai dari
nahdiyin NU. Bila pakaian-pakaian itu ada nilai jualnya, kami akan jual dan
uangnya kami gunakan untuk membantu kaum fakir dan yatim piatu. Kami ingin
meniru gerakan organisasi-organisasi social seperti di AS dan Eropa Barat,”
tuturnya, penuh optimis.
rmi-nu.or.id |
Selain
punya rencana itu, Bina beserta kawan-kawannya ingin membuat pusat poliklinik
NU di kantor pusat PBNU, Jalan Kramat, Jakarta Pusat. Tempat ini, selain
bertujuan untuk menjadikan pusat mengkoordinasikan poliklinik-poliklinik NU
yang ada, juga sebagai layanan pengobatan murah sekaligus canggih untuk
masyarakat luas. “Sebab sekarang ini, poliklinik-poliklinik NU yang ada masih
jalan sendiri-sendiri dan kami ingin berusaha mengkoordinasikannya, supaya
tidak tumpah tindih,” katanya, tegas.
Bina
juga aktif menjadi Wakil Tim Program Leader Gerakan Nasional Anti Korupsi –
yang diprakarsai oleh Ketua PBNU, Ketua PP Muhammadiyah, dan HS. Dillon.
“Sebuah organisasi International mau membantu secara finansial kepada gerakan
moral ini. Dan, Insa Allah, anggarannya segera turun,” ungkap Bina, tersenyum.
Gerakan
moral ini bertujuan mendidik orang supaya antikorupsi karena korupsi itu kotor
dan merugikan negara atau orang lain. Caranya? Organisasi ini akan menyusun
pedoman rujukan kepada para dai, membuat poster, brosur, kerja sama dengan
pers, dan sebagainya. “Kita harus menyadarkan rakyat Indonesia. Dan, ini
memerlukan waktu yang panjang. Meski demikian, saya tidak pernah pesimis,”
tuturnya.
Bina
juga punya rencana besar. Ia pribadi ingin mendirikan pondok pesantren bagi
para top eksekutif. “Kalau para eksekutif berkecimpung di bidang ekonomi terus,
maka mereka akan jadi binatang ekonomi. Karena itu, dalam kurun satu tahun,
cukup hanya empat hari mereka bisa masuk pondok ini. Mereka akan bayar mahal
dan hanya berbekal badan saja. Kemudian mereka mendapat bekal dari para ustadz
ternama, bagaimana mereka mampu menjalankan salat yang baik,” jelas Bina.
Bina
mau terjun dalam bidang organisasi kemasyarakatan karena ia masih percaya atau
punya keyakinan bahwa kegembiraan yang murni itu pada dasarnya bisa didapatkan
dari bagaimana bisa menggembirakan orang lain. Ia punya keyakinan itu karena
pernah mempraktikkannya sejak dulu bagaimana berusaha bisa menggembirakan orang
lain. “Sebaliknya bila kita dizalimi orang, cukup membalas dengan kelembutan.
Kita balas dengan memaafkan atau berkata lemah lembut,” ungkap Bina yang kini
dipercaya menjadi koordinator bidang kesehatan pada Mukhtamar NU Pusat, akhir
Nopember 2004 nanti.
Bersama
Belinda, istri tercinta serta kedua anaknya yang masih memeluk agama Nasrani,
Bina bisa hidup rukun dan bahagia. Perbedaan agama antara istri dan kedua
anaknya yang masih kuliah di Amerika Serikat itu tidak menjadi halangan hidup
berbahagia. Buktinya, saat puasa Ramadhan tiba, sang istri selalu menyediakan
makan sahur. Rumahnya juga bebas untuk tempat pengajian atau berkumpulnya para
ulama. “Saya menikah sebelum memeluk Islam. Setelah saya memeluk Islam pun,
saya tidak pernah memaksa mereka untuk masuk ke dalam agama baru saya. Sampai
mereka sadar sendiri,” kata Bina yang merasa berkewajiban
memperlihatkan Islam kepada istri dan kedua anaknya dari sisi perilaku, bukan
dengan bujuk rayu.
Domery Alpacino
catatan: Pernah dimuat majalah Islam Alkisah
catatan: Pernah dimuat majalah Islam Alkisah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar