Laman

Senin, 28 November 2005

Buah Wudlu dan Zikir: Sering Berjumpa Rasulullah

Setelah memeluk Islam, seorang keturunan Cina ini selalu menjaga wudlu dan zikir. Kini dalam hidupnya ia merasa lebih tenang, sabar dan rendah hati. Teristimewa, sering berjumpa dengan Rasulullah SAW. 


nasional.inilah.com
Wajahnya putih bersih. Dan, sejak menjaga dari wudlunya beberapa tahun lalu, wajah itu makin tampak teduh bagaikan pohon-pohon rindang di taman. Keteduhan itu semakin terasa manakala ia berusaha selalu sabar dalam menghadapi lika-liku kehidupan. Itulah Bina Suhendra, seorang doktor keturunan Cina di bidang Kimia Teknik, yang sejak 4 tahun lalu telah muslim.

“Saya tidak memaksakan diri dari keadaan bersuci. Tapi, sebisa mungkin saya selalu berwudlu kembali bila batal atau emosi. Bukahkah dengan wudhu, marah bisa dipadamkan?” tutur Bina, seraya menyitir sebuah hadish yang diriwayatkan Imam Abu Dawud. Muhammad Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya marah itu termasuk perbuatan setan, dan setan itu diciptakan dari api. Api hanya dapat dipadamkan dengan air. Oleh karena itu apabila seseorang di antara kalian marah, hendaknya ia berwudlu.”
Sejak menjaga wudlunya setiap saat – bahkan saat hendak tidur sekalipun -- Bina mengaku terhindar dari sifat marah dan nafsu laumamah, nafsu amarah. Selain, ia mengaku lebih dekat kepada sang Khalik-Nya. “Dengan terbiasa mensucikan diri, saya merasa bisa lebih tenang dan bersabar dalam menghadapi segala sesuatu. Bukankah Allah menyukai orang-orang yang sabar dan salat? Tutur Bina, sambil menyitir Al-Quran, surah Al-Baqarah (2: 153): Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan salat sebagai penolongmu. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.

Awal menjaga wudlu, ia ekstrim. Ia sempat menolak bersalaman kepada bukan mukhrimnya. Tapi, lambat laun, ia sadar. Allah SWT saja tidak menyulitkan hambanya untuk selalu berbakti kepada-Nya. “Ya, Allah, apakah saya harus begini terus?” doanya dalam hati. 

Rupanya, Allah membukakan mata hatinya. Selain tidak lagi ekstrim, ia juga mendapat petunjuk dari-Nya agar tidak lepas dari zikir, setiap saat. “Saya berusaha tidak pernah lepas dari alat Tasbih. Saya tidak ada niat untuk nampang atau ria. Dan, Tasbih bagi saya hanyalah alat. Ia punya dua fungsi. Pertama, alat untuk mengingatkan saya selalu berzikir. Kedua, alat untuk menghitung, meski angka sebenarnya tidak diperlukan,” katanya.

Nah, dengan ibu jari serta jari telunjuk menggerakkan tasbih, maka sebenarnya itu bagian dari olahraga. Seiring jari-jarinya setengah berputar menggerakkan tasbih, metabolisme darah berjalan. “Karena  metabolisme darah bergerak ke seluruh tubuh, akhirnya tubuh dan pikiran menjadi lebih cerah,” urainya.

Kini memang banyak orang menilai ia lebih cerah, sabar, kalem, dan tenang. “Tapi, semata-mata saya tidak punya tujuan ke arah sana. Saya hanya punya tujuan bagaimana bisa selalu ingat kepada Allah sang Pencipta dan selalu bersyukur kepada-Nya,” jelasnya.

Sejak memeluk Islam empat tahun lalu – dan entah karena selalu menjaga wudlu dan berzikir -- Bina mengaku kerap bertemu dengan Rasulullah dan beberapa sahabatnya, baik lewat mimpi atau sedang dalam keadaan sadar. Ceritanya, saat ia umroh kali pertama pada tahun 2000, setelah menunaikan ibadah haji pertama. Suatu sore, ia berzikir di Masjid Nabawi, Medinah. Di puncak melafazkan kalimat-kalimat Allah itulah, seorang berpakaian panglima perang masa Rasulullah mendatangi Bina. Ia mengucapkan salam dan sejurus kemudian lenyap. “Suara hati saya, ia adalah Umar Bin Khatab, sahabat Rasulullah,” katanya.

beritadaerah.co.id
Masih dalam zikir, tidak beberapa lama kemudian seseorang berjubah putih dengan wajah bermandikan cahaya yang sangat terang beserta tiga pendampingnya, mendatangi Bina. Setelah mereka mengucap salam, seorang yang mukanya bersinar itu mengelus kepala Bina dengan lembut beberapa saat. Setelah itu, mereka berlalu dan hilang. “Dari suara hati saya, orang itu adalah Rasulullah dan tiga orang sahabat Rasul, yaitu Umar, Abu Bakar, dan Ali. Ketika peristiwa itu saya tanyakan kepada seorang kiai yang wara, ternyata sang kiai membenarkan,” tegasnya.

Pada kesempatan lain, masih saat Umroh tahun 2000, Bina sedang berzikir di lereng gunung Jabal Nur dekat Gua Hira. Tiba-tiba,  seseorang dengan jubah putih, berdiri tidak jauh dari Bina. Sejurus kemudian, seseorang dengan wajah yang sangat terang itu mengucap kepada beberapa orang yang ada di dekatnya, “Mari kita doakan untuk Bina”. Tak lama kemudian orang itu hilang. “Suara hati saya, lagi-lagi mengatakan bahwa orang itu adalah Rasulullah,” ungkapnya. Dan, ketika ia mengisahkan peristiwa itu kepada seorang kiai yang wara, lagi-lagi mengamininya.

Dua tahun kemudian, saat menunaikan ibadah haji yang kedua, Bina diajak seorang kiai wara untuk melakukan salat Tahajud di Masjidil Haram, Mekah. Nah, usai salat malam itu, sang kiai menunjuki Bina seseorang bersorban hijau sedang melakukan tawaf. “Lihat, itu Rasulullah sedang melakukan tawaf,” kata sang kiai itu kepada Bina. Dan, Bina memang menyaksikan orang yang dimaksud sedang melakukan tawaf begitu cepat bagai kilat, sehingga yang tampak hanya seperti sorban yang berputar. Sejurus kemudian, Bina melakukan sujud syukur.

play.google.com
Sejak itu, Bina seperti diberi kepekaan hati dan pikiran. Saat wirid duduk di atas sajadah, misalnya, ia sering mencium kehadiran seseorang berbau harum, entah siapa. Kadang membawa wangi Hajar Aswad, bunga Melati, Kantil, Mawar, dan sebagainya. Dan, teristimewa, ia mengaku sering bertemu dengan Rasulullah SAW, baik saat zikir maupun dalam mimpi. “Hanya saja, Rasulullah berpesan agar drama dan isi pertemuan itu tidak dibeberkan kepada orang lain,” ujarnya.
Ketaqwaannya yang terus meningkat, tentu saja lahir bukan seperti mendapatkan “durian runtuh”, tapi melalui sebuah proses yang berliku. Lahir di Jakarta, pada 21 Januari 1948, ia anak bungsu dari tujuh bersaudara pasangan Na Thay Oe dan Tan Oen Yoe. Berdasarkan garis keturunan, kedua orangtuanya adalah asli Cina totok kelahiran provinsi Hok Yan, Cina – sebelah selatan Taiwan.  Setelah menikah, mereka hijrah ke Indonesia. 

Semula ia bernama Na Tjoe Bin, dengan panggilan akrab Bina. Pada awal 1967, saat rezim Orde Baru mengimbau agar keturunan Tionghoa berganti nama dengan nama Indonesia, ia mengganti nama dirinya dengan Bina Suhendra – semua kakaknya juga menggunakan nama Suhendra.

Tidak seperti keturunan Tionghoa pada umumnya, yang setia pada tradisi Konghucu, Bina kecil hanya dibesarkan dalam tradisi keluarga Kristen Pantekosta yang kental. Maklum, sejak kecil kedua orangtuanya sudah setia menganut agama Kristen Pantekosta di tanah leluhurnya. Bahkan, kakeknya – dari garis ayah – adalah pengabar Injil yang cukup ternama di propinsi Hok Yan, Cina.

Setiap Minggu, keluarga ini mengikuti kebaktian di sebuah gereja tak jauh dari rumahnya di daerah Pasar Baru, Jakarta Pusat. Bina dan kakak-kakaknya selalu ikut serta. “Kedua orangtua saya tidak pernah memaksakan saya pergi ke gereja. Cuma, yang namanya anak bungsu, bila mereka pergi ke gereja, maka saya selalu ikut serta,” tutur Bina, mengenang.

Sejak kecil, ia mengaku sudah punya banyak kelebihan. Misalnya, bila seseorang berbuat jahat kepadanya, ia cukup menggunakan perkataan yang diucapkannya, seseorang itu niscaya kena balasnya. Suatu hari saat kecil, seseorang pernah melukai Bina. Karena kesal, ia pun berucap, “Kamu pasti nanti tertabrak!”. Betul. Tidak beberapa lama kemudian orang itu tertabrak mobil. Sejak itu, ia selalu menjaga dari perkataan kotor atau negatif.

Kelebihan lain saat kecil, setiap hari ia selalu bangun dari tempat tidurnya di sepertiga malam. Sejurus kemudian, ia duduk bersila di lantai selama sepuluh hingga setengah jam lamanya. Setelah itu, ia menuju ranjang dan tidur kembali. Peristiwa itu berlangsung beberapa tahun lamanya, semenjak ia mulai menuntut ilmu di sekolah dasar. Suatu hari, ia kemudian berpikir, “Orang yang duduk bersila itu, cuma ada di ajaran Budha, sementara di ajaran agama Kristen tidak ada. Lantas, sesungguhnya siapakah saya?” tanyanya berulang-ulang dalam hati.

Bertahun-tahun lamanya, ia kemudian mencari pengembaraan soal itu. Mulai belajar di sekolah dasar (SD) Sin Hua, Pasar Baru, Jakarta, hingga SMP dan SMA Pacung, Mangga Besar, Jakarta, ia belum menemukan jawabnya. Akhirnya, saat awal-awal kuliah di Jurusan Kimia Teknik, Universitas Teknik Barmstabt, Jerman, (1966), ia menemukan sedikit titik terang,  “Siapa sesungguhnya saya?”

Bermula dari banyak membaca buku berbagai macam agama hingga bertanya kepada para ahli agama. “Anehnya, kalau baca Alkitab, saya kok susah menangkapnya. Mungkin saya sudah tidak ada minat lagi. Padahal, kalau saya membaca buku-buku agama lain, sedikit banyak bisa nyantel,” ungkapnya.

Sepuluh tahun kemudian – beberapa bulan sebelum memperoleh gelar doctor di bidang Kimia Teknik, di Universitas Teknik Barmstabt, Jerman, dengan predikat cum laude, pada Juli 1976 – Bina berkenalan dengan H. Tumenggung di Jerman. Suatu hari, kenalan barunya ini mampir ke rumah Bina di sebuah kota di negeri seorang Hilter pernah berkuasa dengan tangan besi. Tiba-tiba, laki-laki dengan nama Jawa ini, mengetahui kemelut yang ada dalam diri Bina, entah dari mana. Saat itu, memang ia sedang punya masalah dengan Kantor Kedutaan Besar RI di Jerman.  “Kamu lagi punya masalah, ya?” tanya Tumenggung.
“Tidak,” jawab Bina, pura-pura mengelak. Tapi dalam hatinya, ia sempat berucap, “Kok, dia tahu persoalan saya,” pikirnya.

Sejurus kemudian, Tumenggung memberikan buku Mutiara Hadish kepada Bina. “Cobalah baca buku ini, siapa tahu bermanfaat,” ungkapnya.

Lain hari, Tumenggung mengajak Bina untuk berlatih senam pernafasan Orhiba (organisasi hidup baru) yang saat itu sedang popular. Gayung pun bersambut. Bina mau mengikuti ajakan teman barunya itu. Tumenggung mengajari Bina senam pernafasan Orhiba dengan gaya seperti orang sedang salat. Setiap menarik dan melepaskan nafas, Bina dianjurkan mengucapkan kata “Hu”.

“Apa itu, ‘Hu’?” tanya Bina, spontan.
“Hu itu kepanjangan dari kalimat Allah Akbar, Allah Maha Besar,” jawab Tumenggung.

Rupanya, Tumenggung tidak hanya mengajarkan kata “Hu” dalam gerakan senam Orhiba. “Kalau kamu sedang diskusi dengan pejabat atau sedang dizalimi seseorang, maka kamu juga bisa menyebut kata ‘Hu’ beberapa kali. Seiring dengan itu, lepaskan kepalan kedua tanganmu secara berlahan-lahan ke bawah,” saran Tumenggung.
“Apa manfaatnya?” tanya Bina.
“Pokoknya kamu coba lebih dulu. Selain itu, jangan lupa wirid?” saran Tumenggung lagi.

“Apa pula itu wirid?” balik Bina bertanya.
“Wirid itu mengagungkan nama Allah dengan menyebut berulang-ulang kalimat Allahu Akbar, Subhana Allah, dan Alhamdulillah,” jelas Tumenggung.

Sejak itu, Bina mencoba melakukan wirid bila sedang menghadapi masalah, meski tidak tahu artinya. Ternyata, anjuran Tumenggung cukup ampuh. “Sejak saya wirid berulang-ulang, tidak ada lagi orang berbuat jahat kepada saya. Hati pun merasa tentram”, kata Bina, mengenang.

Tapi, Bina masih penasaran. Mengapa hal itu bisa terjadi. Ia pun menanyakan kembali kepada Tumenggung, “Kenapa saya yang bukan Islam bisa juga mendapatkan manfaatnya?” tanya Bina.

“Kekuatan manusia terletak di kedua telapak tangannya, seperti air yang mengalir deras yang mampu meluluhlantakkan sesuatu yang ada,” jawab Tumenggung.

“Mengapa bisa begitu?” tanya Bina lagi. Rupanya Bina masih tidak puas dengan jawaban Tumenggung, yang menurutnya masih mengambang. “Kelak, kamu akan tahu jawabnya,” ungkap Tumenggung, singkat.

Bina kemudian mencari-cari jawabnya lewat buku-buku agama Islam. Ternyata, ia belum bisa menemukan jawabnya hingga merasa prustasi. “Padahal, hampir semua buku agama, khususnya tentang Islam sudah saya baca,” katanya, tersenyum.

Lebih dari dua puluh tahun kemudian, tepatnya pada 1998, Bina berkenalan dengan Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, yang saat itu masih menjabat Ketua PBNU. Bina saat itu baru saja keluar dari perusahaan asing yang bergerak di bidang farmasi dan obat-obatan. Rencananya, ia ingin aktif dalam sebuah organisasi politik. Tapi, setelah melihat politik itu kotor, ia mengurungkan niatnya masuk ke dalam kacah politik praktis.

www.muslimedianews.com
 Saat berkenalan, Bina melihat jari-jari tangan Gus Dur bergerak terus alias tak pernah henti. Ia kemudian bertanya kepada salah seorang teman dekat Gus Dur. “Mengapa tangan Gus Dur bergerak terus seperti menulis angka 99?” tanya Bina.
“Oh, dia lagi berzikir,” jawab si teman dekat Gus Dur itu.
“Kenapa zikir seperti mau menulis angka 99?” tanya Bina lagi, merasa tidak puas.
“Angka 99 itu adalah Asmaul Husna, yaitu nama-nama Allah dengan jumlah 99,” jawab teman Gus Dur lagi.

Entah kenapa, Kedua telapak tangan Bina seolah ada yang menggerakkan untuk dibuka. Dan, pada telapak tangan masing-masing terdapat angka alif alias satu dan angka delapan, huruf Arab. Bila dijumlah, maka menjadi sembilan. Dan, bila kedua telapak tangannya disejajarkan, maka dua angka sembilan menjadi satu dan membentuk angka 99 alias angka Asmaul Husna. “Rupanya, rahasia Asmaul Husna ada di dua telapak tangan manusia. Ternyata jawaban itu baru ketemu selama lebih dari 20 tahun lamanya,” ungkap Bina dalam hati. Seketika Bina menyebut nama Allah berkali-kali.

“Lima jari kita sebenarnya juga nama Allah, yaitu Alif, Lam, Lam, dan Hu. Maka, bila kita berbuat jahat atau kotor, berarti kita mengotori Allah,” tuturnya lagi.

“Bukankah segala perbuatan itu diwujudkan dengan menggunakan tangan? Nah, kalau kita berbuat jahat atau kotor, berarti kita mengotori Allah, juga kan?” ungkapnya.

Sejak itu, Bina tergerak hatinya ingin mendalami Islam lebih jauh lagi. Selain membaca banyak buku, ia juga suka mengunjungi beberapa ulama terkenal di negeri ini, seperti KH. Agil Siraj, KH. Munasir Ali, KH. Idris, Gus Mus, KH. Abdullah Faqih, dan Gus Nur Arifin (panglima Pasukan Berani mati dari Semarang). “Bila saya belajar, prinsip saya tidak ingin setengah-setengah. Karena itu saya harus mencari guru yang mumpuni,” ungkap Bina, tidak bermaksud meninggikan hati.

Tak heran, dalam pengembaraanya itu, ia mendapatkan bapak angkat yang banyak memberikan ilmu agama, yaitu KH. Munasir Ali, seorang ulama wara dari Mojokerto.

Setiap bersilaturakhmi ke para kiai yang wara ini, Bina selalu mengajak diskusi, dari mulai agama hingga ke persoalan kehidupan sehari-hari. Tak jarang, ia mengajak berdebat. Setelah pulang, ia pasti menganalisis kembali pertemuan itu. “Kalau minimal ada tiga orang kiai punya jawaban sama, maka saya baru yakin. Sebaliknya, bila ada seorang kiai menjawab sedikit berbeda, maka saya terus mencecarnya hingga merasa puas. Dan, bila isi pembicaraan seorang kiai itu ngawur, maka saya tidak bakal mendatangani lagi. Karena saya mencari kebenaran, bukan membenarkan,” tuturnya.

Sebagai pembanding, ia juga banyak membaca buku agama Islam. Sembari berguru ke banyak ulama wara, Bina belajar salat wajib sendiri dari membaca buku. Ia sering melakukannya, kadang sampai lima waktu sehari semalam.

Suatu hari, Bina bertanya kepada Gus Nur. “Apakah saya perlu mengucapkan dua kalimah syahadat?” 
“Tidak usah, karena kamu sudah salat. Ukuran seorang pemeluk Islam, juga bisa dilihat dari perilaku sehari-harinya. Apakah ia sudah Islami atau tidak?” kata Gus Nur.

Bina sendiri merasa sudah Islami karena telah salat. Hanya saja ia belum bisa melakukan salat lima waktu sehari semalam, secara rutin dan sepenuh hati. “Berat sekali rasanya menjalankan salat lima waktu. Rasanya, kok repot amat ya…,” pikirnya, berkali-kali.

www.tribunnews.com
Bina kemudian berpikir lebih jauh lagi. Bila dirinya sudah mengucapkan dua kalimah syahadat, maka artinya harus konsisten menjalankan salat wajib lima waktu sehari semalam. “Saya tidak mau coba-coba masuk Islam dan hanya namanya saja,” aku, Bina berkecamuk dalam pikirannya.

“Tapi, kalau kamu mau mengucapkan dua kalimah syahadat disaksikan oleh banyak jemaah dan dapat sertifikat, silakan! Itu, toh formalitas saja. Kalau orang Indonesia maunya begitu, saya akan buatkan surat bahwa kamu sudah memeluk Islam,” tegas Gus Nur.

Maka, suatu hari dalam suatu pengajian di rumah Roji Munir, mantan menteri BUMN, Bina mengucapkan dua kalimah syahadat. Sebenarnya, KH. Agil Siraj yang hendak membimbing mengucapkan dua kalimah syahadat. Berhubung sang kiai terlambat hadir, maka Gus Nur lah yang membimbing mengucapkan dua kalimah syahadat. Setelah itu, Gus Nur memberi nama tambahan Tarqobin di depan namanya. Menurut Gus Nur, nama itu adalah nama seorang malaikat. Tapi, menurut KH. Aqil Siraj, nama itu adalah nama salah satu jin. Bina sendiri akhirnya tidak menggunakan nama itu. Peristiwa sacral ini terjadi pada 17 Januari 2000. “Perasaan saya biasa saja. Wong saja sudah salat, artinya saya sudah memeluk Islam,” tuturnya, polos.

Hanya saja, sejak itu ia mengaku makin rajin salat dan mendalami Islam lewat buku-buku. Selain, makin meningkatkan silaturakhmi kepada para kiai wara dan berziarah ke para makam wali dan syuhada, “Tapi, baik kepada para kiai yang masih hidup maupun makam yang saya kunjungi, saya tidak pernah minta sesuatu. Bahkan, kiai Abdullah Faqih dari Langitan sering menawari saya untuk minta didoakan apa, tapi saya tolak dengan halus,” tutur Bina, terus terang.

Tiga tahun setelah memeluk Islam, Bina melepaskan jabatan sebagai Presdir di PT Phapros Tbk., Semarang (1999-2003). Setelah itu, ia mengaku tidak merasakan post power sindrom sedikitpun. “Saya ini orangnya nothing to lose. Seorang pemimpin yang baik dalam perusahaan, mestinya tahu kapan ia naik, dan kapan ia turun. Ia harus menyadari hal itu. Bila tidak, maka orang lain lah yang akan menurunkan,” nasihatnya.

Malah, sejak itu ia banyak mendapat tawaran yang lebih menarik, tapi menolaknya. “Saya tidak mau lagi pada pekerjaan yang serupa. Saya ingin bekerja yang lain. Saya mengerjakan apa saja yang saya suka,” katanya. Karena itu, ia pernah menjadi dosen di Pasca Sarjana MM Undip, Semarang, dosen luar biasa S1 di UI, Jakarta, dan dosen di beberapa perusahaan. “Rezeki seolah terus mengejar saya sebagaimana diungkapkan dalam sebuah hadish yang diriwayatkan Ibnu Hiban dan Bazaar. Abu Darda mengabarkan, Rasulullah SAW bersabda: Sesungguhnya rezeki itulah yang mengejar manusia, sebagaimana kematian mengejarnya,” ungkapnya.

Bina juga aktif di organisasi masyarakat Nahdlatul Ulama (NU). Di organisasi masyarakat Islam terbesar di dunia ini, ia menjadi Wakil Ketua II Pimpinan Pusat Lembaga Sosial Mabarrot NU. Di tempat ini, ia ingin mencoba mengarahkan kembali hal-hal yang lebih bermanfaat dan efektif. Misalnya,  bagaimana bisa mencari dana yang lebih continu untuk disumbangkan kepada orang-orang yang tidak mampu alias duafa dan yatim piatu. “Kami lagi mencoba mengumpulkan pakaian bekas pantas pakai dari nahdiyin NU. Bila pakaian-pakaian itu ada nilai jualnya, kami akan jual dan uangnya kami gunakan untuk membantu kaum fakir dan yatim piatu. Kami ingin meniru gerakan organisasi-organisasi social seperti di AS dan Eropa Barat,” tuturnya, penuh optimis. 

rmi-nu.or.id

Selain punya rencana itu, Bina beserta kawan-kawannya ingin membuat pusat poliklinik NU di kantor pusat PBNU, Jalan Kramat, Jakarta Pusat. Tempat ini, selain bertujuan untuk menjadikan pusat mengkoordinasikan poliklinik-poliklinik NU yang ada, juga sebagai layanan pengobatan murah sekaligus canggih untuk masyarakat luas. “Sebab sekarang ini, poliklinik-poliklinik NU yang ada masih jalan sendiri-sendiri dan kami ingin berusaha mengkoordinasikannya, supaya tidak tumpah tindih,” katanya, tegas.

Bina juga aktif menjadi Wakil Tim Program Leader Gerakan Nasional Anti Korupsi – yang diprakarsai oleh Ketua PBNU, Ketua PP Muhammadiyah, dan HS. Dillon. “Sebuah organisasi International mau membantu secara finansial kepada gerakan moral ini. Dan, Insa Allah, anggarannya segera turun,” ungkap Bina, tersenyum.

Gerakan moral ini bertujuan mendidik orang supaya antikorupsi karena korupsi itu kotor dan merugikan negara atau orang lain. Caranya? Organisasi ini akan menyusun pedoman rujukan kepada para dai, membuat poster, brosur, kerja sama dengan pers, dan sebagainya. “Kita harus menyadarkan rakyat Indonesia. Dan, ini memerlukan waktu yang panjang. Meski demikian, saya tidak pernah pesimis,” tuturnya.

Bina juga punya rencana besar. Ia pribadi ingin mendirikan pondok pesantren bagi para top eksekutif. “Kalau para eksekutif berkecimpung di bidang ekonomi terus, maka mereka akan jadi binatang ekonomi. Karena itu, dalam kurun satu tahun, cukup hanya empat hari mereka bisa masuk pondok ini. Mereka akan bayar mahal dan hanya berbekal badan saja. Kemudian mereka mendapat bekal dari para ustadz ternama, bagaimana mereka mampu menjalankan salat yang baik,” jelas Bina.

Bina mau terjun dalam bidang organisasi kemasyarakatan karena ia masih percaya atau punya keyakinan bahwa kegembiraan yang murni itu pada dasarnya bisa didapatkan dari bagaimana bisa menggembirakan orang lain. Ia punya keyakinan itu karena pernah mempraktikkannya sejak dulu bagaimana berusaha bisa menggembirakan orang lain. “Sebaliknya bila kita dizalimi orang, cukup membalas dengan kelembutan. Kita balas dengan memaafkan atau berkata lemah lembut,” ungkap Bina yang kini dipercaya menjadi koordinator bidang kesehatan pada Mukhtamar NU Pusat, akhir Nopember 2004 nanti.

Bersama Belinda, istri tercinta serta kedua anaknya yang masih memeluk agama Nasrani, Bina bisa hidup rukun dan bahagia. Perbedaan agama antara istri dan kedua anaknya yang masih kuliah di Amerika Serikat itu tidak menjadi halangan hidup berbahagia. Buktinya, saat puasa Ramadhan tiba, sang istri selalu menyediakan makan sahur. Rumahnya juga bebas untuk tempat pengajian atau berkumpulnya para ulama. “Saya menikah sebelum memeluk Islam. Setelah saya memeluk Islam pun, saya tidak pernah memaksa mereka untuk masuk ke dalam agama baru saya. Sampai mereka sadar sendiri,” kata Bina yang merasa berkewajiban memperlihatkan Islam kepada istri dan kedua anaknya dari sisi perilaku, bukan dengan bujuk rayu.

Domery Alpacino
catatan: Pernah dimuat majalah Islam Alkisah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar