Menclok
dari agama satu ke agama lain, akhirnya ia menemukan kebenaran Islam. Ia
berbahagia mimpi ketemu Rasulullah.
![]() |
dewihughesinternationalfoundation.blogspot.com |
Memang, biasanya stasiun
televisi menghubungi perempuan bertubuh subur ini pada detik-detik menjelang
penayangan acara keagamaan di bulan Ramadhan. Seperti tahun lalu ketika Hughes
diminta menjadi presenter acara Sahur Bersama Hughes dan Kaum Hawa
(ANTV) dan Jelang Bedug (MetroTV).
“Rezeki itu datangnya kan dari
Allah,” katanya mantap. Kalaupun diminta menjadi presenter untuk acara-acara
Ramadhan, ia hanya bersedia menerima acara menjelang subuh atau sahur. Sebab,
pada siang hari ia sudah mengelola acara siaran langsung Hati ke Hati di
TV 7. “Nanti saya akan lihat dulu, apakah saya mampu mengambil acara menjelang
buka puasa atau tidak. Tapi, kalau acara menjelang sahur, saya memang
menikmatinya,” katanya.
Bagi Hughes, menjadi presenter
di acara keagamaan menjelang sahur punya makna tersendiri. Sebelum berangkat
siaran, biasanya ia menyempatkan diri untuk salat tahajud lebih dahulu. Dan
bila acaranya ditayangkan pagi hari, ia salat duha terlebih dulu. “Di bulan
Ramadhan hidup saya bisa lebih rapi. Dan efeknya biasanya sampai empat bulan ke
depan. Masuk bulan ke tujuh atau delapan, hidup saya kacau lagi. Tapi menjelang
Ramadhan, saya siap kembali untuk hidup rapi,” ujarnya.
Sejak
10 tahun lalu, perempuan asli Bali ini memang sudah menyempurnakan agama dengan
memeluk Islam. Bahkan menjelang Ramadhan tahun ini ia berencana untuk
menunaikan ibadah umroh sebagai nazar bila dianugerahi Allah seorang suami yang
baik. Pada tahun 2001 ia menikah dengan suami idam-idamannya, Ir. Achmad
Hestiafin, seorang karyawan PT. Freeport yang ditempatkan di Irian Jaya.
Saat ini, selain sibuk
mengelola acara yang disiarkan secara langsung di TV 7, ia juga punya seabrek kegiatan sebagai presenter di
stasion televisi lain. Misalnya, Mimpi Kali Yee (SCTV), Bagi Rasa
Bagi Cerita (SCTV), Coleteh Anak (Indosiar). Ia juga banyak mendapat
tawaran untuk melawak, tapi ditolaknya. Alasannya, selain merasa tak pandai
melawak, acara yang ditawarkan – menurut penilaian Hughes – tidak mengandung
unsur pendidikan yang Islami.
Tidak Ada Duitnya
Tidak Ada Duitnya
Kesibukan seperti itu bukan
berarti ia ingin mengejar nafkah semata. Sebab baginya, dalam semua kegiatan
itu masalah materi sama sekali bukan hal utama. Kepuasan batinlah yang sangat
diutamakannya. Juni lalu, misalnya, ia bersedia menerima tawaran sebagai Duta
Nasional Anti Perdagangan Perempuan dan Anak. Aktivitas ini tentu saja lebih
sebagai kegiatan sosial, yakni kampanye mengenai kepedulian terhadap nasib
perempuan dalam praktik “perdagangan perempuan” serta kasih sayang terhadap
anak-anak. Selain itu, ia juga masih sempat mengurus PT. Indonesia Duang Tali
yang antara lain bergerak di bidang event
organizer untuk pesta anak-anak, bisnis busana muslimah siap pakai
berukuran extra large.
Kesibukan lain: setiap Kamis
sore ia mengajar di Hughes Presenter Cilik dan Hughes Discovery Club,
sekolah presenter khusus anak-anak. Dari kegiatan-kegiatan seperti ini ia
mengaku tidak semata-mata komersial. “Berapa sih, saya dapat rezeki dari
sekolah milik saya sendiri itu? Tidak ada duitnya. Bahkan kalau saya sakit pun,
ya sekolah itu libur,” katanya. Meski begitu, di sekolah itu ia bisa dengan
leluasa memasukkan unsur-unsur pendidikan Islami kepada anak-anak. Misalnya,
kebiasaan untuk mengucapkan salam. Atau mengambil barang atau memberi hadiah
dengan tangan kanan. Ia juga bisa menasihati anak-anak untuk berpakaian rapih
dan bersih.
www.kapanlagi.com |
Ia berharap, setelah tamat dari
sekolah ini anak-anak bisa menjalankan Islam secara baik, bisa bicara dengan
baik dan benar sebagai dasar untuk menjadi seorang pemimpin; bila bicara tidak
usah menggunakan teks. “Agar mereka bisa melihat Islam secara universal. Sebab,
dulu ketika saya belum masuk Islam, melihat orang Islam pada awalnya sebel banget. Mengapa sih mereka berilmu tinggi tapi
penerapannya kok tidak bagus. Mengapa kalau mau salat mereka mesti
teriak-teriak dulu; suka menghakimi orang dengan halal-haram, hitam putih,
surga-neraka saja?” kata Hughes.
Ia menilai metode
belajar-mengajar di sekolah-sekolah Katolik lebih bagus; juga dalam menyiarkan agama. Mereka selalu bicara
dan berbuat dengan ajaran kasih, jarang bicara tentang surga dan neraka semata.
Demikian pula dengan Hindu Bali yang selalu mengajarkan dharma, yaitu
bila seseorang berbuat baik kelak memperoleh kebaikan pula. Sebaliknya, bila
seseorang berbuat jahat, suatu ketika ia akan mendapatkan karma.
Padahal, menurut Hughes, Rasulullah
sudah mengajarkan metode dakwah yang jauh lebih baik, lebih manusiawi, dan
sesuai dengan perkembangan zaman. “Banyak orang Islam yang berilmu tinggi, tapi
mereka tidak bangga terhadap ilmunya, apalagi mengembangkannya,” ujarnya. Dan
yang lebih parah, lanjutnya, ada yang sedikit kaku dalam memandang Islam.
Ketika KH Abdullah Gymnastiar menyanyi, misalnya, ada sebagian umat Islam yang
protes.
Taktik Tersendiri
www.antarafoto.com |
Untuk masuk dalam kehidupan
remaja dari keluarga menengah ke atas perlu taktik tersendiri. Mereka boleh
datang dengan gaya funky, boleh memakai atau tanpa kerudung, asal punya
motivasi untuk hidup secara Islami. Tapi, Hughes sendiri juga berusaha selalu
mengasah ruhaninya agar tetap jernih. Untuk keperluan itu, setiap Kamis pagi ia
mengikuti pengajian bersama sekitar 30-an ibu-ibu muda tak jauh dari rumahnya
di kawasan Kemang Utara, Jakarta Selatan.
Perjalanan rohani Hughes
ternyata melalui lika-liku yang cukup panjang. Ia lahir 2 Maret 1971 di
Tabanan, Bali, sebagai anak kelima dari enam bersaudara dari pasangan Dewa Made
Sumerta dan Putu Hermawati yang beragama Hindu Bali. Rumahnya di Tabanan tentu
saja dilengkapi pula dengan sebuah pura – yang berukuran cukup besar di halaman
depan rumah. Dibesarkan dalam keluarga berkasta ksatria, Hughes terbiasa dengan
tradisi Hindu Bali yang kental. Ibunya membimbing anak-anaknya menjalankan
ajaran Hindu Bali secara benar, meski sebelum menikah ia adalah seorang
muslimah.
Setiap hari raya Saraswati,
Hughes kecil sering mengumpulkan buku-buku di rumah untuk disucikan dalam
sebuah upacara Hindu Bali. Menurut kepercayaan mereka, buku adalah sumber ilmu
yang patut dihormati; karena itu jangan sekali-kali melangkahi buku, apalagi
menduduki. Sebab, perbuatan itu diangap tak layak hingga bisa mendapat karma.
“Jadi, pada hari raya itu saya tidak bisa belajar karena tidak ada buku,”
tuturnya sambil tertawa. Menjelang Hughes masuk ke sekolah taman kanak-kanak,
keluarganya pindah ke Serang, Banten. Ketika itu ayah Hughes bekerja sebagai
pemborong memperbaiki mesin-mesin kapal yang rusak. Karena di Serang tidak ada
sekolah Hindu Bali, Hughes masuk ke Taman Kanak-kanak Yayasan Katolik Mardiyuana,
dilanjutkan ke SD pada yayasan yang sama hingga kelas tiga.
Menurut Hughes, ayahandanya seorang
demokrat. Ia tidak pernah memaksa anak-anaknya memeluk agama Hindu Bali,
melainkan memberi kebebasan memeluk agama apa saja. “Karena ketika itu belajar
di sekolah Katolik, maka saya pun selalu mengikuti pelajaran agama Katolik di
Sekolah Minggu, juga mengikuti perayaan Natal. Bahkan papi selalu mengantar
saya ke Sekolah Minggu,” kenang Hughes. Pulang dari Sekolah Minggu ia suka
mengumpulkan gambar-gambar Yesus yang kadang ia peroleh dari pemberian orang,
atau membeli sendiri di toko buku.
Ngaturi Bunga
Anehnya, setiap kali pulang
sekolah ia masih sering mengikuti upacara mrajan (sembahyang untuk para
leluhur di pura di rumahnya) bersama keluarga. Sampai sekarang pun – meski
sudah muslimah – bila seluruh keluarga pulang ke Bali, ibunya masih sering
keceplosan mengajak Hughes ngaturi bunga (memberikan bunga) kepada para
leluhur di pura rumahnya. Tapi, ia menolak secara halus. Setelah kelas empat
SD, Hughes pindah ke SD Negeri. Nah, di sinilah ia mendapat pelajaran agama
Islam, termasuk belajar membaca Alquran dan praktik salat.
www.mukenaanaklucu.com |
Ketika Hughes tamat SD,
keluarganya pindah ke Jakarta; dan ia pun melanjutkan belajar ke SLTP Katolik Slamet
Riyadi, di Cijantung. Di kelas satu ia belum tertarik pada agama Katolik.
Tapi, di kelas dua ia mulai mengamati kehidupan para suster yang tampak damai,
sementara bila berbicara sangat lembut, dan suka memberi nasihat, mengajarkan
agama dengan simbol-simbol kasih. Bila jam istirahat tiba, Hughes mencuri waktu
untuk ngobrol dan makan bersama para suster di belakang sekolah, dan
menyenandungkan kidung-kidung pujian. Ketika itu rupanya jiwa Hughes tengah
gersang, hingga ia merasa memperoleh kedamaian setelah bergaul dengan para
suster. Dan akhirnya ia mulai tertarik jadi suster. “Suster, bagaimana sih
caranya jadi suster?” tanyanya.
Beberapa suster menyarankan
Hughes belajar lebih rajin agar mendapat nilai tinggi, sehingga setelah lulus
SLTP bisa masuk ke seminari kesusteran. Namun, sebelumnya harus dibaptis lebih
dahulu. Beberapa teman Hughes yang nilainya tinggi rata-rata memang ada yang
masuk ke seminari. Dan Hughes pun punya keinginan melanjutkan ke seminari
kesusteran. Di kelas dua itulah ia minta ijin kepada kedua orangtuanya untuk
dibaptis. Namun, ibunya tak mengizinkan. Karena Hughes mendesak terus, akhirnya
sang ibu mengalah. Hughes dibaptis di Gereja Santo Aloysius, Cijantung,
disaksikan kedua orangtuanya. Dan ayahnya pun lagi-lagi berpesan, “Kamu harus
konsisten dengan agamamu.”
Inet Diran
Inet Diran
Saat dibaptis itulah kepala
Hughes disiram air sejuk. Ia merasakan kedamaian. Anak-anak lain yang mengikuti
prosesi itu nyanyi bersama, menambah suasana khikmad dan syahdu. Nama baptis
Hughes ialah Jeane d’Arc – diambil dari nama pahlawan perempuan Prancis yang gugur
karena dibakar. Sejak itu ia aktif ke gereja, juga dalam berbagai kegiatan
muda-mudi Katolik. Ia juga gemar membaca buku-buku tentang Yesus. Tapi begitu
lulus SLTP ia mengurungkan niatnya untuk menjadi suster. Lho, mengapa?
Sebab, ia mulai mengenal cinta. Perempuan yang akan dan telah menjadi suster
dilarang menikah.
Lulus SLTA, ia kuliah di Universitas Katolik Atmajaya, Jakarta. Ketika itulah, ia bersahabat dengan Inet Diran yang tinggal di Ciputat, Jakarta Selatan. Setiap kali pulang kuliah, ia hampir selalu mampir ke rumah Inet, sembari menunggu waktu sore hari untuk mengikuti kursus sebagai penyiar.
Dalam pandangan Hughes,
keluarga Inet tenang dan damai. Mereka mempraktikkan Islam secara bersahaja.
Padahal selama ini ia menilai Islam identik dengan kekumuhan, kebodohan,
kemiskinan, suka teriak-teriak dan radikal. Sebaliknya orang-orang Katolik
tampak berpakaian bagus, duduk di gereja dengan rapih.
rbaryans.wordpress.com |
Mula-mula Hughes hanya
mendengarkan pengajian itu dari dalam kamar Inet. Tapi, belakangan ia
memberanikan diri mengintip, lalu ke luar kamar dan duduk bersama mendengarkan
alunan ayat-ayat suci Alquran yang dikumandangkan kedua orangtua Inet. Sekejap ia
mulai tertarik, dan timbul persepsi dalam dirinya bahwa Islam ternyata juga
mengajarkan kepedulian terhadap sesama manusia, dan hidup dalam kebersahajaan.
Usai mendengarkan pengajian, Hughes memberanikan diri bertanya tentang Islam
dalam sebuah obrolan yang intim. Dan begitu orangtua Inet menyatakan bahwa
Yesus adalah anak manusia biasa dan bukan anak Tuhan, sebagaimana disebut dalam
surat Ali Imron ayat 45-63, maka terjadilah konflik dalam batin Hughes.
Maka setiap kali ke gereja ia
pun bengong, pikirannya mulai goyah. Ia sulit mencerna pengertian Tuhan Tri
Tunggal; bagaimana mungkin Tuhan adalah Tuhan, sekaligus bapak, dan sekaligus
pula sebagai anak? “Dan mengapa aku harus selalu menghadap ke patung Yesus
dalam sembahyang? Mengapa pula harus memegang kaki Bunda Maria terlebih dahulu?
Mengapa hubungan antara pribadi manusia dan Tuhan tidak langsung saja ke Tuhan,
tidak melalui proses yang panjang?” begitu pikiran Hughes terus berkecamuk.
Ketika itulah Hughes mulai penasaran dan mencari-cari kebenaran Islam,
sementara hatinya mulai bimbang akan kebenaran agama lain. Setelah ibu Inet
menegaskan tidak boleh terjadi dualisme dalam iman, ia pun menarik kesimpulan,
“Tuhan tidak mungkin punya bapak, ibu dan anak.”
Setelah mempelajari beberapa
hal mengenai Islam, dan hatinya semakin mantap, maka pada 1993 ia pun
menyempurnakan agama dengan memeluk Islam di Mesjid Al-Azhar, Jakarta. Sayang,
orangtua Hughes tidak sempat menyaksikannya karena datang terlambat. Tapi,
sempat menikmati nasi kuning dalam acara syukuran yang digelar oleh keluarga
Inet. Hughes mengerti bahwa Islam adalah agama terakhir yang disempurnakan oleh
Allah SWT. “Saya mengibaratkan Islam itu seperti mobil VW keluaran terbaru.
Bukan berarti mobil VW Kodok yang lama tidak diakui, tapi ada mobil VW yang
lebih canggih dan serba metalik, yaitu Islam,” katanya sambil tersenyum. Belum
genap menjadi muslimah, ia sudah mengenakan jilbab. Suatu saat ia sempat
bersama teman-temannya mengunjungi beberapa pesantren di Jakarta, bermalam
selama tujuh hari. Kesan Hughes, semua pesantren yang dikunjunginya jorok dan
mengecewakan bagi mereka yang ingin mempelajari Islam.
Agak Ribet
Agak Ribet
Pulang dari pesantren, ia tak
lagi mengenakan jilbab. Mengapa? Selain gara-gara mendapat tekanan teman-teman
di kampus, ia juga merasa agak ribet, kurang leluasa. Kebetulan ketika itu ia
juga tengah meniti karir sebagai presenter. Maka ia pun bernazar: kelak bila
telah sukses sebagai presenter ia akan mengenakan jilbab kembali. Beberapa
tahun kemudian, setelah Hughes sukses sebagai presenter, ia hadir dalam sebuah
pertemuan Majlis Ulama Indonesia di perkantoran Masjid Istiqlal, Jakarta.
Ketika itu muballighah Lutfiah Sungkar “melecut” para artis muslimah agar tidak
munafik. Ketika siaran keagamaan mereka memakai jilbab, tapi sesudahnya pergi
ke tempat diskotik atau pub. Sejak itu Hughes kembali mengenakan jilbab.
Dan sejak itu pula ia semakin
rajin membaca buku-buku mengenai Islam. Tapi, semakin dalam ia mengenal Islam,
semakin ia tahu bahwa di kalangan umat Islam ternyata cukup banyak
aliran-aliran pemikiran. Ia memang sedikit bingung. Untuk lebih memahaminya,
pada 1997 ia menunaikan ibadah umrah sendirian. Antara lain untuk melihat dari
dekat pusat agama Islam, serta kota kelahiran dan perjuangan Rasulullah. Selama
dalam perjalanan, ia mendapat banyak kemudahan. Ia berkenalan dengan Nyonya
Mince, istri pembalap Tinton Suprapto, yang menjelaskan segala sesuatu yang
mereka lihat selama umrah. Ketika itulah mulai timbul rasa cintanya kepada
Rasulullah. Dan tentu saja ia juga berziarah ke makam Rasulullah di Mesjid
Nabawi, Medinah.
www.pengobatan.com |
Usai berziarah, ia jalan kaki ke
hotel dan tertidur di sofa karena kecapaian. Begitu lelahnya hingga tidurnya
sangat pulas. Ketika itulah ia bermimpi, melihat makam Rasulullah kembali.
Bahkan tampak jelas gorden berwarna hijau di sekeliling makam. Cahaya terang
benderang membersit dari balik makam, kemudian muncullah seorang lelaki. Hughes
kaget bukan kepalang. “Ha?! Ya, Allah! Rasulullah! Nabi Muhammad! Nabi
Muhammad!” teriak Hughes berkali-kali. Ia melihat Rasulullah yang rambutnya
sebahu, mengenakan baju tunik selutut dan sepatu dengan banyak tali sampai di
atas mata kaki. “Tapi, saya tak bisa melihat wajah beliau karena diselimuti
cahaya terang benderang seperti lampu blitz,” tuturnya. Hughes segera menceritakan
mimpinya itu kepada Nyonya Mince – yang rupanya kurang menanggapinya. “Mungkin
dia mengira saya bercanda,” kata Hughes. Tapi, diam-diam Nyonya Mince
menceritakan mimpi Hughes kepada seseorang, yang belakangan bertemu dengan
Hughes di Mekah. Dia menyarankan agar setiba di tanahair Hughes membaca buku
berjudul 66 Keistimewaan Berjumpa dengan Rasul. Pulang umrah, ia mencari
buku tersebut di perpustakaan Gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah Jalan Kramat
Raya, Jakarta Pusat.
Mohon Ampun
www.dakwatuna.com |
Tapi, hikmah luar biasa sebagai nikmat Allah SWT usai ia umrah
ialah: mendapat suami yang saleh dan baik. Hubungan Hughes dengan Achmad
Hestiafin diawali ketika mereka bertemu di sebuah studio foto di Pondok Indah
Mall, Jakarta Selatan. Achmad Hestiafin ternyata kakak kelas Hughes ketika
mereka bersekolah di SLTP Katolik Slamet Riyadi, Cijantung. Dari
ngobrol, tukar-menukar kartu nama, berlanjutlah hubungan batin itu dalam
jalinan kasih sayang. Dan akhirnya, benih-benih cinta membawa mereka ke
pelaminan.
Setelah mengenal Islam dengan
baik, setelah imannya mulai kuat – apalagi setelah merasa yakin bahwa ia
bertemu dengan Rasulullah dalam mimpi -- Hughes merasa bahwa hidupnya sangat
berbahagia. Terutama dalam mendampingi suaminya, Achmad Hestiafin. Ia juga
ingin lebih mengoptimalkan amal kebajikan dalam hidupnya sehingga bisa bermanfaat
bagi orang banyak. Sementara kelak, jika Allah SWT telah memanggilnya, ia ingin
meninggal dalam keadaan husnul khaimah, yaitu akhir kehidupan yang
sempurna.
Meski begitu, masih ada sebuah
ganjalan di dalam hatinya. Atau lebih tepat suatu kerinduan. Ia sangat
merindukan kapan Alah SWT berkenan melimpahkan nur hidayah kepada ibunda
yang telah mengandung dan melahirkannya ke dunia, sehingga ia sempat menemukan
kebenaran sejati. Tapi, limpahan kasih sayang Allah SWT untuk ibundanya itu
rupanya tak semudah sebagaimana yang dirindukannya. “Karena itu, saya hanya
bisa berdoa, semoga di akhir hayatnya kelak Mama sempat menerima hidayah
kebenaran dari Allah SWT,” katanya berharap. Matanya tampak sembab
kemerah-merahan. Kini Hughes merasa berkewajiban memperlihatkan Islam kepada
ibundanya dari sisi perilaku, bukan dengan bujuk rayu.
Domery Alpacino
Catatan: Pernah dimuat di
majalah Islam Alkisah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar