Laman

Kamis, 24 November 2005

“Jatuh Cinta” kepada Rasulullah

Menclok dari agama satu ke agama lain, akhirnya ia menemukan kebenaran Islam. Ia berbahagia mimpi ketemu Rasulullah.  

dewihughesinternationalfoundation.blogspot.com
RAMADHAN sebentar lagi tiba. Tapi, selebriti itu belum juga mendapat “job” sebagai presenter dari beberapa stasiun televisi. Meski begitu ia tenang-tenang saja, sebab ia yakin Allah SWT yang Maha Kaya akan melimpahkan rezeki yang halal kepada umat yang dikehendaki-Nya. Selebriti yang beriman dan tawakal itu adalah Desak Made Hugheshia Dewi, atau lebih dikenal dengan nama Dewi Hughes.
 
Memang, biasanya stasiun televisi menghubungi perempuan bertubuh subur ini pada detik-detik menjelang penayangan acara keagamaan di bulan Ramadhan. Seperti tahun lalu ketika Hughes diminta menjadi presenter acara Sahur Bersama Hughes dan Kaum Hawa (ANTV) dan Jelang Bedug (MetroTV). 


“Rezeki itu datangnya kan dari Allah,” katanya mantap. Kalaupun diminta menjadi presenter untuk acara-acara Ramadhan, ia hanya bersedia menerima acara menjelang subuh atau sahur. Sebab, pada siang hari ia sudah mengelola acara siaran langsung Hati ke Hati di TV 7. “Nanti saya akan lihat dulu, apakah saya mampu mengambil acara menjelang buka puasa atau tidak. Tapi, kalau acara menjelang sahur, saya memang menikmatinya,” katanya.

Bagi Hughes, menjadi presenter di acara keagamaan menjelang sahur punya makna tersendiri. Sebelum berangkat siaran, biasanya ia menyempatkan diri untuk salat tahajud lebih dahulu. Dan bila acaranya ditayangkan pagi hari, ia salat duha terlebih dulu. “Di bulan Ramadhan hidup saya bisa lebih rapi. Dan efeknya biasanya sampai empat bulan ke depan. Masuk bulan ke tujuh atau delapan, hidup saya kacau lagi. Tapi menjelang Ramadhan, saya siap kembali untuk hidup rapi,” ujarnya.

Sejak 10 tahun lalu, perempuan asli Bali ini memang sudah menyempurnakan agama dengan memeluk Islam. Bahkan menjelang Ramadhan tahun ini ia berencana untuk menunaikan ibadah umroh sebagai nazar bila dianugerahi Allah seorang suami yang baik. Pada tahun 2001 ia menikah dengan suami idam-idamannya, Ir. Achmad Hestiafin, seorang karyawan PT. Freeport yang ditempatkan di Irian Jaya. 

Saat ini, selain sibuk mengelola acara yang disiarkan secara langsung di TV 7, ia juga punya seabrek kegiatan sebagai presenter di stasion televisi lain. Misalnya, Mimpi Kali Yee (SCTV), Bagi Rasa Bagi Cerita (SCTV), Coleteh Anak (Indosiar). Ia juga banyak mendapat tawaran untuk melawak, tapi ditolaknya. Alasannya, selain merasa tak pandai melawak, acara yang ditawarkan – menurut penilaian Hughes – tidak mengandung unsur pendidikan yang Islami.

Tidak Ada Duitnya
Kesibukan seperti itu bukan berarti ia ingin mengejar nafkah semata. Sebab baginya, dalam semua kegiatan itu masalah materi sama sekali bukan hal utama. Kepuasan batinlah yang sangat diutamakannya. Juni lalu, misalnya, ia bersedia menerima tawaran sebagai Duta Nasional Anti Perdagangan Perempuan dan Anak. Aktivitas ini tentu saja lebih sebagai kegiatan sosial, yakni kampanye mengenai kepedulian terhadap nasib perempuan dalam praktik “perdagangan perempuan” serta kasih sayang terhadap anak-anak. Selain itu, ia juga masih sempat mengurus PT. Indonesia Duang Tali yang antara lain bergerak di bidang event organizer untuk pesta anak-anak, bisnis busana muslimah siap pakai berukuran extra large.

www.kapanlagi.com
 Kesibukan lain: setiap Kamis sore ia mengajar di Hughes Presenter Cilik dan Hughes Discovery Club, sekolah presenter khusus anak-anak. Dari kegiatan-kegiatan seperti ini ia mengaku tidak semata-mata komersial. “Berapa sih, saya dapat rezeki dari sekolah milik saya sendiri itu? Tidak ada duitnya. Bahkan kalau saya sakit pun, ya sekolah itu libur,” katanya. Meski begitu, di sekolah itu ia bisa dengan leluasa memasukkan unsur-unsur pendidikan Islami kepada anak-anak. Misalnya, kebiasaan untuk mengucapkan salam. Atau mengambil barang atau memberi hadiah dengan tangan kanan. Ia juga bisa menasihati anak-anak untuk berpakaian rapih dan bersih. 

Ia berharap, setelah tamat dari sekolah ini anak-anak bisa menjalankan Islam secara baik, bisa bicara dengan baik dan benar sebagai dasar untuk menjadi seorang pemimpin; bila bicara tidak usah menggunakan teks. “Agar mereka bisa melihat Islam secara universal. Sebab, dulu ketika saya belum masuk Islam, melihat orang Islam pada awalnya sebel banget. Mengapa sih mereka berilmu tinggi tapi penerapannya kok tidak bagus. Mengapa kalau mau salat mereka mesti teriak-teriak dulu; suka menghakimi orang dengan halal-haram, hitam putih, surga-neraka saja?” kata Hughes.   

Ia menilai metode belajar-mengajar di sekolah-sekolah Katolik lebih bagus; juga  dalam menyiarkan agama. Mereka selalu bicara dan berbuat dengan ajaran kasih, jarang bicara tentang surga dan neraka semata. Demikian pula dengan Hindu Bali yang selalu mengajarkan dharma, yaitu bila seseorang berbuat baik kelak memperoleh kebaikan pula. Sebaliknya, bila seseorang berbuat jahat, suatu ketika ia akan mendapatkan karma. 
Padahal, menurut Hughes, Rasulullah sudah mengajarkan metode dakwah yang jauh lebih baik, lebih manusiawi, dan sesuai dengan perkembangan zaman. “Banyak orang Islam yang berilmu tinggi, tapi mereka tidak bangga terhadap ilmunya, apalagi mengembangkannya,” ujarnya. Dan yang lebih parah, lanjutnya, ada yang sedikit kaku dalam memandang Islam. Ketika KH Abdullah Gymnastiar menyanyi, misalnya, ada sebagian umat Islam yang protes.

Taktik Tersendiri

www.antarafoto.com
Kegiatan Hughes tak bisa lepas dari anak-anak. Setiap Kamis sore, misalnya, ia mengajar di Islamic Youth Association yang didirikan bersama rekan-rekannya. Di sinilah ia memberi motivasi anak-anak remaja tentang keislaman. Sasaran lembaga ini memang para remaja muslim, terutama dari keluarga menengah ke atas. Mengapa? Menurut Hughes, merekalah yang sangat rentan terhadap kehidupan duniawi, dengan kafe, diskotik; sementara orangtuanya kurang membekali mereka dengan budi pekerti atau agama.

Untuk masuk dalam kehidupan remaja dari keluarga menengah ke atas perlu taktik tersendiri. Mereka boleh datang dengan gaya funky, boleh memakai atau tanpa kerudung, asal punya motivasi untuk hidup secara Islami. Tapi, Hughes sendiri juga berusaha selalu mengasah ruhaninya agar tetap jernih. Untuk keperluan itu, setiap Kamis pagi ia mengikuti pengajian bersama sekitar 30-an ibu-ibu muda tak jauh dari rumahnya di kawasan Kemang Utara, Jakarta Selatan.

Perjalanan rohani Hughes ternyata melalui lika-liku yang cukup panjang. Ia lahir 2 Maret 1971 di Tabanan, Bali, sebagai anak kelima dari enam bersaudara dari pasangan Dewa Made Sumerta dan Putu Hermawati yang beragama Hindu Bali. Rumahnya di Tabanan tentu saja dilengkapi pula dengan sebuah pura – yang berukuran cukup besar di halaman depan rumah. Dibesarkan dalam keluarga berkasta ksatria, Hughes terbiasa dengan tradisi Hindu Bali yang kental. Ibunya membimbing anak-anaknya menjalankan ajaran Hindu Bali secara benar, meski sebelum menikah ia adalah seorang muslimah.

Setiap hari raya Saraswati, Hughes kecil sering mengumpulkan buku-buku di rumah untuk disucikan dalam sebuah upacara Hindu Bali. Menurut kepercayaan mereka, buku adalah sumber ilmu yang patut dihormati; karena itu jangan sekali-kali melangkahi buku, apalagi menduduki. Sebab, perbuatan itu diangap tak layak hingga bisa mendapat karma. “Jadi, pada hari raya itu saya tidak bisa belajar karena tidak ada buku,” tuturnya sambil tertawa. Menjelang Hughes masuk ke sekolah taman kanak-kanak, keluarganya pindah ke Serang, Banten. Ketika itu ayah Hughes bekerja sebagai pemborong memperbaiki mesin-mesin kapal yang rusak. Karena di Serang tidak ada sekolah Hindu Bali, Hughes masuk ke Taman Kanak-kanak Yayasan Katolik Mardiyuana, dilanjutkan ke SD pada yayasan yang sama hingga kelas tiga.

Menurut Hughes, ayahandanya seorang demokrat. Ia tidak pernah memaksa anak-anaknya memeluk agama Hindu Bali, melainkan memberi kebebasan memeluk agama apa saja. “Karena ketika itu belajar di sekolah Katolik, maka saya pun selalu mengikuti pelajaran agama Katolik di Sekolah Minggu, juga mengikuti perayaan Natal. Bahkan papi selalu mengantar saya ke Sekolah Minggu,” kenang Hughes. Pulang dari Sekolah Minggu ia suka mengumpulkan gambar-gambar Yesus yang kadang ia peroleh dari pemberian orang, atau membeli sendiri di toko buku.
           
Ngaturi Bunga

Anehnya, setiap kali pulang sekolah ia masih sering mengikuti upacara mrajan (sembahyang untuk para leluhur di pura di rumahnya) bersama keluarga. Sampai sekarang pun – meski sudah muslimah – bila seluruh keluarga pulang ke Bali, ibunya masih sering keceplosan mengajak Hughes ngaturi bunga (memberikan bunga) kepada para leluhur di pura rumahnya. Tapi, ia menolak secara halus. Setelah kelas empat SD, Hughes pindah ke SD Negeri. Nah, di sinilah ia mendapat pelajaran agama Islam, termasuk belajar membaca Alquran dan praktik salat.

www.mukenaanaklucu.com
Suatu hari, ketika pulang sekolah, ia mencoba mempraktikkan pelajaran salat dengan mengenakan gorden sebagai mukenah. Kebetulan saat itu ayah Hughes melihatnya. “Kamu mau belajar agama apa?” tanya sang ayah. “Belajar agama Islam,” jawab Hughes kecil. “Silakan saja, asal kamu konsisten,” kata sang ayah. Akhirnya, ayahnya mencarikan guru mengaji untuk mengajar Hughes di rumah: Ibu Dedeh, mahasiswa Institut Agama Islam Negeri Jakarta cabang Serang. Sementara kakak-kakaknya yang beragama Kristen oleh ayahnya diberi kebebasan belajar agama Kristen pula. Bahkan, seperti biasa, sang ayah juga mengantarkan anak-anaknya ke gereja pada hari Minggu. Tapi setiap hari Minggu, selama satu jam, Hughes belajar mengaji dan salat kepada ibu Dedeh. “Mungkin guru privat itu sangat menyenangkan sehingga saya senang sekali belajar mengaji,” tuturnya.

Ketika Hughes tamat SD, keluarganya pindah ke Jakarta; dan ia pun melanjutkan belajar ke SLTP Katolik Slamet Riyadi, di Cijantung. Di kelas satu ia belum tertarik pada agama Katolik. Tapi, di kelas dua ia mulai mengamati kehidupan para suster yang tampak damai, sementara bila berbicara sangat lembut, dan suka memberi nasihat, mengajarkan agama dengan simbol-simbol kasih. Bila jam istirahat tiba, Hughes mencuri waktu untuk ngobrol dan makan bersama para suster di belakang sekolah, dan menyenandungkan kidung-kidung pujian. Ketika itu rupanya jiwa Hughes tengah gersang, hingga ia merasa memperoleh kedamaian setelah bergaul dengan para suster. Dan akhirnya ia mulai tertarik jadi suster. “Suster, bagaimana sih caranya jadi suster?” tanyanya.

Beberapa suster menyarankan Hughes belajar lebih rajin agar mendapat nilai tinggi, sehingga setelah lulus SLTP bisa masuk ke seminari kesusteran. Namun, sebelumnya harus dibaptis lebih dahulu. Beberapa teman Hughes yang nilainya tinggi rata-rata memang ada yang masuk ke seminari. Dan Hughes pun punya keinginan melanjutkan ke seminari kesusteran. Di kelas dua itulah ia minta ijin kepada kedua orangtuanya untuk dibaptis. Namun, ibunya tak mengizinkan. Karena Hughes mendesak terus, akhirnya sang ibu mengalah. Hughes dibaptis di Gereja Santo Aloysius, Cijantung, disaksikan kedua orangtuanya. Dan ayahnya pun lagi-lagi berpesan, “Kamu harus konsisten dengan agamamu.”

Inet Diran   

Saat dibaptis itulah kepala Hughes disiram air sejuk. Ia merasakan kedamaian. Anak-anak lain yang mengikuti prosesi itu nyanyi bersama, menambah suasana khikmad dan syahdu. Nama baptis Hughes ialah Jeane d’Arc – diambil dari nama pahlawan perempuan Prancis yang gugur karena dibakar. Sejak itu ia aktif ke gereja, juga dalam berbagai kegiatan muda-mudi Katolik. Ia juga gemar membaca buku-buku tentang Yesus. Tapi begitu lulus SLTP ia mengurungkan niatnya untuk menjadi suster. Lho, mengapa? Sebab, ia mulai mengenal cinta. Perempuan yang akan dan telah menjadi suster dilarang menikah.

Lulus SLTA, ia kuliah di Universitas Katolik Atmajaya, Jakarta. Ketika itulah, ia bersahabat dengan Inet Diran yang tinggal di Ciputat, Jakarta Selatan. Setiap kali pulang kuliah, ia hampir selalu mampir ke rumah Inet, sembari menunggu waktu sore hari untuk mengikuti kursus sebagai penyiar.

Dalam pandangan Hughes, keluarga Inet tenang dan damai. Mereka mempraktikkan Islam secara bersahaja. Padahal selama ini ia menilai Islam identik dengan kekumuhan, kebodohan, kemiskinan, suka teriak-teriak dan radikal. Sebaliknya orang-orang Katolik tampak berpakaian bagus, duduk di gereja dengan rapih.

rbaryans.wordpress.com
 Setiap hari, khususnya hari Jumat, keluarga Inet mengundang anak-anak miskin makan bersama. Usai makan siang, ibu Inet mengajar mengaji anak-anak itu. Sekitar pukul 16:00 keluarga Inet mengundang seorang ustadz yang menjelang magrib melantunkan azan dengan suara merdu. Maka seluruh keluarga, sopir, pembantu, anak-anak miskin yang belajar mengaji, salat magrib berjemaah. Mereka salat di ruang tengah keluarga beralaskan karpet tebal dan bagus. Usai salat kedua orangtua Inet mengalunkan ayat-ayat suci Alquran di meja makan dengan suara merdu.

Mula-mula Hughes hanya mendengarkan pengajian itu dari dalam kamar Inet. Tapi, belakangan ia memberanikan diri mengintip, lalu ke luar kamar dan duduk bersama mendengarkan alunan ayat-ayat suci Alquran yang dikumandangkan kedua orangtua Inet. Sekejap ia mulai tertarik, dan timbul persepsi dalam dirinya bahwa Islam ternyata juga mengajarkan kepedulian terhadap sesama manusia, dan hidup dalam kebersahajaan. Usai mendengarkan pengajian, Hughes memberanikan diri bertanya tentang Islam dalam sebuah obrolan yang intim. Dan begitu orangtua Inet menyatakan bahwa Yesus adalah anak manusia biasa dan bukan anak Tuhan, sebagaimana disebut dalam surat Ali Imron ayat 45-63, maka terjadilah konflik dalam batin Hughes.

Maka setiap kali ke gereja ia pun bengong, pikirannya mulai goyah. Ia sulit mencerna pengertian Tuhan Tri Tunggal; bagaimana mungkin Tuhan adalah Tuhan, sekaligus bapak, dan sekaligus pula sebagai anak? “Dan mengapa aku harus selalu menghadap ke patung Yesus dalam sembahyang? Mengapa pula harus memegang kaki Bunda Maria terlebih dahulu? Mengapa hubungan antara pribadi manusia dan Tuhan tidak langsung saja ke Tuhan, tidak melalui proses yang panjang?” begitu pikiran Hughes terus berkecamuk. Ketika itulah Hughes mulai penasaran dan mencari-cari kebenaran Islam, sementara hatinya mulai bimbang akan kebenaran agama lain. Setelah ibu Inet menegaskan tidak boleh terjadi dualisme dalam iman, ia pun menarik kesimpulan, “Tuhan tidak mungkin punya bapak, ibu dan anak.”

Setelah mempelajari beberapa hal mengenai Islam, dan hatinya semakin mantap, maka pada 1993 ia pun menyempurnakan agama dengan memeluk Islam di Mesjid Al-Azhar, Jakarta. Sayang, orangtua Hughes tidak sempat menyaksikannya karena datang terlambat. Tapi, sempat menikmati nasi kuning dalam acara syukuran yang digelar oleh keluarga Inet. Hughes mengerti bahwa Islam adalah agama terakhir yang disempurnakan oleh Allah SWT. “Saya mengibaratkan Islam itu seperti mobil VW keluaran terbaru. Bukan berarti mobil VW Kodok yang lama tidak diakui, tapi ada mobil VW yang lebih canggih dan serba metalik, yaitu Islam,” katanya sambil tersenyum. Belum genap menjadi muslimah, ia sudah mengenakan jilbab. Suatu saat ia sempat bersama teman-temannya mengunjungi beberapa pesantren di Jakarta, bermalam selama tujuh hari. Kesan Hughes, semua pesantren yang dikunjunginya jorok dan mengecewakan bagi mereka yang ingin mempelajari Islam.

Agak Ribet 
Pulang dari pesantren, ia tak lagi mengenakan jilbab. Mengapa? Selain gara-gara mendapat tekanan teman-teman di kampus, ia juga merasa agak ribet, kurang leluasa. Kebetulan ketika itu ia juga tengah meniti karir sebagai presenter. Maka ia pun bernazar: kelak bila telah sukses sebagai presenter ia akan mengenakan jilbab kembali. Beberapa tahun kemudian, setelah Hughes sukses sebagai presenter, ia hadir dalam sebuah pertemuan Majlis Ulama Indonesia di perkantoran Masjid Istiqlal, Jakarta. Ketika itu muballighah Lutfiah Sungkar “melecut” para artis muslimah agar tidak munafik. Ketika siaran keagamaan mereka memakai jilbab, tapi sesudahnya pergi ke tempat diskotik atau pub. Sejak itu Hughes kembali mengenakan jilbab.

Dan sejak itu pula ia semakin rajin membaca buku-buku mengenai Islam. Tapi, semakin dalam ia mengenal Islam, semakin ia tahu bahwa di kalangan umat Islam ternyata cukup banyak aliran-aliran pemikiran. Ia memang sedikit bingung. Untuk lebih memahaminya, pada 1997 ia menunaikan ibadah umrah sendirian. Antara lain untuk melihat dari dekat pusat agama Islam, serta kota kelahiran dan perjuangan Rasulullah. Selama dalam perjalanan, ia mendapat banyak kemudahan. Ia berkenalan dengan Nyonya Mince, istri pembalap Tinton Suprapto, yang menjelaskan segala sesuatu yang mereka lihat selama umrah. Ketika itulah mulai timbul rasa cintanya kepada Rasulullah. Dan tentu saja ia juga berziarah ke makam Rasulullah di Mesjid Nabawi, Medinah.

www.pengobatan.com
Usai berziarah, ia jalan kaki ke hotel dan tertidur di sofa karena kecapaian. Begitu lelahnya hingga tidurnya sangat pulas. Ketika itulah ia bermimpi, melihat makam Rasulullah kembali. Bahkan tampak jelas gorden berwarna hijau di sekeliling makam. Cahaya terang benderang membersit dari balik makam, kemudian muncullah seorang lelaki. Hughes kaget bukan kepalang. “Ha?! Ya, Allah! Rasulullah! Nabi Muhammad! Nabi Muhammad!” teriak Hughes berkali-kali. Ia melihat Rasulullah yang rambutnya sebahu, mengenakan baju tunik selutut dan sepatu dengan banyak tali sampai di atas mata kaki. “Tapi, saya tak bisa melihat wajah beliau karena diselimuti cahaya terang benderang seperti lampu blitz,” tuturnya. Hughes segera menceritakan mimpinya itu kepada Nyonya Mince – yang rupanya kurang menanggapinya. “Mungkin dia mengira saya bercanda,” kata Hughes. Tapi, diam-diam Nyonya Mince menceritakan mimpi Hughes kepada seseorang, yang belakangan bertemu dengan Hughes di Mekah. Dia menyarankan agar setiba di tanahair Hughes membaca buku berjudul 66 Keistimewaan Berjumpa dengan Rasul. Pulang umrah, ia mencari buku tersebut di perpustakaan Gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah Jalan Kramat Raya, Jakarta Pusat. 

Mohon Ampun

www.dakwatuna.com
“Setelah membaca buku itu saya baru tahu ternyata saya betul-betul bertemu dengan Rasulullah. Padahal, ketika itu iman saya belum tebal betul. Ketika itu saya hanya ingin mengetahui Mekah dan medinah sebagai pusat Islam dan tempat Rasulullah selama hidupnya,” ujarnya. Tapi, alhamdulillah, sejak itu ia merasa kariernya terus menanjak. Selama itu pula, selama kira-kira seminggu ia selalu mimpi seperti duduk di Mesjidil Haram tanpa jilbab. Merasa malu, ia kembali ke hotel mengambil jilbab lalu duduk bersimpuh beristighfar mohon ampun. 

Tapi, hikmah luar biasa sebagai nikmat Allah SWT usai ia umrah ialah: mendapat suami yang saleh dan baik. Hubungan Hughes dengan Achmad Hestiafin diawali ketika mereka bertemu di sebuah studio foto di Pondok Indah Mall, Jakarta Selatan. Achmad Hestiafin ternyata kakak kelas Hughes ketika mereka bersekolah di SLTP Katolik Slamet Riyadi, Cijantung. Dari ngobrol, tukar-menukar kartu nama, berlanjutlah hubungan batin itu dalam jalinan kasih sayang. Dan akhirnya, benih-benih cinta membawa mereka ke pelaminan.

Setelah mengenal Islam dengan baik, setelah imannya mulai kuat – apalagi setelah merasa yakin bahwa ia bertemu dengan Rasulullah dalam mimpi -- Hughes merasa bahwa hidupnya sangat berbahagia. Terutama dalam mendampingi suaminya, Achmad Hestiafin. Ia juga ingin lebih mengoptimalkan amal kebajikan dalam hidupnya sehingga bisa bermanfaat bagi orang banyak. Sementara kelak, jika Allah SWT telah memanggilnya, ia ingin meninggal dalam keadaan husnul khaimah, yaitu akhir kehidupan yang sempurna.

Meski begitu, masih ada sebuah ganjalan di dalam hatinya. Atau lebih tepat suatu kerinduan. Ia sangat merindukan kapan Alah SWT berkenan melimpahkan nur hidayah kepada ibunda yang telah mengandung dan melahirkannya ke dunia, sehingga ia sempat menemukan kebenaran sejati. Tapi, limpahan kasih sayang Allah SWT untuk ibundanya itu rupanya tak semudah sebagaimana yang dirindukannya. “Karena itu, saya hanya bisa berdoa, semoga di akhir hayatnya kelak Mama sempat menerima hidayah kebenaran dari Allah SWT,” katanya berharap. Matanya tampak sembab kemerah-merahan. Kini Hughes merasa berkewajiban memperlihatkan Islam kepada ibundanya dari sisi perilaku, bukan dengan bujuk rayu.

Domery Alpacino
Catatan: Pernah dimuat di majalah Islam Alkisah

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar