Siapa
tak mengenal Lutfiah Sungkar. Satu dari sekian muballigh perempuan yang
memperoleh popularitas setelah disosialisasikan media.
www.kapanlagi.com |
Lutfiah Sungkar bak seorang dokter spesialis
yang lagi laris manis. Setiap Kamis pagi, tepatnya pukul 7.30 WIB, muballigh
perempuan (muballighah) ini selalu ditunggu-tunggu para pemirsa Indosiar,
khususnya kaum ibu.
Dalam acara Penyejuk Imani Islam yang
ditayangkan secara langsung itu, ia mulai menyambut para pemirsa dengan suara
nan lembut. Berlahan menuangkan air di jiwa semua orang yang sedang gelisah.
Setelah
menyampaikan beberapa kalimat bernas, ia menerima dering telepon dari beberapa
pemirsa. Mereka menyampaikan keluhan tentang seputar kehidupan rumah tangga,
perselingkuhan atau anak yang dianggap durhaka atau anak yang merasa durhaka.
Tak sedikit di antara mereka dibarengi dengan suara isak tangis.
“Ibu Lutfiah, Sebenarnya saya masih mencintai
suami saya. Namun, akhir-akhir ini suami saya jarang pulang ke rumah. Ia pun
jarang memberikan nafkah lahir maupun bathin. Kabarnya, ia mempunyai seorang
istri simpanan di kota lain. Bagaimana saya harus bersikap, ibu Lutfiah?” tutur
seorang ibu dibalik dering telepon dengan isak tangis.
Sejurus kemudian, Lutfiah mampu memberikan
“resep” mujarab dengan bijak. Tak lupa, ia membubuhkan beberapa ayat Al-Quran
dan hadis sebagai rujukannya.
Begitulah Lutfiah Sungkar. Sejak tampil rutin
di Indosiar empat tahun lalu—dengan siraman rohani Islam yang sangat
menyejukkan itu—ia makin dikenal secara luas. Kini ia menjadi muballighah
terfavorit. Meski pada dasarnya ia telah lama bergerak dalam dakwah Islam.
Lutfiah, tentu saja sebuah gambaran fenomena baru kehadiran ulama di Indonesia,
yang sebelumnya selalu diasosiasikan dengan lulusan pesantren dan penguasaan
“kitab kuning” secara memadai.
Pandangan keagamaan Lutfiah pun punya corak
tersendiri. Penafsirannya dalam mengangkat harkat dan martabat perempuan tetap
menjadi bahan pemikiran dalam wacana perempuan selanjutnya. Apa yang menjadikan
ia memiliki ciri khas demikian? Tentu, tak lepas dari kisah hidupnya yang penuh
warna.
Dari
Pasar Kliwon
www.youtube.com |
Lutfiah Sungkar lahir di daerah Pasar Kliwon,
Solo, 12 Juni 1947. Ia tumbuh dalam keluarga pedagang menengah keturunan Arab.
Ayah Lutfiah bernama Abdullah Sungkar, berasal dari keluarga Ali Sungkar,
imigran dari Hadramaut yang datang ke Indonesia antara akhir abad ke-19 dan
awal abad ke-20.
Lutfiah kecil hidup dalam tradisi keluarga
yang sangat menekankan pendidikan Islam. Ia dan saudara-saudaranya juga dituntut
untuk selalu mandiri. Disiplin keras dari kedua orangtuanya membuat Lutfiah
tidak bisa berpikir, kelak akan menjadi apa. Saat itu, ia hanya diperintahkan
sekolah, kerja di perusahaan miliknya sendiri—melayani pelanggan di perusahaan
batik dan sablon—serta diajari mengaji oleh ayahnya. “Apabila tidak bisa, maka
pukulan rotan dari tangan ayah mendarat di badan saya,” aku perempuan yang
akrab dipanggil Fifi ini.
Hanya saja, Fifi kecil suka berpidato dan
berpuisi. Masa kecilnya dilalui di sekolah Islam Yayasan Al-Irsyad Solo, dari
SD sampai tamat SMA. Namun, tak sekali pun terlintas dalam benak bocah ini akan
menjadi muballighah nantinya. “Saya hidup apa adanya, sih. Mengikuti jalur
saja. Saya tidak pernah mengkhayal
macam-macam. Saya cuma ingin jadi tukang pidato atau baca puisi. Rasanya seneng
banget bila sudah di atas panggung. Tapi, mau jadi apa? Jadi artis? Tidak
mungkinlah,” tutur Fifi.
Lutfiah
mengaku hampir tidak memiliki waktu bermain, jalan-jalan ataupun menghadiri
suatu pesta. Bila hendak ke luar rumah, ibu, kakak, adik laki-laki atau
muhrimnya yang lain harus mengikuti Lutfiah. “Ayah saya tidak akan pernah
mengizinkan saya pergi keluar rumah sendiri tanpa diikuti muhrimnya,” urainya.
Menjadi
Siti Nurbaya
www.kaskus.co.id |
Singkat cerita, Lutfiah tumbuh menjadi gadis
dewasa. Pada tahun 1965, ia harus menerima pernikahan dengan laki-laki pilihan
orang tuanya, seorang arsitek keturunan Arab. Meski ia sendiri sesungguhnya
sudah jatuh hati dengan seorang teman laki-laki pribumi dari satu desanya.
“Siti Nurbaya” ini pun kemudian hijrah ke
Jakarta mengikuti sang suami yang sudah menjadi pengusaha. Seiring dengan
keberhasilan bisnis suaminya, ia mulai merasakan berbagai keganjilan suaminya.
Ternyata, sang suami jatuh ke dalam lembah kemaksiatan: ke bar, diskotik, dan tempat-tempat
hiburan lainnya. “Saya sering menangis dan memohon agar suami saya bisa
mengubah kelakuannya. Mula-mula ia berjanji akan insaf dan tidak mau mengulangi
perbuatannya itu. Tapi, kenyataannya tidak. Bahkan, kelakuannya makin
menjadi-jadi,” kenang Lutfiah.
Maka, bahtera rumah tangga yang telah
dirajutnya selama tujuh tahun akhirnya retak. Pada 1982, ia resmi bercerai
dengan suaminya, setelah memberi lima orang anak. Saat itu, anak bungsunya baru
beberapa bulan lahir. Namun, setiap kali ada masalah, anak-anak sering
memanggil ayahnya. Bagaimanapun, menurut Lutfiah, dia masih ayah bagi
anak-anaknya, meski bukan suaminya lagi.
Atas dorongan orang tuanya, khususnya sang
ibu, Lutfiah rujuk kembali dengan mantan suaminya itu. Bahtera rumah tangga pun
mereka dayung kembali. Sayangnya, dalam mengarungi samudra kehidupan, suami
Lutfiah tetap mengulangi kebiasaan lamanya: berjudi, main perempuan, dan
minum-minum.
Sabar ada batasnya. Merasa tak tahan, pada
1987 ia terpaksa bercerai untuk kedua kalinya. Pada saat itulah, hasrat untuk
kembali pada kehidupan yang penuh dengan nilai-nilai keagamaan semakin kuat.
Guna mengobati luka yang dideritanya, ia mencoba melanjutkan kegiatan-kegiatan
keagamaan, seperti bertahajud, berpuasa, menggali serta menyelami firman-firman
Allah. Bahkan, memimpin pengajian remaja putri maupun ibu-ibu di daerah tempat
tinggalnya di kawasan Kemang, Jakarta Selatan.
Tak puas sampai disitu, Lutfiah menambah pengetahuannya tentang Islam
dengan mengikuti studi di jurusan Dakwah, Universitas As-Syafi’iyah, Jakarta.
Saat itu, ia praktis sibuk dengan kegiatan-kegiatan keagamaan.
Atas saran anak-anaknya yang sudah menginjak
remaja, Lutfiah hijrah sementara ke Australia. Bersama lima anaknya, Lutfiah
tinggal di Sydney. Di negeri Kanguru ini, ia berkontemplasi dan mencari
kesibukan mengembangkan diri. Ia mengikuti berbagai macam kursus. Mulai dari
kursus komputer, merangkai bunga, bahasa Inggris, public speaking hingga
teaching teacher.
Selain itu, ia aktif juga mengikuti pengajian
orang-orang Turki di Masjid Sarihil, Sydney. Di masjid ini ia sekaligus
mengamati bagaimana orang-orang Turki dan Lebanon menyampaikan
dakwah-dakwahnya—yang kelak sangat bermanfaat untuk menyampaikan
dakwah-dakwahnya dengan isi keras tapi lembut. “Bagaimana sih mereka menyampaikan
dakwah-dakwahnya itu, saya terus pelajari,” kata pengagum tokoh sufi Rabiah
Al-Adawiyah ini.
Lutfiah akhirnya dipercaya mengajar
pendidikan agama untuk kaum ibu dan anak-anak di masjid ini, setiap Sabtu dan
Minggu, pagi hingga sore. Ia dipanggil dengan sebutan sister Fifi. “Saya
mendapat sesuatu yang baru. Saya memang senang sekali mendapat wacana baru,”
kenangnya.
Menurut Lutfiah, perempuan-perempuan muslim
di sana lebih bagus dibanding di sini. Mereka berjilbab lebih panjang dan lebih
esktrim. Bahkan, ia sendiri tidak boleh berdakwah di hadapan laki-laki.
Demikian juga sebaliknya, ustad laki-laki tidak boleh berceramah di hadapan
kaum perempuan. “Sementara di negeri ini, orang-orangnya lebih sekuler,” tegas
Lutfiah.
Di tengah-tengah kebahagian bersama kelima
anaknya itu, tiba-tiba suaminya menyusul. Tak kuasa, ia menikah kembali dengan
mantan suaminya itu. Berharap suami berubah dan memperhatikan keluarga yang
telah lama ditinggalkan. Ternyata kemudian, sang suami hanya ingin mendapatkan
tanda tangan agar bisa menjual rumah miliknya berdua di Kebon Pala, Jakarta.
Tingkah lakunya pun, ternyata tidak berubah.
Hidup dalam budaya Australia yang bebas dan
guna menyelamatkan anak-anaknya dari pendidikan negeri Kanguru yang tidak
sesuai dengan Islam, ia akhirnya memutuskan pulang. Ia kembali aktif berdakwah
di lingkungan kaum ibu. Ia juga meneruskan kuliahnya yang tersendat di
perguruan tinggi As-Syafi’iyah dan berhasil menyelesaikannya pada 1992, saat
usianya 35 tahun. Lutfiah seakan memiliki dua dunia. Di luar rumah,
dakwah-dakwahnya makin digandrungi kaum ibu, sebaliknya di dalam rumah
tangganya tidak dihargai suami.
Kali ini Lutfiah berani mengambil sebuah
keputusan besar. Ia mengajukan cerai ke pengadilan. Akhirnya kedua pasangan
suami istri bercerai tiga kali, thalaq
ba’in. Dalam Islam, thalaq ba’in ini tidak bisa membuat suami atau
istri kembali rujuk atau menikah lagi sebelum istri menikah dengan orang lain
lalu bercerai dengan suaminya itu. Setelah dua tahun menjanda, ia menerima
pinangan seorang duda yang kebetulan da’i, bernama dr. Kolonel Mulya Tarmizi.
Lutfiah merasa telah menemukan orang yang tepat untuk mendampingi hidupnya.
Pengembaraannya yang sekian lama, ternyata membuahkan hasil. Bersama suami
barunya ini, mereka kini hidup dalam keluarga sakinah. Lutfiah menjadi
perempuan, istri, dan juga ibu yang baik.
Menyuarakan
Asma-asma Allah
Bersama suami barunya, Lutfiah berjalan
seiring menyuarakan asma-asma Allah, mengingatkan saudara-saudara lain yang
khilaf, dan melanggar perintah Allah. “Bila saya atau Bapak di luar, kami
selalu saling SMS. Jadi, komunikasi tetap mesra,” ujar Lutfiah.
![]() |
3i-indonesia.com |
Mulya Tarmizi begitu mendorong Lutfiah untuk
berjihad menuju jalan Allah. Demikian pula mertuanya. “Mamah diberi amanat oleh
Allah, maka jalankanlah dengan ikhlas,” ungkap Mulya kepada Lutfiah suatu kali.
Bersama anak-anaknya, Lutfiah juga sangat
dekat. Pasalnya, keluarga merupakan basis pertama dalam menanamkan pendidikan
agama. Ia selalu menasihati anak-anaknya bila berbuat salah. Sesekali
anaknya dimarahi, tapi setelah itu
dirangkul kembali. “Suatu saat saya kaget melihat anak saya telat salat.
Pelan-pelan saya menasihatinya. Akhirnya dia sadar dan berjanji tidak telat
lagi. Ketika saya berceramah, pengalaman saya sehari-hari tadi juga saya
bagikan,” kata Lutfiah.
Lutfiah tampaknya tidak mau “sedetik” pun
kehilangan anak-anaknya. Usai memberi ceramah di luar, ia selalu mengajak
mereka untuk berkumpul: makan bersama, di ruang tengah juga bersama. “Jangan
mereka merasa ibunya sedang mengejar karier. Saya tidak mau mereka beranggapan
dan berpikir seperti itu,” papar Lutfiah.
Selain makin sibuk berdakwah di lingkungan
kaum ibu, di rumahnya setiap hari tak sepi dari orang-orang miskin yang ingin
belajar Al-Quran. Sebenarnya tradisi ini, ia lakukan sejak tahun 1981.
Sekarang keluarga Lutfiah memiliki anak asuh
lebih dari 300 orang. Sebagian tinggal dengan orangtua mereka, dan sebagian
lainnya tinggal di pesantren. “Setiap hari saya membawa uang jutaan dari
pengajian, tapi saya kembalikan lagi ke Allah melalui pesantren. Saya hanya
memakai seperlunya saja,” kata Lutfiah sembari menunjuk surah Al-Baqarah, ayat
219.
Dakwah
yang sejuk
Pengalaman masa lalunya yang penuh warna,
membentuk pola pikir yang memposisikan perempuan sebagai makhluk yang harus
terus dilindungi. Ia menilai perempuan memiliki potensi yang sama dengan
laki-laki. Perempuan memiliki hak suara dan kemerdekaan yang setara dengan
laki-laki. Pemahaman Lutfiah terhadap ayat al-rijalu qawwamuna ala al-nisa
akhirnya menjadi corak tersendiri.
Ia melihat banyak sekali hak perempuan yang
belum ditonjolkan. Lihat saja masih ada suami yang tidak mengayomi istri. Kalau
istrinya salah langsung dimarahi. “Allah marah, lho. Mestinya ditegur lebih
dulu. Kalau tidak mempan, ya pisah ranjang. Bila masih juga berbuat salah,
boleh dipukul tapi pukulan lembut yang tidak menyakitkan, misalnya ke lengan.
Kalau sudah minta maaf berikan maafnya,” urai Lutfiah.
Ia juga mengambil contoh ada seorang istri
yang ditinggalkan suaminya selama dua tahun. Bila istrinya mampu bertahan
silakan saja. Namun, bila tidak kuat, maka mintalah cerai. Di mata Lutfiah,
tetap bertahan bagi seorang perempuan itu tidak baik alias menimbulkan maksiat.
Pasalnya, bila ada orang ketiga yang mengganggunya. Kecuali jika bertahan ada
nilai ibadahnya. “Saya sangat marah kalau ada yang bilang, kalau suami
nyeleweng istrinya terus boleh membalas,” tuturnya. Tak heran, bila Lutfiah
selalu menekankan kepada kaum perempuan, jangan takut cerai lantaran takut
kelaparan.
Domery Alpacino
Catatan: Pernah dimuat di majalah Islam Firdaus
Tidak ada komentar:
Posting Komentar