Laman

Sabtu, 19 November 2005

Seberkas Cahaya Untuk Membela Wanita

Siapa tak mengenal Lutfiah Sungkar. Satu dari sekian muballigh perempuan yang memperoleh popularitas setelah disosialisasikan media.


www.kapanlagi.com
Lutfiah Sungkar bak seorang dokter spesialis yang lagi laris manis. Setiap Kamis pagi, tepatnya pukul 7.30 WIB, muballigh perempuan (muballighah) ini selalu ditunggu-tunggu para pemirsa Indosiar, khususnya kaum ibu.

Dalam acara Penyejuk Imani Islam yang ditayangkan secara langsung itu, ia mulai menyambut para pemirsa dengan suara nan lembut. Berlahan menuangkan air di jiwa semua orang yang sedang gelisah.


Setelah menyampaikan beberapa kalimat bernas, ia menerima dering telepon dari beberapa pemirsa. Mereka menyampaikan keluhan tentang seputar kehidupan rumah tangga, perselingkuhan atau anak yang dianggap durhaka atau anak yang merasa durhaka. Tak sedikit di antara mereka dibarengi dengan suara isak tangis.

“Ibu Lutfiah, Sebenarnya saya masih mencintai suami saya. Namun, akhir-akhir ini suami saya jarang pulang ke rumah. Ia pun jarang memberikan nafkah lahir maupun bathin. Kabarnya, ia mempunyai seorang istri simpanan di kota lain. Bagaimana saya harus bersikap, ibu Lutfiah?” tutur seorang ibu dibalik dering telepon dengan isak tangis.

Sejurus kemudian, Lutfiah mampu memberikan “resep” mujarab dengan bijak. Tak lupa, ia membubuhkan beberapa ayat Al-Quran dan hadis sebagai rujukannya.
 
Begitulah Lutfiah Sungkar. Sejak tampil rutin di Indosiar empat tahun lalu—dengan siraman rohani Islam yang sangat menyejukkan itu—ia makin dikenal secara luas. Kini ia menjadi muballighah terfavorit. Meski pada dasarnya ia telah lama bergerak dalam dakwah Islam.

Lutfiah, tentu saja sebuah gambaran  fenomena baru kehadiran ulama di Indonesia, yang sebelumnya selalu diasosiasikan dengan lulusan pesantren dan penguasaan “kitab kuning” secara memadai.

Pandangan keagamaan Lutfiah pun punya corak tersendiri. Penafsirannya dalam mengangkat harkat dan martabat perempuan tetap menjadi bahan pemikiran dalam wacana perempuan selanjutnya. Apa yang menjadikan ia memiliki ciri khas demikian? Tentu, tak lepas dari kisah hidupnya yang penuh warna.

Dari Pasar Kliwon

www.youtube.com
Lutfiah Sungkar lahir di daerah Pasar Kliwon, Solo, 12 Juni 1947. Ia tumbuh dalam keluarga pedagang menengah keturunan Arab. Ayah Lutfiah bernama Abdullah Sungkar, berasal dari keluarga Ali Sungkar, imigran dari Hadramaut yang datang ke Indonesia antara akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20.

Lutfiah kecil hidup dalam tradisi keluarga yang sangat menekankan pendidikan Islam. Ia dan saudara-saudaranya juga dituntut untuk selalu mandiri. Disiplin keras dari kedua orangtuanya membuat Lutfiah tidak bisa berpikir, kelak akan menjadi apa. Saat itu, ia hanya diperintahkan sekolah, kerja di perusahaan miliknya sendiri—melayani pelanggan di perusahaan batik dan sablon—serta diajari mengaji oleh ayahnya. “Apabila tidak bisa, maka pukulan rotan dari tangan ayah mendarat di badan saya,” aku perempuan yang akrab dipanggil Fifi ini.

Hanya saja, Fifi kecil suka berpidato dan berpuisi. Masa kecilnya dilalui di sekolah Islam Yayasan Al-Irsyad Solo, dari SD sampai tamat SMA. Namun, tak sekali pun terlintas dalam benak bocah ini akan menjadi muballighah nantinya. “Saya hidup apa adanya, sih. Mengikuti jalur saja. Saya tidak pernah  mengkhayal macam-macam. Saya cuma ingin jadi tukang pidato atau baca puisi. Rasanya seneng banget bila sudah di atas panggung. Tapi, mau jadi apa? Jadi artis? Tidak mungkinlah,” tutur Fifi.

Lutfiah mengaku hampir tidak memiliki waktu bermain, jalan-jalan ataupun menghadiri suatu pesta. Bila hendak ke luar rumah, ibu, kakak, adik laki-laki atau muhrimnya yang lain harus mengikuti Lutfiah. “Ayah saya tidak akan pernah mengizinkan saya pergi keluar rumah sendiri tanpa diikuti muhrimnya,” urainya.

Menjadi Siti Nurbaya

www.kaskus.co.id
Singkat cerita, Lutfiah tumbuh menjadi gadis dewasa. Pada tahun 1965, ia harus menerima pernikahan dengan laki-laki pilihan orang tuanya, seorang arsitek keturunan Arab. Meski ia sendiri sesungguhnya sudah jatuh hati dengan seorang teman laki-laki pribumi dari satu desanya.


“Siti Nurbaya” ini pun kemudian hijrah ke Jakarta mengikuti sang suami yang sudah menjadi pengusaha. Seiring dengan keberhasilan bisnis suaminya, ia mulai merasakan berbagai keganjilan suaminya. Ternyata, sang suami jatuh ke dalam lembah kemaksiatan: ke bar, diskotik, dan tempat-tempat hiburan lainnya. “Saya sering menangis dan memohon agar suami saya bisa mengubah kelakuannya. Mula-mula ia berjanji akan insaf dan tidak mau mengulangi perbuatannya itu. Tapi, kenyataannya tidak. Bahkan, kelakuannya makin menjadi-jadi,” kenang Lutfiah.

Maka, bahtera rumah tangga yang telah dirajutnya selama tujuh tahun akhirnya retak. Pada 1982, ia resmi bercerai dengan suaminya, setelah memberi lima orang anak. Saat itu, anak bungsunya baru beberapa bulan lahir. Namun, setiap kali ada masalah, anak-anak sering memanggil ayahnya. Bagaimanapun, menurut Lutfiah, dia masih ayah bagi anak-anaknya, meski bukan suaminya lagi.

Atas dorongan orang tuanya, khususnya sang ibu, Lutfiah rujuk kembali dengan mantan suaminya itu. Bahtera rumah tangga pun mereka dayung kembali. Sayangnya, dalam mengarungi samudra kehidupan, suami Lutfiah tetap mengulangi kebiasaan lamanya: berjudi, main perempuan, dan minum-minum.

Sabar ada batasnya. Merasa tak tahan, pada 1987 ia terpaksa bercerai untuk kedua kalinya. Pada saat itulah, hasrat untuk kembali pada kehidupan yang penuh dengan nilai-nilai keagamaan semakin kuat. Guna mengobati luka yang dideritanya, ia mencoba melanjutkan kegiatan-kegiatan keagamaan, seperti bertahajud, berpuasa, menggali serta menyelami firman-firman Allah. Bahkan, memimpin pengajian remaja putri maupun ibu-ibu di daerah tempat tinggalnya di kawasan Kemang, Jakarta Selatan.

Tak puas sampai disitu,  Lutfiah menambah pengetahuannya tentang Islam dengan mengikuti studi di jurusan Dakwah, Universitas As-Syafi’iyah, Jakarta. Saat itu, ia praktis sibuk dengan kegiatan-kegiatan keagamaan.

Atas saran anak-anaknya yang sudah menginjak remaja, Lutfiah hijrah sementara ke Australia. Bersama lima anaknya, Lutfiah tinggal di Sydney. Di negeri Kanguru ini, ia berkontemplasi dan mencari kesibukan mengembangkan diri. Ia mengikuti berbagai macam kursus. Mulai dari kursus komputer, merangkai bunga, bahasa Inggris, public speaking hingga teaching teacher.

Selain itu, ia aktif juga mengikuti pengajian orang-orang Turki di Masjid Sarihil, Sydney. Di masjid ini ia sekaligus mengamati bagaimana orang-orang Turki dan Lebanon menyampaikan dakwah-dakwahnya—yang kelak sangat bermanfaat untuk menyampaikan dakwah-dakwahnya dengan isi keras tapi lembut. “Bagaimana sih mereka menyampaikan dakwah-dakwahnya itu, saya terus pelajari,” kata pengagum tokoh sufi Rabiah Al-Adawiyah ini.

Lutfiah akhirnya dipercaya mengajar pendidikan agama untuk kaum ibu dan anak-anak di masjid ini, setiap Sabtu dan Minggu, pagi hingga sore. Ia dipanggil dengan sebutan sister Fifi. “Saya mendapat sesuatu yang baru. Saya memang senang sekali mendapat wacana baru,” kenangnya.

Menurut Lutfiah, perempuan-perempuan muslim di sana lebih bagus dibanding di sini. Mereka berjilbab lebih panjang dan lebih esktrim. Bahkan, ia sendiri tidak boleh berdakwah di hadapan laki-laki. Demikian juga sebaliknya, ustad laki-laki tidak boleh berceramah di hadapan kaum perempuan. “Sementara di negeri ini, orang-orangnya lebih sekuler,” tegas Lutfiah.

Di tengah-tengah kebahagian bersama kelima anaknya itu, tiba-tiba suaminya menyusul. Tak kuasa, ia menikah kembali dengan mantan suaminya itu. Berharap suami berubah dan memperhatikan keluarga yang telah lama ditinggalkan. Ternyata kemudian, sang suami hanya ingin mendapatkan tanda tangan agar bisa menjual rumah miliknya berdua di Kebon Pala, Jakarta. Tingkah lakunya pun, ternyata tidak berubah.

Hidup dalam budaya Australia yang bebas dan guna menyelamatkan anak-anaknya dari pendidikan negeri Kanguru yang tidak sesuai dengan Islam, ia akhirnya memutuskan pulang. Ia kembali aktif berdakwah di lingkungan kaum ibu. Ia juga meneruskan kuliahnya yang tersendat di perguruan tinggi As-Syafi’iyah dan berhasil menyelesaikannya pada 1992, saat usianya 35 tahun. Lutfiah seakan memiliki dua dunia. Di luar rumah, dakwah-dakwahnya makin digandrungi kaum ibu, sebaliknya di dalam rumah tangganya tidak dihargai suami.

Kali ini Lutfiah berani mengambil sebuah keputusan besar. Ia mengajukan cerai ke pengadilan. Akhirnya kedua pasangan suami istri bercerai tiga kali,  thalaq ba’in. Dalam Islam, thalaq ba’in ini tidak bisa membuat suami atau istri kembali rujuk atau menikah lagi sebelum istri menikah dengan orang lain lalu bercerai dengan suaminya itu. Setelah dua tahun menjanda, ia menerima pinangan seorang duda yang kebetulan da’i, bernama dr. Kolonel Mulya Tarmizi. Lutfiah merasa telah menemukan orang yang tepat untuk mendampingi hidupnya. Pengembaraannya yang sekian lama, ternyata membuahkan hasil. Bersama suami barunya ini, mereka kini hidup dalam keluarga sakinah. Lutfiah menjadi perempuan, istri, dan juga ibu yang baik.

Menyuarakan Asma-asma Allah

Bersama suami barunya, Lutfiah berjalan seiring menyuarakan asma-asma Allah, mengingatkan saudara-saudara lain yang khilaf, dan melanggar perintah Allah. “Bila saya atau Bapak di luar, kami selalu saling SMS. Jadi, komunikasi tetap mesra,” ujar Lutfiah.

3i-indonesia.com
Mulya Tarmizi begitu mendorong Lutfiah untuk berjihad menuju jalan Allah. Demikian pula mertuanya. “Mamah diberi amanat oleh Allah, maka jalankanlah dengan ikhlas,” ungkap Mulya kepada Lutfiah suatu kali.

Bersama anak-anaknya, Lutfiah juga sangat dekat. Pasalnya, keluarga merupakan basis pertama dalam menanamkan pendidikan agama. Ia selalu menasihati anak-anaknya bila berbuat salah. Sesekali anaknya  dimarahi, tapi setelah itu dirangkul kembali. “Suatu saat saya kaget melihat anak saya telat salat. Pelan-pelan saya menasihatinya. Akhirnya dia sadar dan berjanji tidak telat lagi. Ketika saya berceramah, pengalaman saya sehari-hari tadi juga saya bagikan,” kata Lutfiah.

Lutfiah tampaknya tidak mau “sedetik” pun kehilangan anak-anaknya. Usai memberi ceramah di luar, ia selalu mengajak mereka untuk berkumpul: makan bersama, di ruang tengah juga bersama. “Jangan mereka merasa ibunya sedang mengejar karier. Saya tidak mau mereka beranggapan dan berpikir seperti itu,” papar Lutfiah.

Selain makin sibuk berdakwah di lingkungan kaum ibu, di rumahnya setiap hari tak sepi dari orang-orang miskin yang ingin belajar Al-Quran. Sebenarnya tradisi ini, ia lakukan sejak tahun 1981.

Sekarang keluarga Lutfiah memiliki anak asuh lebih dari 300 orang. Sebagian tinggal dengan orangtua mereka, dan sebagian lainnya tinggal di pesantren. “Setiap hari saya membawa uang jutaan dari pengajian, tapi saya kembalikan lagi ke Allah melalui pesantren. Saya hanya memakai seperlunya saja,” kata Lutfiah sembari menunjuk surah Al-Baqarah, ayat 219.

Dakwah yang sejuk
Pengalaman masa lalunya yang penuh warna, membentuk pola pikir yang memposisikan perempuan sebagai makhluk yang harus terus dilindungi. Ia menilai perempuan memiliki potensi yang sama dengan laki-laki. Perempuan memiliki hak suara dan kemerdekaan yang setara dengan laki-laki. Pemahaman Lutfiah terhadap ayat al-rijalu qawwamuna ala al-nisa akhirnya menjadi corak tersendiri.

Ia melihat banyak sekali hak perempuan yang belum ditonjolkan. Lihat saja masih ada suami yang tidak mengayomi istri. Kalau istrinya salah langsung dimarahi. “Allah marah, lho. Mestinya ditegur lebih dulu. Kalau tidak mempan, ya pisah ranjang. Bila masih juga berbuat salah, boleh dipukul tapi pukulan lembut yang tidak menyakitkan, misalnya ke lengan. Kalau sudah minta maaf berikan maafnya,” urai Lutfiah.

Ia juga mengambil contoh ada seorang istri yang ditinggalkan suaminya selama dua tahun. Bila istrinya mampu bertahan silakan saja. Namun, bila tidak kuat, maka mintalah cerai. Di mata Lutfiah, tetap bertahan bagi seorang perempuan itu tidak baik alias menimbulkan maksiat. Pasalnya, bila ada orang ketiga yang mengganggunya. Kecuali jika bertahan ada nilai ibadahnya. “Saya sangat marah kalau ada yang bilang, kalau suami nyeleweng istrinya terus boleh membalas,” tuturnya. Tak heran, bila Lutfiah selalu menekankan kepada kaum perempuan, jangan takut cerai lantaran takut kelaparan. 

Domery Alpacino
Catatan: Pernah dimuat di majalah Islam Firdaus


Tidak ada komentar:

Posting Komentar