Laman

Rabu, 30 November 2005

Pergolakan Batin Mantan Calon Biarawati

Ia calon biarawati, tapi kini jadi seorang ustadzah. Dakwahnya lebih menukik kepada dakwah bilhal – untuk membentengi kemurtadan.

tilulas.com
RANGKAIAN dakwahnya tak hanya sekadar dakwah billisan, dakwah dengan lisan, tapi ia juga berkecimpung dalam dakwah bilhal, yaitu dakwah dengan perbuatan. Itulah Hj. Irena Handono, calon biarawati yang sejak 20 tahun yang lalu telah menyempurnakan agamanya dengan memeluk Islam.
Ia terjun langsung ke komunitas masyarakat kumuh dan yang selama ini dianggap rawan kristenisasi. Dari kampung ke kampung, dari kota ke kota di seluruh Indonesia. Bersama timnya, yaitu organisasi Gerakan Muslimat yang terdiri dari beberapa dokter, paramedis, relawan, seminggu sekali ia melakukan dakwah bilhal. Kegiatan itu meliputi pengobatan gratis, sekaligus membagikan sembako.

Seringkali rumahnya di Jalan Lapangan Ros, Jakarta Selatan, dijadikan tempat untuk menggelar acara tersebut. Ketika Alkisah mengunjungi rumah tersebut awal September lalu, tampak puluhan ibu-ibu miskin tengah antri untuk melakukan tes gula darah secara gratis. Jauh sebelumnya, saat hari Raya Idul Adha tahun lalu, ia menggelar acara tersebut untuk sekitar 1500 kepala keluarga, sementara pertengahan Oktober lalu ia menghitankan 40 anak yatim dan miskin di Depok.
Dan di bulan Ramadhan ini ia hampir setiap hari membagikan sembako kepada kaum fakir miskin dan yatim piatu. “Persoalan umat kan tidak selesai jika hanya dibicarakan di mimbar atau dalam diskusi saja. Karena itu saya mengajak segenap kaum muslimin untuk melakukan gerakan kongkrit untuk membantu mereka yang papa,” kata Irena.
            Ia selalu sibuk, hampir tak ada waktu untuk beristirahat. Menurutnya, semua itu untuk membentengi para ibu dan anak-anak miskin yang beragama Islam dari bahaya kristenisasi. Sebab, Alquran sendiri menjelaskan dalam surat Al-Baqarah ayat 120, bahwa orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang hingga kaum muslimin mengikuti agama mereka.

Berpikir Sekuler

            Sudah lama mereka melakukan gerakan pemurtadan dengan memberikan bantuan pangan, sandang, beasiswa, dan pengobatan gratis untuk masyarakat bawah, sementara untuk kalangan menengah atas mereka melakukan pendekatan pemikiran dan budaya, misalnya mengajak kaum muslim berpikir sekuler. Karena itu, Irena melakukan dua langkah pembentengan. Pertama, mengetahui visi, misi, dan strategi gerakan pemurtadan; kedua, meningkatkan dakwah bilhal. “Dua sisi ini harus berjalan bersama. Bila salah satu berlubang, maka pemurtadan akan cepat masuk,” ujarnya
            Kalau sebagian besar kaum muslimin bisa bergandengan tangan, bergotong-royong, maka mereka tentu bisa bermanfaat buat para tetangga di sebelah menyebelah, sehingga selesailah persoalan dasar umat ini. Irene lalu menyebut sebuah hadis: “Belum beriman seseorang kalau dia belum bermanfaat untuk sesamanya.”
            Irene lahir pada 30 Juli 1954 di Surabaya, dari sepasang suami isteri berdarah Tionghoa, pengusaha kaya dan salah seorang donatur besar pembangunan beberapa gereja katolik. Irena kecil tinggal di sebuah rumah cukup besar dan mewah, luasnya 1000 meter persegi. Seperti kakak-kakaknya, anak bungsu dari lima bersaudara ini juga mendapat seorang pengasuh. Niti, namanya. Niti selalu bersih dalam berpakaian dan tak pernah bohong. “Pengasuh saya ini seorang muslimah yang taat. Saya kagum akan kepribadiannya,” tutur Irena yang nama baptisnya Maria Irena.
Sejak masa kanak-kanak, ia rajin ke gereja dan sekolah Minggu. Berbeda dengan teman-teman sebayanya di sekolah Minggu yang mendapat pelajaran secara berkelompok, ia mendapat pelajaran secara privat selama setahun. Tak heran, Irena lebih cerdas dibanding teman-temannya karena belajar secara intensif. “Saat itu saya sudah bisa menghafal segala macam doa, termasuk doa dengan bahasa Latin. Orang Katolik dewasa saja belum tentu bisa seperti saya,” tuturnya lagi.
           

Wajah Moeder

m.deseretnews.com
Menjelang remaja, ia kembali belajar agama Katolik secara privat. Seminggu sekali selama dua jam, berlangsung selama dua tahun. Padahal, bekal satu tahun belajar agama Katolik bagi anak-anak sudah dianggap lebih dari cukup. “Saat itu, sebagian besar anak-anak melihat wajah seorang moeder saja takut, tapi saya tidak,” katanya.
            Pada usia 15 tahun, ia masuk organisasi gereja: Legio Maria (tentara Maria) yang bertugas mencari “domba yang tersesat”, yaitu mereka yang belum Katolik. Karena di Indonesia sebagian besar masyarakatnya beragama Islam, otomatis sasaran utama Legio Maria ialah orang-orang Islam. “Di dalam Injil kedudukan ayat ini adalah ayat perintah. Karena perintah, maka hukumnya wajib. Bila umat Kristen tidak melaksanakan ayat ini dan malaikat maut mencabut rohnya, maka mereka akan masuk neraka,” kata Irena. “Oleh sebab itu, umat Kristen di mana pun pasti melakukan misi itu. Pasti mencari domba yang tersesat,” tambahnya.
Bagaimana caranya? Menurut Irena, setiap orang Kristen diwajibkan berperilaku menarik: tampil bagus, halus, sopan, dermawan, peduli sesama. Dengan tampil seperti itu, niscaya “domba yang tersesat” akan tertarik. Mereka juga dibekali dana untuk membantu sang domba.
Setahun di Legio Maria, Irena terpilih sebagai ketua termuda selama dua tahun. Setelah itu, pas tamat Sekolah Menengah Atas, ia masuk ke sekolah seminari di Surabaya untuk menjadi biarawati. Keinginannya untuk menjadi biarawati sangat bulat. “Meski semua fasilitas untuk hura-hura ada, tapi saat itu saya tidak larut dalam semaraknya pergaulan muda-mudi. Sebaliknya, hidup saya ingin semata untuk Tuhan,” kenangnya.
            Awalnya, orangtuanya keberatan. Tapi, akhirnya mereka mengikhlaskan anaknya masuk seminari, sedang kakak-kakaknya sejak awal menyambut gembira. Di sekolah itu ia mendapat banyak kemudahan. Ia, misalnya, mendapat kesempatan kuliah di Institut Filsafat Theologia Katolik (Seminari Agung) di Surabaya. Di sini ia mendapat mata kuliah perbandingan agama, termasuk Islamologi. “Dalam Islamologi yang diajarkan bukan Islam sebagai agama yang benar, tapi Katoliklah yang diklaim sebagai agama paling benar,” kata Irena.
           

Surat Al-Ikhlas

ervakurniawan.wordpress.com

Merasa penasaran, Irena lalu minta izin untuk mempelajari Islam dari sumber aslinya, yaitu Al-Quran dan hadis. Ternyata, usulan Irena diterima tapi sang dosen memberi catatan: harus mencari kelemahan Islam. “Saat itu tidak terbayangkan oleh saya bisa mempelajari Islam. Sebab, bila seseorang sudah menjadi biarawati, menyerahkan hidup sepenuhnya kepada Tuhan. Jadi, mempelajari agama lain sangat jarang terjadi,” katanya.
            Suatu malam, saat pertama kali mempelajari Islam, ia membuka Al-Quran. Ia bingung ketika melihat kitab suci umat Islam itu. Ditulis dalam bahasa dan huruf Arab! Ia juga bingung bagaimana untuk membukanya pertama kali: dari depan atau belakang. Akhirnya ia mengambil jalan pintas dengan mempelajari terjemahnya lebih dahulu. Tapi membacanya dari mana? Nah, di sinilah ia, untuk pertama kali, sempat memandang surat Al-Ikhlas lalu membaca terjemahnya. Ketika itu hati nuraninya membenarkan bahwa Allah itu esa, satu, tiada beranak, tidak diperanakkan; tidak seorang pun setara dengan-Nya.
            Pagi harinya, ia mendapat kuliah perbandingan agama. Sang dosen menyatakan, Tuhan itu satu tapi pribadinya tiga, yaitu Tuhan Bapak, Tuhan Putra dan Tuhan Roh Kudus. Tiga Tuhan dalam satu kesatuan; satu Tuhan dalam tiga. Inilah yang disebut Trinitas atau Tritunggal. Sang dosen lalu menggambar segi tiga sama sisi di papan tulis. “Segi tiga ini satu, tapi bersisi tiga. Artinya, Tuhan itu satu tapi pribadinya tiga. Tuhan Bapak sama kuasanya dengan Tuhan Putra dan sama kuasanya dengan Tuhan Roh Kudus,” kata sang dosen.
            Sejurus kemudian Irena menyela: “Kalau demikian, bila suatu saat nanti dunia sudah modern, iptek sudah sedemikian pesatnya, Tuhan yang hanya tiga pribadi itu tidak akan mampu mengelola dunia ini, dong! Karena itu harus ada Tuhan yang keempat.”
“Tidak bisa,” sangkal si dosen.
            “Bisa,” Irena kembali menyangkal. Ia lalu maju ke depan dan menggambar sebuah bujur sangkar di papan tulis. Ia menjelaskan bahwa pribadi Tuhan itu bisa empat. Tapi, sang dosen tetap pada pendiriannya: “Ini dogma, yaitu aturan yang dibuat para pemimpin gereja. Terima saja soal ini. Kalau Anda ragu-ragu, hukumnya dosa,” katanya.
           

Simpul Kebenaran

Rasa penasaran dan keinginan tahu Irene semakin besar. Perasaan seperti itulah yang pada akhirnya mendorong Irene setiap hari mempelajari ayat-ayat Al-Quran. Padahal, pada awalnya ia mendapat tugas mencari kelemahan ayat-ayat Al-Quran. Tapi, ternyata semakin digali, semakin ia tidak mampu menemukan kelemahannya. Sebaliknya, ia semakin menemukan simpul-simpul kebenaran.  Tak heran jika belakangan imannya mulai goyah. Maka pada suatu hari ia mengambil keputusan sangat penting: keluar dari seminari dan mengurungkan niatnya menjadi biarawati. “Saya keluar dari seminari dan mengurungkan niat menjadi biarawati karena yakin bahwa Islam adalah agama Allah,” katanya mantap.
            Lepas dari seminari, Irena tidak langsung mengucapkan dua kalimah syahadat. Ia masih terus bergelut mencari kebenaran. Seiring dengan itu ia hijrah ke Jakarta, kuliah di jurusan sosial politik, Universitas Atmajaya, kemudian lulus menggondol ijasah sarjana S1. Tak terasa, enam tahun sudah ia mencari kebenaran agama. Rasanya cukup melelahkan. Belakangan ia memutuskan menikah dengan seorang pemuda Katolik, dengan harapan tak lagi merasa penasaran mencari kebenaran suatu agama. Pasangan ini pun kemudian tinggal di Surabaya.
            Tapi, ternyata harapan tinggal harapan. Pikiran Irena terus berkecamuk. Apalagi ia juga sering berdiskusi soal agama dengan suaminya. Dalam setiap kali berdiskusi, suaminya selalu menyerang agama dan umat Islam, sementara Irena tidak bisa menerima pernyataan seperti itu tanpa alasan kuat. Maka setiap kali berdiskusi mereka tak pernah bertemu dalam satu titik pemahaman, sehingga kehidupan berumahtangga mereka pun tak dapat lagi dipertahankan.
           

Berjanggut Tebal

salafiyunpad.wordpress.com
Suatu hari, diam-diam Irena berusaha menemui seorang kyai – setelah sebelumnya mempelajari Islam dari sejumlah buku. Saat itu, dalam bayangan Irena, seorang kyai ialah sosok lusuh yang mengenakan baju koko, bersurban, memakai bakiak, berjangkut tebal, sementara seorang pastor adalah seseorang yang berkepribadian sedemikian bagus dan bersih. Alhamdullillah, ia berhasil bertemu dengan dua orang kyai yang pribadinya jauh dari bayangan Irena: KH Misbah dan KHAhmad Sudja’i – yang kedua-duanya kini sudah almarhum.
Tak disangka, Irena mengemukakan keinginannya memeluk Islam. “Masuk Islam itu gampang, asal Anda konsekuen,” kata Kyai Misbah.
“Saya siap, kyai,” jawab Irena.
“Apa konsekuensinya bila Anda masuk Islam?”
“Pernikahan saya.”
“Mengapa pernikahanmu?”
“Haram hukumnya. Dan, saya siap minta cerai,” jawab Irena mantap.
Tapi Kyai Misbah memberi waktu kepada tiga minggu untuk berpikir ulang. Bila keputusannya telah mantap, Irena boleh kambali.
“Saya tetap pilih Islam, kyai,” kata Irena ketika untuk ketiga kalinya ia menghadap.
            Karena sudah bertekad memilih Islam, akhirnya Irena diantar ke masjid Alfatah, Surabaya. Perisitiwa itu terjadi pada 1983, saat ia berusia 26 tahun. Di masjid Alfalah ia mengucapkan dua kalimat syahadat dibimbing oleh KH Achmad Sudja’i, disaksikan oleh KH Misbah. Ia tetap menggunakan nama Irena, sebab menurut Kyai Misbach, Irena dalam bahasa Arab adalah Arana, yang artinya “hidayah yang tajam.”
            Setelah menjadi muslimah, ia pun bercerai setelah membina rumah tangga bersama suaminya selama lima tahun. Ia pun meninggalkan rumah dengan memboyong ketiga anaknya yang masih belum dewasa, bahkan anak bungsunya saat itu masih balita. Ia mengontrak sebuah rumah kecil dan sederhana. Mendengar Irena masuk Islam dan bercerai dari suaminya, tak ayal keluarga dan kerabat Irena sangat terpukul. Dengan berbagai macam cara mereka mengajak Irena kembali masuk ke Katolik.
Mula-mula mereka mengimbau dan membujuk, belakangan memberikan iming-iming fasilitas: sebuah rumah megah, sementara segala permintaannya akan dituruti. Tapi, semua itu tak membuat Irena bergeming. Akhirnya mereka menteror dengan surat kaleng, telepon gelap, dan ancaman pembunuhan. Suatu suatu hari beberapa teman akrab Irena bertamu. Mereka pura-pura membuat minuman tapi sembari menaburkan racun dan disajikan untuk Irena.
           
Keluarga Sakinah
Karena asyik ngobrol, tanpa disengaja Irena menggeser minuman itu dalam hitungan detik, sementara para tamu tidak memperhatikan sama sekali. Ketika Irena mempersilakan mereka minum, para tamu pun minum bersama. Dalam pikiran salah seorang tamunya, Irena sebentar lagi pasti meninggal. Tapi, minuman beracun itu diminum oleh si tamu sendiri -- ibarat senjata makan tuan. Sepuluh menit kemudian, salah seorang tamu itu mual-mual dan pergi ke kamar mandi. Ia muntah-muntah, sakit perut berkepanjangan. Akhirnya tamu yang menaburkan racun itu diangkut ke rumah sakit. “Setelah itu saya tidak tahu lagi bagaimana kabarnya,” kata Irena.
            Pada 1992, Irena menuaikan ibadah haji. Di tanah suci ia mohon ampun dan mengucap syukur berkali-kali. Ia merasakan nikmat iman dan Islam yang begitu besar. Sebab, belum tentu seseorang yang sejak lahir memeluk Islam merasakan kenikmatan ruhaniah yang dialami Irena. Pulang dari haji, Irena semakin giat berdakwah. Jadual dakwahnya sangat padat. Ia adalah ketua Gerakan Muslimat, anggota presidium Forum Komunikasi Lembaga Pembina Mualaf (FKLM), pengurus Majlis Al-’Alami lil ’Alimat Al-Muslimat Indonesia (MAAI), penasihat Forum Gerakan Anti Pornografi dan Pornoaksi (Forgapp), penasihat Lembaga Advokasi Muslim, ketua Jamaah Al-Muhtadin dan konsultan Kristologi Masjid Agung Al-Azhar, Jakarta.
            Tiga tahun lalu, alhamdulillah, Allah SWT telah mempertemukan Irena dengan Masruchin Yusuf, duda lima anak yang istrinya telah wafat. Kebetulan ia juga seorang muballigh. Kini mereka berkumpul bersama anak masing-masing sebagai keluarga besar muslim dan muslimah yang sakinah. Dan mereka bersama-sama pula mensyiarkan Islam. Sungguh, perjuangan seorang perempuan yang penuh dengan lika-liku pergolakan batin! Dan semua itu tiada lain untuk mendapatkan ridha Allah SWT.
Domery Alpacino
Catatan: Pernah dimuat di majalah Islam Alkisah

3 komentar:

  1. Agak aneh:
    1. Mula-mula mereka mengimbau dan membujuk, belakangan memberikan iming-iming fasilitas: sebuah rumah megah, sementara segala permintaannya akan dituruti. Tapi, semua itu tak membuat Irena bergeming. Akhirnya mereka menteror dengan surat kaleng, telepon gelap, dan ancaman pembunuhan. Suatu suatu hari beberapa teman akrab Irena bertamu. Mereka pura-pura membuat minuman tapi sembari menaburkan racun dan disajikan untuk Irena. >> mereka bertamu tapi membuat minuman untuk tuan rumah?? Mohon dicermati kalimatnya.

    2. Karena asyik ngobrol, tanpa disengaja Irena menggeser minuman itu dalam hitungan detik, sementara para tamu tidak memperhatikan sama sekali. >> keasikan yang seperti apa? Kalau memang TAMU yang MENYEDIAKAN minuman menaruh racun, logika nya mereka akan benar2 cermat terhadap gelas irena. Logika nya dimana???

    Harap dijawab.

    BalasHapus
    Balasan
    1. mereka yg bertamu itu teman-teman akrab Irene sebelum Irene masuk Islam. Biasa, kalau teman akrab itu, keluar masuk dapur, membuat minuman sendiri, biasa... Nah, mereka di hari itu tujuannya sembari membuat minuman, juga menaburkan racun... demikian penjelasannya

      Hapus
  2. Borgata Hotel Casino & Spa - Mapyro
    Casino 부산광역 출장마사지 & 경상남도 출장안마 Hotel in 청주 출장안마 Atlantic City, New Jersey, United States and reviews by real people. Mapyro Real-time driving directions to 문경 출장마사지 the Borgata Hotel 광주 출장안마 Casino & Spa

    BalasHapus