Laman

Rabu, 18 Februari 2004

Buah Belajar Mengaji kepada Anak

Meski sering mendapat iming-iming agar kembali pada agama semula, ia tetap mempertahankan  Islam sebagai agamanya. Dalam keadaan miskin, ia tetap menjalani agama penuh berkah ini dengan sabar dan syukur.

Bakda isya, akhir Juni 2004. Alunan pembacaan ayat-ayat suci Al-Quran sayup-sayup terdengar dari sebuah rumah tipe 21 – dengan luas tanah berukuran 60 m2 – di daerah Binong Permai, Tangerang, Banten. Makin dekat, tampak seorang bapak sedang belajar mengaji kepada anak sulungnya yang baru saja lulus dari SMP Negeri 6, Tangerang. Bapak empat anak ini, tak lain, Mulyadi Lesmana, seorang keturunan Tionghoa, yang sejak 15 tahun lalu telah menjadi muslim. “Hampir setiap bakda isya hingga kurang lebih dua jam lamanya, saya belajar mengaji kepada anak sulung saya,” tutur Mulyadi, terus terang.

Menurut Mulyadi, anak sulungnya yang bernama Andi Mulya ini seperti mendapat rahmat dari Allah SWT.  Ia mampu mengaji dengan tajwid yang cukup terpelihara. Padahal, ia tak pernah belajar mengaji secara khusus kepada seorang guru ngaji. Ia hanya beberapa hari pernah belajar mengaji kepada seorang kiai, lalu ditinggalkannya. Pasalnya, kawan-kawannya sering mengejek karena ia seorang Cina miskin.         
Sekarang, selain mengajari mengaji kepada ayahandanya sendiri, setiap bada magrib hingga isya – kecuali malam Sabtu dan Minggu – Andi juga menjadi guru ngaji di sebuah masjid, tak jauh dari rumahnya. Murid-muridnya mulai dari anak-anak hingga remaja. Jumlahnya sekitar 20 orang. Setiap bulan ia menerima uang sebesar Rp 25.000 dari mereka. “Alhamdulillah uang itu bisa untuk membeli buku dan pensil sekolah,” kata Mulyadi.
Andi memang seorang anak yang tergolong cukup rajin, aktif, cerdas, dan saleh. Di sekolah ia masuk ranking tiga besar, karena itu ia mendapat beasiswa dan keringanan biaya bimbingan belajar (bimbel) dari pihak sekolah. Ia juga sering melakukan puasa Senin-Kamis karena ayahandanya sering tak mampu memberi makan. “Bahkan, ia pernah tidak makan dua hari lamanya karena saya waktu itu betul-betul tidak punya uang untuk membeli beras,” kata Mulyadi, menatap sedih.

Penjual Ayam Potong
Mulyadi sekarang ini hanyalah seorang penjual ayam potong keliling kecil-kecilan, sementara istrinya seorang ibu rumah tangga. “Meski penghasilan saya sehari-harinya hanya cukup untuk makan, saya tetap mensyukuri nikmat Allah. Saya berusaha untuk tidak mengeluh dengan keadaan ini, karena Allah mungkin sedang mencoba hambanya, apakah bisa bersabar atau tidak,” tutur Mulyadi yang rajin salat ke masjid itu. 
Sebelum berjualan ayam keliling, keadaan ekonomi Mulyadi terbilang cukup baik. Ia pernah menjadi manajer pemasaran hardware komputer, bekerja di biro perjalanan dan advertising di sebuah biro iklan cukup ternama. Ketika bekerja itu, di antaranya ia ikut kakak dan adik kandungnya yang sukses. Tapi, karena kakak dan adiknya tahu Mulyadi memeluk Islam, “disingkirkanlah” dia. Bahkan beberapa kali mendapat olok-olok dan hinaan dari saudara-saudara kandungnya itu. Menghindari bentrokan yang tidak diinginkan, ia pun lebih memilih keluar dari pekerjaannya. Lambat laun, ia terpuruk dalam kemiskinan. “Saya masih bersyukur, bisa mempertahankan agama yang saya anut sesuai dengan keyakinan saya,” ungkap Mulyadi yang hingga kini masih sering mendapat iming-iming kehidupan mewah dari saudara-saudara dan kedua orangtuanya agar kembali kepada agama yang lama.
Perjuangan Mulyadi memeluk Islam memang dilalui dengan jalan berliku. Lahir pada 2 April 1964 di Jakarta Pusat, ia anak keempat dari tujuh bersaudara pasangan Lim Bun Cit (Budiman Lesmana) dan Atiyah. Berdasarkan garis keturunan, ayahandanya adalah keturunan kelima para perantau asal Cina Daratan, yang menetap turun-temurun di Benteng, Tangerang. Sedang ibundanya asli Betawi.
Semula ia bernama Liem Tek Sin, dengan panggilan akrab Liem. Pada 1967, saat rezim Orde Baru mengimbau agar keturunan Tionghoa berganti nama dengan nama Indonesia, orangtuanya mengganti namanya dengan Mulyadi Lesmana.
Mulyadi kecil dibesarkan dalam keluarga penganut Konghucu dan Buddha yang kental, meski sejatinya kedua orangtuanya saat awal menikah adalah pemeluk agama Islam. Sejak lahir ibundanya pemeluk agama Islam, sementara ayahandanya pemeluk Konghucu dan Buddha. Karena ingin menyunting Atiyah sebagai istri, Budiman berpura-pura memeluk Islam lebih dahulu. Setelah menikah, ia segera memboyong istri ke rumah orangtuanya. Di tempat inilah, ayahanda Mulyadi mempengaruhi istrinya terus-menerus agar memeluk ajaran Buddha. Lambat laun, istrinya mulai meninggalkan salat wajib, puasa Ramadan, hingga akhirnya memeluk Buddha. Dan, pada akhirnya berganti memeluk Katolik. 
            Mulyadi kecil belajar di SD Gang Pekong, Pasar Baru, Jakarta Pusat. Tamat dari SD, ia melanjutkan sekolah ke SMP Budi Utomo, Sunter, Jakarta Utara, dan selanjutnya ke SMA Taruna Jaya, Kwitang, Jakarta Pusat. Tamat dari SMA, ia sempat mengikuti tes masuk perguruan tinggi negeri dan diterima di Jurusan Kedokteran, Universitas Indonesia, Jakarta. Ia juga sempat diterima tanpa melalui tes di Jurusan Arsitektur, Institut Teknologi Bandung, Bandung. Tapi, karena tidak mempunyai biaya, ia mengurungkan niatnya untuk belajar di perguruan tinggi ternama itu.
Sejak kecil, Mulyadi aktif mengikuti kebaktian di wihara Gang Pekong,  tak jauh dari rumahnya di Jalan Kartini, Pasar Baru, Jakarta Pusat. Tak mengherankan bila pada usia sekitar delapan tahun, ia mengaku sudah hafal isi syair-syair Kitab Tripitaka (bagian  Kitab Wedha). Ia juga menjadi panutan teman-teman sebayanya. 
Tapi, menginjak usia 12 tahun, Mulyadi beralih agama dan memeluk Katolik, mengikuti jejak kakak sulungnya. “Dengan segala cara kakak saya terus membujuk saya agar mau memeluk Katolik. Lambat laun, saya pun terbawa bujukannya,” kata Mulyadi, mengenang.
Ia kemudian aktif ke gereja dan mengikuti Sekolah Minggu. Karena badung, ia tidak lulus tes pembaptisan sampai tiga kali. Baru pada keempat kalinya, ia bisa mengikuti acara pencucian dosa ala Kristiani tersebut. Namanya yang semula Mulyadi Lesmana mendapat nama tambahan menjadi Frans Mulyadi Lesmana. Satu bulan kemudian, ia mengikuti acara Penguatan (pengukuhan setelah pembaptisan), dan mendapat nama lengkap: Fransiskus Mulyadi Lesmana. 
Namun, dengan bertambahnya tahun, bukannya bertambah rajin ke gereja, tapi, entah mengapa, ia tidak tertarik menjadi penganut Katolik yang taat. Ia makin malas ke gereja. Boleh jadi, ia memeluk Katolik bukan karena hasrat yang timbul dari dalam sanubari, melainkan hasil “paksaan” kakak sulungnya itu. Berbeda di saat memeluk Buddha, ia punya keyakinan sampai ke hati yang paling dalam. Buddhisme dijadikan pandangan hidup, sikap dan cara berpikir kehidupan sehari-hari ala Sidharta Gautama: jujur, menjauhi perbuatan curang dan culas, setia dan hormat kepada orangtua. Tak mengherankan bila ia sempat menolak tawaran dari seorang pastor untuk menjadi putra altar (pendamping/pembantu pastor saat berkhotbah). “Saya tidak siap menjadi putra altar, karena belum sreg benar tentang ajaran Katolik,” kata Mulyadi.

Melalui Anita Riani
Seiring dengan bertumbuhnya usia remaja – menjelang kelas tiga SMA – Mulyadi mulai memadu kasih alias berpacaran dengan Anita Riani, adik kelasnya yang beragama Islam. Karena ia beragama Katolik, kedua orangtua Anita tidak menyetujuinya. Ia sering dihina bahkan diusir dari rumah kekasihnya itu. Sang kekasih sendiri suatu hari sempat mendapat beberapa pukulan dan siraman air panas dari ayahandanya karena terus menjalin hubungan dengan Mulyadi. “Putuskan saja hubungan dengan Mulyadi. Buat apa kamu pacaran dengan Cina kafir, tidak ada manfaatnya!” ungkap Anita menirukan hardikan ayahandanya.
Peristiwa itu tidak menjadikan kedua anak muda ini surut dalam menjalin kasih. Diam-diam kedua pasangan muda ini tetap menjalin hubungan. Bahkan, Mulyadi bertekad, suatu saat nanti harus mampu menundukkan kedua orangtua Anita, khususnya ayahnya. 
Singkat cerita, ayah Anita membutuhkan madat (semacam kemenyan untuk mendatangkan roh halus) dari orang-orang supranaturalis, guna memenuhi salah satu syarat mendapatkan pesugihan. Entah kenapa, ia sering pergi ke orang-orang pintar alias dukun untuk menanyakan letak harta karun peninggalan raja-raja Nusantara. Dan, tampaknya ia bermimpi ingin mendapatkan harta itu. Kebetulan Anita menceritakan masalah ini kepada Mulyadi. Pucuk dicinta, ulam tiba. Mulyadi pun sanggup mencarikan madat itu, karena kebetulan ia punya kenalan baik seorang supranaturalis.
Tidak lebih dari seminggu, Mulyadi mampu mencarikan madat itu dan menyerahkannya kepada ayahanda Anita. Karuan saja, ayah Anita begitu girang. Sejak itu, hubungan antara ayah Anita dan Mulyadi makin akrab, tapi tidak demikian dengan ibunda Anita. “Padahal, saya berusaha mendapatkan madat itu karena ingin ada silaturahmi yang lebih baik antara saya dan kedua orangtua Anita,” kata Mulyadi, terus terang.
Tak mengherankan, saat Mulyadi meminang Anita untuk dijadikan istri, ibunda Anita menolak mentah-mentah, meski ayah Anita menerimanya. Sampai tiga kali, ibunda Anita tetap menolaknya, dengan alasan Mulyadi belum memeluk Islam.
Namun, diam-diam Anita sedikit demi sedikit  memberikan gambaran tentang Islam yang sebenarnya kepada Mulyadi. Islam, menurut Anita, tidak sesulit apa yang digambarkan orang-orang nonmuslim. Seseorang mengerjakan ajaran Islam sesuai dengan kemampuannya, tidak lebih dari itu. Sebab Allah sendiri berfirman sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran surah Al-Baqarah (2:286), “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya, dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya....”
Lambat laun, Mulyadi makin tertarik dengan apa yang disampaikan Anita itu. Ia lalu sedikit demi sedikit belajar tentang agama Islam dari Anita dan buku-buku yang membahas tentang Islam. Tapi sejatinya, Mulyadi sudah mengenal Islam sejak masih di bangku SD. Saat belajar di SD, ia suka mengikuti pelajaran Agama Islam di sekolahnya. Saat Ramadan tiba – saat itu di SMP –  ia pun suka membangunkan orang-orang tidur agar sahur, entah dilakukan dengan teman-temannya atau sendirian. Malah, ia sering mengikuti puasa Ramadan beberapa hari lamanya. 
Mulyadi mengaku, ketertarikannya mempelajari Islam lebih intens, bukan semata karena masalah cinta, tapi jauh lebih dari itu, Islam dipandang sebagai agama yang sangat rasional dan banyak memperhatikan kebersihan, entah kebersihan jiwa, raga, maupun lingkungan sekitarnya. Selain itu, juga dari hasil berpikir keras  tentang makna kebenaran. Ia harus menentukan pilihan: tetap dalam Katolik, yang membingungkan dengan konsep trinitasnya, atau memeluk Islam, yang sungguh-sungguh benar dan masuk akal. Rupanya Al-Quran menjadi ukuran baginya untuk menilai kebenaran ajaran agama Buddha, Katolik, dan Islam. Dengan ukuran Al-Quran, ia menilai, Sidharta Gautama bukanlah Tuhan, melainkan seorang guru yang mengajarkan etika, sementara Yesus adalah seorang nabi dan rasul yang diutus oleh Allah SWT untuk menyebarkan kebenaran (Islam), juga bukan Tuhan. Sementara dalam Islam, seorang makhluk diwajibkan menyembah Allah, Yang Maha Esa, sebagaimana disebutkan dalam surah Al-Ikhlas ayat 1-4, “Katakanlah, Dialah Allah, Yang Maha Esa, Allah tempat meminta segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakkan, dan tidak sesuatu pun yang setara dengan Dia.

Memeluk Islam
Pilihannya makin bulat untuk memeluk Islam, juga lantaran ibunya yang sejak lahir hingga awal-awal menikah beragama Islam. “Jadi, apa salahnya saya juga memeluk Islam, bukankah surga berada di telapak kaki ibu?” kata Mulyadi, mencoba berfilsafat.
Setelah mantap dengan Islam, ia kemudian pergi ke dukun sunat untuk minta dikhitan. Sejurus kemudian, ia menyatakan diri memeluk Islam. Di hadapan Anita, ia mengucapkan dua kalimah syahadat. Anita kemudian melapor kepada ibundanya bahwa Mulyadi telah memeluk Islam. Tapi, orangtua Anita tetap tidak percaya. “Bohong saja, saya ingin bukti,” kata Anita menirukan ucapan ibundanya.
Karena sudah bertekad memilih Islam, akhirnya Mulyadi diantar ke K.H. Mustofa di sebuah musala kecil di daerah Roxi, Jakarta Barat. Peristiwa itu terjadi pada 1989, saat ia berusia 25 tahun. Di musala itulah ia disuruh mandi kembang oleh K.H. Mustofa, sebagai lambang menyucikan diri dari agama sebelumnya. Setelah itu, ia mengucapkan dua kalimah syahadat dibimbing sendiri oleh K.H. Mustofa, disaksikan oleh Anita dan ibu Anita serta beberapa jemaah musala itu. Rasa haru, lega, campur bahagia pun, lebur jadi satu. Tak terasa, ia berurai air mata. Tapi, ia tetap menggunakan nama Mulyadi Lesmana, hanya saja nama baptisnya diganti dengan nama Muhammad – orang yang terpuji.
Sebulan kemudian, Mulyadi meminang Anita kembali. Pinangan pun diterima dengan suka cita. Dan, beberapa hari kemudian mereka menikah.
Saat menikah, kedua orangtua Mulyadi dan saudara-saudaranya turut hadir dan menyaksikannya. Mereka tahu Mulyadi telah memeluk Islam. Tapi dalam alam pikir mereka, itu hanya bersifat sementara, seperti yang dilakukan Budiman, ayahanda Mulyadi dulu.
Setelah menikah, pada setiap Hari Raya Imlek dan Natal, Mulyadi bersama istrinya tetap mengunjungi kedua orangtuanya untuk mengucapkan “selamat”, sehingga mereka tidak merasa curiga. Tapi, kunjungan itu selalu dilakukan sehari setelah hari raya berlangsung. Peristiwa itu berlangsung hingga pada tahun 1994, setelah mereka mempunyai tiga orang anak. Lama-lama, pasangan muslim-muslimah ini tidak merasa tenteram karena selalu berbohong. “Papa, lebih baik kita jujur saja kepada kedua orangtua Papa bahwa kita sungguh-sungguh telah memeluk Islam,” desak sang istri. “Bila kita jujur, mungkin orangtua Papa akan menerimanya dengan baik,” tambahnya.
Akhirnya, Mulyadi mengutarakan hal yang sesungguhnya terjadi kepada kedua orangtuanya. Ia teringat akan sebuah hadis yang intinya menyatakan, “Sampaikan kebenaran walau pahit akibatnya.”
Awalnya, kedua orangtua Mulyadi hanya diam, tak memberikan reaksi. Dalam perjalanan waktu, mereka akhirnya menunjukkan ketidaksenangannya. Mereka selalu mengajak anaknya ini untuk kembali ke dalam agama sebelumnya. Mula-mula dengan bujukan. “Kalau kamu mau kembali dalam Katolik, segala keperluan rumah tanggamu serta jaminan punya rumah akan saya penuhi. Tapi, kalau kamu masih memeluk Islam, saya tidak bakal membantumu lagi. Siapa sih yang mau membantu orang Islam yang miskin?” kata Mulyadi menirukan ucapan kedua orangtua dan saudara-saudaranya itu.

Tak Ada Bantuan
Merasa tidak berhasil, mereka tak lagi memberikan bantuan uang kepada Mulyadi, seperti pada tahun-tahun sebelumnya. Mereka juga seperti acuh tak acuh setiap kali Mulyadi dan istrinya bertandang ke rumah mereka. Bahkan, hinaan serta cacian, kerap meluncur dari kedua orangtua Mulyadi maupun saudara-saudaranya. “Tapi, saya tetap menerimanya dengan sabar. Malah saya selalu mendoakan agar Allah SWT membukakan pintu hati kepada kedua orangtua saya dan saudara-saudara saya,” kata Mulyadi, sembari meneteskan air mata. “Dan, saya tetap berusaha menjalin hubungan dengan mereka meski tidak seiman. Meski sangat miskin harta, kami ingin menunjukkan bahwa kami tetap kaya jiwa dan dalam pelukan Islam,” tambahnya. 

Domery Alpacino
Catatan: Prnah dimuat di majalah Islam Alkisah 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar