Laman

Senin, 01 Maret 2004

Nur Ilahi Memancar di Kawasan Industri

Setelah memeluk Islam, ia aktif berdakwah: pengajian dari rumah ke rumah dan membangun masjid. Kini ia menjabat staf ahli Dirut Pupuk Kaltim.

Mushalla itu hanya berukuran sekitar 4 x 10 meter persegi. Tapi, rumah Allah itu terasa istimewa. Bukan lantaran arsitekturnya yang indah, tapi setiap Minggu sore, sejak 15.00 hingga 19.00 WIB puluhan jemaah memadati mushalla kecil di tepi jalan Haji Nur, Pasar Minggu, Jakarta Selatan itu. Mereka kebanyakan keturunan Tionghoa. Ada yang baru memeluk Islam, ada pula yang telah lama menjadi muslim. Mereka dari sekitar Jakarta, Tangerang dan Bekasi, lelaki, perempuan, tua, muda.
            Dengan takzim mereka duduk bersimpuh membentuk shaf  yang rapi, perempuan terpisah dari lelaki, mengikuti pengajian Ustaz Surya Madya. Bila berhalangan hadir, Ustaz Surya sendiri yang mencari penggantinya. Usai mendengarkan pengajian, mereka salat Maghrib berjemaah, dilanjutkan diskusi ringan, membahas agama atau masalah hidup sehari-hari. Saat tiba waktu Isya, mereka pun menulaikan salat Isya berjemaah. Keakraban terpancar dari wajah-wajah mereka. 

            Kegiatan dakwah rutin itu digelar oleh Yayasan Amal Muslim Muhajirin dan Ashar (Amma) di bawah bimbingan Ustaz Surya, seorang muballigh keturunan Cina, yang sejak 26 tahun lalu telah muslim. Ia merasa terpanggil mendirikan Amma, karena merasa orang-orang yang baru memeluk Islam, atau hijrah ke dalam Islam, kurang banyak mendapat perhatian dari umat Islam sendiri. Apalagi bila mereka dari etnis Cina. “Baru seminggu seseorang memeluk Islam dan masuk ke masjid, banyak umat Islam yang tidak memperhatikannya. Mengapa? Karena memang umat Islam meresa mereka tidak perlu mendapat perhatian secara spesifik,” kata Surya. 
            Dari pengalaman itulah, bersama beberapa temannya Surya mendirikan Yayasan Amma pada April 2000. Tujuannya, menjalin silaturahmi antara mereka yang baru memeluk Islam dan mereka yang bersedia membantu memperdalam pengetahuan tentang keislaman. Ia mengibaratkannya sebagai silaturahmi dan persaudaraan antara kaum Muhajirin dan Anshar yang saling bahu-membahu.

Masjid Lautze
“Paling tidak, setelah mereka mengucapkan dua kalimah syahadat, kami memperhatikan mereka. Misalnya, mengajak ke pengajian dan tempat-tempat yang Islami. Lebih dari itu, kami ingin mengentaskan kemualafan mereka,” tutur Surya yang juga Sekretaris Umum Masjid Karim Oei, Jalan Lautse, Pasar Baru, Jakarta Pusat.
            Menurut Surya, yayasan itu tidak membantu kaum mualaf dari segi materi, melainkan lebih pada pembinaan rohani. “Paling tidak bila ada seorang mualaf  terusir dari rumahnya, kami mencoba menghibur. Syukur bila kami bisa mencarikan tempat berteduh, atau ia bisa kembali kepada keluarganya -- agar hubungan persaudaraan mereka tetap berlangsung dengan baik,” kata Surya lagi.
            Dalam menangani berbagai kasus-kasus seperti itu, ada yang berhasil ada pula yang gagal. Ada orangtua atau saudara-saudara kaum mualaf yang menolak kehadiran anak atau saudaranya yang telah menjadi muslim atau muslimah. Bila terjadi hal seperti itu, Yayasan Amma akan berusaha mencarikan tempat tinggal atau tempat kerja yang layak. Karena itu, Surya berharap yayasannya mendapat dukungan segenap kaum muslimin. Sebab, membina kaum mualaf ibarat membuka pintu gerbang Islam bagi mereka.
“Setelah kami bina, dan mereka sudah bisa salat dan puasa dengan baik, misalnya, baru kami lepas. Kemudian kami memfokuskan pembinaan pada mualaf yang. Kami berusaha sekuat tenaga dan pikiran untuk membantu mereka,” ujar Surya lagi. Yayasan Amma membuka pintu selama 24 jam bagi kaum mualaf yang membutuhkan konsultasi kerohanian, baik di rumah maupun di kantor.
Kegiatan yang luar biasa ini tak lepas dari perjalanan hidup Surya sendiri. Lahir di Samarinda, Kalimantan Timur, pada 14 Desember 1962, ia anak ke delapan dari sembilan bersaudara pasangan Surya Kumara (Lie Han Kiang) dan Padmi. Berdasarkan garis keturunan, kedua orangtuanya adalah keturunan kelima dari para perantau asal Cina Daratan.
           
Pay Pekkong
Semula ia bernama Lie Sin Tiong, dengan panggilan akrab Oong. Pada 1967, saat rezim Orde Baru mengimbau agar keturunan Tionghoa berganti nama dengan nama Indonesia, orangtuanya mengganti namanya dengan Surya Madya, yang berarti “terang benderang di tengah hari”, sesuai dengan waktu lahirnya.
            Surya kecil dibesarkan dalam tradisi Cina yang kental, meski sehari-hari menggunakan bahasa Banjar. Maklum, orangtuanya masih penganut Konghucu. Mereka misalnya selalu melakukan pay Pekkong (menyembah Dewa atau Leluhur) atau pay Sin (menyembah para Malaikat). Para leluhur yang disembah ialah arwah leluhur orang-orang terkenal. Mereka juga menyembah beberapa malaikat: Mengdau Sin (penjaga pintu depan), Aubai Sin (penjaga belakang), dan malaikat penjaga alam lainnya. Dalam melakukan ritual, mereka tak hanya menyajikan lilin dan hio (dupa), tapi juga sesajian berupa sayuran, nasi, daging, dan sebagainya.
            Selain menjalankan tradisi Konghucu, keluarga itu juga memeluk agama Budha. Setiap Minggu, mereka mengikuti kebaktian di wihara tak jauh dari rumahnya di Karangmumus di pinggir Sungai Mahakam. Surya dan saudara-saudaranya selalu ikut serta. Menurut Surya, bagi keluarganya Budhisme lebih sebagai pandangan hidup, sikap dan cara berpikir ala Sidharta Gautama: jujur, menjauhi perbuatan curang dan culas, setia dan hormat kepada orangtua.
Maka sejak kecil Surya sudah pandai melantunkan syair-syair Tripitaka (bagian dari Kitab Wedha) dalam bahasa Pali, India. Ketika masih duduk di kelas lima SD, ia bahkan sempat menjadi juara ketiga lomba baca Tripitaka. Tapi, karena ia bersekolah di SK Katolik WR Soepratman, ia pun mendapat pelajaran agama Katolik. Bisa dimaklum jika sejak kecil ia mengagumi dua tokoh dunia: Sidharta Gautama dan Yesus.
Tapi, entah mengapa, ia sama sekali tidak tertarik menjadi Katolik. Baginya, belajar agama Katolik hanyalah semacam kewajiban dari sekolah, bukan hasrat yang timbul dari dalam sanubari. “Tapi, bagaimanapun dua figur itu sampai sekarang masih melekat di hati sanubari saya,” kata Surya terus terang.
           
Islam Menyempurnakan
Tamat dari SD WR Supratman, ia melanjutkan ke SMP Negeri I Samarinda. Setiap kali ada pelajaran agama Islam, ia selalu minta izin keluar kelas. Tapi, lama-kelamaan ia merasa kesepian, tidak betah. Lalu iapun kembali minta izin untuk masuk kelas. “Pak guru, saya minta izin untuk mendengarkan pelajaran agama Islam di ruang kelas, sebab di luar tidak betah,” katanya kepada guru agama Islamnya.
            Surya diizinkan masuk, tapi tidak boleh mengganggu teman-temannya yang sedang belajar agama Islam. Sejak itu, ia mengikuti pelajaran agama Islam hingga kelas tiga. Di sinilah ia mulai berkenalan dengan sebuah ajaran baru: Islam. Ia sempat hafal beberapa surat pendek dalam Al-Quran, bahkan sering melafazkan surah Al-Fatihah di mana pun ia berada.
            Belakangan ia berkesimpulan: ajaran Nasrani banyak berbeda dengan Islam, bahkan Islam mengoreksi atau menyempurnakannya. Misalnya, mengoreksi predikat Yesus (bahasa Ibrani) atau Isa (bahasa Arab) yang diyakini umat Katolik sebagai Tuhan sekaligus manusia. Sementara menurut Islam, Isa adalah manusia biasa, seorang abi, Rasul, Utusan Allah, sebagaimana disebut dalam surah Maryam ayat 30-36:
            Berkatalah Isa: “Sesungguhnya aku ini hamba Allah. Dia memberiku Al-Kitab (Injil) dan Dia menjadikan aku seorang nabi. Dia menjadikan aku seorang yang diberkati di mana saja aku berada, dan Dia memerintahkan aku mendirikan salat dan menunaikan zakat selama aku hidup, serta berbakti kepada ibuku. Dan Dia tidak menjadikan aku seorang yang sombong lagi celaka. Kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku pada hari aku dilahirkan, pada hari aku wafat dan pada hari aku dibangkitkan kembali. Itulah Isa putra Maryam, yang berkata dengan perkataan benar, yang mereka berbantah-bantahan tentang kebenarannya. Tidak layak bagi Allah mempunyai anak; Maha Suci Dia. Apabila telah menetapkan sesuatu, Dia hanya berkata: “Jadilah”, maka jadilah ia. Sesungguhnya Allah adalah Tuhanku dan Tuhanmu, maka sembahlah Dia. Ini adalah jalan yang lurus.
           
Tubuh Gemetar
Menurut Surya kemudian, Islam mengajarkan tentang Allah yang Maha Esa, dan mengoreksi konsep trinitas sebagaimana disebutkan dalam surah Al-Ikhlas ayat 1-4: Katakanlah, Dialah Allah Yang Maha Esa, Allah tempat meminta segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakkan, dan tidak sesuatu pun yang setara dengan Dia.
            Surya mengaku banyak mendapat wawasan baru tentang Islam, termasuk banyak mengenal kehidupan Rasulullah SAW. “Ternyata Rasulullah SAW adalah seorang Nabi yang sangat sabar, santun, rendah hati. Ini menjadi ajaran etika yang baik bagi saya. Dan sejak itu saya jadi punya satu figure lagi yang saya gadrungi, yaitu Muhammad SAW,” kata Surya.
            Suatu hari, pada saat sedang gandrung-gandrungnya mempelajari kepribadian Rasulullah SAW, Surya masuk ke kamar tidur kakak sulungnya. Di situ ia mendapati Kitab Al-Quran dan terjemahannya. Kebetulan, kakak sulungnya lebih dulu masuk Islam karena hendak menikah dengan seorang muslimah. Diam-diam ia membuka lembar demi lembar terjemahan ayat-ayat Al-Quran itu.
Saat membaca surah Ali Imran, khususnya ayat 19-20 dan ayat 85-91, jiwanya merinding, tubuhnya gemetar. Mengapa? Sebab, inti dari ayat-ayat itu menegaskan, barang siapa yang mencari agama selain agama Islam adalah kafir dan akan dilaknat oleh Allah dan dimasukkan ke dalam neraka jahanam.
            Sejak itu jiwanya semakin gelisah, bahkan seperti dihantui oleh perasaan takut yang luar biasa. Merasa penasaran, pada suatu malam ia kembali menyelinap ke kamar kakak sulungnya dan membaca terjemahan surah Ali Imran tersebut. Ia kembali terusik. Hatinya berdebar-debar. “Kalau begitu saya harus mempelajari Al-Quran lebih dalam. Kalau saya nanti mati dan belum menentukan pilihan, saya bisa kafir,” kata Surya dalam hati, sementara perasaannya berkecamuk tak menantu.
            Sejurus kemudian ia berpikir keras tentang makna sebuah kebenaran. Ia harus menentukan pilihan: Islam, Budha atau Katolik. Tapi, rupanya Al-Quran menjadi ukuran baginya untuk menilai kebenaran ajaran agama Budha, Katolik dan Islam. Dengan ukuran Al-Quran, ia menilai bahwa Sidharta Gautama bukanlah Tuhan melainkan seorang guru yang mengajarkan etika, sementara Yesus adalah seorang Nabi dan Rasul yang diutus oleh Allah SWT untuk menyebarkan kebenaran (Islam), bukan Tuhan.
            Sementara dalam Islam, Muhammad SAW memberi suri tauladan yang begitu luhur dan indah dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan umatnya dilarang keras mengkultuskan, apalagi menyembahnya. Yang berhak disembah hanyalah Allah SWT semata – sebagaimana Al-Quran mengambarkan-Nya dalam surah Al-Ikhlas. “Dari konsep seperti itulah, maka saya memutuskan untuk masuk Islam,” kata Surya. Maka, tanpa menunggu-nunggu lagi, ia pun menyampaikan niat itu kepada ibundanya.

Juru Sunat
Namun, sang ibunda menolak keras. “Kalau kamu masuk Islam, nanti siapa yang merawat saya?” ujar Surya menirukan ucapan ibundanya. Surya mencoba memahami perasaan ibundanya: bila sang ibu meninggal dan dikremasi, sementara abunya disimpan di altar dalam rumah, tidak ada yang merawatnya. Sebab, dua anaknya yang lain -- kakak sulung dan kakak nomor dua Surya – sudah lebih dulu memeluk Islam. Sementara Surya adalah satu-satunya anak yang diharapkan untuk merawat tradisi Konghucu.
            Namun, keinginannya untuk memeluk Islam tak bisa dibendung lagi. Pada bulan Desember 1977, beberapa hari setelah lulus SMP, tanpa seizin ibunya – tapi diantar oleh kakak sulungnya – ia menemui juru sunat minta dikhitan. Setahun kemudian, Maret 1978, saat baru masuk SMA Negeri I, ia berusaha kembali minta izin kepada ibundanya untuk mengucapkan dua kalimat syahadat di rumah tetangganya yang akan disaksikan oleh puluhan umat Islam. Tapi, lagi-lagi ibundanya belum mau merestui.
            Namun, di tengah malam, sehari menjelang acara pengucapan dua kalimat syahadat itu, tiba-tiba ibundanya menyetujui anaknya memeluk Islam. Bahkan, diam-diam ia memberi bantuan uang dan makanan kepada tetangganya itu untuk menjamu para tamu yang hadir dalam acara pengislaman anaknya itu.
            Pagi hari, ketika matahari sepenggalah, Surya mengucapkan dua kalimat syahadat dibimbing oleh seorang guru agama. Ibunya menyaksikan peristiwa bersejarah itu dari balik pintu belakang rumah tetangga. “Sejak itu, saya terlepas dari perasaan gelisah karena tudingan sebagai orang kafir. Saya juga merasa, hidup saya tidak akan sia-sia lagi sebab Allah SWT akan mencatat segala perbuatan baik saya. Keyakinan inilah yang membuat saya sangat bahagia,” tutur Surya berkaca-kaca.
            Sejak itu Surya belajar mengaji kepada Ustaz Abdurahman (almarhum) di sebuah masjid tak jauh dari rumahnya setiap bakda Maghrib hingga Isya bersama anak-anak yang masih belum tamat SD. Tapi, ia tak merasa malu bahkan semangat belajarnya tak kalah dengan mereka. Tak heran, bila dalam waktu tiga bulan ia sudah lancar membaca Juz Amma dengan baik.
           
Salat Tahajud
Berbarengan dengan itu, ia pindah ke rumah kakaknya tak jauh dari sekolahnya di SMA Negeri I, yang juga berdekatan dengan Masjid Raya. Imam masjid itu, KH Abdul Rasyid, alumni Universitas Al-Azhar, Kairo, yang hafal Al-Quran. Maka, setiap minggu Surya pun belajar mengaji kepadanya. Dalam waktu tiga tahun ia sudah khatam Al-Quran beberapa kali.
            Ketika di SMA I itulah, ketika sudah menjadi muslim, Surya aktif dalam kegiatan remaja masjid. Saking aktifnya, ia sering menginap di Masjid Raya bersama Yazid, seorang temannya keturunan Arab. “Kami mengaji bersama dan latihan berpidato tanpa ada yang membimbing. Dan setiap malam Minggu kami mendengarkan pengajian. Kami juga sering salat tahajud. Itulah yang membuat saya termotivasi belajar agama,” tutur Surya lagi.
            Setelah agak mendalam mempelajari agama, Surya umat Islam sendiri kurang memperhatikan agamanya. Teman-teman sebayanya yang sejak lahir sudah muslim, misalnya, tidak sedikit yang malah kurang mengerti ajaran agama. Karena itu, sebagai orang yang baru memeluk Islam ia merasa terpanggil untuk mempelajari Islam secara bersungguh-sungguh. 
            Hasilnya luar biasa. Ketika sekolahnya menyelenggrakan salat tarawih, Surya selalu ditunjuk sebagai imam. Sebab, para guru dan teman-temannya menilai Surya lebih fasih membaca Al-Quran. Mereka juga menunjuk Surya sebagai khatib salat Jumat di masjid sekolah -- bila ustaz atau guru agama berhalangan. “Saya sangat bersyukur bisa diterima dengan baik dan akrab. Bahkan saya merasa sangat dihargai,” kata Surya.
            Tamat SMA pada 1981, Surya kuliah di Universitas Pembangunan Nasional (UPN), Yogyakarta, jurusan Teknik Kimia. Dan sejak di tingkat dua ia aktif dalam kegiatan Himpunan Mahasiswa Islam di kampusnya. Terutama bersama Niken, aktivis Kohati (Korps HMI-wati), mahasiswi Fakultas Pertanian di universitas yang sama.
           
Menikah Sirri
Mereka memang sudah saling kenal sejak masih duduk di SMA – meski hanya lewat jalur sahabat pena. Suatu hari, Niken memutuskan memakai jilbab. Justru keputusan Niken inilah yang memperkuat niat Surya untuk mempersuntingnya. Dan sejak itu pula mereka semakin aktif mengikuti pengajian di beberapa tempat. Mula-mula mereka menikah secara sirri (hanya secara agama), tapi setelah lulus sarjana muda, Juli 1985, mereka menikah secara resmi di hadapan petugas Kantor Urusan Agama. Saat itu, Surya sudah menjadi guru honorair untuk mata pelajaran Ilmu Kimia di SMA Muhamadiyah Yogyakarta.
            Pada 1987, Surya lulus sebagai sarjana dari UPN dengan dengan predikat sangat memuaskan. Ia lalu melamar ke Badan Tenaga Atom Nasional, Jakarta. Beberapa bulan kemudian ia diterima bekerja di sana. Beberapa bulan kemudian, Juli 1988, ia pindah kerja di PT Pupuk Kaltim, Kalimantan Timur. Awalnya ia sebagai supervisor, kemudian diangkat sebagai Kepala Bagian Pengembangan lalu Kepala Biro.
Pada 1996 ia ditarik ke Jakarta untuk menjadi staf ahli Direktur Utama PT Pupuk Kaltim, khusus menangani proposal pengembangan perusahaan. Meski jabatannya sudah cukup tinggi, Surya takmelupakan dakwahnya. Justru dari sinilah, setelah jam kerja, ia mengembangkan dakwah. Ia membentuk kelompok pengajian karyawan PT Pupuk Kaltim. Lambat laun, jemaahnya semakin banyak hingga kini.
Bersama teman-teman sekantor ia juga mendirikan Baitul Mal yang menghimpun dana untuk menyantuni anak asuh. Dari sekitar 10.000 karyawan PT Pupuk Kaltim, ada 2.500 karyawan yang bersedia dipotong sedikit gajinya untuk program ini. Tentu saja atas persetujuan mereka. “Andai para karyawan yang bergaji besar bersedia menyisihkan sedikit penghasilannya, tentu bisa membiayai anak yatim dan terlantar yang semakin banyak di negeri kita,” kata Surya, prihatin.
Selain itu, bersama teman-teman sekantor pula, ia juga mendirikan masjid dan Taman Pendidikan Al-Quran (TPA) untuk anak-anak di lingkungan PT Pupuk Kaltim. Ia juga menjadi koordinator beberapa masjid di Bontang, Kalimantan Timur. “Alhamdulillah, sekarang masjid itu menjadi pusat kegiatan dakwah di sana.
Pengajian diselenggarakan pagi dan sore, dan jemaahnya semakin banyak. Banyak pula anak-anak yang merasa nyaman belajar dan mengaji di masjid,” tuturnya. Ia bersyukur bisa menggelorakan dakwah di kawasan industri. “Ini semua juga berkat dukungan teman-teman alumni Masjid Salman Institut Teknologi Bandung (ITB) yang banyak bekerja di PT Pupuk Kaltim,” katanya merendah.
            Kini Surya telah mendapat karunia Allah SWT tiga orang anak: Maya Anisa, 18 tahun, kelas III SMA; Sofia Rakhmah, 15 tahun, kelas III SMP; dan Muhammad Ali Yasin, 10 tahun, kelas 4 SD. Keluarga ini hidup bahagia sebagai keluarga sakinah. Tapi, masih ada satu cita-cita yang masih diidamkannya: membangun sebuah pesantren khusus buat kaum mualaf, tempat “saudara-saudari baru” kita belajar, mengaji, mendekatkan diri kepada Allah SWT; bahkan juga mencurahkan isi hati dalam menghadapi segala macam persoalan kehidupan.

Domery Alpacino
Catatan: Pernah dimuat di majalah Islam Alkisah


Tidak ada komentar:

Posting Komentar