Setelah
memeluk Islam, ia aktif berdakwah: pengajian dari rumah ke rumah dan membangun
masjid. Kini ia menjabat staf ahli Dirut Pupuk Kaltim.
Mushalla itu hanya berukuran
sekitar 4 x 10 meter persegi. Tapi, rumah Allah itu terasa istimewa. Bukan
lantaran arsitekturnya yang indah, tapi setiap Minggu sore, sejak 15.00 hingga
19.00 WIB puluhan jemaah memadati mushalla kecil di tepi jalan Haji Nur, Pasar
Minggu, Jakarta Selatan itu. Mereka kebanyakan keturunan Tionghoa. Ada yang
baru memeluk Islam, ada pula yang telah lama menjadi muslim. Mereka dari sekitar
Jakarta, Tangerang dan Bekasi, lelaki, perempuan, tua, muda.
Dengan takzim mereka duduk bersimpuh membentuk shaf yang rapi, perempuan terpisah dari lelaki, mengikuti
pengajian Ustaz Surya Madya. Bila berhalangan hadir, Ustaz Surya sendiri yang
mencari penggantinya. Usai mendengarkan pengajian, mereka salat Maghrib
berjemaah, dilanjutkan diskusi ringan, membahas agama atau masalah hidup
sehari-hari. Saat tiba waktu Isya, mereka pun menulaikan salat Isya berjemaah.
Keakraban terpancar dari wajah-wajah mereka.
Kegiatan dakwah rutin itu digelar oleh Yayasan Amal
Muslim Muhajirin dan Ashar (Amma) di bawah bimbingan Ustaz Surya, seorang
muballigh keturunan Cina, yang sejak 26 tahun lalu telah muslim. Ia merasa
terpanggil mendirikan Amma, karena merasa orang-orang yang baru memeluk Islam,
atau hijrah ke dalam Islam, kurang banyak mendapat perhatian dari umat Islam
sendiri. Apalagi bila mereka dari etnis Cina. “Baru seminggu seseorang memeluk
Islam dan masuk ke masjid, banyak umat Islam yang tidak memperhatikannya.
Mengapa? Karena memang umat Islam meresa mereka tidak perlu mendapat perhatian
secara spesifik,” kata Surya.
Dari pengalaman itulah, bersama beberapa temannya Surya
mendirikan Yayasan Amma pada April 2000. Tujuannya, menjalin silaturahmi antara
mereka yang baru memeluk Islam dan mereka yang bersedia membantu memperdalam
pengetahuan tentang keislaman. Ia mengibaratkannya sebagai silaturahmi dan
persaudaraan antara kaum Muhajirin dan Anshar yang saling bahu-membahu.
Masjid Lautze
“Paling tidak, setelah mereka mengucapkan dua kalimah syahadat, kami
memperhatikan mereka. Misalnya, mengajak ke pengajian dan tempat-tempat yang
Islami. Lebih dari itu, kami ingin mengentaskan kemualafan mereka,” tutur Surya
yang juga Sekretaris Umum Masjid Karim Oei, Jalan Lautse, Pasar Baru, Jakarta
Pusat.
Menurut Surya, yayasan itu tidak membantu kaum mualaf
dari segi materi, melainkan lebih pada pembinaan rohani. “Paling tidak bila ada
seorang mualaf terusir dari rumahnya,
kami mencoba menghibur. Syukur bila kami bisa mencarikan tempat berteduh, atau
ia bisa kembali kepada keluarganya -- agar hubungan persaudaraan mereka tetap
berlangsung dengan baik,” kata Surya lagi.
Dalam menangani berbagai kasus-kasus seperti itu, ada
yang berhasil ada pula yang gagal. Ada orangtua atau saudara-saudara kaum
mualaf yang menolak kehadiran anak atau saudaranya yang telah menjadi muslim atau
muslimah. Bila terjadi hal seperti itu, Yayasan Amma akan berusaha mencarikan
tempat tinggal atau tempat kerja yang layak. Karena itu, Surya berharap
yayasannya mendapat dukungan segenap kaum muslimin. Sebab, membina kaum mualaf
ibarat membuka pintu gerbang Islam bagi mereka.
“Setelah kami bina, dan mereka sudah bisa salat dan puasa dengan baik,
misalnya, baru kami lepas. Kemudian kami memfokuskan pembinaan pada mualaf
yang. Kami berusaha sekuat tenaga dan pikiran untuk membantu mereka,” ujar
Surya lagi. Yayasan Amma membuka pintu selama 24 jam bagi kaum mualaf yang
membutuhkan konsultasi kerohanian, baik di rumah maupun di kantor.
Kegiatan yang luar biasa ini tak lepas dari perjalanan hidup Surya
sendiri. Lahir di Samarinda, Kalimantan Timur, pada 14 Desember 1962, ia anak
ke delapan dari sembilan bersaudara pasangan Surya Kumara (Lie Han Kiang) dan
Padmi. Berdasarkan garis keturunan, kedua orangtuanya adalah keturunan kelima
dari para perantau asal Cina Daratan.
Pay Pekkong
Semula ia bernama Lie Sin Tiong, dengan panggilan akrab Oong. Pada 1967,
saat rezim Orde Baru mengimbau agar keturunan Tionghoa berganti nama dengan
nama Indonesia, orangtuanya mengganti namanya dengan Surya Madya, yang berarti
“terang benderang di tengah hari”, sesuai dengan waktu lahirnya.
Surya kecil dibesarkan dalam tradisi Cina yang kental,
meski sehari-hari menggunakan bahasa Banjar. Maklum, orangtuanya masih penganut
Konghucu. Mereka misalnya selalu melakukan pay Pekkong (menyembah Dewa
atau Leluhur) atau pay Sin (menyembah para Malaikat). Para leluhur yang
disembah ialah arwah leluhur orang-orang terkenal. Mereka juga menyembah
beberapa malaikat: Mengdau Sin (penjaga pintu depan), Aubai Sin
(penjaga belakang), dan malaikat penjaga alam lainnya. Dalam melakukan ritual,
mereka tak hanya menyajikan lilin dan hio (dupa), tapi juga sesajian
berupa sayuran, nasi, daging, dan sebagainya.
Selain menjalankan tradisi Konghucu, keluarga itu juga
memeluk agama Budha. Setiap Minggu, mereka mengikuti kebaktian di wihara tak
jauh dari rumahnya di Karangmumus di pinggir Sungai Mahakam. Surya dan
saudara-saudaranya selalu ikut serta. Menurut Surya, bagi keluarganya Budhisme
lebih sebagai pandangan hidup, sikap dan cara berpikir ala Sidharta Gautama:
jujur, menjauhi perbuatan curang dan culas, setia dan hormat kepada orangtua.
Maka sejak kecil Surya sudah pandai melantunkan syair-syair Tripitaka
(bagian dari Kitab Wedha) dalam bahasa Pali, India. Ketika masih duduk di kelas
lima SD, ia bahkan sempat menjadi juara ketiga lomba baca Tripitaka. Tapi,
karena ia bersekolah di SK Katolik WR Soepratman, ia pun mendapat pelajaran
agama Katolik. Bisa dimaklum jika sejak kecil ia mengagumi dua tokoh dunia:
Sidharta Gautama dan Yesus.
Tapi, entah mengapa, ia sama sekali tidak tertarik menjadi Katolik. Baginya,
belajar agama Katolik hanyalah semacam kewajiban dari sekolah, bukan hasrat
yang timbul dari dalam sanubari. “Tapi, bagaimanapun dua figur itu sampai
sekarang masih melekat di hati sanubari saya,” kata Surya terus terang.
Islam Menyempurnakan
Tamat dari SD WR Supratman, ia melanjutkan ke SMP Negeri I Samarinda.
Setiap kali ada pelajaran agama Islam, ia selalu minta izin keluar kelas. Tapi,
lama-kelamaan ia merasa kesepian, tidak betah. Lalu iapun kembali minta izin
untuk masuk kelas. “Pak guru, saya minta izin untuk mendengarkan pelajaran
agama Islam di ruang kelas, sebab di luar tidak betah,” katanya kepada guru
agama Islamnya.
Surya diizinkan masuk, tapi tidak boleh mengganggu
teman-temannya yang sedang belajar agama Islam. Sejak itu, ia mengikuti
pelajaran agama Islam hingga kelas tiga. Di sinilah ia mulai berkenalan dengan
sebuah ajaran baru: Islam. Ia sempat hafal beberapa surat pendek dalam
Al-Quran, bahkan sering melafazkan surah Al-Fatihah di mana pun ia berada.
Belakangan ia berkesimpulan: ajaran Nasrani banyak
berbeda dengan Islam, bahkan Islam mengoreksi atau menyempurnakannya. Misalnya,
mengoreksi predikat Yesus (bahasa Ibrani) atau Isa (bahasa Arab) yang diyakini
umat Katolik sebagai Tuhan sekaligus manusia. Sementara menurut Islam, Isa
adalah manusia biasa, seorang abi, Rasul, Utusan Allah, sebagaimana disebut
dalam surah Maryam ayat 30-36:
Berkatalah
Isa: “Sesungguhnya aku ini hamba Allah. Dia memberiku Al-Kitab (Injil) dan Dia
menjadikan aku seorang nabi. Dia menjadikan aku seorang yang diberkati di mana
saja aku berada, dan Dia memerintahkan aku mendirikan salat dan menunaikan
zakat selama aku hidup, serta berbakti kepada ibuku. Dan Dia tidak menjadikan
aku seorang yang sombong lagi celaka. Kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku
pada hari aku dilahirkan, pada hari aku wafat dan pada hari aku dibangkitkan
kembali. Itulah Isa putra Maryam, yang berkata dengan perkataan benar, yang
mereka berbantah-bantahan tentang kebenarannya. Tidak layak bagi Allah
mempunyai anak; Maha Suci Dia. Apabila telah menetapkan sesuatu, Dia hanya
berkata: “Jadilah”, maka jadilah ia. Sesungguhnya Allah adalah Tuhanku dan
Tuhanmu, maka sembahlah Dia. Ini adalah jalan yang lurus.
Tubuh Gemetar
Menurut Surya kemudian, Islam mengajarkan tentang Allah yang Maha Esa,
dan mengoreksi konsep trinitas sebagaimana disebutkan dalam surah Al-Ikhlas
ayat 1-4: Katakanlah, Dialah Allah Yang Maha Esa, Allah tempat meminta
segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakkan, dan tidak
sesuatu pun yang setara dengan Dia.”
Surya mengaku banyak mendapat wawasan baru tentang Islam,
termasuk banyak mengenal kehidupan Rasulullah SAW. “Ternyata Rasulullah SAW
adalah seorang Nabi yang sangat sabar, santun, rendah hati. Ini menjadi ajaran
etika yang baik bagi saya. Dan sejak itu saya jadi punya satu figure lagi yang
saya gadrungi, yaitu Muhammad SAW,” kata Surya.
Suatu hari, pada saat sedang gandrung-gandrungnya
mempelajari kepribadian Rasulullah SAW, Surya masuk ke kamar tidur kakak
sulungnya. Di situ ia mendapati Kitab Al-Quran dan terjemahannya. Kebetulan,
kakak sulungnya lebih dulu masuk Islam karena hendak menikah dengan seorang
muslimah. Diam-diam ia membuka lembar demi lembar terjemahan ayat-ayat Al-Quran
itu.
Saat membaca surah Ali Imran, khususnya ayat 19-20 dan ayat 85-91,
jiwanya merinding, tubuhnya gemetar. Mengapa? Sebab, inti dari ayat-ayat itu
menegaskan, barang siapa yang mencari agama selain agama Islam adalah kafir dan
akan dilaknat oleh Allah dan dimasukkan ke dalam neraka jahanam.
Sejak itu jiwanya semakin gelisah, bahkan seperti
dihantui oleh perasaan takut yang luar biasa. Merasa penasaran, pada suatu
malam ia kembali menyelinap ke kamar kakak sulungnya dan membaca terjemahan
surah Ali Imran tersebut. Ia kembali terusik. Hatinya berdebar-debar. “Kalau begitu
saya harus mempelajari Al-Quran lebih dalam. Kalau saya nanti mati dan belum
menentukan pilihan, saya bisa kafir,” kata Surya dalam hati, sementara
perasaannya berkecamuk tak menantu.
Sejurus kemudian ia berpikir keras tentang makna sebuah
kebenaran. Ia harus menentukan pilihan: Islam, Budha atau Katolik. Tapi,
rupanya Al-Quran menjadi ukuran baginya untuk menilai kebenaran ajaran agama
Budha, Katolik dan Islam. Dengan ukuran Al-Quran, ia menilai bahwa Sidharta
Gautama bukanlah Tuhan melainkan seorang guru yang mengajarkan etika, sementara
Yesus adalah seorang Nabi dan Rasul yang diutus oleh Allah SWT untuk
menyebarkan kebenaran (Islam), bukan Tuhan.
Sementara dalam Islam, Muhammad SAW memberi suri tauladan
yang begitu luhur dan indah dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan umatnya
dilarang keras mengkultuskan, apalagi menyembahnya. Yang berhak disembah
hanyalah Allah SWT semata – sebagaimana Al-Quran mengambarkan-Nya dalam surah
Al-Ikhlas. “Dari konsep seperti itulah, maka saya memutuskan untuk masuk Islam,”
kata Surya. Maka, tanpa menunggu-nunggu lagi, ia pun menyampaikan niat itu
kepada ibundanya.
Juru Sunat
Namun, sang ibunda menolak keras. “Kalau kamu masuk Islam, nanti siapa
yang merawat saya?” ujar Surya menirukan ucapan ibundanya. Surya mencoba
memahami perasaan ibundanya: bila sang ibu meninggal dan dikremasi, sementara
abunya disimpan di altar dalam rumah, tidak ada yang merawatnya. Sebab, dua
anaknya yang lain -- kakak sulung dan kakak nomor dua Surya – sudah lebih dulu
memeluk Islam. Sementara Surya adalah satu-satunya anak yang diharapkan untuk
merawat tradisi Konghucu.
Namun, keinginannya untuk memeluk Islam tak bisa
dibendung lagi. Pada bulan Desember 1977, beberapa hari setelah lulus SMP,
tanpa seizin ibunya – tapi diantar oleh kakak sulungnya – ia menemui juru sunat
minta dikhitan. Setahun kemudian, Maret 1978, saat baru masuk SMA Negeri I, ia
berusaha kembali minta izin kepada ibundanya untuk mengucapkan dua kalimat
syahadat di rumah tetangganya yang akan disaksikan oleh puluhan umat Islam.
Tapi, lagi-lagi ibundanya belum mau merestui.
Namun, di tengah malam, sehari menjelang acara pengucapan
dua kalimat syahadat itu, tiba-tiba ibundanya menyetujui anaknya memeluk Islam.
Bahkan, diam-diam ia memberi bantuan uang dan makanan kepada tetangganya itu
untuk menjamu para tamu yang hadir dalam acara pengislaman anaknya itu.
Pagi hari, ketika matahari sepenggalah, Surya mengucapkan
dua kalimat syahadat dibimbing oleh seorang guru agama. Ibunya menyaksikan
peristiwa bersejarah itu dari balik pintu belakang rumah tetangga. “Sejak itu,
saya terlepas dari perasaan gelisah karena tudingan sebagai orang kafir. Saya
juga merasa, hidup saya tidak akan sia-sia lagi sebab Allah SWT akan mencatat
segala perbuatan baik saya. Keyakinan inilah yang membuat saya sangat bahagia,”
tutur Surya berkaca-kaca.
Sejak itu Surya belajar mengaji kepada Ustaz Abdurahman
(almarhum) di sebuah masjid tak jauh dari rumahnya setiap bakda Maghrib hingga
Isya bersama anak-anak yang masih belum tamat SD. Tapi, ia tak merasa malu
bahkan semangat belajarnya tak kalah dengan mereka. Tak heran, bila dalam waktu
tiga bulan ia sudah lancar membaca Juz Amma dengan baik.
Salat Tahajud
Berbarengan dengan itu, ia pindah ke rumah kakaknya tak jauh dari
sekolahnya di SMA Negeri I, yang juga berdekatan dengan Masjid Raya. Imam
masjid itu, KH Abdul Rasyid, alumni Universitas Al-Azhar, Kairo, yang hafal
Al-Quran. Maka, setiap minggu Surya pun belajar mengaji kepadanya. Dalam waktu
tiga tahun ia sudah khatam Al-Quran beberapa kali.
Ketika di SMA I itulah, ketika sudah menjadi muslim,
Surya aktif dalam kegiatan remaja masjid. Saking aktifnya, ia sering menginap
di Masjid Raya bersama Yazid, seorang temannya keturunan Arab. “Kami mengaji
bersama dan latihan berpidato tanpa ada yang membimbing. Dan setiap malam
Minggu kami mendengarkan pengajian. Kami juga sering salat tahajud. Itulah yang
membuat saya termotivasi belajar agama,” tutur Surya lagi.
Setelah agak mendalam mempelajari agama, Surya umat Islam
sendiri kurang memperhatikan agamanya. Teman-teman sebayanya yang sejak lahir
sudah muslim, misalnya, tidak sedikit yang malah kurang mengerti ajaran agama.
Karena itu, sebagai orang yang baru memeluk Islam ia merasa terpanggil untuk
mempelajari Islam secara bersungguh-sungguh.
Hasilnya luar biasa. Ketika sekolahnya menyelenggrakan
salat tarawih, Surya selalu ditunjuk sebagai imam. Sebab, para guru dan
teman-temannya menilai Surya lebih fasih membaca Al-Quran. Mereka juga menunjuk
Surya sebagai khatib salat Jumat di masjid sekolah -- bila ustaz atau guru
agama berhalangan. “Saya sangat bersyukur bisa diterima dengan baik dan akrab.
Bahkan saya merasa sangat dihargai,” kata Surya.
Tamat SMA pada 1981, Surya kuliah di Universitas
Pembangunan Nasional (UPN), Yogyakarta, jurusan Teknik Kimia. Dan sejak di
tingkat dua ia aktif dalam kegiatan Himpunan Mahasiswa Islam di kampusnya.
Terutama bersama Niken, aktivis Kohati (Korps HMI-wati), mahasiswi Fakultas
Pertanian di universitas yang sama.
Menikah Sirri
Mereka memang sudah saling kenal sejak masih duduk di SMA – meski hanya
lewat jalur sahabat pena. Suatu hari, Niken memutuskan memakai jilbab. Justru
keputusan Niken inilah yang memperkuat niat Surya untuk mempersuntingnya. Dan
sejak itu pula mereka semakin aktif mengikuti pengajian di beberapa tempat.
Mula-mula mereka menikah secara sirri (hanya secara agama), tapi setelah
lulus sarjana muda, Juli 1985, mereka menikah secara resmi di hadapan petugas
Kantor Urusan Agama. Saat itu, Surya sudah menjadi guru honorair untuk mata
pelajaran Ilmu Kimia di SMA Muhamadiyah Yogyakarta.
Pada 1987, Surya lulus sebagai sarjana dari UPN dengan
dengan predikat sangat memuaskan. Ia lalu melamar ke Badan Tenaga Atom
Nasional, Jakarta. Beberapa bulan kemudian ia diterima bekerja di sana.
Beberapa bulan kemudian, Juli 1988, ia pindah kerja di PT Pupuk Kaltim,
Kalimantan Timur. Awalnya ia sebagai supervisor, kemudian diangkat sebagai
Kepala Bagian Pengembangan lalu Kepala Biro.
Pada 1996 ia ditarik ke Jakarta untuk menjadi staf ahli Direktur Utama PT
Pupuk Kaltim, khusus menangani proposal pengembangan perusahaan. Meski
jabatannya sudah cukup tinggi, Surya takmelupakan dakwahnya. Justru dari
sinilah, setelah jam kerja, ia mengembangkan dakwah. Ia membentuk kelompok
pengajian karyawan PT Pupuk Kaltim. Lambat laun, jemaahnya semakin banyak
hingga kini.
Bersama teman-teman sekantor ia juga mendirikan Baitul Mal yang
menghimpun dana untuk menyantuni anak asuh. Dari sekitar 10.000 karyawan PT
Pupuk Kaltim, ada 2.500 karyawan yang bersedia dipotong sedikit gajinya untuk
program ini. Tentu saja atas persetujuan mereka. “Andai para karyawan yang
bergaji besar bersedia menyisihkan sedikit penghasilannya, tentu bisa membiayai
anak yatim dan terlantar yang semakin banyak di negeri kita,” kata Surya,
prihatin.
Selain itu, bersama teman-teman sekantor pula, ia juga mendirikan masjid
dan Taman Pendidikan Al-Quran (TPA) untuk anak-anak di lingkungan PT Pupuk
Kaltim. Ia juga menjadi koordinator beberapa masjid di Bontang, Kalimantan
Timur. “Alhamdulillah, sekarang masjid itu menjadi pusat kegiatan dakwah di
sana.
Pengajian diselenggarakan pagi dan sore, dan jemaahnya semakin banyak.
Banyak pula anak-anak yang merasa nyaman belajar dan mengaji di masjid,”
tuturnya. Ia bersyukur bisa menggelorakan dakwah di kawasan industri. “Ini
semua juga berkat dukungan teman-teman alumni Masjid Salman Institut Teknologi
Bandung (ITB) yang banyak bekerja di PT Pupuk Kaltim,” katanya merendah.
Kini Surya telah mendapat karunia Allah SWT tiga orang
anak: Maya Anisa, 18 tahun, kelas III SMA; Sofia Rakhmah, 15 tahun, kelas III
SMP; dan Muhammad Ali Yasin, 10 tahun, kelas 4 SD. Keluarga ini hidup bahagia
sebagai keluarga sakinah. Tapi, masih ada satu cita-cita yang masih
diidamkannya: membangun sebuah pesantren khusus buat kaum mualaf, tempat
“saudara-saudari baru” kita belajar, mengaji, mendekatkan diri kepada Allah
SWT; bahkan juga mencurahkan isi hati dalam menghadapi segala macam persoalan
kehidupan.
Domery Alpacino
Catatan: Pernah dimuat di majalah Islam Alkisah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar