Laman

Minggu, 08 Februari 2004

Ratu Islam Setelah Zaman Kenabian

Ia permaisuri Raja Saleh Najamuddin Ayyub yang sangat setia. Sifatnya sabar, lembut, tapi tegas dan gagah berani. Jasanya sangat besar dalam menundukkan musuh-musuh Islam dan negaranya, terutama tentara Salib yang dipimpin penguasa Prancis Raja Louis IX.    



giant41.blogspot.com
Raja Kamil – salah satu pengganti Sultan Shalahuddin Al-Ayyubi yang mampu mendesak mundur pasukan Salib di Jerusalem – memberi kekuasaan kepada putra sulungnya, Pangeran Muda Najamuddin Ayyub. Ia diperintah menjaga Benteng Kifa, yang terletak di perbatasan Turkistan. Sekarang, daerah ini menjadi bagian negara Cina di sebelah barat.
Meski tempat tinggalnya jauh dari pusat kekuasaan (Mesir), Najamuddin tidak kesepian. Ia menghuni sebuah istana yang megah, tidak kalah dengan istana milik raja-raja lain. Ia pun selalu dikelilingi pengawal-pengawal yang setia serta pelayan-pelayan perempuan yang selalu siap diperintah. Para pelayan itu ada yang berasal dari Turki, Romawi, maupun Jarkas.

Sang pangeran benar-benar merasa terhibur. Apalagi, ada seorang pelayan perempuan yang muda, cantik, bersuara merdu, cerdas, berpendidikan tinggi, pandai membaca, menulis, dan ia juga seorang penyair. Tidak mengherankan bila pangeran muda tertarik dengannya, bahkan memperlakukannya secara khusus.
Ia melihat, pelayan tersebut memiliki keteguhan dan ketulusan hati, serta watak yang baik. Ia menaruh hormat padanya. “Aku kira, kamu Durratun Tsaminah (Sebutir Mutiara yang Sangat Mahal). Ternyata kamu Syajaratut Dur (Sebatang Pohon Mutiara),” ungkap pangeran suatu hari. Perempuan yang dipuji itu pun tertunduk, wajahnya memerah karena hatinya merasa malu tapi senang.
Singkat cerita, Najamuddin Ayyub mempersunting perempuan ini. Ia kemudian dinamai Syajaratut Dur, dan menjadi permaisuri di sebuah istana yang megah.
Sebagai istri, Syajaratut Dur sangatlah baik. Ia selalu tahu kebutuhan suami, baik di istana maupun luar istana. Ia benar-benar tahu tugas dan kewajiban seorang istri. Misalnya, ia rela tidak tidur semalaman untuk menunggu kedatangan sang suami yang tengah mengemban tugas. Dengan segala kelembutan dan ketulusannya, ia ikhlas membantu meringankan beban yang sedang dipikul suami tercinta.
Akhlak mulia sang istri membuat Pangeran Najamuddin Ayyub tidak tega mengungkapkan segala persoalannya. Namun, Syajaratut Dur selalu membantu suaminya dengan memberikan pendapat-pendapatnya. Dan, sang pangeran sangat menghargai apa yang disampaikan istrinya. Sehingga, dalam menghadapi persoalan-persoalan yang kecil sekalipun, apalagi persoalan yang besar, ia selalu meminta pertimbangan dan pendapat istrinya itu.
Menjalani hidup bahagia bersama Syajaratut Dur, pangeran muda begitu yakin akan masa depannya. Apalagi, ia putra mahkota yang suatu saat akan menggantikan posisi ayahnya sebagai raja yang berkedudukan di Mesir.
Namun, sebuah berita yang sangat tidak menyenangkan datang dari Kairo. Berita itu membuat seluruh jiwa dan tubuh Najamuddin lemas. Ayahnya telah mengangkat Abu Bakar, putra bungsunya dari istri yang lain, sebagai putra mahkota.
Sedih, marah, dan kecewa bercampur aduk, mendengar berita itu. Kenapa ayahnya mengangkat Abu Bakar, yang bukan saudara kandungnya? Apalagi, adik angkatnya itu masih remaja, belum cukup mempunyai pengalaman untuk bisa menjalankan kewajiban sebagai putra mahkota. Padahal ancaman terhadap kedaulatan pemerintahan dinasti Ayyub selalu mengintai. Ancaman yang paling tegas datang dari pasukan Salib. Mereka terus menghimpun kekuatan untuk menghancurkan negara-negara Islam, khususnya Mesir. Belum lagi dari pasukan Mongolia dan Tartar yang tidak bosan-bosannya melancarkan serangan dari arah timur dan utara.

galihnur.blogspot.com

Peristiwa itu membuat Najamuddin berprasangka buruk. Ia menduga, ayahnya sengaja mengirimnya ke Benteng Kifa, yang jauh, agar tidak bisa menduduki takhta kerajaan. Ia pun membulatkan tekad untuk merebut haknya.
Seiring dengan itu, Syajaratut Dur melahirkan seorang putra. Bayi mungil itu diberi nama Khalil, yang berarti “kasih”. Suatu hari, Najamuddin tidak kuasa lagi untuk menahan persoalan yang mengganjal di hati dan pikirannya. Ia merasa perlu bercerita kepada istrinya tentang pengangkatan saudara tirinya, Abu Bakar, sebagai putra mahkota. Padahal yang berhak atas mahkota tersebut adalah dirinya sendiri sebagai putra sulung.
“Memang engkau yang berhak atas takhta itu, Tuanku. Karenanya, engkau harus mempertahankan hak itu dengan segala kekuatan yang ada. Hadapilah perkara ini dengan hati yang teguh dan lapang. Berangkatlah ke Mesir. Semoga berkah Allah senantiasa mengiringimu,” kata Syajaratut Dur.
“Tapi, bagaimana denganmu?” tanya sang pangeran.
“Aku akan menyertaimu, wahai suamiku. Aku akan selalu berada di sisimu, karena hidupku hanya untukmu,” jawab Syajaratut Dur, tenang dan mantap. Suaranya memancarkan rasa percaya diri dan keyakinan akan sebuah keberhasilan. Itulah yang membuat Najamuddin merasa lega. Wajahnya berseri-seri. Padahal, sebelumnya ia tampak masam dan murung.
Dengan lembut, Najamuddin berkata kepada istrinya, “Istriku, sungguh kata-katamu itu mampu membangkitkan kekuatan yang belum pernah aku rasakan sebelumnya”.
“Tidak ada yang istimewa dengan apa yang aku katakan dan aku perbuat, Tuanku. Aku hanyalah seorang istri yang tulus ikhlas melakukan kewajiban-kewajiban,” tutur Syajaratut Dur lembut.
“Kamu benar istriku,” kata Najamuddin, “tapi, apakah kamu memikirkan cara untuk menghadapi kesulitan-kesulitan yang akan menimpa kita?”
“Itu terserah Tuanku. Aku ikut saja. Namun, menurutku, sebaiknya kita cepat-cepat berangkat ke Mesir,” tambah Syajaratut Dur.
“Jadi, menurutmu, cara apa yang terbaik?” sang pangeran balik bertanya.
“Engkau hadapi saja kenyataan yang ada tanpa rasa takut. Minta dengan baik-baik hak Tuanku. Kemudian, perlihatkanlah tekad untuk mempertahankan hak Tuanku jika memang harus diselesaikan dengan senjata,” jawab Syajaratut Dur mantap.
Najamuddin kemudian memuji pendapat istrinya. Ia merasa, pendapat tersebut sangat tepat, sehingga muncul harapan baru di hatinya.
Di saat Najamuddin bersiap-siap berangkat ke Mesir, tiba-tiba datang kabar bahwa ayahnya, Raja Kamil, wafat. Dan yang menggantikan almarhum duduk di atas takhta adalah Abu Bakar, dengan julukan “Raja Adil”.
Mendengar kabar tersebut, tekad Pangeran Muda Najamuddin Ayyub untuk meminta haknya semakin bulat. Berangkatlah rombongan yang terdiri dari pangeran muda sendiri, istri dan anaknya yang masih bayi, serta puluhan pengikutnya yang setia. Mereka dipandu empat orang komandan perang yang gagah berani, yaitu Izzuddin Aibak, Ruknuddin Baibaras Al-Bundakdari, Qalawun, dan Aqthai.
Selama dalam perjalanan, Syajaratut Dur sebagai perempuan ternyata tidak pernah mengeluh atau menggerutu. Segala kesulitan ia hadapi dengan tabah. Ia selalu kelihatan berseri-seri. Semuanya dilakukan dengan penuh keyakinan dan tidak mengenal rasa takut. Malahan, sosoknya sebagai prajurit yang disiplin semakin menonjol, selain tentunya sebagai seorang ibu yang penuh kasih sayang dan sangat setia.
Semua itu membuat pengikutnya, termasuk suaminya, manaruh hormat kepada Syajaratut Dur. Sang suami semakin kagum melihat sikap istrinya itu. Ia sanggup mengimbangi kecantikannya sebagai perempuan dengan wibawa dan ketenangan. Semua anggota rombongan kafilah merasakan, perempuan ini berbeda dengan perempuan lain. Setiap hari ada saja tingkah lakunya yang membuktikan kepandaian, keberanian, dan kehebatannya.
Lihat saja pada suatu bulan purnama dengan selimut udara yang sangat dingin. Seekor serigala tiba-tiba menyerang kemah kafilah di Gunung Zughrus. Para laki-laki berusaha menghalau serigala lapar itu dengan tombak dan tongkat. Akan tetapi Syajaratut Dur dengan tenangnya berdiri tegak di pintu kemah. Tangan kiri memeluk anaknya, sementara tangan kanan memegang sebelah pedang. Gayanya bagaikan seekor singa betina yang siap menerkam mangsanya.
Ketika bahaya telah lewat, suaminya berujar kepada Syajaratut Dur, “Aku lihat, engkau begitu hebat membawa senjata.”
“Demi Tuanku, aku bersedia perang sampai mati,” kata Syajaratut Dur.
“Itu bagus,” ujar sang pangeran, “tetapi tadi kita bertempur dengan seekor serigala. Wajar saja kalau menang. Sedang pertempuran yang akan kita hadapi nanti jelas lebih keras dan lebih berbahaya.”

Domery Alpacino, dikutip dari berbagai sumber



Tidak ada komentar:

Posting Komentar