Ia
permaisuri Raja Saleh Najamuddin Ayyub yang sangat setia. Sifatnya sabar,
lembut, tapi tegas dan gagah berani. Jasanya sangat besar dalam menundukkan
musuh-musuh Islam dan negaranya, terutama tentara Salib yang dipimpin penguasa
Prancis Raja Louis IX.
![]() |
giant41.blogspot.com |
Raja
Kamil – salah satu pengganti Sultan Shalahuddin Al-Ayyubi yang mampu mendesak
mundur pasukan Salib di Jerusalem – memberi kekuasaan kepada putra sulungnya,
Pangeran Muda Najamuddin Ayyub. Ia diperintah menjaga Benteng Kifa, yang
terletak di perbatasan Turkistan. Sekarang, daerah ini menjadi bagian negara
Cina di sebelah barat.
Meski
tempat tinggalnya jauh dari pusat kekuasaan (Mesir), Najamuddin tidak kesepian.
Ia menghuni sebuah istana yang megah, tidak kalah dengan istana milik raja-raja
lain. Ia pun selalu dikelilingi pengawal-pengawal yang setia serta
pelayan-pelayan perempuan yang selalu siap diperintah. Para pelayan itu ada
yang berasal dari Turki, Romawi, maupun Jarkas.
Sang
pangeran benar-benar merasa terhibur. Apalagi, ada seorang pelayan perempuan
yang muda, cantik, bersuara merdu, cerdas, berpendidikan tinggi, pandai
membaca, menulis, dan ia juga seorang penyair. Tidak mengherankan bila pangeran
muda tertarik dengannya, bahkan memperlakukannya secara khusus.
Ia melihat,
pelayan tersebut memiliki keteguhan dan ketulusan hati, serta watak yang baik.
Ia menaruh hormat padanya. “Aku kira, kamu Durratun Tsaminah (Sebutir
Mutiara yang Sangat Mahal). Ternyata kamu Syajaratut Dur (Sebatang Pohon
Mutiara),” ungkap pangeran suatu hari. Perempuan yang dipuji itu pun tertunduk,
wajahnya memerah karena hatinya merasa malu tapi senang.
Singkat
cerita, Najamuddin Ayyub mempersunting perempuan ini. Ia kemudian dinamai
Syajaratut Dur, dan menjadi permaisuri di sebuah istana yang megah.
Sebagai
istri, Syajaratut Dur sangatlah baik. Ia selalu tahu kebutuhan suami, baik di
istana maupun luar istana. Ia benar-benar tahu tugas dan kewajiban seorang
istri. Misalnya, ia rela tidak tidur semalaman untuk menunggu kedatangan sang
suami yang tengah mengemban tugas. Dengan segala kelembutan dan ketulusannya,
ia ikhlas membantu meringankan beban yang sedang dipikul suami tercinta.
Akhlak
mulia sang istri membuat Pangeran Najamuddin Ayyub tidak tega mengungkapkan segala
persoalannya. Namun, Syajaratut Dur selalu membantu suaminya dengan memberikan
pendapat-pendapatnya. Dan, sang pangeran sangat menghargai apa yang disampaikan
istrinya. Sehingga, dalam menghadapi persoalan-persoalan yang kecil sekalipun,
apalagi persoalan yang besar, ia selalu meminta pertimbangan dan pendapat
istrinya itu.
Menjalani
hidup bahagia bersama Syajaratut Dur, pangeran muda begitu yakin akan masa
depannya. Apalagi, ia putra mahkota yang suatu saat akan menggantikan posisi
ayahnya sebagai raja yang berkedudukan di Mesir.
Namun,
sebuah berita yang sangat tidak menyenangkan datang dari Kairo. Berita itu
membuat seluruh jiwa dan tubuh Najamuddin lemas. Ayahnya telah mengangkat Abu
Bakar, putra bungsunya dari istri yang lain, sebagai putra mahkota.
Sedih,
marah, dan kecewa bercampur aduk, mendengar berita itu. Kenapa ayahnya
mengangkat Abu Bakar, yang bukan saudara kandungnya? Apalagi, adik angkatnya
itu masih remaja, belum cukup mempunyai pengalaman untuk bisa menjalankan
kewajiban sebagai putra mahkota. Padahal ancaman terhadap kedaulatan
pemerintahan dinasti Ayyub selalu mengintai. Ancaman yang paling tegas datang
dari pasukan Salib. Mereka terus menghimpun kekuatan untuk menghancurkan
negara-negara Islam, khususnya Mesir. Belum lagi dari pasukan Mongolia dan
Tartar yang tidak bosan-bosannya melancarkan serangan dari arah timur dan
utara.
![]() |
galihnur.blogspot.com |
Peristiwa
itu membuat Najamuddin berprasangka buruk. Ia menduga, ayahnya sengaja
mengirimnya ke Benteng Kifa, yang jauh, agar tidak bisa menduduki takhta kerajaan.
Ia pun membulatkan tekad untuk merebut haknya.
Seiring
dengan itu, Syajaratut Dur melahirkan seorang putra. Bayi mungil itu diberi
nama Khalil, yang berarti “kasih”. Suatu hari, Najamuddin tidak kuasa lagi
untuk menahan persoalan yang mengganjal di hati dan pikirannya. Ia merasa perlu
bercerita kepada istrinya tentang pengangkatan saudara tirinya, Abu Bakar,
sebagai putra mahkota. Padahal yang berhak atas mahkota tersebut adalah dirinya
sendiri sebagai putra sulung.
“Memang
engkau yang berhak atas takhta itu, Tuanku. Karenanya, engkau harus
mempertahankan hak itu dengan segala kekuatan yang ada. Hadapilah perkara ini
dengan hati yang teguh dan lapang. Berangkatlah ke Mesir. Semoga berkah Allah
senantiasa mengiringimu,” kata Syajaratut Dur.
“Tapi,
bagaimana denganmu?” tanya sang pangeran.
“Aku akan
menyertaimu, wahai suamiku. Aku akan selalu berada di sisimu, karena hidupku
hanya untukmu,” jawab Syajaratut Dur, tenang dan mantap. Suaranya memancarkan
rasa percaya diri dan keyakinan akan sebuah keberhasilan. Itulah yang membuat
Najamuddin merasa lega. Wajahnya berseri-seri. Padahal, sebelumnya ia tampak
masam dan murung.
Dengan
lembut, Najamuddin berkata kepada istrinya, “Istriku, sungguh kata-katamu itu
mampu membangkitkan kekuatan yang belum pernah aku rasakan sebelumnya”.
“Tidak ada
yang istimewa dengan apa yang aku katakan dan aku perbuat, Tuanku. Aku hanyalah
seorang istri yang tulus ikhlas melakukan kewajiban-kewajiban,” tutur
Syajaratut Dur lembut.
“Kamu benar
istriku,” kata Najamuddin, “tapi, apakah kamu memikirkan cara untuk menghadapi
kesulitan-kesulitan yang akan menimpa kita?”
“Itu
terserah Tuanku. Aku ikut saja. Namun, menurutku, sebaiknya kita cepat-cepat
berangkat ke Mesir,” tambah Syajaratut Dur.
“Jadi,
menurutmu, cara apa yang terbaik?” sang pangeran balik bertanya.
“Engkau
hadapi saja kenyataan yang ada tanpa rasa takut. Minta dengan baik-baik hak Tuanku.
Kemudian, perlihatkanlah tekad untuk mempertahankan hak Tuanku jika memang
harus diselesaikan dengan senjata,” jawab Syajaratut Dur mantap.
Najamuddin
kemudian memuji pendapat istrinya. Ia merasa, pendapat tersebut sangat tepat,
sehingga muncul harapan baru di hatinya.
Di saat
Najamuddin bersiap-siap berangkat ke Mesir, tiba-tiba datang kabar bahwa
ayahnya, Raja Kamil, wafat. Dan yang menggantikan almarhum duduk di atas takhta
adalah Abu Bakar, dengan julukan “Raja Adil”.
Mendengar
kabar tersebut, tekad Pangeran Muda Najamuddin Ayyub untuk meminta haknya
semakin bulat. Berangkatlah rombongan yang terdiri dari pangeran muda sendiri,
istri dan anaknya yang masih bayi, serta puluhan pengikutnya yang setia. Mereka
dipandu empat orang komandan perang yang gagah berani, yaitu Izzuddin Aibak,
Ruknuddin Baibaras Al-Bundakdari, Qalawun, dan Aqthai.
Selama
dalam perjalanan, Syajaratut Dur sebagai perempuan ternyata tidak pernah
mengeluh atau menggerutu. Segala kesulitan ia hadapi dengan tabah. Ia selalu
kelihatan berseri-seri. Semuanya dilakukan dengan penuh keyakinan dan tidak
mengenal rasa takut. Malahan, sosoknya sebagai prajurit yang disiplin semakin
menonjol, selain tentunya sebagai seorang ibu yang penuh kasih sayang dan
sangat setia.
Semua itu
membuat pengikutnya, termasuk suaminya, manaruh hormat kepada Syajaratut Dur.
Sang suami semakin kagum melihat sikap istrinya itu. Ia sanggup mengimbangi kecantikannya
sebagai perempuan dengan wibawa dan ketenangan. Semua anggota rombongan kafilah
merasakan, perempuan ini berbeda dengan perempuan lain. Setiap hari ada saja
tingkah lakunya yang membuktikan kepandaian, keberanian, dan kehebatannya.
Lihat saja pada
suatu bulan purnama dengan selimut udara yang sangat dingin. Seekor serigala
tiba-tiba menyerang kemah kafilah di Gunung Zughrus. Para laki-laki berusaha
menghalau serigala lapar itu dengan tombak dan tongkat. Akan tetapi Syajaratut
Dur dengan tenangnya berdiri tegak di pintu kemah. Tangan kiri memeluk anaknya,
sementara tangan kanan memegang sebelah pedang. Gayanya bagaikan seekor singa
betina yang siap menerkam mangsanya.
Ketika
bahaya telah lewat, suaminya berujar kepada Syajaratut Dur, “Aku lihat, engkau
begitu hebat membawa senjata.”
“Demi Tuanku,
aku bersedia perang sampai mati,” kata Syajaratut Dur.
“Itu
bagus,” ujar sang pangeran, “tetapi tadi kita bertempur dengan seekor serigala.
Wajar saja kalau menang. Sedang pertempuran yang akan kita hadapi nanti jelas
lebih keras dan lebih berbahaya.”
Domery Alpacino, dikutip dari berbagai sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar