Setelah memeluk Islam, ia selalu menjaga wudu dan selalu berzikir.
Merasa lebih berbahagia, ia sering mimpi berjumpa Rasulullah SAW.
Wajahnya putih bersih. Sejak
selalu menjaga wudu beberapa tahun lalu, wajahnya semakin teduh. Keteduhan itu
semakin terasa manakala ia berusaha selalu sabar dalam menghadapi lika-liku
kehidupan. Itulah Bina Suhendra, lelaki keturunan Cina, doktor kimia teknik,
yang sejak empat tahun lalu menjadi muslim.
“Saya tidak memaksakan diri untuk tetap dalam keadaan suci. Tapi, sebisa
mungkin saya selalu berwudu kembali bila batal, atau habis mengalami perasaan
yang emosional. Bukankah dengan wudu, marah bisa dipadamkan?” ujarnya seraya
menyitir sebuah hadis Rasulullah SAW yang diriwayatkan Imam Abu Dawud,
“Sesungguhnya marah itu perbuatan setan; dan setan diciptakan dari api; api
dapat dipadamkan dengan air. Karena itu bila seseorang di antara kalian marah,
hendaknya ia berwudu.”
Sejak menjaga wudu setiap saat – bahkan ketika hendak
tidur sebagaimana anjuran Rasulullah SAW -- Bina mengaku terhindar dari sifat
pemarah dan serakah. Selain, ia merasa lebih dekat dengan Sang Khalik. “Dengan
terbiasa mensucikan diri, saya merasa lebih bisa tenang dan bersabar dalam
menghadapi segala sesuatu. Bukankah Allah SWT menyukai orang-orang yang sabar
dan salat?,” katanya lagi. Ia lalu menyitir Al-Quran surah Al-Baqarah ayat 153:
“Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan salat sebagai penolongmu.
Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.”
Ketika pertama kali berusaha tetap dalam keadaan berwudu,
ia merasa agak kikuk dalam pergaulan. Misalnya, harus membatasi diri untuk
tidak bersalaman dengan perempuan yang bukan mukhrim agar wudunya tidak batal.
Tapi, lama kelamaan ia menjadi terbiasa. Bahkan sejak itu ia juga terdorong
untuk selalu berzikir setiap saat. “Saya berusaha tidak lepas dari tasbih.
Bukan untuk riya, pamer, tapi sebagai alat pengingat untuk selalu
berzikir.
Menurutnya, bertasbih merupakan “olahraga” tersendiri.
Ketika ibu jari dan jari telunjuk menghitung tasbih, itu merupakan “olahraga”
kecil yang secara tak langsung menggerakkan metabolisme darah. “Karena metabolisme darah bergerak ke seluruh tubuh,
maka tubuh dan pikiran menjadi lebih cerah,” tuturnya. Sejak menjadi muslim,
penampilannya memang lain. Ia tampak lebih cerah, sabar, kalem, tenang. “Tapi,
saya tidak semata-mata bertujuan ke arah sana. Saya hanya ingin bagaimana bisa
selalu ingat kepada Allah SWT, dan selalu bersyukur kepada-Nya,” tambahnya.
Panglima Perang
Sejak menjadi muslim, ia mengalami hal yang luar biasa:
sering bermimpi bertemu dengan Rasulullah SAW dan para sahabat Nabi. Barangkali
karena ia selalu berusaha menjaga dalam keadaan berwudu dan senantiasa
berzikir. Mimpi pertama ia alami ketika ia menunaikan umrah pada tahun 2000.
Suatu sore ia berzikir di Masjid Nabawi, Medinah. Ketika sedang khusyuk berzikir,
ia merasa didatangi seorang lelaki berpakaian seperti seorang panglima perang
di masa Rasulullah SAW. Lelaki itu mengucapkan salam dan sejurus kemudian
lenyap. “Suara hati saya berkata, ia adalah Umar bin Khatab, sahabat Rasulullah
SAW,” tuturnya.
Masih
dalam keadaan berzikir, tak berapa lama datanglah seorang lelaki beserta tiga
orang pengawal. Wajahnya bermandikan cahaya, ia mengenakan jubah putih bersih.
Setelah mereka mengucapkan salam, lelaki yang wajahnya bercahaya itu mengelus
kepala Bina dengan lembut. Setelah itu mereka berlalu, dan raib. “Suara hati
saya mengatakan, ia adalah Rasulullah SAW bersama para sahabat beliau, Umar,
Abu Bakar, Ali. Ketika peristiwa itu saya tanyakan kepada seorang kiai yang
sangat alim, ternyata sang kiai membenarkan,” katanya.
Pada kesempatan lain, ketika ia sedang berzikir di lereng
Jabal Nur, tiba-tiba seorang lelaki berjubah putih seperti berdiri tak jauh
dari Bina. Sejurus kemudian, seorang lelaki lain dengan wajah bercahaya berkata
kepada beberapa orang di dekatnya, “Mari kita berdoa untuk Bina,” tapi kemudian
ia menghilang. “Suara hati saya lagi-lagi mengatakan, lelaki itu adalah
Rasulullah SAW,” ujarnya lagi. Belakangan, ketika peristiwa itu ia ceritakan
kepada seorang kiai yang alim, lagi-lagi ia membenarkannya.
Dua tahun kemudian, ketika menunaikan ibadah haji untuk
kedua kalinya, ia diajak salat tahajud di Masjidil Haram oleh seorang kiai.
Usai salat malam, sang kiai menunjuk seorang lelaki bersorban hijau yang sedang
tawaf. “Lihat, itu Rasulullah SAW sedang tawaf,” ujar kiai itu kepada Bina –
yang ketika itu menyaksikan seorang lelaki gagah sedang tawaf dengan langkah
sangat cepat bagaikan kilat. Maka, sejurus kemudian, Bina pun melakukan sujud
syukur.
Provinsi Hokkian
Sejak itu, ia seperti mendapat kepekaan hati dan pikiran. Saat duduk
membaca wirid, misalnya, ia sering mencium aroma harum, seolah ada seseorang
yang hadir. Entah siapa. Tapi, ia yakin yang hadir adalah Rasulullah SAW. Ia
mengaku memang sering bertemu dengan Rasulullah SAW, baik dalam mimpi maupun
dalam keadaan terjaga. Terutama ketika tengah berzikir.
Lahir di Jakarta pada 21 Januari 1948, ia anak bungsu
dari tujuh bersaudara pasangan Na Thay Oe dan Tan Oen Yoe – asli Provinsi
Hokkian, daratan Cina. Nama aslinya Na Tjoe Bin, pada awal 1967 ia berganti
nama Bina Suhendra – memenuhi imbauan pemerintah Orde Baru ketika itu agar
warganegara keturunan Cina mengganti namanya dengan nama Indonesia. Sejak
kecil, Bina dibesarkan dalam keluarga yang taat beragama Kristen Pantekosta.
Bahkan, kakeknya dari garis ayah adalah pengabar Injil yang cukup ternama di
Hokkian.
Sejak kecil, ia mengaku sudah punya kelebihan. Jika ada
seseorang berbuat jahat, misalnya, ia cukup mengucapkan sebuah kalimat tertentu
dan orang itu biasanya terkena balasnya. Saat ia masih kecil, ada temannya yang
sempat melukainya. Karena kesal, Bina pun berucap, “Awas, kamu nanti ketabrak
mobil!” Betul. Tidak berapa lama kemudian, temannya itu benar-benar mendapat
musibah. Sejak itu, ia selalu menjaga lisan agar tidak mengeluarkan kata-kata
kotor atau negatif.
Kelebihan lainnya, sejak kecil ia selalu bangun pada
sepertiga malam. Sejurus kemudian, ia duduk bersila di lantai selama 10 hingga
30 menit, lalu kembali tidur. Suatu hari, ia merenung, “Orang yang duduk
bersila itu cuma ada dalam agama Budha; dalam agama Kristen tidak ada. Lantas,
siapakah sesungguhnya saya?” Bertahun-tahun lamanya ia mencari teka-teki
kehidupan itu. Tapi, hingga tamat SMA di Mangga Besar, Jakarta Barat, ia belum
juga menemukan jawabnya. Akhirnya, ketika kuliah di Jurusan Kimia Teknik
Universitas Teknik Barmstadt, Jerman (1966), ia menemukan sedikit titik terang.
Titik terang itu bermula ia peroleh setelah membaca
sejumlah buku mengenai berbagai agama dan berdiskusi dengan para ahli agama.
“Anehnya, kalau baca Alkitab saya kok susah menangkapnya. Mungkin sudah
tidak ada berminat. Padahal, kalau membaca buku-buku mengenai agama lain,
sedikit banyak ada yang nyantel,” katanya.
Sepuluh tahun kemudian, beberapa bulan sebelum memperoleh
gelar doktor kimia teknik dengan predikat cum laude (1976), ia
berkenalan dengan Haji Tumenggung di Jerman. Suatu hari, Haji Tumenggung mampir
ke rumah Bina di Jerman. Entah bagaimana, Haji Tumenggung mengetahui kemelut
dalam diri Bina. Saat itu Bina memang sedang menghadapi masalah di Kedutaan
Besar RI di Jerman. Haji Tumenggung lalu memberikan buku Mutiara Hadist
karangan Prof.Dr.HM Hasby Ash-Shiddieqy kepada Bina. “Cobalah baca buku ini,
siapa tahu bermanfaat,” katanya.
Senam Orhiba
Lain hari, Haji Tumenggung mengajak Bina berlatih senam pernafasan Orhiba
(olahraga hidup baru) yang ketika itu sedang popular. Bina pun belajar senam
pernafasan Orhiba dengan gerakan-gerakan seperti orang salat. Setiap menarik
dan melepaskan nafas, Bina dianjurkan mengucapkan kata “Hu.” Belakangan Bina
bertanya apa itu ‘H’. Jawab Tumenggung, “Itu kependekan dari Allahu.”
Dalam kesempatan berlatih di lain hari, Haji Tumenggung
berkata, “Kalau kamu sedang berdiskusi dengan pejabat atau sedang dizalimi
seseorang, ucapkan saja ‘Hu’ beberapa kali, sambil lepaskan kepalan kedua
telapak tangan secara berlahan-lahan ke bawah. Selain itu jangan lupa membaca
wirid.” Bina yang belum tahu seluk-beluk
ajaran Islam, bertanya lagi, “Apa pula itu wirid?” Jawab Haji Tumenggung,
“Wirid itu mengagungkan nama Allah SWT dengan membaca sub-hanallah,
alhamdulillah, lailaha illallah, allahu akbar, berulang-ulang.”
Sejak itu ia mencoba wirid bila sedang menghadapi masalah
meski tidak tahu artinya. Ternyata, anjuran Haji Tumenggung cukup ampuh. “Sejak
saya wirid berulang-ulang, tidak ada lagi orang yang berbuat jahat kepada saya.
Hati pun jadi tenteram,” tuturnya. Tapi, ia penasaran mengapa hal itu bisa
terjadi. Ia lalu bertanya kepada Haji Tumenggung, “Mengapa saya yang bukan
Islam bisa juga mendapat manfaatnya?” Jawab Haji Tumenggung, “Kekuatan manusia
terletak di kedua telapak tangannya. Seperti air yang mengalir deras, yang
mampu meluluh lantakkan sesuatu.”
Belakangan ia mencari jawabnya lewat buku-buku tentang
ajara Islam. Tapi, ia ia masih belum menemukan jawabnya. Lebih dari 20 tahun
kemudian, tepatnya pada 1998, Bina berkenalan dengan KH Abdurrahman Wahid (Gus
Dur) yang ketika itu Ketua PBNU. Saat itu Bina baru saja keluar dari sebuah
perusahaan farmasi. Saat berkenalan, ia melihat jari-jari tangan Gus Dur
bergerak-gerak terus. Ia lalu bertanya kepada salah seorang teman dekat Gus
Dur. “Oh, dia itu kan lagi berzikir, membaca asmaul husna, yaitu
nama-nama Akkah yang mulia yang jumlahnya 99” jawab teman dekat Gus Dur itu.
Sejak itu, tergeraklah hatinya untuk mendalami Islam lebih jauh. Selain
membaca banyak buku, ia juga mengunjungi beberapa ulama terkenal. “Dalam
belajar, saya tidak mau setengah-setengah. Karena itu saya mencari guru yang mumpuni,”
katanya. Ia memang sangat tekun menimba ilmu dari beberapa ulama, hingga sempat
diangkat sebagai anak oleh KH Munasir Ali, seorang ulama besar dari Mojokerto.
Setiap kali bersilaturahmi dengan para kiai, Bina selalu mengajak
berdiskusi, terutama mengai ajaran Islam. “Kalau minimal ada tiga kiai punya
jawaban sama, barulah saya yakin. Sebaliknya, kalau ada seorang kiai yang
menjawab sedikit berbeda, saya terus mencecarnya hingga puas,” katanya. Sembari
membaca buku dan berguru kepada para ulama, Bina belajar salat sendiri.
Repot Amat
Suatu hari, ia bertanya kepada seorang kiai, “Apakah saya perlu
mengucapkan dua kalimah syahadat?” Jawab sang kiai, “Tidak usah, karena kamu
sudah salat. Ukuran seorang muslim juga dari perilaku sehari-harinya, apakah ia
sudah berperilaku Islami atau tidak.” Memang, Bina sendiri merasa sudah berperilaku
secara Islami karena sudah salat. Cuma, ia belum bisa salat lima waktu dengan
sepenuh hati. “Berat sekali rasanya salat lima waktu. Rasanya, kok repot
amat ya?” pikirnya ketika itu.
Belakangan ia berpikir, kalau sudah mengucapkan dua
kalimah syahadat, mestinya harus konsisten menjalankan salat. “Saya memang
tidak mau hanya coba-coba, atau masuk Islam hanya sebatas nama saja,” katanya
lagi. “Tapi, kalau kamu mau mengucapkan dua kalimah syahadat dan disaksikan
oleh orang banyak lalu mendapat sertifikat, ya silakan. Itu toh formalitas
saja,” ujar sang kiai.
Maka pada 17 Januari 2000, dalam suatu pengajian di rumah
Rozi Munir, mantan Menteri Negara Urusan BUMN, Bina pun mengucapkan dua kalimah
syahadat. “Ketika itu perasaan saya biasa-biasa saja. Kan saja sudah salat,
artinya saya sudah memeluk Islam,” tuturnya. Sejak itu ia semakin rajin salat
dan mendalami Islam dengan membaca buku-buku tentang keislaman.
Selain itu ia juga menyempatkan diri menjalin silaturahmi dengan para
ulama dan menziarahi makam para wali. “Tapi, kepada mereka saya tidak pernah
minta sesuatu,” ujarnya. Tiga tahun setelah memeluk Islam, ia melepaskan
jabatan sebagai presiden direktur PT Phapros Tbk. “Saya ini orangnya tak pernah
merasa kehilangan. Seorang pemimpin yang baik mestinya tahu dan menyadari kapan
mesti naik dan kapan mesti turun. Jika tidak, maka orang lainlah yang akan
menurunkannya,” katanya.
Setelah itu ia memusatkan perhatian di bidang pendidikan,
antara lain, menjadi dosen di Universitas Diponegoro (Semarang) dan Universitas
Indonesia (Jakarta). Ia juga menyempatkan diri aktif di Nahdlatul Ulama sebagai
Wakil Ketua II Pimpinan Pusat Lembaga Sosial Mabarrat. Di sini ia mencoba
mencari dana untuk disumbangkan kepada kaum duafa dan yatim piatu. “Kami
mencoba mengumpulkan pakaian bekas pantas pakai dari kaum nahdiyin. Kalau ada
nilai jualnya kami akan jual, uangnya kami gunakan untuk membantu fakir miskin
dan yatim piatu,” katanya.
Ia juga menyimpan rencana untuk membangun sebuah
poliklinik di kantor PBNU di Jalan Kramat Raya, Jakarta Pusat. Selain untuk
mengkoordinasikan sejumlah poliklinik milik warga NU, juga untuk melayani
pengobatan dengan tarif murah bagi warga sekitar. Bukan hanya itu, ia juga
punya rencana besar yaitu membangun sebuah pondok pesantren khusus bagi para
eksekutif. “Jangan sampai mereka hanya berkecimpung di bidang ekonomi saja,”
katanyta.
Bersama isterinya, Belinda, dan kedua anaknya yang masih Nasrani, ia
hidup hidup rukun dan bahagia. Perbedaan agama antara Bina dan isterinya serta
kedua anaknya -- yang masih kuliah di Amerika Serikat – rupanya tidak menjadi
halangan untuk hidup berbahagia. Di bulan Ramadhan, misalnya, dengan senang
Belinda melayani dan menyediakan makan sahur bagi suaminya itu.
Rumahnya juga bebas untuk pengajian. “Saya menikah dengan Belinda sebelum
memeluk Islam. Tapi, setelah muslim saya tidak pernah memaksa isteri dan kedua
anak saya ikut memeluk agama baru saya. Biarlah mereka sadar sendiri,” kata
Bina -- yang merasa berkewajiban memperlihatkan nilai-nilai Islam yang baik
kepada keluarganya, bukan dengan bujuk rayu.
Domery Alpacino
Catatan: Pernah
dimuat di majalah Islam Alkisah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar