Laman

Sabtu, 20 November 2004

Dakwah Sepanjang Hayat

Suryani Thahir:

Hajjah Suryani Thahir dikenal sebagai ustadzah dan muballighah yang terkenal. Majlis ta’limnya semakin berkembang. Ia juga akan membangun sebuah Islamic Center.

www.jakarta.go.id
MASJID itu terasa istimewa. Semua warga di Kampung Melayu Besar, Jakarta Selatan, mengenalnya sebagai Masjid At-Taqwa di kompleks Perguruan Ath-Thahiriyah. Keistimewaannya bukan hanya karena arsitekturnya yang indah, tapi karena usianya yang sudah cukup tua. Masjid yang awalnya mushalla itu dibangun tahun 1940-an. Di dalam Rumah Allah seluas 20 x 20 meter dan berlantai dua itu terdapat tiga makam tokoh Betawi. Bisa dimaklum, sebab bagi masyarakat Betawi tempo doeloe, menguburkan jenasah keluarga di masjid atau pelataran rumah merupakan hal yang biasa. 

Tapi ada hal lain yang sangat istimewa. Setiap Sabtu pagi, sejak pukul 07:00 hingga 09:30, ratusan ibu-ibu memadati masjid yang berdiri megah di tepi Jalan Raya Kampung Melayu Besar itu. Mereka berdatangan dari berbagai penjuru, terutama dari sekitar Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi. Bahkan ada yang datang dari Cirebon, Karawang, Cikampek, Serang, Tasikmalaya. Mereka berhimpun dalam Majelis Taklim Kaum Ibu Attahiriyah (MTKIA). Jumlahnya tak kurang dari 1500 orang.
Dengan takzim mereka mengikuti kajian tafsir Al-Quran yang disampaikan oleh Ustadzah Hajjah Suryani Thahir. Jemaah itu tidak hanya terdiri dari kaum ibu, tapi juga ibu-ibu muda dan remaja putri. Bukan hanya itu, perhelatan mingguan itu ternyata juga mempunyai nilai ekonomi tersendiri. Pengajian setiap Sabtu pagi itu juga diramaikan oleh ratusan pedagang yang menggelar “pasar kaget” di sekitar tempat pengajian. Suara ustadzah berlogat Betawi itu terdengar lantang lewat pengeras suara. Gayanya yang lugas tapi sarat dengan penuh humor mendominasi “pasar kaget” yang memanjang sekitar satu kilometer.
Pengajian rutin itu sudah berlangsung sejak 1968, dan tak pernah absen satu kali pun, hingga sekarang. “Alhamdullilah dari tahun 1968 hingga 2003 ini kami sudah membahas Al-Qur’an sampai juz ke-27. Dan insya Allah, tiga tahun lagi selesai sampai juz ke-30,” katanya Hajjah Suryani -- yang segala aktivitas dakwahnya senantiasa didukung oleh suaminya. Itu tak berarti dia sendiri yang harus selalu tampil mengisi pengajian. Sudah dua tahun terakhir ini, ia beberapa kali mengundang penceramah dari luar. Misalnya, Mulya Tarmidzi, Wafiuddin, Nachrowi Abdus Salam, dan sebagainya.



Selama mengasuh majlis ta’lim, Suryani selalu mencari berbagai terobosan proses belajar-mengajar yang baik. Mula-mula ia menyampaikan pengajian secara searah, tapi belakangan ia menyajikan metode baru yang sifatnya terpadu. Yaitu, memberi kesempatan kepada majlis ta’lim membaca sendiri kitab-kitab kuning yang menjadi bahan kajian. Setelah itu, ia memberikan penjelasan dan dilanjutkan dialog. “Dengan tanya jawab, saya bisa mengetahui respons jamaah. Saya juga bisa mengetahui apa kebutuhan mereka,” tuturnya.
Bila ada hal-hal baru yang dianggap penting untuk diketahui, atau hal-hal yang berkaitan dengan sejarah, ataupun masalah-masalah aktual lainnya, bahkan amalan-amalan yang perlu dianjurkan untuk diamalkan setiap hari, ia menerbitkan brosur dua tiga halaman dalam bahasa Arab dan terjemahannya untuk dibagikan kepada jamaah. “Metode ini ternyata mampu menarik minat sehingga anggota majlis ta’lim terus bertambah,” kata perempuan yang melakukan umroh paling sedikit tiga kali setahun dan selalu melakukan shalat malam setiap hari itu. Setiap tahun ia selalu memberangkatkan tak kurang dari 100 orang karyawannya.
Selain mengajar tafsir Al-Qur’an, ia juga mengajar akhlak dengan rujukan beberapa kitab baku yang klasik seperti Ta’limul Muta’allim, Nashaihul ‘Ibaad, Al-Majalisus Saniyah, Al-Minahus Saniyah, ‘Uqudul Lujain, dan Riyadhus Shalihin. Ia juga acap menyisipkan pelajaran fiqih dengan rujukan kitab Fathul Qarib dan Matan Zubad.
“Mula-mula saya memberikan kajian tafsir selama satu jam; setengah jam berikutnya dialog, dilanjutkan pelajaran kedua. Pada pelajaran kedua, biasanya saya isi dengan akhlak, kadang pula fiqih atau tauhid. Kadang juga menyinggung berita-berita yang aktual. Ya, tergantung waktu yang tersedia saja,” tuturnya.

Majelis Muzakarah


ramadan.liputan6.com
Di luar pengajian Sabtu pagi, ia juga menggembleng sejumlah muballighah yang berasal dari berbagai penjuru, khususnya dari Jakarta, Bogor, Tangerang dan Bekasi. Kegiatan itu berlangsung setiap Jumat pukul 08:00 hingga 10:00. Majlis ini diberi nama Majlis Muzakarah Assuryaniyah (MAMMA), di bawah payung MTKIA. Pesertanya para ustazah yang ingin meningkatkan ilmu pengetahuan agama. Selama ini mereka sering memberi ceramah, bahkan di antara sering mengisi pengajian di beberapa kantor dengan jamaah yang mempunyai pengetahuan relatif tinggi. Di antaranya juga ada yang sudah memiliki majlis ta’lim sendiri. Bila mereka tidak meningkatkan ilmu pengetahuan, ceramahnya bisa kering dan hambar.  “Mereka perlu disuntik agar ilmu pengetahuan agamanya bertambah,” tutur Suryani yang selalu menyediakan waktu untuk berkumpul bersama anak dan cucu setiap hari Minggu.
Untuk mengajar mereka Suryani menggunakan empat kitab, yaitu Minhajul Muslimin, Tafsir Al-Munir, Jami’ash Shaghir, dan Ta’limul Muta’allim. Mula-mula Suryani membagi para peserta dalam dua kelompok besar. Tapi, karena pesertanya terus bertambah, kini mereka disatukan dalam satu kelompok agar lebih efektif. Jumlah mereka kini 320 orang, padahal ketika dimulai hanya beranggota 11 orang. “Kalau dikatakan sukses sebenarnya masih jauh. Tapi, alhamdullilah perkembangan itu bagi saya cukup menggembirakan,” ujar mantan anggota MPR itu.
            Saat ini kelompok studi agama MAMAA sudah melebarkan sayap dengan membuka cabang di Pesantren Nurul Quran, Cakung, Jakarta Timur yang beranggotakan 75 orang. Di sini kitab yang dijadikan rujukan kajian ialah tafsir Al-Munir karangan Dr. Wahdah az-Zuhaily. Selain itu program kajiannya juga sudah ditambah dengan kajian nahwu sharaf, yaitu paramasastra Bahasa Arab. Selain itu, setiap Rabu juga diajarkan pula fiqh dan ushul fiqh yang disampaikan oleh KH. Irvan Zidni MA.
Dalam pada itu, untuk meningkatkan kualitas pengetahuan jamaah, Suryani juga membuka sejumlah seminar keagamaan. Seperti biasa, pesertanya selalu membludak. Dan bagi ibu tujuh anak ini, bergiat dalam dunia majlis ta’lim, dan tampil sebagai muballighah dan ustadzah ternama seperti sekarang, tentu bukan secara tiba-tiba melainkan melalui proses yang panjang. 

Lahir dari Masjid

Sepulang menuntut ilmu agama di Mesir pada 1967. Suryani melihat Jakarta begitu sepi dari aktivitas dakwah, khususnya majlis ta’lim kaum ibu. Di tempat tinggalnya hanya ada majlis ta’lim untuk kaum laki-laki. Mereka mengaji hadist dan fiqh. Majlis ini terbagi dalam dua kelompok besar; pengajian untuk umum atau kaum kebanyakan; dan pengajian yang diikuti para kyai dari berbagai penjuru Jakarta.

Tapi, pengajian khusus kaum perempuan hanya kecil-kecilan, diikuti belasan orang saja. Misalnya, pengajian Ibu Guru Hajjah Ence di Kampung Melayu Kecil; pengajian Ibu Guru Hajjah Munawwarah di Mampang; pengajian Ibu Guru Hajjah Salmeh di Tebet. Pengajian mereka masih bersifat tradisional, belum sistematis. Mereka melakukan pengajian dari rumah ke rumah. Akibatnya, pengajian itu membebani para shahibul bait, pemilik rumah yang ketempatan pengajian yang terpaksa menyediakan hidangan.
Suryani bahkan melihat ketimpangan yang luar biasa. Kaum lelaki mendapat kesempatan menimba pengetahuan agama sementara kaum perempuan tidak. Padahal, kaum perempuan mempunyai waktu luang yang cukup, tapi belum diberdayakan secara maksimal. Menyadari hal itu, Suryani berpikir bagaimana cara memberdayakan perempuan dengan proses belajar-mengajar yang sistematis dan praktis lewat majlis ta’lim khusus perempuan. Akhirnya, atas dukungan kedua orangtuanya, ia membuka majlis ta’lim khusus perempuan di Mushalla at-Taqwa yang kini sudah berkembang menjadi masjid itu.
Langkah Suryani niscaya merupakan fenomena baru, karena majlis ta’lim kaum ibu saat itu masih mengambil tempat dari rumah ke rumah. Saat itulah, Suryani mengalihkan majelis ta’lim dari rumah ke masjid-masjid. Padahal, sebelumnya masjid dianggap hanya sebagai tempat bagi kaum laki-laki saja; kaum perempuan masih disingkirkan dari kegiatan di masjid.
Pada awalnya, sikap masyarakat Betawi beragam. Ada yang tak setuju, tapi tak sedikit yang mendukung. Alasannya, masjid sebagai pusat segala kegiatan, baik bagi kaum lelaki maupun perempuan. Berkat kegigihannya, Suryani berhasil. Berbagai majlis ta’lim bukan hanya marak di Jakarta, tapi juga di seantero tanah air, diminati oleh kaum perempuan dari semua kelas.
Karena tempatnya tetap, yaitu di masjid, majlis ta’lim pimpinan Suryani cepat berkembang. Bagi mereka yang tadinya malu-malu kucing untuk mengikutinya, karena ada majlis ta’lim yang digelar di tempat yang netral, yaitu masjid, akhirnya berbondong-bondonglah jamaah datang. Seiring berkembangnya majlis ta’lim tersebut, Suryani pun terkenal sebagai ustadzah dan muballighah

Masa Kecil Suryani
Suryani adalah anak tertua dari 15 bersaudara yang lahir dari keluarga pasangan KH Thahir Rahili dan Hajjah Salbiyah Ramli. Ia lahir 1 Januari 1940 di Kebon Baru, Tebet, Jakarta Selatan. Sejak kecil ia dididik dalam keluarga yang taat beragama. Dan ayahanda Suryani, KH Thahir, juga mendapat pendidikan agama dari ayahandanya, yaitu KH Rohili. Di zamannya, kakek Suryani itu adalah tokoh masyarakat Betawi yang sangat dihormati dengan julukan Ababek. Ia memiliki tanah hampir seluruh wilayah Gudang Peluru, Tebet, Jakarta Selatan. Dan Thahir Rahili, ayahanda Suryani, adalah seorang dari tiga bersaudara yang sempat menimba ilmu agama di Mekkah.
Pulang dari Mekkah, Thahir menularkan ilmu agamanya melalui dakwah dari rumah ke rumah secara bergantian, yang lazim disebut “sistem kalong”. Karena sepak terjangnya yang tak pernah lelah, ia dikenal sebagai kyai Betawi yang tekun. Dalam mendidik anak-anaknya, Thahir memberikan kebebasan kepada anak-anaknya, baik perempuan maupun laki-laki, untuk memilih jalur pendidikan yang mereka sukai. Ia mendorong anak-anaknya menuntut ilmu setinggi langit, baik di dalam maupun luar negeri, tanpa perbedaan.
Pada 1947 Suryani kecil memulai jenjang pendidikan formalnya di sekolah rakyat di Bukit Pasirduri, Kebon Baru, Jakarta Selatan; tapi sore hari belajar agama di Madrasah Diniyah Al-Awwaliyah As-Syafi’iyah di  Balimatraman, Jakarta Selatan. Sejak 1939 ayah Suryani telah mendirikan Yayasan Diniyah Sa’adatutthariqain yang pada 1951 diubah namanya menjadi Yayasan Diniyah At-Thahiriyah.
Dua tahun sebelum tamat dari Al-Awwaliyah, Suryani pindah ke madrasah At-Thahiriyah asuhan ayahandanya, lalu melanjutkan ke Diniyah Putri Padangpanjang, Sumatera Barat. Kemudian, bersama sembilan saudara kandungnya, Suryani melanjutkan studi ke Kairo, Mesir. Sebelum berangkat, ia menikah dengan laki-laki pilihan orangtuanya, Syatiri Ahmad. Pengantin baru ini kemudian  pergi bersama ke Mesir. Ia kuliah di Kulliyatu lil-Banat jurusan Dirasah Al-Islamiyah, Universitas Al-Azhar (1959-1967), sementara suaminya di Fakultas Adab lalu melanjutkan ke Al-Ma’had Al-‘Aly lid-Dirasatil Islamiyah wal Arabiyah (1965-1967).
Mereka tinggal di Mesir selama delapan tahun; dan di sana pula pasangan ini dikaruniai Allah dua orang anak. Meski beban bertambah berat -- di satu sisi harus merawat anak dengan baik, di sisi lain harus menyelesaikan kuliah – ternyata Suryani mampu mengatasinya dengan baik. Akhirnya pasangan ini meraih gelar sarjana. Mereka pun pulang ke tanah air dengan cita-cita sama: mengembangkan dakwah Islamiyah.


BOX:

Berdakwah Sambil Usaha

SEIRING dengan perjalanan dakwahnya, pada 1973 Suryani merintis bisnis perjalanan haji dan umrah dengan nama Biro Perjalanan Haji At-Thahiriyah. Mula-mula berjalan lamban, karena pangsa pasarnya cuma anggota majlis ta’lim binaannya. Saat itu, ia baru mampu memberangkatkan 63 jamaah haji. “Awalnya saya cuma coba-coba buka usaha tanpa niat khusus. Cuma saya melihat, bila berdakwah dan kegiatan sosial tidak ditopang oleh usaha, sepertinya tidak lancar. Karena itu saya buka usaha,” tutur Suryani.
Setelah jamaahnya semakin banyak, pada 1987 ia mengganti nama biro perjalanan haji itu menjadi As-Suryaniyah. Pada 1995, biro perjalanannya mulai mantap dan dapat memberangkatkan 899 jamaah. “Dan setelah dollar terus merangkak naik, kini rata-rata Biro Perjalanan As-Suryaniyah mampu memberangkatkan jamaah haji sekitar 300-400 orang. Bahkan kadang bisa 300 calon haji biasa dan 100 ONH plus,” katanya.
            Ia juga mendirikan Koperasi As-Suryaniyah, meliputi usaha simpan pinjam, perdagangan sembilan bahan pokok, jasa kontruksi, dan sebagainya. Sementara itu, untuk meningkatkan jaringan dakwah, ia mendirikan stasiun radio muslim 98,8 FM yang popular dengan nama Radio Muslim At-Thahiriyah. Kini ia juga membuka website dakwah.
Bersamaan dengan radio, Suryani juga mendirikan Universitas Islam Attahiriyah. “Saat itu kalau mau mendirikan radio, maka harus mendirikan perguruan tinggi,” ungkap Suryani yang juga mendirikan butik kecil-kecilan untuk melayani jamaah majelis taklim binaannya.
            Bersamaan dengan berdirinya radio dakwah, Suryani juga membangun Graha As-Suryaniyah yang diresmikan oleh Presiden Abdurrahman Wahid. Bangunan yang senilai Rp 2,3 miliar itu, sebagian biayanya berasal dari sumbangan para anggota majlis ta’limnya. Di sinilah segala aktivitas dipusatkan: kantor yayasan, kegiatan pendidikan, biro perjalanan haji dan travel, kursus bahasa, dan kegiatan umat lainnya.
Ada obsesi Suryani yang belum kesampaian, tapi mudah-mudahan segera terlaksana: membangun Islamic Center di kawasan Halim Perdanakusumah, Jakarta Timur seluas 30 hektar. Di sinilah kelak berdiri perguruan tinggi, pesantren, pendidikan dasar hingga menengah, rumah sakit, pertokoan, masjid. Tak lupa kawasan hutan lindung agar kompleks itu tidak terlalu gersang. “Masjid akan dibangun cukup besar. Pencanangannya entah 10 atau 20 tahun mendatang,” kata H.M. Zahir, salah seorang anak Suryani.
Bukan hanya itu, dua tiga tahun mendatang Suryani juga akan membangun Griya As-Suryaniah di kawasan Cileungsi, Bogor, seluas 10 hektar. “Perkampungan muslim itu diharapkan mengembangkan nilai dan nuansa Islam,” ujar Zahir. Kompleks pendidikan yang ideal itu akan dibangun dengan biaya Rp 8 miliar. Sungguh, suatu amal kebajikan yang luar biasa. Anda semua muslim yang berkelebihan seperti ini.....

Domery Alpacino
Catatan: Pernah dimuat di majalah Firdaus

Tidak ada komentar:

Posting Komentar