Suryani Thahir:
Hajjah
Suryani Thahir dikenal sebagai ustadzah dan muballighah yang terkenal. Majlis
ta’limnya semakin berkembang. Ia juga akan membangun sebuah Islamic Center.
www.jakarta.go.id |
MASJID itu terasa
istimewa. Semua warga di Kampung Melayu Besar, Jakarta Selatan, mengenalnya
sebagai Masjid At-Taqwa di kompleks Perguruan Ath-Thahiriyah. Keistimewaannya
bukan hanya karena arsitekturnya yang indah, tapi karena usianya yang sudah
cukup tua. Masjid yang awalnya mushalla itu dibangun tahun 1940-an. Di dalam
Rumah Allah seluas 20 x 20 meter dan berlantai dua itu terdapat tiga makam
tokoh Betawi. Bisa dimaklum, sebab bagi masyarakat Betawi tempo doeloe, menguburkan jenasah keluarga di masjid atau pelataran
rumah merupakan hal yang biasa.
Tapi ada hal lain yang sangat istimewa. Setiap Sabtu pagi, sejak pukul
07:00 hingga 09:30, ratusan ibu-ibu memadati masjid yang berdiri megah di tepi
Jalan Raya Kampung Melayu Besar itu. Mereka berdatangan dari berbagai penjuru,
terutama dari sekitar Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi. Bahkan ada yang datang
dari Cirebon, Karawang, Cikampek, Serang, Tasikmalaya. Mereka berhimpun dalam
Majelis Taklim Kaum Ibu Attahiriyah (MTKIA). Jumlahnya tak kurang dari 1500
orang.
Dengan takzim mereka mengikuti kajian tafsir Al-Quran yang disampaikan oleh
Ustadzah Hajjah Suryani Thahir. Jemaah itu tidak hanya terdiri dari kaum ibu,
tapi juga ibu-ibu muda dan remaja putri. Bukan hanya itu, perhelatan mingguan
itu ternyata juga mempunyai nilai ekonomi tersendiri. Pengajian setiap Sabtu
pagi itu juga diramaikan oleh ratusan pedagang yang menggelar “pasar kaget” di
sekitar tempat pengajian. Suara ustadzah berlogat Betawi itu terdengar lantang
lewat pengeras suara. Gayanya yang lugas tapi sarat dengan penuh humor
mendominasi “pasar kaget” yang memanjang sekitar satu kilometer.
Pengajian rutin itu sudah
berlangsung sejak 1968, dan tak pernah absen satu kali pun, hingga sekarang. “Alhamdullilah dari tahun 1968 hingga
2003 ini kami sudah membahas Al-Qur’an sampai juz ke-27. Dan insya Allah, tiga tahun lagi selesai
sampai juz ke-30,” katanya Hajjah Suryani -- yang segala aktivitas dakwahnya
senantiasa didukung oleh suaminya. Itu tak berarti dia sendiri yang harus
selalu tampil mengisi pengajian. Sudah dua tahun terakhir ini, ia beberapa kali
mengundang penceramah dari luar. Misalnya, Mulya Tarmidzi, Wafiuddin, Nachrowi
Abdus Salam, dan sebagainya.
Selama mengasuh majlis ta’lim, Suryani selalu mencari berbagai terobosan
proses belajar-mengajar yang baik. Mula-mula ia menyampaikan pengajian secara
searah, tapi belakangan ia menyajikan metode baru yang sifatnya terpadu. Yaitu,
memberi kesempatan kepada majlis ta’lim membaca sendiri kitab-kitab kuning yang
menjadi bahan kajian. Setelah itu, ia memberikan penjelasan dan dilanjutkan
dialog. “Dengan tanya jawab, saya bisa mengetahui respons jamaah. Saya juga
bisa mengetahui apa kebutuhan mereka,” tuturnya.
Bila ada hal-hal baru yang dianggap penting untuk diketahui, atau hal-hal
yang berkaitan dengan sejarah, ataupun masalah-masalah aktual lainnya, bahkan
amalan-amalan yang perlu dianjurkan untuk diamalkan setiap hari, ia menerbitkan
brosur dua tiga halaman dalam bahasa Arab dan terjemahannya untuk dibagikan
kepada jamaah. “Metode ini ternyata mampu menarik minat sehingga anggota majlis
ta’lim terus bertambah,” kata perempuan yang melakukan umroh paling sedikit
tiga kali setahun dan selalu melakukan shalat malam setiap hari itu. Setiap
tahun ia selalu memberangkatkan tak kurang dari 100 orang karyawannya.
Selain mengajar tafsir Al-Qur’an, ia juga mengajar akhlak dengan rujukan
beberapa kitab baku yang klasik seperti Ta’limul
Muta’allim, Nashaihul ‘Ibaad, Al-Majalisus Saniyah, Al-Minahus Saniyah, ‘Uqudul
Lujain, dan Riyadhus Shalihin. Ia
juga acap menyisipkan pelajaran fiqih dengan rujukan kitab Fathul Qarib dan Matan Zubad.
“Mula-mula saya memberikan kajian tafsir selama satu jam; setengah jam
berikutnya dialog, dilanjutkan pelajaran kedua. Pada pelajaran kedua, biasanya
saya isi dengan akhlak, kadang pula fiqih atau tauhid. Kadang juga menyinggung
berita-berita yang aktual. Ya, tergantung waktu yang tersedia saja,” tuturnya.
Majelis Muzakarah
ramadan.liputan6.com |
Di luar pengajian Sabtu pagi, ia juga menggembleng sejumlah muballighah
yang berasal dari berbagai penjuru, khususnya dari Jakarta, Bogor, Tangerang
dan Bekasi. Kegiatan itu berlangsung setiap Jumat pukul 08:00 hingga 10:00.
Majlis ini diberi nama Majlis Muzakarah Assuryaniyah (MAMMA), di bawah payung
MTKIA. Pesertanya para ustazah yang ingin meningkatkan ilmu pengetahuan agama.
Selama ini mereka sering memberi ceramah, bahkan di antara sering mengisi
pengajian di beberapa kantor dengan jamaah yang mempunyai pengetahuan relatif
tinggi. Di antaranya juga ada yang sudah memiliki majlis ta’lim sendiri. Bila
mereka tidak meningkatkan ilmu pengetahuan, ceramahnya bisa kering dan
hambar. “Mereka perlu disuntik agar ilmu
pengetahuan agamanya bertambah,” tutur Suryani yang selalu menyediakan waktu
untuk berkumpul bersama anak dan cucu setiap hari Minggu.
Untuk mengajar mereka Suryani menggunakan empat kitab, yaitu Minhajul Muslimin, Tafsir Al-Munir, Jami’ash
Shaghir, dan Ta’limul Muta’allim.
Mula-mula Suryani membagi para peserta dalam dua kelompok besar. Tapi, karena
pesertanya terus bertambah, kini mereka disatukan dalam satu kelompok agar
lebih efektif. Jumlah mereka kini 320 orang, padahal ketika dimulai hanya
beranggota 11 orang. “Kalau dikatakan sukses sebenarnya masih jauh. Tapi, alhamdullilah perkembangan itu bagi saya
cukup menggembirakan,” ujar mantan anggota MPR itu.
Saat ini kelompok studi agama MAMAA
sudah melebarkan sayap dengan membuka cabang di Pesantren Nurul Quran, Cakung,
Jakarta Timur yang beranggotakan 75 orang. Di sini kitab yang dijadikan rujukan
kajian ialah tafsir Al-Munir karangan
Dr. Wahdah az-Zuhaily. Selain itu program kajiannya juga sudah ditambah dengan
kajian nahwu sharaf, yaitu paramasastra Bahasa Arab. Selain itu, setiap Rabu
juga diajarkan pula fiqh dan ushul fiqh yang disampaikan oleh KH.
Irvan Zidni MA.
Dalam pada itu, untuk meningkatkan kualitas pengetahuan jamaah, Suryani
juga membuka sejumlah seminar keagamaan. Seperti biasa, pesertanya selalu
membludak. Dan bagi ibu tujuh anak ini, bergiat dalam dunia majlis ta’lim, dan
tampil sebagai muballighah dan ustadzah ternama seperti sekarang, tentu bukan
secara tiba-tiba melainkan melalui proses yang panjang.
Lahir dari Masjid
Sepulang menuntut ilmu agama di Mesir pada 1967. Suryani melihat Jakarta
begitu sepi dari aktivitas dakwah, khususnya majlis ta’lim kaum ibu. Di tempat
tinggalnya hanya ada majlis ta’lim untuk kaum laki-laki. Mereka mengaji hadist
dan fiqh. Majlis ini terbagi dalam dua kelompok besar; pengajian untuk umum
atau kaum kebanyakan; dan pengajian yang diikuti para kyai dari berbagai
penjuru Jakarta.
Tapi, pengajian khusus kaum perempuan hanya kecil-kecilan, diikuti belasan
orang saja. Misalnya, pengajian Ibu Guru Hajjah Ence di Kampung Melayu Kecil;
pengajian Ibu Guru Hajjah Munawwarah di Mampang; pengajian Ibu Guru Hajjah
Salmeh di Tebet. Pengajian mereka masih bersifat tradisional, belum sistematis.
Mereka melakukan pengajian dari rumah ke rumah. Akibatnya, pengajian itu
membebani para shahibul bait, pemilik
rumah yang ketempatan pengajian yang terpaksa menyediakan hidangan.
Suryani bahkan melihat ketimpangan yang luar biasa. Kaum lelaki mendapat
kesempatan menimba pengetahuan agama sementara kaum perempuan tidak. Padahal,
kaum perempuan mempunyai waktu luang yang cukup, tapi belum diberdayakan secara
maksimal. Menyadari hal itu, Suryani berpikir bagaimana cara memberdayakan
perempuan dengan proses belajar-mengajar yang sistematis dan praktis lewat
majlis ta’lim khusus perempuan. Akhirnya, atas dukungan kedua orangtuanya, ia
membuka majlis ta’lim khusus perempuan di Mushalla at-Taqwa yang kini sudah
berkembang menjadi masjid itu.
Langkah Suryani niscaya merupakan fenomena baru, karena majlis ta’lim kaum
ibu saat itu masih mengambil tempat dari rumah ke rumah. Saat itulah, Suryani
mengalihkan majelis ta’lim dari rumah ke masjid-masjid. Padahal, sebelumnya
masjid dianggap hanya sebagai tempat bagi kaum laki-laki saja; kaum perempuan
masih disingkirkan dari kegiatan di masjid.
Pada awalnya, sikap masyarakat Betawi beragam. Ada yang tak setuju, tapi
tak sedikit yang mendukung. Alasannya, masjid sebagai pusat segala kegiatan,
baik bagi kaum lelaki maupun perempuan. Berkat kegigihannya, Suryani berhasil.
Berbagai majlis ta’lim bukan hanya marak di Jakarta, tapi juga di seantero
tanah air, diminati oleh kaum perempuan dari semua kelas.
Karena tempatnya tetap, yaitu di masjid, majlis ta’lim pimpinan Suryani
cepat berkembang. Bagi mereka yang tadinya malu-malu kucing untuk mengikutinya,
karena ada majlis ta’lim yang digelar di tempat yang netral, yaitu masjid,
akhirnya berbondong-bondonglah jamaah datang. Seiring berkembangnya majlis
ta’lim tersebut, Suryani pun terkenal sebagai ustadzah dan muballighah.
Masa Kecil Suryani
Suryani adalah anak tertua dari 15 bersaudara yang lahir dari keluarga
pasangan KH Thahir Rahili dan Hajjah Salbiyah Ramli. Ia lahir 1 Januari 1940 di
Kebon Baru, Tebet, Jakarta Selatan. Sejak kecil ia dididik dalam keluarga yang
taat beragama. Dan ayahanda Suryani, KH Thahir, juga mendapat pendidikan agama
dari ayahandanya, yaitu KH Rohili. Di zamannya, kakek Suryani itu adalah tokoh
masyarakat Betawi yang sangat dihormati dengan julukan Ababek. Ia memiliki tanah hampir seluruh wilayah Gudang Peluru,
Tebet, Jakarta Selatan. Dan Thahir Rahili, ayahanda Suryani, adalah seorang
dari tiga bersaudara yang sempat menimba ilmu agama di Mekkah.
Pulang dari Mekkah, Thahir menularkan ilmu agamanya melalui dakwah dari
rumah ke rumah secara bergantian, yang lazim disebut “sistem kalong”. Karena
sepak terjangnya yang tak pernah lelah, ia dikenal sebagai kyai Betawi yang
tekun. Dalam mendidik anak-anaknya, Thahir memberikan kebebasan kepada
anak-anaknya, baik perempuan maupun laki-laki, untuk memilih jalur pendidikan
yang mereka sukai. Ia mendorong anak-anaknya menuntut ilmu setinggi langit,
baik di dalam maupun luar negeri, tanpa perbedaan.
Pada 1947 Suryani kecil memulai jenjang pendidikan formalnya di sekolah
rakyat di Bukit Pasirduri, Kebon Baru, Jakarta Selatan; tapi sore hari belajar
agama di Madrasah Diniyah Al-Awwaliyah As-Syafi’iyah di Balimatraman, Jakarta Selatan. Sejak 1939
ayah Suryani telah mendirikan Yayasan Diniyah Sa’adatutthariqain yang pada 1951
diubah namanya menjadi Yayasan Diniyah At-Thahiriyah.
Dua tahun sebelum tamat dari Al-Awwaliyah, Suryani pindah ke madrasah
At-Thahiriyah asuhan ayahandanya, lalu melanjutkan ke Diniyah Putri
Padangpanjang, Sumatera Barat. Kemudian, bersama sembilan saudara kandungnya,
Suryani melanjutkan studi ke Kairo, Mesir. Sebelum berangkat, ia menikah dengan
laki-laki pilihan orangtuanya, Syatiri Ahmad. Pengantin baru ini kemudian pergi bersama ke Mesir. Ia kuliah di Kulliyatu lil-Banat jurusan Dirasah Al-Islamiyah, Universitas
Al-Azhar (1959-1967), sementara suaminya di Fakultas Adab lalu melanjutkan ke Al-Ma’had Al-‘Aly lid-Dirasatil Islamiyah
wal Arabiyah (1965-1967).
Mereka tinggal di Mesir selama delapan tahun; dan di sana pula pasangan ini
dikaruniai Allah dua orang anak. Meski beban bertambah berat -- di satu sisi
harus merawat anak dengan baik, di sisi lain harus menyelesaikan kuliah –
ternyata Suryani mampu mengatasinya dengan baik. Akhirnya pasangan ini meraih
gelar sarjana. Mereka pun pulang ke tanah air dengan cita-cita sama: mengembangkan
dakwah Islamiyah.
BOX:
Berdakwah Sambil Usaha
SEIRING dengan
perjalanan dakwahnya, pada 1973 Suryani merintis bisnis perjalanan haji dan
umrah dengan nama Biro Perjalanan Haji At-Thahiriyah. Mula-mula berjalan
lamban, karena pangsa pasarnya cuma anggota majlis ta’lim binaannya. Saat itu,
ia baru mampu memberangkatkan 63 jamaah haji. “Awalnya saya cuma coba-coba buka
usaha tanpa niat khusus. Cuma saya melihat, bila berdakwah dan kegiatan sosial
tidak ditopang oleh usaha, sepertinya tidak lancar. Karena itu saya buka
usaha,” tutur Suryani.
Setelah jamaahnya semakin banyak, pada 1987 ia mengganti nama biro
perjalanan haji itu menjadi As-Suryaniyah. Pada 1995, biro perjalanannya mulai
mantap dan dapat memberangkatkan 899 jamaah. “Dan setelah dollar terus
merangkak naik, kini rata-rata Biro Perjalanan As-Suryaniyah mampu
memberangkatkan jamaah haji sekitar 300-400 orang. Bahkan kadang bisa 300 calon
haji biasa dan 100 ONH plus,” katanya.
Ia juga mendirikan Koperasi
As-Suryaniyah, meliputi usaha simpan pinjam, perdagangan sembilan bahan pokok,
jasa kontruksi, dan sebagainya. Sementara itu, untuk meningkatkan jaringan
dakwah, ia mendirikan stasiun radio muslim 98,8 FM yang popular dengan nama
Radio Muslim At-Thahiriyah. Kini ia juga membuka website dakwah.
Bersamaan dengan radio, Suryani juga mendirikan Universitas Islam
Attahiriyah. “Saat itu kalau mau mendirikan radio, maka harus mendirikan
perguruan tinggi,” ungkap Suryani yang juga mendirikan butik kecil-kecilan
untuk melayani jamaah majelis taklim binaannya.
Bersamaan dengan berdirinya radio
dakwah, Suryani juga membangun Graha As-Suryaniyah yang diresmikan oleh
Presiden Abdurrahman Wahid. Bangunan yang senilai Rp 2,3 miliar itu, sebagian
biayanya berasal dari sumbangan para anggota majlis ta’limnya. Di sinilah
segala aktivitas dipusatkan: kantor yayasan, kegiatan pendidikan, biro
perjalanan haji dan travel, kursus bahasa, dan kegiatan umat lainnya.
Ada obsesi Suryani yang belum kesampaian, tapi mudah-mudahan segera
terlaksana: membangun Islamic Center
di kawasan Halim Perdanakusumah, Jakarta Timur seluas 30 hektar. Di sinilah
kelak berdiri perguruan tinggi, pesantren, pendidikan dasar hingga menengah,
rumah sakit, pertokoan, masjid. Tak lupa kawasan hutan lindung agar kompleks
itu tidak terlalu gersang. “Masjid akan dibangun cukup besar. Pencanangannya
entah 10 atau 20 tahun mendatang,” kata H.M. Zahir, salah seorang anak Suryani.
Bukan hanya itu, dua tiga tahun mendatang Suryani juga akan membangun Griya
As-Suryaniah di kawasan Cileungsi, Bogor, seluas 10 hektar. “Perkampungan
muslim itu diharapkan mengembangkan nilai dan nuansa Islam,” ujar Zahir.
Kompleks pendidikan yang ideal itu akan dibangun dengan biaya Rp 8 miliar.
Sungguh, suatu amal kebajikan yang luar biasa. Anda semua muslim yang
berkelebihan seperti ini.....
Domery Alpacino
Catatan: Pernah dimuat di majalah Firdaus
Tidak ada komentar:
Posting Komentar