Laman

Rabu, 22 Desember 2004

Hidayah Datang Setelah Nonton Film The Message

Ia memperoleh hidayah setelah menyaksikan film The Message, kisah perjuangan Rasulullah dalam mensyiarkan agama Islam. Setelah memeluk Islam, ia aktif di beberapa majelis taklim
 
Bekerja pada perusahaan asing Amerika, tidak melunturkan kegiatan ibadah. Justru sebaliknya, ia makin rajin berdakwah. Itulah Rakhmat Okto Tobing, asisten purchasing PT. Coca-Cola Indonesia, yang sejak sepuluh tahun lalu menjadi muslim. Ia bahkan memelopori terbentuknya majelis taklim di perusahaan ini. “Saya selalu menyarankan kepada sesama muslim, jangan hanya bekerja dan bekerja. Hidup harus seimbang antara dunia dan akhirat,” ungkap Tobing yang kini menjadi penasihat majelis taklim itu.

Tobing – yang disapa Pak Haji -- juga aktif di beberapa majelis taklim di sekitar tempat tinggalnya di Kompleks Pamung Vila, Tangerang, Banten. Ia dipercaya sebagai bendahara di Yayasan At-Taubah yang membawahi kegiatan masjid At-Taubah dan Taman Pendidikan Al-Quran (TPA) di kompleks di Pamulang Vila, Tangerang, Banten. Sebelumnya, dari 1994-1999 ia menjadi bendahara masjid At-Taubah.

“Setiap tahun yayasan ini membagikan sembako dan pengobatan gratis kepada kaum fakir miskin. Tahun depan, insya Allah yayasan ini akan lebih sering melakukan dakwah bilhak, dakwah dengan perbuatan. Pasalnya, kalau umat Islam tidak gencar berdakwah dengan perbuatan, kita akan kalah dengan kaum Nasrani yang dananya lebih besar dan gencar,” kata Tobing.

Sejak sembilan tahun lalu ia rajin menghadiri pengajian Majelis Taklim Al-Manthiq pimpinan Dr. Bambang Sukamto  yang menghimpun para mualaf, saudara seiman yang baru memeluk Islam. “Saya masih dalam tahap belajar, jadi harus menimba ilmu di mana berada,” tutur Tobing, merendah.

Lahir pada 16 Oktober 1962 di Tanjung Pinang, Kepulauan Riau, ia anak bungsu dari sembilan bersaudara pasangan ATL Tobing dan C. Panjaitan, asli Batak Toba -- yang menganut Kristen Protestan. Ayahnya asisten pendeta atau sintua dan ibunya aktifis gereja pada kota yang sama. Kakek buyut dari garis ayah adalah tokoh penyebar agama Nasrani di Tapanuli -- salah satu ujung tombak Nomensen, misionaris pertama yang menyebarkan agama Nasrani di daerah Tapanuli dan Sumatra Utara sekian puluh tahun lalu. 

Pendidikan dasar sampai SMP dilalui di sekolah Katolik di kota kelahirannya. Tapi ketika SMA ia masuk sekolah negeri Tanjung Pinang. “Setiap ada pelajaran agama Islam, saya pasti keluar,” kata Tobing.

Masa remajanya habis dengan kesibukan gereja yang cukup kental. Sekolah Minggu tak pernah absen. Natal dan Tahun Baru dilalui bersama keluarga dengan melakukan misa. Sebagai aktifis gereja ia bersama teman-teman sebayanya melakukan misi mencari “domba yang tersesat”, yaitu mencari orang agar memeluk agama Nasrani. 

Berdasar kesaksiannya di lapangan, Tobing remaja menyimpulkan Islam adalah agama yang keras dan tidak toleran. Misalnya, mikrofon untuk azan dan tadarus dipasang keras-keras hingga mengganggu orang lain. “Setiap pagi saya betul-betul terganggu karena rumah saya tidak jauh dari mesjid,” kenangnya. 

Pergaulannya dengan teman-teman yang beragama Islam, jauh lebih menunjukan keburukan Islam dibanding teman-teman gerejanya. Mereka suka berjudi dan menenggak minuman keras. Mereka juga suka makan babi dan membeli makanan sembarangan dan tidak membedakan makanan yang haram dan halal. Pasalnya, para penjual makanan di Tanjung Pinang adalah keturunan Cina nonmuslim yang menggunakan minyak babi. Belakangan ia baru tahu bahwa mereka adalah orang-orang yang sesat atau belum tahu ajaran Islam yang sesungguhnya.  

Kenyataan itu membuat Tobing semakin yakin bahwa agama yang dianutnya mampu menyelamatkan semua umatnya di hari akhirat. Pasalnya, Tuhan Yesus sudah menjanjikan paket ke surga dengan menebus segala dosa yang melekat pada “dombanya”. “Karena itu, saya tidak pernah berpikiran ingin mengenal Islam, apalagi memeluknya,” ungkap Tobing.

Keberadaannya di Jakarta bermula pada 1981 ketika diterima di Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia (UKI). Pengenalannya pada Islam bermula dari sikap Joko, sahabatnya sesama anggota pecinta alam di kampus tersebut. Ia mengagumi ketaatan Joko melakukan salat lima waktu dan menjalankan puasa di bulan Ramadan meski  teman-temannya makan, minum, dan merokok di depannya saat kumpul-kumpul. “Mungkin, saat itu Allah mulai menunjukkan sedikit demi sedikit kepada saya tentang Islam,” kata Tobing.

Dayung Cinta

Lomba Dayung Mahasiswa seluruh Indonesia yang diikuti almamaternya melibatkan Tobing. Grup pencinta alam UKI melawat ke Universitas Islam Indonesia (UII) Yogya sebagai tempat berlangsungnya lomba tersebut. Di sini ia berkenalan dengan Endang Sulistianingsih, mahasiswi Fakultas Hukum UII. Awalnya hanya sebatas berkenalan. Nmun, karena sering surat-suratan, pertemanan itu meningkat kesoal hati meski kata pacaran belum dipatok. Apalagi setelah menyadari bahwa Endang cerdas, rajin, penyabar dan tekun beribadah.

Witing trisna jalaran saka kulina (alah bisa karena biasa). Pepatah arif itu berlaku untuk Tobing. Mula-mula memang biasa-biasa, tapi lama kelamaan mereka saling jatuh hati. Hubungan mereka  makin mesra terutama setelah Endang bekerja di Jakarta setamat dari UII. “Tapi orang tua Endang tidak merestui hubungan kami,” kata Tobing. Masalahnya mereka pengurus Muhammadiyah dan ketua Aisyiah Kabupaten Brebes.

Tanpa restu bukan berarti hubungan mereka kandas. Mereka nekad menjalin cinta. Belakangan mereka disidang orangtua Endang di Brebes. “Kalau kamu masih mau melanjutkan hubungan dengan Endang, kamu harus memeluk Islam lebih dahulu. Kalau tidak, Endang tidak boleh bekerja di Jakarta. Kalau kamu tetap ngotot, saya siap perang!” ancam ayah Endang seperti ditirukan Tobing.

Sebagai anak pendeta Tobing bergeming. “Saya tidak bakal pindah agama,” katanya kepada orangtua Endang. Bujuk rayu dari calon ipar agar menikah secara Islam lebih dahulu baru kemudian ganti agama, ditepisnya.Ketegasannya itu juga diterapkan kepada Endang. “Kalau kamu masih mau berhubungan dengan saya, kamu harus pindah ke agama saya.” 

Reaksi Endang ternyata diluar dugaan. Ia bersedia memeluk Kristen. Situasi itu dimanfaatkan baik-baik oleh Tobing. Dibawanya Endang ke gereja HKBP Rawamangun, Jakarta untuk dibaptis dan dinikahinya. Itu terjadi pada 26 Juni 1993. Orangtua Endang jelas tidak may hadir meski diundang. 

 Namun, menikah bukan menyelesaikan persoalan. Endang justru gelisah. Ia merasa berdosa telah memeluk agama Kristen. Diam-diam ia tetap menjalankan salat fardu. Saat sang suami mandi sore sepulang dari kantor, Endang menjalankan salat Magrib. Saat sang suami nonton televisi, ia menutup rapat-rapat pintu kamar melakukan salat Isya. Dan, saat sang suami masih tidur pagi, ia menjalankan salat Subuh.

Tobing yang memergoki ada sajadah dan mukena di almari pakaian, tidak mencurigai istrinya. Endang berkilah bahwa benda-benda itu hanya untuk kenang-kenangan.
Suatu hari, enam bulan setelah menikah, Endang menyodorkan kaset video “The Message”, sebuah film yang menceritakan perjuangan Rasulullah SAW saat kali pertama menyebarkan agama Islam. Tobing memutar film itu seorang diri di ruang tamu sepulang dari kantor sementara Endang menyelinap ke kamar melaksanakan salat Isya. 

Di mana Nabi Muhammad?

Kali pertama menonton film itu, ia langsung tertarik dan kagum. “Di mana Nabi Muhammad berada?” tanya Tobing berkali-kali dalam hati. Dalam film itu Rasulullah hanya ditampilkan dengan sebuah tongkat. Ini berbeda dengan figur Yesus yang digambarkan dengan rambut gondrong dan brewok tebal.

Entah kenapa, enam bulan kemudian, Tobing memutar kembali film itu hingga empat lima kali, saat istirahat malam. Ia mengaku tertarik terhadap perjuangan Rasulullah. Dan, umat Muhammmad tidak pernah mengkultuskan nabinya dalam bentuk gambar atau patung. 

Suatu hari ketika sedang menekuni film The Message, ia ingin masuk kamar. Ternyata, istrinya sedang melakukan salat Isya. Kontan, ia marah dan ingin meninju dan menendang istrinya yang sedang salat. Tapi, niat itu diurungkan karena mengasari istri dilarang agamanya. 

Tapi itu bukan berarti marahnya telah larut. Ketika Endang sudah selesai salat dan duduk di ruang tamu, Tobing mengajukan berbagai pertanyaan dalam suasana yang emosional. 

“Kamu kembali lagi ke dalam agama Islam?” desak Tobing berulang kali sembari menahan kegeramannya. Dengan lemah lembut Endang tidak menyangkal hal tersebut. “Ya, saya sudah lama menjalankan salat. Tepatnya setelah menikah. Saya takut mati dalam keadaan kafir,” jawab Endang seperti dikutip Tobing. 

Tobing terperanjat bercampur bingung. Pasalnya, kalau masalah ini diceritakan kepada kakak-kakaknya, dikira membuka aib keluarga sendiri. Tapi, di sisi lain, istrinya sudah kembali kepada agama semula. Maka, tidak ada jalan lain kecuali bercerai. Tapi agamanya melarang. Akhirnya, diambil jalan tengah, yaitu tidak berhubungan dengan istri untuk sementara waktu.
Di saat saling diam itu Endang menyodorkan buku-buku tentang perbedaan Kristen dan Islam seperti dialog Islam dan Kristen, perbedaan antara Yesus dan Muhammad, serta kisah-kisah tokoh Kristen yang masuk Islam.

Selain itu, Endang  rajin mencari akses dan mengadukan permasalahannya kepada Bambang Sukamto, mantan mualaf yang giat berdakwah dan memimpin majelis taklim Al-Manthiq, sebuah majelis yang menghimpun para mualaf.
Suatu sore, Maret 1994, Endang mengajak Tobing menemui dr. Bambang. Di sana telah berkumpul tujuh orang lainnya mengenakan baju koko. Selain Bambang, juga ada KH. Abdullah Wasian, seorang kristolog –pengkaji seluk beluk agama Kristen lewat titik pandang Al-Quran dan hadis – dari Sidoarjo, Jawa Timur.

 Terlanjur basah, Tobing masuk dalam dialog diantara mereka. “Kalau saya mundur, saya malu dan gengsi. Saya berpikir, kenapa harus malu karena saya punya agama yang benar,” pikir Tobing.

Dialog itu berkisar  pada masalah akan datangnya Nabi terakhir Muhammad SAW. Hal itu tertulis dalam kitab Alkitab (Injil), surat Ulangan 18: 17-22; Nabi Yesaya 42: 1 dan 4; Nabi Yeremia 31: 31-32; Nabi Daniel 2: 38-45.

Tobing berusaha membela agamanya. “Umat Nasrani sekarang ini hanya menggunakan Kitab Perjanjian Baru,” katanya. Wasian menyuruhnya membuka surat Matius 5:17-18: “Janganlah kamu sangkakan Aku datang hendak merombak hukum Taurat atau Kitab Nabi-Nabi: bukannya Aku datang hendak merombak, melainkan hendak menggenapinya. Karena sesungguhnya Aku berkata kepadamu, sehingga langit bumi lenyap, satu noktah atau satu titikpun sekali-kali tiada akan lenyap daripada hukum Taurat itu sampai semuanya telah jadi”.

Tobing juga ditanya siapa anak sulung Nabi Ibrahim, Ismail atau Ishak? Mereka menyodorkan ayat Kejadian 16:15, Kejadian 21:5, dan Kejadian 22:2. “Rupanya kalangan Nasrani selalu menyebutkan bahwa Siti Hajar bukan istri tapi gundik. Padahal ini dibantah dengan Kejadian 16:3 yang menyebutkan bahwa Siti Hajar adalah istri sah Nabi Ibrahim AS,” tutur Tobing.

Tobing juga diajak diskusi masalah konsep Trinitas. Tuhan itu satu tapi pribadinya tiga, yaitu Tuhan Bapak, Tuhan Putra dan Tuhan Roh Kudus. Tiga Tuhan dalam satu kesatuan; satu Tuhan dalam tiga. Inilah yang disebut Trinitas atau Tritunggal. Sedangkan konsep ketuhanan menurut Islam tidak mengenal Trinitas. Allah itu esa, satu, tiada beranak, tidak diperanakkan; tidak seorang pun setara dengan-Nya.

Dalam diskusi itu, Tobing tidak langsung mengamini apa yang diungkapkan para Kristolog itu. Sebaliknya, ia pulang dengan hati dongkol karena merasa dipojokkan. Bambang berpesan, “Tolong istrimu jangan dimarahi karena telah menjebak Anda untuk berdiskusi,” kata Tobing menirukan ucapan dr. Bambang. “Tidak!” jawab Tobing menahan rasa dongkol.

Berkah dari diskusi itu mendorong Tobing kian penasaran. Ia lantas membuka kembali ayat-ayat Alkitab yang disodorkan para kristolog itu. Ternyata, semua ayat itu jelas tercantum dalam Alkitab.  Seketika badannya terasa lemas karena belum pernah mendengar ayat-ayat yang disampaikan para pendeta dalam khotbah-khotbahnya di gereja, “Ke mana selama ini ayat-ayat tersebut, karena saya tidak pernah mendengar sekalipun dalam khutbah-khutbah di gereja,” ungkap Tobing setengah jengkel.

Tak heran jika belakangan iman Tobing mulai goyah. Ia mulai meninggalkan gereja sehingga kakak-kakaknya curiga jangan-jangan Tobing dan istrinya kembali pada agama Islam.
”Saya masih memeluk Kristen. Kalau perlu istri saya akan saya cerai,” jawab Tobing ketika ia di ‘interogasi’ kakak-kakaknya.

Terus terang Tobing tidak suka terhadap pertanyaan yang menyudutkan dirinya itu. Sebab, dalam adat Batak Toba, seseorang yang sudah menikah, berhak mengurus rumah tangganya sendiri. Lagi pula, setelah ‘mengadili’, mereka tidak mau bersilaturahim kembali.

Tidak lama setelah kejadian itu, hati Tobing bergetar melihat perilaku istrinya. Dengan lembut Endang minta ijin hendak salat Hari Raya Idul Adha sambil mencium dengan mesra tangan kanan Tobing. “Melihat kejadian itu saya betul-betul terharu, sekaligus terasa indah,” ungkap Tobing. Sebaliknya tetangga sebelah yang beragama Nasrani mendongkol mendengar Tobing memberi ijin istrinya untuk salat Idul Adha. 

Sejak itu terjadi kembali ”perang” dalam batinnya. Tobing makin yakin akan kebenaran Islam, dan sebaliknya ia semakin ragu akan ajaran agama yang dianutnya. Setelah beberapa bulan bergulat dalam pencarian kebenaran, suatu hari ia sampai pada suatu titik yang sangat penting: ingin memeluk Islam. Niat itu pun diutarakan kepada istri tercinta. Endang pun menerima dengan rasa bahagia dan puji syukur, dengan mata berkaca-kaca.

Orangtua Endang yang dikabari menyambut dengan rasa syukur. Mereka segera berangkat ke Jakarta. Endang sibuk mempersiapkan upacara pengucapan dua kalimah syahadat dan pernikahan ulang. Ia kemudian menghubungi dr. Bambang. 

Tanggal 5 Juni 1994, di masjid Al-Ittihad, Tebet Mas, Jakarta Selatan, dibawah tatapan mata puluhan jamaah salat Subuh, mertua, dan dr. Bambang, pasangan ini mengucapkan dua kalimah syahadat dibimbing KH Hasan Basri, mantan Ketua Majelis Ulama Indonesia. KH. Hasan Basri memberi nama tambahan, Rakhmat kepada Tobing.

Acara dilanjutkan dengan akad nikah kembali yang dilakukan pihak mertua. Setelah itu, ucapan selamat pun berdatangan, baik dari mertua, sanak famili dan jemaah salat subuh. Rasa haru, lega, campur bahagia pun, lebur jadi satu. Pasangan yang berbahagia ini pun berurai airmata. “Dengan mengucap dua kalimah syahadat, otomatis saya harus memberitahu kepada keluarga saya bahwa saya telah memeluk Islam. Itulah tantangan berat yang saya harus hadapi. Pasalnya, saya pasti akan dibuang dalam keluarga. Di samping saya merasa lega seperti air mengalir deras,” kata Tobing.

Berkat dukungan istri dan mertua yang terus-menerus, Tobing makin teguh memeluk Islam. Dengan cepat ia bisa menghafal surat-surat pendek dalam Al-Quran untuk bacaan salat. Tidak lama kemudian, ia sudah fasih membaca Al-Quran dan berani menjadi imam salat dalam lingkungan keluarga. “Sejak memeluk Islam hingga kini, saya masih mengundang ustad semingggu dua kali belajar membaca Al-Quran,” kata Tobing.

Penyakit maag yang menerpanya ketika puasa Ramadan pertama harus dijalani, bukan halangan baginya. Sebulan penuh ia berpuasa. “Ternyata, penyakit maag tidak menjadi halangan untuk orang berpuasa,” kata Tobing serius.

Sepuluh hari terakhir bulan Ramadan tahun 2000, Tobing bersama istri menunaikan ibadah umroh karena tidak memperoleh quota haji. “Rupanya Allah punya rencana lain. Kami bisa belajar lebih dahulu ritual-ritual haji. Kami pun bisa menikmati secara lebih leluasa tempat-tempat untuk ibadah haji dan makam para istri, sahabat, dan makam Nabi sendiri. Persis seperti film The Message,” tutur Tobing, mengenang.

Pada saat tawaf Wada, Tobing bersama istri memohon kepada Allah agar bisa dipanggil kembali untuk menunaikan ibadah haji. Rupanya Allah yang Maha Kasih mengabulkan doa hambanya yang berserah diri. Pada 2003, mereka melaksanakan rukun Islam yang kelima dengan baik. “Meski pada usia perkawinan yang kesepuluh kami belum dikaruniai anak, kami bisa melaksanakan ibadah haji dengan khusyu,” ungkap Tobing, yang sekarang akrab dipanggil Pak Haji. Cobaan demi cobaan telah terlewati, dan itu semua justru semakin mempertebal keimanan Pak Haji sebagai seorang muslim yang kaffah, yang sempurna.

Domery Alpacino
Catatan: Pernah dimuat di majalah Islam Alkisah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar