Ia memperoleh hidayah
setelah menyaksikan film The Message, kisah perjuangan Rasulullah dalam
mensyiarkan agama Islam. Setelah memeluk Islam, ia aktif di beberapa majelis
taklim.
Tobing – yang disapa Pak Haji -- juga aktif di
beberapa majelis taklim di sekitar tempat tinggalnya di Kompleks Pamung Vila,
Tangerang, Banten. Ia dipercaya sebagai bendahara di Yayasan At-Taubah yang
membawahi kegiatan masjid At-Taubah dan Taman Pendidikan Al-Quran (TPA) di
kompleks di Pamulang Vila, Tangerang, Banten. Sebelumnya, dari 1994-1999 ia
menjadi bendahara masjid At-Taubah.
“Setiap tahun yayasan ini membagikan sembako dan
pengobatan gratis kepada kaum fakir miskin. Tahun depan, insya Allah yayasan
ini akan lebih sering melakukan dakwah bilhak, dakwah dengan perbuatan.
Pasalnya, kalau umat Islam tidak gencar berdakwah dengan perbuatan, kita akan
kalah dengan kaum Nasrani yang dananya lebih besar dan gencar,” kata Tobing.
Sejak sembilan tahun lalu ia rajin
menghadiri pengajian Majelis Taklim Al-Manthiq pimpinan Dr. Bambang
Sukamto yang menghimpun para
mualaf, saudara seiman yang baru memeluk Islam. “Saya masih dalam tahap belajar, jadi harus menimba ilmu di mana berada,”
tutur Tobing, merendah.
Lahir pada 16 Oktober 1962 di Tanjung Pinang,
Kepulauan Riau, ia anak bungsu dari sembilan bersaudara pasangan ATL Tobing dan
C. Panjaitan, asli Batak Toba -- yang menganut Kristen Protestan. Ayahnya asisten
pendeta atau sintua dan ibunya aktifis gereja pada kota yang sama. Kakek buyut dari garis ayah adalah tokoh penyebar
agama Nasrani di Tapanuli -- salah satu ujung tombak Nomensen, misionaris pertama
yang menyebarkan agama Nasrani di daerah Tapanuli dan Sumatra Utara sekian
puluh tahun lalu.
Pendidikan dasar sampai SMP dilalui di sekolah
Katolik di kota kelahirannya. Tapi ketika SMA ia masuk sekolah negeri Tanjung
Pinang. “Setiap ada pelajaran agama Islam, saya pasti keluar,” kata Tobing.
Masa remajanya habis dengan
kesibukan gereja yang cukup kental. Sekolah Minggu tak pernah absen. Natal dan
Tahun Baru dilalui bersama keluarga dengan melakukan misa. Sebagai aktifis
gereja ia bersama teman-teman sebayanya melakukan misi mencari “domba yang
tersesat”, yaitu mencari orang agar memeluk agama Nasrani.
Berdasar kesaksiannya di
lapangan, Tobing remaja menyimpulkan Islam adalah agama yang keras dan tidak
toleran. Misalnya, mikrofon untuk azan dan tadarus dipasang keras-keras hingga
mengganggu orang lain. “Setiap pagi saya betul-betul terganggu karena rumah
saya tidak jauh dari mesjid,” kenangnya.
Pergaulannya dengan teman-teman
yang beragama Islam, jauh lebih menunjukan keburukan Islam dibanding teman-teman
gerejanya. Mereka suka berjudi dan menenggak minuman keras. Mereka juga suka
makan babi dan membeli makanan sembarangan dan tidak membedakan makanan yang
haram dan halal. Pasalnya, para penjual makanan di Tanjung Pinang adalah
keturunan Cina nonmuslim yang menggunakan minyak babi. Belakangan ia baru tahu
bahwa mereka adalah orang-orang yang sesat atau belum tahu ajaran Islam yang
sesungguhnya.
Kenyataan itu membuat Tobing
semakin yakin bahwa agama yang dianutnya mampu menyelamatkan semua umatnya di
hari akhirat. Pasalnya, Tuhan Yesus sudah menjanjikan paket ke surga dengan
menebus segala dosa yang melekat pada “dombanya”. “Karena itu, saya tidak
pernah berpikiran ingin mengenal Islam, apalagi memeluknya,” ungkap Tobing.
Keberadaannya di Jakarta bermula
pada 1981 ketika diterima di Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia
(UKI). Pengenalannya pada Islam bermula dari sikap Joko, sahabatnya sesama
anggota pecinta alam di kampus tersebut. Ia mengagumi ketaatan Joko melakukan
salat lima waktu dan menjalankan puasa di bulan Ramadan meski teman-temannya makan, minum, dan merokok di
depannya saat kumpul-kumpul. “Mungkin, saat itu Allah mulai menunjukkan sedikit
demi sedikit kepada saya tentang Islam,” kata Tobing.
Dayung Cinta
Lomba Dayung Mahasiswa seluruh
Indonesia yang diikuti almamaternya melibatkan Tobing. Grup pencinta alam UKI
melawat ke Universitas Islam Indonesia (UII) Yogya sebagai tempat
berlangsungnya lomba tersebut. Di sini ia berkenalan dengan Endang
Sulistianingsih, mahasiswi Fakultas Hukum UII. Awalnya hanya sebatas
berkenalan. Nmun, karena sering surat-suratan, pertemanan itu meningkat kesoal
hati meski kata pacaran belum dipatok. Apalagi setelah menyadari bahwa Endang
cerdas, rajin, penyabar dan tekun beribadah.
Witing trisna jalaran saka
kulina (alah bisa karena biasa).
Pepatah arif itu berlaku untuk Tobing. Mula-mula memang biasa-biasa, tapi lama
kelamaan mereka saling jatuh hati. Hubungan mereka makin mesra terutama setelah Endang bekerja
di Jakarta setamat dari UII. “Tapi orang tua Endang tidak merestui hubungan
kami,” kata Tobing. Masalahnya mereka pengurus Muhammadiyah dan ketua Aisyiah
Kabupaten Brebes.
Tanpa restu bukan berarti
hubungan mereka kandas. Mereka nekad menjalin cinta. Belakangan mereka disidang
orangtua Endang di Brebes. “Kalau kamu masih mau melanjutkan hubungan dengan
Endang, kamu harus memeluk Islam lebih dahulu. Kalau tidak, Endang tidak boleh
bekerja di Jakarta. Kalau kamu tetap ngotot, saya siap perang!” ancam ayah
Endang seperti ditirukan Tobing.
Sebagai anak pendeta Tobing
bergeming. “Saya tidak bakal pindah agama,” katanya kepada orangtua Endang.
Bujuk rayu dari calon ipar agar menikah secara Islam lebih dahulu baru kemudian
ganti agama, ditepisnya.Ketegasannya itu juga diterapkan kepada Endang. “Kalau
kamu masih mau berhubungan dengan saya, kamu harus pindah ke agama saya.”
Reaksi Endang ternyata diluar
dugaan. Ia bersedia memeluk Kristen. Situasi itu dimanfaatkan baik-baik oleh
Tobing. Dibawanya Endang ke gereja HKBP Rawamangun, Jakarta untuk dibaptis dan
dinikahinya. Itu terjadi pada 26 Juni 1993. Orangtua Endang jelas tidak may
hadir meski diundang.
Namun, menikah
bukan menyelesaikan persoalan. Endang justru gelisah. Ia merasa berdosa telah
memeluk agama Kristen. Diam-diam ia tetap menjalankan salat fardu. Saat sang
suami mandi sore sepulang dari kantor, Endang menjalankan salat Magrib. Saat
sang suami nonton televisi, ia menutup rapat-rapat pintu kamar melakukan salat
Isya. Dan, saat sang suami masih tidur pagi, ia menjalankan salat Subuh.
Tobing yang memergoki ada sajadah dan mukena di
almari pakaian, tidak mencurigai istrinya. Endang berkilah bahwa benda-benda
itu hanya untuk kenang-kenangan.
Suatu hari, enam bulan setelah menikah, Endang
menyodorkan kaset video “The Message”, sebuah film yang menceritakan
perjuangan Rasulullah SAW saat kali pertama menyebarkan agama Islam. Tobing
memutar film itu seorang diri di ruang tamu sepulang dari kantor sementara
Endang menyelinap ke kamar melaksanakan salat Isya.
Di mana Nabi Muhammad?
Kali pertama menonton film itu, ia langsung tertarik
dan kagum. “Di mana Nabi Muhammad berada?” tanya Tobing berkali-kali dalam
hati. Dalam film itu Rasulullah hanya ditampilkan dengan sebuah tongkat. Ini
berbeda dengan figur Yesus yang digambarkan dengan rambut gondrong dan brewok
tebal.
Entah kenapa, enam bulan kemudian, Tobing memutar
kembali film itu hingga empat lima kali, saat istirahat malam. Ia mengaku
tertarik terhadap perjuangan Rasulullah. Dan, umat Muhammmad tidak pernah
mengkultuskan nabinya dalam bentuk gambar atau patung.
Suatu hari ketika sedang menekuni film The Message,
ia ingin masuk kamar. Ternyata, istrinya sedang melakukan salat Isya. Kontan,
ia marah dan ingin meninju dan menendang istrinya yang sedang salat. Tapi, niat
itu diurungkan karena mengasari istri dilarang agamanya.
Tapi itu bukan berarti marahnya telah larut. Ketika
Endang sudah selesai salat dan duduk di ruang tamu, Tobing mengajukan berbagai pertanyaan dalam suasana
yang emosional.
“Kamu kembali lagi ke dalam
agama Islam?” desak Tobing berulang kali sembari menahan kegeramannya. Dengan
lemah lembut Endang tidak menyangkal hal tersebut. “Ya, saya sudah lama
menjalankan salat. Tepatnya setelah menikah. Saya takut
mati dalam keadaan kafir,” jawab Endang seperti dikutip Tobing.
Tobing terperanjat bercampur
bingung. Pasalnya, kalau masalah ini diceritakan kepada kakak-kakaknya, dikira
membuka aib keluarga sendiri. Tapi, di sisi lain, istrinya sudah kembali kepada
agama semula. Maka, tidak ada jalan lain kecuali bercerai. Tapi agamanya
melarang. Akhirnya, diambil jalan tengah, yaitu tidak
berhubungan dengan istri untuk sementara waktu.
Di saat saling diam itu Endang menyodorkan buku-buku
tentang perbedaan Kristen dan Islam seperti dialog Islam dan Kristen, perbedaan
antara Yesus dan Muhammad, serta kisah-kisah tokoh Kristen yang masuk Islam.
Selain itu, Endang
rajin mencari akses dan mengadukan permasalahannya kepada Bambang
Sukamto, mantan mualaf yang giat berdakwah dan memimpin majelis taklim
Al-Manthiq, sebuah majelis yang menghimpun para mualaf.
Suatu sore, Maret 1994, Endang mengajak Tobing
menemui dr. Bambang. Di sana telah berkumpul tujuh orang lainnya mengenakan
baju koko. Selain Bambang, juga ada KH. Abdullah Wasian, seorang kristolog
–pengkaji seluk beluk agama Kristen
lewat titik pandang Al-Quran dan hadis – dari Sidoarjo, Jawa Timur.
Terlanjur
basah, Tobing masuk dalam dialog diantara mereka. “Kalau saya mundur, saya malu
dan gengsi. Saya berpikir, kenapa harus malu karena saya punya agama yang
benar,” pikir Tobing.
Dialog itu berkisar
pada masalah akan datangnya Nabi terakhir Muhammad SAW. Hal itu tertulis
dalam kitab Alkitab (Injil), surat Ulangan 18: 17-22; Nabi Yesaya 42: 1 dan 4;
Nabi Yeremia 31: 31-32; Nabi Daniel 2: 38-45.
Tobing berusaha membela agamanya. “Umat Nasrani
sekarang ini hanya menggunakan Kitab Perjanjian Baru,” katanya. Wasian
menyuruhnya membuka surat Matius 5:17-18: “Janganlah kamu sangkakan Aku datang
hendak merombak hukum Taurat atau Kitab Nabi-Nabi: bukannya Aku datang hendak
merombak, melainkan hendak menggenapinya. Karena sesungguhnya Aku berkata
kepadamu, sehingga langit bumi lenyap, satu noktah atau satu titikpun
sekali-kali tiada akan lenyap daripada hukum Taurat itu sampai semuanya telah
jadi”.
Tobing juga ditanya siapa anak sulung Nabi Ibrahim,
Ismail atau Ishak? Mereka menyodorkan ayat Kejadian 16:15, Kejadian 21:5, dan
Kejadian 22:2. “Rupanya kalangan Nasrani selalu menyebutkan bahwa Siti Hajar
bukan istri tapi gundik. Padahal ini dibantah dengan Kejadian 16:3 yang
menyebutkan bahwa Siti Hajar adalah istri sah Nabi Ibrahim AS,” tutur Tobing.
Tobing juga diajak diskusi masalah konsep Trinitas. Tuhan itu satu tapi pribadinya tiga, yaitu Tuhan
Bapak, Tuhan Putra dan Tuhan Roh Kudus. Tiga Tuhan dalam satu kesatuan; satu
Tuhan dalam tiga. Inilah yang disebut Trinitas atau Tritunggal. Sedangkan
konsep ketuhanan menurut Islam tidak mengenal Trinitas. Allah itu esa, satu,
tiada beranak, tidak diperanakkan; tidak seorang pun setara dengan-Nya.
Dalam diskusi itu, Tobing tidak
langsung mengamini apa yang diungkapkan para Kristolog itu. Sebaliknya, ia
pulang dengan hati dongkol karena merasa dipojokkan. Bambang berpesan, “Tolong
istrimu jangan dimarahi karena telah menjebak Anda untuk berdiskusi,” kata
Tobing menirukan ucapan dr. Bambang. “Tidak!” jawab Tobing menahan rasa
dongkol.
Berkah dari diskusi itu
mendorong Tobing kian penasaran. Ia lantas membuka kembali ayat-ayat Alkitab
yang disodorkan para kristolog itu. Ternyata, semua ayat itu jelas tercantum
dalam Alkitab. Seketika badannya terasa
lemas karena belum pernah mendengar ayat-ayat yang disampaikan para pendeta
dalam khotbah-khotbahnya di gereja, “Ke mana selama ini ayat-ayat tersebut,
karena saya tidak pernah mendengar sekalipun dalam khutbah-khutbah di gereja,”
ungkap Tobing setengah jengkel.
Tak heran jika belakangan iman
Tobing mulai goyah. Ia mulai meninggalkan gereja sehingga kakak-kakaknya curiga
jangan-jangan Tobing dan istrinya kembali pada agama Islam.
”Saya masih memeluk Kristen.
Kalau perlu istri saya akan saya cerai,” jawab Tobing ketika ia di ‘interogasi’
kakak-kakaknya.
Terus terang Tobing tidak suka
terhadap pertanyaan yang menyudutkan dirinya itu. Sebab, dalam adat Batak Toba,
seseorang yang sudah menikah, berhak mengurus rumah tangganya sendiri. Lagi
pula, setelah ‘mengadili’, mereka tidak mau bersilaturahim kembali.
Tidak lama setelah kejadian itu, hati Tobing
bergetar melihat perilaku istrinya. Dengan lembut Endang minta ijin hendak
salat Hari Raya Idul Adha sambil mencium dengan mesra tangan kanan Tobing.
“Melihat kejadian itu saya betul-betul terharu, sekaligus terasa indah,” ungkap
Tobing. Sebaliknya tetangga sebelah yang beragama Nasrani mendongkol mendengar
Tobing memberi ijin istrinya untuk salat Idul Adha.
Sejak itu terjadi kembali ”perang” dalam
batinnya. Tobing makin yakin akan kebenaran Islam, dan sebaliknya ia semakin
ragu akan ajaran agama yang dianutnya. Setelah beberapa bulan bergulat dalam
pencarian kebenaran, suatu hari ia sampai pada suatu titik yang sangat penting:
ingin memeluk Islam. Niat itu pun diutarakan kepada istri tercinta. Endang pun
menerima dengan rasa bahagia dan puji syukur, dengan mata berkaca-kaca.
Orangtua Endang yang dikabari menyambut dengan rasa
syukur. Mereka segera berangkat ke Jakarta. Endang sibuk mempersiapkan upacara
pengucapan dua kalimah syahadat dan pernikahan ulang. Ia kemudian menghubungi
dr. Bambang.
Tanggal 5 Juni 1994, di masjid Al-Ittihad, Tebet
Mas, Jakarta Selatan, dibawah tatapan mata puluhan jamaah salat Subuh, mertua,
dan dr. Bambang, pasangan ini mengucapkan dua
kalimah syahadat dibimbing KH Hasan Basri, mantan Ketua Majelis Ulama
Indonesia. KH. Hasan Basri memberi nama tambahan, Rakhmat kepada Tobing.
Acara dilanjutkan dengan akad
nikah kembali yang dilakukan pihak mertua. Setelah itu, ucapan selamat pun berdatangan, baik
dari mertua, sanak famili dan jemaah salat subuh. Rasa haru, lega, campur
bahagia pun, lebur jadi satu. Pasangan yang berbahagia ini pun berurai airmata.
“Dengan mengucap dua kalimah syahadat, otomatis saya
harus memberitahu kepada keluarga saya bahwa saya telah memeluk Islam. Itulah
tantangan berat yang saya harus hadapi. Pasalnya, saya pasti akan dibuang dalam
keluarga. Di samping saya merasa lega seperti air mengalir deras,” kata Tobing.
Berkat dukungan istri dan mertua yang terus-menerus,
Tobing makin teguh memeluk Islam. Dengan cepat ia bisa menghafal surat-surat
pendek dalam Al-Quran untuk bacaan salat. Tidak lama kemudian, ia sudah fasih
membaca Al-Quran dan berani menjadi imam salat dalam lingkungan keluarga.
“Sejak memeluk Islam hingga kini, saya masih mengundang ustad semingggu dua
kali belajar membaca Al-Quran,” kata Tobing.
Penyakit maag yang menerpanya ketika puasa Ramadan
pertama harus dijalani, bukan halangan baginya. Sebulan penuh ia berpuasa.
“Ternyata, penyakit maag tidak menjadi halangan untuk orang berpuasa,” kata
Tobing serius.
Sepuluh hari terakhir bulan Ramadan tahun 2000,
Tobing bersama istri menunaikan ibadah umroh karena tidak memperoleh quota
haji. “Rupanya Allah punya rencana lain. Kami bisa belajar lebih dahulu
ritual-ritual haji. Kami pun bisa menikmati secara lebih leluasa tempat-tempat
untuk ibadah haji dan makam para istri, sahabat, dan makam Nabi sendiri. Persis
seperti film The Message,” tutur Tobing, mengenang.
Pada saat tawaf
Wada, Tobing bersama istri memohon kepada Allah agar bisa dipanggil kembali
untuk menunaikan ibadah haji. Rupanya Allah yang Maha Kasih mengabulkan doa
hambanya yang berserah diri. Pada 2003, mereka melaksanakan rukun Islam yang
kelima dengan baik. “Meski pada usia perkawinan yang kesepuluh kami belum
dikaruniai anak, kami bisa melaksanakan ibadah haji dengan khusyu,” ungkap
Tobing, yang sekarang akrab dipanggil Pak Haji. Cobaan demi cobaan telah terlewati, dan itu semua
justru semakin mempertebal keimanan Pak Haji sebagai seorang muslim yang kaffah,
yang sempurna.
Domery Alpacino
Catatan: Pernah
dimuat di majalah Islam Alkisah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar