Ia mantan pendeta dan pembina mental TNI AD, mantap
memeluk Islam. Lika-liku pergulatan batin seorang mayor mencari kebenaran
hakiki.
Bentuk tubuh yang gagah, kuat, dan usia yang beranjak tua, tidak mampu
menyembunyikan kelembutan jiwanya. Begitu juga, pensiun yang cukup lama dari
Angkatan Darat, tidak melarutkan dirinya dalam pengangguran.
Kelembutan itu makin terasa
manakala ia harus bersabar menghadapi liku-liku kehidupan. Cita-citanya membuat
sebuah pendidikan Islam, memacu dirinya untuk tetap bergairah mengarungi
kehidupan. Itulah Achmad Dzulkifli Mandey, mantan pendeta, yang sejak dua puluh
tahun lalu menjadi muslim. “Saya sering menangis bila mengisahkan suka duka dalam
mencari kebenaran Islam,” tutur Bram, panggilan akrabnya sejak kecil.
Ia sering diundang ceramah untuk menceritakan pengalaman spiritualnya.
Setiap bulan ia bisa berceramah tiga-empat kali, baik disekolah, universitas,
maupun lembaga sosial. “Saya pernah berkhotbah Jumat di masjid yang cukup
besar,” tambahnya.
Bram adalah anak bungsu dari tiga bersaudara pasangan Winfried Nayoan
Mandey dan Suzanna Issabella Awuy, yang beragama Protestan. Lahir pada 12
Februari 1942 di Manado, ia diberi nama Abraham David Mandey. Masa kecil
dihabiskan di Manado dan ketika masuk SD pindah ke Makassar, karena ayahnya
diangkat sebagai pembantu gubernur Sulawesi.
Islam, menurut Bram ketika di SMP, adalah agama yang keras dan tidak
toleran terhadap agama lain. Pemahaman itu berdasar kesaksiannya di lapangan.
Para pelayat muslim menutup jalan yang dilewati bila mengadakan prosesi
pemakaman. Bila ada yang berani menerobos, pasti kena timpuk. Mikrofon masjid
untuk azan dipasang keras-keras hingga mengganggu orang lain. Ketika minta
sumbangan untuk membangun masjid, drum yang ditaruh di tengah jalan dipukul
keras sehingga mengganggu para pengguna jalan. “Saat itu saya punya kesan,
Islam adalah agama yang penuh dengan kekerasan dan tidak punya toleransi
terhadap agama lain,” tutur Bram, mengenang. Belakangan ia tahu, itu perilaku
sebagian kecil orang Islam atau kebiasaan etnis tertentu yang kurang memahami
ajaran Islam.
Keberadaannya di Jakarta bermula pada 1958 ketika mendaftar di Akademi
Penerbangan Indonesia di Curug, Tangerang, Banten, Jawa Barat, setelah
lulus SMA di Manado. Meski lulus tes, ia membatalkan niatnya menjadi
penerbang, dan masuk Sekolah Tinggi Teolologi (STT), Jakarta. Karier militer
dimulai berbekal ijazah sarjana muda STT
tiga tahun kemudian, sambil menyelesaikan studi di STT hingga menggondol gelar
sarjana (S1).
Sebagai rohaniwan, Bram ditempatkan di Dinas Pembinaan Mental TNI AD
(dahulu Pusat Rawatan Rohani). Sebagai militer, ia pernah bertugas di Batalion
Lintas Udara, Brigade Infanteri, dan Kodam XIV Hasanuddin. Saat bertugas di
Kodam Hasanuddin, ia diangkat menjadi ajudan panglima. “Saya juga berkali-kali
mengikuti operasi militer di daerah-daerah rawan dan pernah ikut pendidikan
Raiders, Baret Hijau, sehingga pengalaman saya di pasukan tempur lumayan banyak,”
kata Bram merendah.
Pada 1977 ia dikirim tugas belajar ke Royal Netherland Army Officers
Staff College, Belanda. Di sana, ia juga sempat melanjutkan studi dalam bidang
pendidikan di Utrecht Hydepark Institute, selama dua tahun. “Selain belajar di
instansi militer, saya juga memperoleh gelar master dalam bidang pendidikan,”
ujar Bram.
Mulai Goyah
Sepulang dari Belanda, Bram kembali bertugas di Dinas
Pembinaan Mental TNI AD dan tetap aktif sebagai pendeta pembantu atau pendeta
ketiga di Gereja Paulus, Jalan Imam Bonjol, Jakarta Pusat. Itu dijalani selama
13 tahun, sehingga ia sangat mengenal dan banyak melayani jemaat dalam
mengatasi masalah kehidupan, sakit, menghadapi kematian, menikahkan, hingga
tugas-tugas pembinaan lainnya.
Namun Bram, yang
kala itu sudah berumah tangga, justru tidak mampu mengatasi persoalan
kehidupannya sendiri. Ia sering berbeda pendapat secara tajam dengan istrinya.
Setiap kali berdiskusi, keduanya tak pernah bertemu dalam satu titik pemahaman.
Ia pun sering merasa kesepian. Padahal,
sepulang melayani umat ia mengharap ketenangan dan kedamaian di rumah
bersama istri dan anak.
Itulah awal mula timbulnya kegelisahan dalam diri Bram. Pertanyaan yang
selalu mengusik batinnya, “Mengapa aku tidak mampu menyelesaikan problem rumah
tangga, sementara aku sendiri dikenal sebagai pendeta yang selalu menasihati
jemaah?” Namun kegelisahan itu tidak pernah ia tampilkan kepada istri, untuk
mencegah terjadinya malapetaka yang lebih besar: perceraian. “Bertahun-tahun
saya berhasil menahannya. Bagi saya, menikah itu hanya sekali dan untuk
selamanya. Tidak ada dalam pikiran saya untuk menceraikan istri, sebab dalam
ajaran Nasrani cerai itu dilarang,” kata Bram.
Kegelisahan yang akhirnya menghantui dirinya itu memaksa Bram menemui
K.H. Kosim Nurzeha, dai kondang yang juga sahabatnya. Itu pun setelah melalui
pertimbangan yang cukup masak. Sebagai pendeta, ia merasa cukup punya nama
sehingga ia harus berhati-hati bila ingin berkonsultasi mengenai masalah agama,
apalagi dengan pemeluk agama lain.
Ternyata kekhawatiran itu bukan tanpa alasan. K.H. Kosim Nurzeha, sang
kiai asal Tegal ini, berucap, “Anda kan pendeta yang cukup punya ilmu dan
pengetahuan, mengapa harus berkonsultasi dengan saya?”
Rupanya, Kosim Nurzeha bukan satu-satunya figur tempat dia berkonsultasi.
Beberapa tokoh pun ia datangi. Dan, secara berangsur-angsur, mereka yang diajak
konsultasi memahami serta memberikan respons positif. Setiap saat, Bram bisa
berdialog dengan mereka. Selain itu, ia banyak membaca buku tentang Islam yang
pernah dipelajarinya ketika kuliah di STT dan hidup dalam lingkungan masyarakat
Islam ketika di Makassar.
Dari dialog dan membaca buku tentang Islam, ia makin menemukan kebenaran. Pada suatu
hari nuraninya membenarkan bahwa Allah
itu esa, tidak beranak, tidak diperanakkan, dan tak satu makhluk pun setara
dengan-Nya. “Ternyata, konsep ketuhanan Islam sederhana sekali dan mudah
dipahami ketimbang konsep ketuhanan yang menganut Trinitas,” pikirnya.
Selain itu, Bram juga mulai tertarik dan mengakui indahnya norma-norma
keislaman yang sangat teratur dan mendetail. Adab kehidupan yang paling kecil
pun diatur dalam Islam; mulai dari cara memotong kuku, mengenakan dan melepas
pakaian, keluar-masuk kamar kecil, mau tidur, bangun tidur, sampai dengan tata
cara dan waktu salat – semuanya serba-teratur.
Sejak itu terjadi ”perang” dalam batinnya. Bram makin yakin akan
kebenaran Islam, dan sebaliknya ia semakin ragu akan ajaran agama yang
dianutnya. Setelah dua tahun bergulat dalam pencarian kebenaran, suatu hari ia
sampai pada suatu titik yang sangat penting: ingin memeluk Islam. Tapi, ia
masih diliputi rasa khawatir. “Kalau saya memeluk Islam, apa yang harus saya
katakan kepada keluarga dan jemaat gereja? Bagaimana dengan karier saya?
Pertanyaan-pertanyaan itu membuat saya takut, kalut, bingung, dan sebagainya,”
tuturnya mengenang.
Kekalutan pikiran tersebut bisa dimaklumi, sebab Bram membina sekitar
7.000 jiwa jemaat, yang rata-rata berpendidikan tinggi. Ada pejabat pemerintah,
profesional, juga pengusaha. Saat-saat itu merupakan periode yang mahaberat
baginya.
Kalimah
Syahadat
Di penghujung dua tahun itu, ia mengambil keputusan yang tidak bisa
ditawar-tawar lagi: ingin segera memeluk Islam. Ia kemudian berdoa, mohon
petunjuk kepada Tuhan agar diberi kekuatan menghadapi cobaan dan menepis
kekhawatiran itu. “Ya Tuhan, kalau memang Engkau memilih saya masuk ke dalam
agama-Mu, kenapa saya harus khawatir. Bukankah Engkau akan memberikan jalan
terbaik kepada saya,” doa Bram berkali-kali.
Seiring dengan itu, iman Bram semakin teguh dan segala kekhawatiran pun
hilang. “Kalau akan menemukan kedamaian di dalam Islam, saya harus berani
mengambil keputusan masuk Islam sekarang juga,” tekadnya.
Dengan tekad yang makin bulat, Bram mengutarakan maksudnya itu kepada
teman-teman, termasuk Brigjen Soedjalmo (almarhum), komandan Dinas Pembinaan
Mental TNI AD. “Saya akan memeluk Islam, Pak,” Bram melapor kepada Soedjalmo.
“Kamu sudah berpikir panjang lebar?” Pak Djalmo balik bertanya. “Kamu
seorang perwira yang punya kedudukan dan fungsi amat penting. Pikirkan
masak-masak lebih dahulu, jangan asal-asalan. Dampak keputusanmu itu amat
besar! Saya bisa membayangkan dampak keputusanmu nanti seperti apa. Tapi pada
akhirnya semua keputusan ada di tanganmu sendiri.”
Setelah berdiam sejenak, Pak Djalmo menasihati, “Sebagai orang Islam,
tentu saja saya sangat senang kamu memeluk Islam. Tapi, sebagai atasanmu,
sekali lagi saya ingatkan, dampak keputusanmu amat besar. Yang pasti, kamu
harus siap menanggung segala risiko.”
“Saya siap, Pak,” jawab Bram, mantap.
Suatu hari di bulan April 1984, Bram melangkah ke Masjid
Istiqlal, Jakarta, dari rumah saudaranya di Menteng. Di masjid terbesar di Asia
Tenggara ini, ia bermaksud mengucapkan dua kalimah syahadat. Sebelum naik
mobil, ia berdoa, “Ya Tuhan, bilamana Engkau memilih saya untuk mengambil
keputusan ini, tunjukkanlah jalan itu
kepada saya.”
Alhamdulillah, sepanjang perjalanan menuju Masjid Istiqlal, ia tidak
menemui hambatan. Tapi, tepat di depan Gedung Pertamina Pusat, yang berseberangan dengan masjid, ia berhenti
sejenak. Ia berdoa lagi sekaligus memantapkan niat luhur itu, “Ya Tuhan, bila
Engkau menghendaki, saya akan menuju masjid-Mu.”
Di masjid inilah ia mengucapkan dua kalimah syahadat, dibimbing salah
seorang ketua Majelis Ulama Indonesia, dan disaksikan rekan-rekan dari Dinas
Pembinaan Mental TNI AD. Alhamdulillah, segalanya berjalan lancar.
Sembari menerima ucapan selamat, tak terasa matanya berkaca-kaca. Lega,
bahagia, campur aduk jadi satu. Rekan-rekannya mengganti nama Bram menjadi
Achmad Dzulkifli Mandey, yang berarti “Mandey yang terpuji dan memiliki
tanggung jawab”. Sebagai rasa syukur, Achmad Dzulkifli Mandey mentraktir
rekan-rekannya di sebuah restoran yang cukup besar. Pada saat itulah Soedjalmo
menghampiri, “Dengan keputusan ini, lebih baik Anda istirahat dulu di rumah,
nanti Anda lihat reaksinya.”
Surat
Kaleng
Setelah istirahat beberapa hari, benar juga, ia mendapat reaksi keras
dari jemaat Gereja Paulus. Sebagian ingin mengetahui duduk perkara yang
sebenarnya, sebagian lainnya sangat emosional. Guna menghindari hal-hal yang
tidak diinginkan, Achmad Dzulkifli Mandey diboyong keluarganya ke Menteng,
Jakarta Pusat. Kebetulan, pada bulan-bulan terakhir sebelum memeluk Islam, ia
sudah pisah ranjang dengan istri. Sang istri dan anak semata wayangnya tinggal
di Kemang bersama orangtuanya.
Teror berdatangan. Mulai dari
surat kaleng, telepon gelap, ancaman pemecatan dari dinas militer, bahkan
sampai ancaman pembunuhan. Beberapa hari setelah Bram masuk Islam, Dewan Gereja
Indonesia (sekarang Persekutuan Gereja Indonesia, PGI) mengusulkan kepada Mabes
ABRI agar Achmad Dzulkifli Mandey dipecat dengan tidak hormat. Persoalan ini
kabarnya sampai ke tangan Pangab dan Kasad. Kepala Pusat Pembinaan Mental ABRI,
Laksda TNI dr. Tarmizi Thahir, yang kelak menjadi menteri agama, banyak
membantu menyelesaikan masalah ini.
Untuk mengklarifikasi, Asisten Pengamanan Kasad, Mayjen Ari Bandioko
(almarhum), diminta memeriksa Achmad Dzulkifli Mandey. Kepada Mayjen Ari Bandioko, Dzulkifli mengaku
memeluk Islam tanpa latar belakang politik. “Sebagai orang Islam, saya bangga
Anda memeluk Islam. Tapi sebagai pejabat TNI, saya harus memeriksa Anda, karena
aturan yang ada begitu,” kata Ari Bandioko. Achmad Dzulkifli Mandey terharu
mendengar ucapan itu.
Tidak lama kemudian, ia diberhentikan dengan hormat dari TNI AD, dengan
pangkat terakhir mayor, disertai ucapan terima kasih atas pengabdiannya,
tanpa uang pensiun. “Bagi saya, apa yang
Allah berikan kepada saya jauh lebih berharga,” tuturnya.
Memulai Hidup Baru
Suatu hari seorang pensiunan perwira TNI AD menawarkan pekerjaan sebagai
manajer SDM Hotel Horison, Jakarta. Di sanalah ia kemudian bekerja. Itu terjadi
setelah enam bulan menganggur dan mengurus perceraian dengan istrinya.
Satu setengah tahun kemudian, Achmad Dzulkifli Mandey menyunting Dra.
Nasikhah, alumnus UGM, yang menjadi Kowad (Korps Wanita AD). Kini Nasikhah
masih berdinas di AD dengan pangkat letkol. Bersama Nasikhah, ia membina rumah
tangga dari nol. Seluruh hartanya, setelah memeluk Islam, ia serahkan kepada
mantan istrinya untuk menghidupi anak tunggalnya.
Bekerja di Hotel Horison hanya dijalani selama tiga tahun, kemudian
pindah ke Bank Summa hingga bank itu ditutup. Bersama keluarganya ia kini
tinggal di perumahan ASGo, Rambutan, Jakarta Timur. Pekerjaannya sekarang
menangani keamanan sebuah perusahaan besar.
Setelah berumah tangga lagi, cobaan tetap saja ada. Ia pernah difitnah
hingga istrinya hendak keluar dari dinas militer. “Tapi Allah SWT tetap sayang
kepada istri saya, sehingga dia masih aktif di sana,” tutur Achmad Dzulkifli
Mandey, yang dikaruniai seorang putri, Achnasya Marissa.
Domery
Alapacino
Catatan:
Pernah dimuat di majalah Islam Alkisah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar