Laman

Kamis, 18 November 2004

Kebahagiaan Mantan Pendeta dalam Naungan Islam

Ia mantan pendeta dan pembina mental TNI AD, mantap memeluk Islam. Lika-liku pergulatan batin seorang mayor mencari kebenaran hakiki.

Bentuk tubuh yang gagah, kuat, dan usia yang beranjak tua, tidak mampu menyembunyikan kelembutan jiwanya. Begitu juga, pensiun yang cukup lama dari Angkatan Darat, tidak melarutkan dirinya dalam pengangguran.
 Kelembutan itu makin terasa manakala ia harus bersabar menghadapi liku-liku kehidupan. Cita-citanya membuat sebuah pendidikan Islam, memacu dirinya untuk tetap bergairah mengarungi kehidupan. Itulah Achmad Dzulkifli Mandey, mantan pendeta, yang sejak dua puluh tahun lalu menjadi muslim. “Saya sering menangis bila mengisahkan suka duka dalam mencari kebenaran Islam,” tutur Bram, panggilan akrabnya sejak kecil.

Ia sering diundang ceramah untuk menceritakan pengalaman spiritualnya. Setiap bulan ia bisa berceramah tiga-empat kali, baik disekolah, universitas, maupun lembaga sosial. “Saya pernah berkhotbah Jumat di masjid yang cukup besar,” tambahnya.
Bram adalah anak bungsu dari tiga bersaudara pasangan Winfried Nayoan Mandey dan Suzanna Issabella Awuy, yang beragama Protestan. Lahir pada 12 Februari 1942 di Manado, ia diberi nama Abraham David Mandey. Masa kecil dihabiskan di Manado dan ketika masuk SD pindah ke Makassar, karena ayahnya diangkat sebagai pembantu gubernur Sulawesi.
Islam, menurut Bram ketika di SMP, adalah agama yang keras dan tidak toleran terhadap agama lain. Pemahaman itu berdasar kesaksiannya di lapangan. Para pelayat muslim menutup jalan yang dilewati bila mengadakan prosesi pemakaman. Bila ada yang berani menerobos, pasti kena timpuk. Mikrofon masjid untuk azan dipasang keras-keras hingga mengganggu orang lain. Ketika minta sumbangan untuk membangun masjid, drum yang ditaruh di tengah jalan dipukul keras sehingga mengganggu para pengguna jalan. “Saat itu saya punya kesan, Islam adalah agama yang penuh dengan kekerasan dan tidak punya toleransi terhadap agama lain,” tutur Bram, mengenang. Belakangan ia tahu, itu perilaku sebagian kecil orang Islam atau kebiasaan etnis tertentu yang kurang memahami ajaran Islam.
Keberadaannya di Jakarta bermula pada 1958 ketika mendaftar di Akademi Penerbangan Indonesia di Curug, Tangerang, Banten, Jawa Barat, setelah lulus SMA di Manado. Meski lulus tes, ia membatalkan niatnya menjadi penerbang, dan masuk Sekolah Tinggi Teolologi (STT), Jakarta. Karier militer dimulai  berbekal ijazah sarjana muda STT tiga tahun kemudian, sambil menyelesaikan studi di STT hingga menggondol gelar sarjana (S1).
Sebagai rohaniwan, Bram ditempatkan di Dinas Pembinaan Mental TNI AD (dahulu Pusat Rawatan Rohani). Sebagai militer, ia pernah bertugas di Batalion Lintas Udara, Brigade Infanteri, dan Kodam XIV Hasanuddin. Saat bertugas di Kodam Hasanuddin, ia diangkat menjadi ajudan panglima. “Saya juga berkali-kali mengikuti operasi militer di daerah-daerah rawan dan pernah ikut pendidikan Raiders, Baret Hijau, sehingga pengalaman saya di pasukan tempur lumayan banyak,” kata Bram merendah.
Pada 1977 ia dikirim tugas belajar ke Royal Netherland Army Officers Staff College, Belanda. Di sana, ia juga sempat melanjutkan studi dalam bidang pendidikan di Utrecht Hydepark Institute, selama dua tahun. “Selain belajar di instansi militer, saya juga memperoleh gelar master dalam bidang pendidikan,” ujar Bram.

Mulai Goyah
            Sepulang dari Belanda, Bram kembali bertugas di Dinas Pembinaan Mental TNI AD dan tetap aktif sebagai pendeta pembantu atau pendeta ketiga di Gereja Paulus, Jalan Imam Bonjol, Jakarta Pusat. Itu dijalani selama 13 tahun, sehingga ia sangat mengenal dan banyak melayani jemaat dalam mengatasi masalah kehidupan, sakit, menghadapi kematian, menikahkan, hingga tugas-tugas pembinaan lainnya.
Namun Bram, yang kala itu sudah berumah tangga, justru tidak mampu mengatasi persoalan kehidupannya sendiri. Ia sering berbeda pendapat secara tajam dengan istrinya. Setiap kali berdiskusi, keduanya tak pernah bertemu dalam satu titik pemahaman. Ia pun sering merasa kesepian. Padahal,  sepulang melayani umat ia mengharap ketenangan dan kedamaian di rumah bersama istri dan anak.
Itulah awal mula timbulnya kegelisahan dalam diri Bram. Pertanyaan yang selalu mengusik batinnya, “Mengapa aku tidak mampu menyelesaikan problem rumah tangga, sementara aku sendiri dikenal sebagai pendeta yang selalu menasihati jemaah?” Namun kegelisahan itu tidak pernah ia tampilkan kepada istri, untuk mencegah terjadinya malapetaka yang lebih besar: perceraian. “Bertahun-tahun saya berhasil menahannya. Bagi saya, menikah itu hanya sekali dan untuk selamanya. Tidak ada dalam pikiran saya untuk menceraikan istri, sebab dalam ajaran Nasrani cerai itu dilarang,” kata Bram.
Kegelisahan yang akhirnya menghantui dirinya itu memaksa Bram menemui K.H. Kosim Nurzeha, dai kondang yang juga sahabatnya. Itu pun setelah melalui pertimbangan yang cukup masak. Sebagai pendeta, ia merasa cukup punya nama sehingga ia harus berhati-hati bila ingin berkonsultasi mengenai masalah agama, apalagi dengan pemeluk agama lain.
Ternyata kekhawatiran itu bukan tanpa alasan. K.H. Kosim Nurzeha, sang kiai asal Tegal ini, berucap, “Anda kan pendeta yang cukup punya ilmu dan pengetahuan, mengapa harus berkonsultasi dengan saya?”
Rupanya, Kosim Nurzeha bukan satu-satunya figur tempat dia berkonsultasi. Beberapa tokoh pun ia datangi. Dan, secara berangsur-angsur, mereka yang diajak konsultasi memahami serta memberikan respons positif. Setiap saat, Bram bisa berdialog dengan mereka. Selain itu, ia banyak membaca buku tentang Islam yang pernah dipelajarinya ketika kuliah di STT dan hidup dalam lingkungan masyarakat Islam ketika di Makassar.
Dari dialog dan membaca buku tentang Islam,  ia makin menemukan kebenaran. Pada suatu hari  nuraninya membenarkan bahwa Allah itu esa, tidak beranak, tidak diperanakkan, dan tak satu makhluk pun setara dengan-Nya. “Ternyata, konsep ketuhanan Islam sederhana sekali dan mudah dipahami ketimbang konsep ketuhanan yang menganut Trinitas,” pikirnya.
Selain itu, Bram juga mulai tertarik dan mengakui indahnya norma-norma keislaman yang sangat teratur dan mendetail. Adab kehidupan yang paling kecil pun diatur dalam Islam; mulai dari cara memotong kuku, mengenakan dan melepas pakaian, keluar-masuk kamar kecil, mau tidur, bangun tidur, sampai dengan tata cara dan waktu salat – semuanya serba-teratur.
Sejak itu terjadi ”perang” dalam batinnya. Bram makin yakin akan kebenaran Islam, dan sebaliknya ia semakin ragu akan ajaran agama yang dianutnya. Setelah dua tahun bergulat dalam pencarian kebenaran, suatu hari ia sampai pada suatu titik yang sangat penting: ingin memeluk Islam. Tapi, ia masih diliputi rasa khawatir. “Kalau saya memeluk Islam, apa yang harus saya katakan kepada keluarga dan jemaat gereja? Bagaimana dengan karier saya? Pertanyaan-pertanyaan itu membuat saya takut, kalut, bingung, dan sebagainya,” tuturnya mengenang.
Kekalutan pikiran tersebut bisa dimaklumi, sebab Bram membina sekitar 7.000 jiwa jemaat, yang rata-rata berpendidikan tinggi. Ada pejabat pemerintah, profesional, juga pengusaha. Saat-saat itu merupakan periode yang mahaberat baginya.

Kalimah Syahadat
Di penghujung dua tahun itu, ia mengambil keputusan yang tidak bisa ditawar-tawar lagi: ingin segera memeluk Islam. Ia kemudian berdoa, mohon petunjuk kepada Tuhan agar diberi kekuatan menghadapi cobaan dan menepis kekhawatiran itu. “Ya Tuhan, kalau memang Engkau memilih saya masuk ke dalam agama-Mu, kenapa saya harus khawatir. Bukankah Engkau akan memberikan jalan terbaik kepada saya,” doa Bram berkali-kali.
Seiring dengan itu, iman Bram semakin teguh dan segala kekhawatiran pun hilang. “Kalau akan menemukan kedamaian di dalam Islam, saya harus berani mengambil keputusan masuk Islam sekarang juga,” tekadnya.
Dengan tekad yang makin bulat, Bram mengutarakan maksudnya itu kepada teman-teman, termasuk Brigjen Soedjalmo (almarhum), komandan Dinas Pembinaan Mental TNI AD. “Saya akan memeluk Islam, Pak,” Bram melapor kepada Soedjalmo.
“Kamu sudah berpikir panjang lebar?” Pak Djalmo balik bertanya. “Kamu seorang perwira yang punya kedudukan dan fungsi amat penting. Pikirkan masak-masak lebih dahulu, jangan asal-asalan. Dampak keputusanmu itu amat besar! Saya bisa membayangkan dampak keputusanmu nanti seperti apa. Tapi pada akhirnya semua keputusan ada di tanganmu sendiri.”
Setelah berdiam sejenak, Pak Djalmo menasihati, “Sebagai orang Islam, tentu saja saya sangat senang kamu memeluk Islam. Tapi, sebagai atasanmu, sekali lagi saya ingatkan, dampak keputusanmu amat besar. Yang pasti, kamu harus siap menanggung segala risiko.”
“Saya siap, Pak,” jawab Bram, mantap.
            Suatu hari di bulan April 1984, Bram melangkah ke Masjid Istiqlal, Jakarta, dari rumah saudaranya di Menteng. Di masjid terbesar di Asia Tenggara ini, ia bermaksud mengucapkan dua kalimah syahadat. Sebelum naik mobil, ia berdoa, “Ya Tuhan, bilamana Engkau memilih saya untuk mengambil keputusan ini,  tunjukkanlah jalan itu kepada saya.” 
Alhamdulillah, sepanjang perjalanan menuju Masjid Istiqlal, ia tidak menemui hambatan. Tapi, tepat di depan Gedung Pertamina Pusat, yang  berseberangan dengan masjid, ia berhenti sejenak. Ia berdoa lagi sekaligus memantapkan niat luhur itu, “Ya Tuhan, bila Engkau menghendaki, saya akan menuju masjid-Mu.”
Di masjid inilah ia mengucapkan dua kalimah syahadat, dibimbing salah seorang ketua Majelis Ulama Indonesia, dan disaksikan rekan-rekan dari Dinas Pembinaan Mental TNI AD. Alhamdulillah, segalanya berjalan lancar.
Sembari menerima ucapan selamat, tak terasa matanya berkaca-kaca. Lega, bahagia, campur aduk jadi satu. Rekan-rekannya mengganti nama Bram menjadi Achmad Dzulkifli Mandey, yang berarti “Mandey yang terpuji dan memiliki tanggung jawab”. Sebagai rasa syukur, Achmad Dzulkifli Mandey mentraktir rekan-rekannya di sebuah restoran yang cukup besar. Pada saat itulah Soedjalmo menghampiri, “Dengan keputusan ini, lebih baik Anda istirahat dulu di rumah, nanti Anda lihat reaksinya.”

Surat Kaleng
Setelah istirahat beberapa hari, benar juga, ia mendapat reaksi keras dari jemaat Gereja Paulus. Sebagian ingin mengetahui duduk perkara yang sebenarnya, sebagian lainnya sangat emosional. Guna menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, Achmad Dzulkifli Mandey diboyong keluarganya ke Menteng, Jakarta Pusat. Kebetulan, pada bulan-bulan terakhir sebelum memeluk Islam, ia sudah pisah ranjang dengan istri. Sang istri dan anak semata wayangnya tinggal di Kemang bersama orangtuanya.
 Teror berdatangan. Mulai dari surat kaleng, telepon gelap, ancaman pemecatan dari dinas militer, bahkan sampai ancaman pembunuhan. Beberapa hari setelah Bram masuk Islam, Dewan Gereja Indonesia (sekarang Persekutuan Gereja Indonesia, PGI) mengusulkan kepada Mabes ABRI agar Achmad Dzulkifli Mandey dipecat dengan tidak hormat. Persoalan ini kabarnya sampai ke tangan Pangab dan Kasad. Kepala Pusat Pembinaan Mental ABRI, Laksda TNI dr. Tarmizi Thahir, yang kelak menjadi menteri agama, banyak membantu menyelesaikan masalah ini.
Untuk mengklarifikasi, Asisten Pengamanan Kasad, Mayjen Ari Bandioko (almarhum), diminta memeriksa Achmad Dzulkifli Mandey. Kepada  Mayjen Ari Bandioko, Dzulkifli mengaku memeluk Islam tanpa latar belakang politik. “Sebagai orang Islam, saya bangga Anda memeluk Islam. Tapi sebagai pejabat TNI, saya harus memeriksa Anda, karena aturan yang ada begitu,” kata Ari Bandioko. Achmad Dzulkifli Mandey terharu mendengar ucapan itu.
Tidak lama kemudian, ia diberhentikan dengan hormat dari TNI AD, dengan pangkat terakhir mayor, disertai ucapan terima kasih atas pengabdiannya, tanpa  uang pensiun. “Bagi saya, apa yang Allah berikan kepada saya jauh lebih berharga,” tuturnya.

Memulai Hidup Baru
Suatu hari seorang pensiunan perwira TNI AD menawarkan pekerjaan sebagai manajer SDM Hotel Horison, Jakarta. Di sanalah ia kemudian bekerja. Itu terjadi setelah enam bulan menganggur dan mengurus perceraian dengan istrinya.
Satu setengah tahun kemudian, Achmad Dzulkifli Mandey menyunting Dra. Nasikhah, alumnus UGM, yang menjadi Kowad (Korps Wanita AD). Kini Nasikhah masih berdinas di AD dengan pangkat letkol. Bersama Nasikhah, ia membina rumah tangga dari nol. Seluruh hartanya, setelah memeluk Islam, ia serahkan kepada mantan istrinya untuk menghidupi anak tunggalnya.
Bekerja di Hotel Horison hanya dijalani selama tiga tahun, kemudian pindah ke Bank Summa hingga bank itu ditutup. Bersama keluarganya ia kini tinggal di perumahan ASGo, Rambutan, Jakarta Timur. Pekerjaannya sekarang menangani keamanan sebuah perusahaan besar.
Setelah berumah tangga lagi, cobaan tetap saja ada. Ia pernah difitnah hingga istrinya hendak keluar dari dinas militer. “Tapi Allah SWT tetap sayang kepada istri saya, sehingga dia masih aktif di sana,” tutur Achmad Dzulkifli Mandey, yang dikaruniai seorang putri, Achnasya Marissa.  

Domery Alapacino
Catatan: Pernah dimuat di majalah Islam Alkisah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar