Laman

Sabtu, 13 Januari 2007

Sulitnya Mengatasi Food Supplement

Ternyata, soal pengawasan food supplement (FS), Badan Pengawasan Obat dan Makanan (POM) bukan satu-satunya yang harus bertanggung jawab. Tapi, juga produsen itu sendiri - selain masyarakat luas bila telah beredar di pasar, yang diwakili misalnya YLKI dan YPKKI. Produsen harus melakukan serangkaian pengawasan, dari mulai bahan baku sampai ke proses produksinya. Dari produk akhir hingga dilepas ke masyarakat, mereka harus mempunyai sistem internal kontrol.

Di AS sendiri, setengah pengawasan diserahkan kepada publik. FDA yang begitu sophisticated technology, juga mengalami kesulitan dalam soal mengatasi FS ini, apalagi di Indonesia. "Pasalnya, baik di AS maupun Indonesia FS tergolong low risk dalam hal safety karena penggunaan bahan-bahannya relatif terbatas. Yang herbal juga tidak terlalu berisiko," ujar Kepala Badan POM, Drs. H. Sampurno, MBA.


www.psiram.com
Meski begitu, Badan POM tetap melakukan pengawasan secara ketat. Pengawasan itu meliputi pengawasan brand marketing dan post marketing. Brand marketing artinya, sebelum beredar harus dievaluasi dulu soal keamanan dan kemanfaatannya. Juga evaluasi bagaimana pelabelan information safety-nya. Persyaratannya sendiri tidak ada diskriminasi, baik itu produk dalam negeri maupun luar. Malah untuk FS asing, produk itu harus ada surat penunjukan dari negara asal, health certificate. Juga, apa komposisi, spesifikasi dan bagaimana analisis dari produknya.

Bila memang sudah memenuhi syarat, maka dikeluarkanlah nomor MK (makanan/minuman produk luar negeri), yaitu BML dan BMDL karena FS adalah perbatasan antara produk makanan dan obat tradisional atau obat.

Masalahnya, Badan POM sampai saat ini masih mengalami kesulitan mengawasi FS yang beredar lewat multi level marketing (MLM) dengan informasi yang berlebihan meski beberapa FS yang dipasarkan MLM ada yang mendapat persetujuan dulu dari Badan POM.

Bila tidak melalui Badan POM berarti ilegal. "Makanya, bagaimana harus ada yang melakukan community of environment, yaitu memberikan pendidikan kepada masyarakat. Jadi, jangan sampai tergoda dengan informasi produk yang berlebihan," tutur Sampurno.

bonfirehealth.com
Pendek kata, lanjut Sampurno, sepanjang FS memenuhi sekurang-kurangnya tiga aspek, yaitu hukum, keamanan, dan kemanfaatan, maka produk itu legal. "Bila belum, lantas masyarakat membeli FS dan terjadi sesuatu, maka konsumen tidak bisa komplain ke Badan POM," tegas Sampurno.

Badan POM sendiri pemah kecolongan, khususnya dari sisi iklan. Dalam surveinya pada 2001 lalu, badan ini menemui beberapa pelanggaran yang dilakukan beberapa produsen FS. Dengan sistem acak yang dilakukan di seluruh Indonesia, dari 46 produk yang diperiksa lewat media cetak, hanya ditemui 14 yang memenuhi syarat. Sebaliknya terdapat delapan produk tidak terdaftar, 12 belum mendapat persetujuan, tiga mencantumkan testimoni (kesaksian), sembilan memakai profesi kesehatan.

Sementara, dari 27 iklan yang ditampilkan layar kaca, 22 iklan memenuhi syarat. Sedangkan dua produk tidak sesuai dengan yang disetujui dan empat belum mendapat persetujuan Badan POM. Dari seabreg iklan FS yang ada di radio seluruh Indonesia, Badan POM secara acak mengambil satu buah sample.

Ternyata, satu produk sample tersebut belum mendapat persetujuan Badan POM. Juga, dari 33 jenis iklan brosur yang tersebar di masyarakat, Badan POM mengambil 33 sample. Ternyata, hanya dijumpai 13 buah memenuhi syarat. Selebihnya, enam tidak sesuai dengan yang disetujui Badan POM, satu belum mendapat persetujuan dan vulgar, dan 13 belum mendapat persetujuan Badan POM.

Badan POM lantas menghentikan penyiaran atau tayangan produk-produk iklan yang melanggar tersebut, sekaligus memperingati secara keras. Ada pula yang dibina untuk didaftar. Iklan Irex, misalnya, yang mengklaim untuk membantu kesehatan dan stamina, pernah dibekukan sementara iklannya di televisi selama tiga bulan dan mendapat peringatan keras. "Kalau produk-produk iklan FS yang sudah diperingati tetap membandel, Badan POM akan membekukan nomor registrasinya," tegas Sampurno.

Tapi, lanjut Sampurno, posisi Badan POM harus tetap adil. Pada saat-saat tertentu, Badan ini harus konsisten melindungi konsumen. Di sisi lain, Badan POM harus fair terhadap industri. "Jadi, tidak harus dikotomikan, dihadapkan frontal antara kepentingan melindungi konsumen dan produsen. Justru meningkatkan kesadaran konsumen, itu bagian yang sangat penting bagi peningkatan pembangunan industri ke depan," kata Sampurno.

Bila industri sendiri tidak bisa melindungi konsumennya, dipastikan industri itu tidak punya hak untuk hidup di masa depan. Maka, kepuasan konsumen itu harus menjadi prioritas dari industri itu sendiri.

Domery Alpacino
Catatan: Pernah dimuat di majalah HealthNews 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar