Ternyata,
soal pengawasan food supplement (FS), Badan Pengawasan Obat dan Makanan (POM)
bukan satu-satunya yang harus bertanggung jawab. Tapi, juga produsen itu
sendiri - selain masyarakat luas bila telah beredar di pasar, yang diwakili
misalnya YLKI dan YPKKI. Produsen harus melakukan serangkaian pengawasan, dari
mulai bahan baku sampai ke proses produksinya. Dari produk akhir hingga dilepas
ke masyarakat, mereka harus mempunyai sistem internal kontrol.
Di AS
sendiri, setengah pengawasan diserahkan kepada publik. FDA yang begitu sophisticated technology, juga mengalami
kesulitan dalam soal mengatasi FS ini, apalagi di Indonesia. "Pasalnya,
baik di AS maupun Indonesia FS tergolong low
risk dalam hal safety karena
penggunaan bahan-bahannya relatif terbatas. Yang herbal juga tidak terlalu
berisiko," ujar Kepala Badan POM, Drs. H. Sampurno, MBA.
![]() |
www.psiram.com |
Meski
begitu, Badan POM tetap melakukan pengawasan secara ketat. Pengawasan itu
meliputi pengawasan brand marketing
dan post marketing. Brand marketing artinya, sebelum beredar
harus dievaluasi dulu soal keamanan dan kemanfaatannya. Juga evaluasi bagaimana
pelabelan information safety-nya.
Persyaratannya sendiri tidak ada diskriminasi, baik itu produk dalam negeri maupun
luar. Malah untuk FS asing, produk itu harus ada surat penunjukan dari negara
asal, health certificate. Juga, apa
komposisi, spesifikasi dan bagaimana analisis dari produknya.
Bila memang
sudah memenuhi syarat, maka dikeluarkanlah nomor MK (makanan/minuman produk
luar negeri), yaitu BML dan BMDL karena FS adalah perbatasan antara produk
makanan dan obat tradisional atau obat.
Masalahnya,
Badan POM sampai saat ini masih mengalami kesulitan mengawasi FS yang beredar
lewat multi level marketing (MLM) dengan
informasi yang berlebihan meski beberapa FS yang dipasarkan MLM ada yang
mendapat persetujuan dulu dari Badan POM.
Bila tidak
melalui Badan POM berarti ilegal. "Makanya, bagaimana harus ada yang
melakukan community of environment,
yaitu memberikan pendidikan kepada masyarakat. Jadi, jangan sampai tergoda
dengan informasi produk yang berlebihan," tutur Sampurno.
bonfirehealth.com |
Pendek kata,
lanjut Sampurno, sepanjang FS memenuhi sekurang-kurangnya tiga aspek, yaitu
hukum, keamanan, dan kemanfaatan, maka produk itu legal. "Bila belum,
lantas masyarakat membeli FS dan terjadi sesuatu, maka konsumen tidak bisa
komplain ke Badan POM," tegas Sampurno.
Badan POM
sendiri pemah kecolongan, khususnya dari sisi iklan. Dalam surveinya pada 2001
lalu, badan ini menemui beberapa pelanggaran yang dilakukan beberapa produsen
FS. Dengan sistem acak yang dilakukan di seluruh Indonesia, dari 46 produk yang
diperiksa lewat media cetak, hanya ditemui 14 yang memenuhi syarat. Sebaliknya
terdapat delapan produk tidak terdaftar, 12 belum mendapat persetujuan, tiga
mencantumkan testimoni (kesaksian), sembilan memakai profesi kesehatan.
Sementara,
dari 27 iklan yang ditampilkan layar kaca, 22 iklan memenuhi syarat. Sedangkan
dua produk tidak sesuai dengan yang disetujui dan empat belum mendapat
persetujuan Badan POM. Dari seabreg iklan FS yang ada di radio seluruh
Indonesia, Badan POM secara acak mengambil satu buah sample.
Ternyata,
satu produk sample tersebut belum mendapat persetujuan Badan POM. Juga, dari 33
jenis iklan brosur yang tersebar di masyarakat, Badan POM mengambil 33 sample.
Ternyata, hanya dijumpai 13 buah memenuhi syarat. Selebihnya, enam tidak sesuai
dengan yang disetujui Badan POM, satu belum mendapat persetujuan dan vulgar,
dan 13 belum mendapat persetujuan Badan POM.
Badan POM
lantas menghentikan penyiaran atau tayangan produk-produk iklan yang melanggar
tersebut, sekaligus memperingati secara keras. Ada pula yang dibina untuk
didaftar. Iklan Irex, misalnya, yang mengklaim untuk membantu kesehatan dan
stamina, pernah dibekukan sementara iklannya di televisi selama tiga bulan dan
mendapat peringatan keras. "Kalau produk-produk iklan FS yang sudah
diperingati tetap membandel, Badan POM akan membekukan nomor
registrasinya," tegas Sampurno.
Tapi, lanjut
Sampurno, posisi Badan POM harus tetap adil. Pada saat-saat tertentu, Badan ini
harus konsisten melindungi konsumen. Di sisi lain, Badan POM harus fair
terhadap industri. "Jadi, tidak harus dikotomikan, dihadapkan frontal
antara kepentingan melindungi konsumen dan produsen. Justru meningkatkan kesadaran
konsumen, itu bagian yang sangat penting bagi peningkatan pembangunan industri
ke depan," kata Sampurno.
Bila
industri sendiri tidak bisa melindungi konsumennya, dipastikan industri itu
tidak punya hak untuk hidup di masa depan. Maka, kepuasan konsumen itu harus
menjadi prioritas dari industri itu sendiri.
Domery
Alpacino
Catatan:
Pernah dimuat di majalah HealthNews 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar