Laman

Jumat, 21 Oktober 2005

Hidayah karena Ceramah Habib Alwi Jamalulail


Karena sering mendengar ceramah Habib Alwi Jamalulail, ia memeluk Islam. Kini ia aktif sebagai juru dakwah dan memberikan terapi spiritual. 
rasajakarta.wordpress.com
Kehadiran Muhammad Tan Gunawan Arief di Masjid Al-Amin, Glodok Plaza, Jakarta Barat, dua atau tiga hari sekali, tidak lain untuk mengimami salat fardu, memberikan tausiah “tujuh menit”, di samping membuka praktik terapi spiritual. 

Gunawan, 54 tahun, pria keturunan Cina yang memeluk Islam sejak 33 tahun lalu, berharap, Masjid Al-Amin milik Bukopin itu bisa diwakafkan keseluruhannya kepada umat. Masalahnya, jemaahnya cukup padat, sepadat pedagang keturunan Cina non-muslim di kompleks pertokoan itu.

Tak mengherankan bila, untuk urusan terapi, pasiennya terdiri dari semua lapisan masyarakat, baik pri maupun nonpri, muslim maupun nonmuslim. Tapi, kebanyakan dari golongan menengah ke atas. “Mereka sering memanggil saya ke rumah untuk terapi spiritual. Umumnya, mereka pasien yang ‘gelap hati’ dan psikosomatik – sakit kejiwaaan yang menyebabkan gangguan fisik. Mereka sebenarnya menderita batin, karena itu perlu siraman rohani. Dan, saya berusaha membangkitkan kembali energi mereka,” tutur Gunawan, yang mengaku pernah menjadi pelatih kungfu (Garuda Putih) di KONI Pusat dan Gelanggang Remaja Senen, Jakarta Pusat, pada 1970-an, namun kini hanya sebagai asisten pelatih.

Dalam berpraktik, Gunawan sering memberikan terapi mawar. Ia meneteskan minyak mawar pada titik shenwen, yaitu titik yang biasa digunakan untuk mengenakan tindik di telinga kanan. Setelah diteteskan, minyak mawar itu akan menyebar ke 51 titik saraf di seluruh tubuh hingga aromanya “masuk” ke dalam jiwa. 

Sebelum meneteskan minyak mawar kepada pasien, Gunawan membaca taawud, bismillah, ayat Kursi, surah Al-Fatihah, An-Nas, dan Al-Alaq, berulang kali. “Bersama doa itu, insya Allah ada energi yang masuk ke dalam jiwa pasien. Bacaan ini harus keluar dari energi saya dan pasien secara total. Karena itu, pasien diusahakan bisa membaca doa ini bersama-sama. Bila fisiknya lemah, minimal ia pasang telinga,” urai Gunawan.

“Semua orang bisa menerapkan pengobatan ini. Doa-doa ini bisa membangkitkan kekuatan dari dalam jiwa si pasien,” kata Gunawan.

Soal imbalan, Gunawan tidak pernah memasang tarif. Haram baginya menarik imbalan dari pasien. “Janganlah kamu menjual ayat-ayat Allah untuk tujuan tertentu,” kata Gunawan, yang membuka pintu selama 24 jam.

Gunawan juga membuka praktik feng shui dan fisiognomi (ilmu wajah) yang Islami. Ia mendalami dua pengetahuan asal Cina itu dari sejumlah buku, selain mendapat warisan dari neneknya yang pendeta Buddha. “Feng shui yang Islami ada dalam surah 13 atau surah Ar-Ra’d (Guruh), tinggal bagaimana kita menggunakan feng shui itu. Kalau yang mengemas bagus, sangat bermanfaat. Dan, ini bukan takhayul,” ujar Gunawan.

Selain menyibukkan diri dalam dua kegiatan itu, Gunawan juga sering berkhotbah Jumat dari satu kampung ke kampung lain, dari satu kota ke kota lain. Sejak lima tahun terakhir, setiap minggu ketiga, ia memberikan ceramah menjelang zuhur di Masjid Lautze di Jalan Lautze, Jakarta Pusat. Dakwahnya yang menyejukkan itu, banyak diminati masyarakat keturunan Cina muslim.

Keturunan Pertama

media.isnet.org
Gunawan lahir pada 3 Februari 1951 di Jakarta, dari sepasang suami-istri berdarah Tionghoa, Tan Hong Ho dan Tjoa Sioe Lim, keturunan pertama perantau asal Cina Daratan. Kakek-neneknya dari garis ayah adalah orang paling kaya di sebuah provinsi di Cina Daratan.
Anak sulung dari lima bersaudara ini diberi nama Tan Soei Hok, yang berarti air mengalir yang mendapat hidayah. 

Sejak kecil ia dididik dalam keluarga pemeluk Konghucu dan Buddha yang taat. Konghucu yang dianut orangtuanya lebih sebagai pandangan hidup, sikap, dan cara berpikir. “Orangtua saya mendidik anak-anaknya penuh dengan kelembutan tapi tegas. “Alhamdulillah, dalam keluarga saya tidak ada kekerasan,” tuturnya.

Sejak kecil hingga menjelang SD, Hok suka membantu ibunya membuat patung-patung lilin untuk sesembahan. Di saat itulah ia sering menyelipkan telur ayam mentah pada salah satu patung terbesar. Ia, dengan perantaraan jin, meminta sebuah ilmu pengobatan kepada patung itu. Hasilnya, Hok kecil mampu mengobati orang dengan perantara telur.

Sejak kelas dua SD, Hok tinggal bersama neneknya, Kho An Nio, di sebuah vihara di Jakarta Barat. Tiga tahun kemudian, ayahnya meninggal, ia menjadi yatim. Sejak itu, setiap pagi dan sore ia harus membersihkan semua patung yang ada dalam vihara tersebut. Selepas itu ia belajar kungfu hingga berhasil menguasai segenap jurus kungfu dan tenaga dalam.

Ketika di SMP, pikiran dan jiwa Hok mulai terbelah. Di sekolah ia mendapat pelajaran agama Katolik dan harus mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-sehari. Tapi, dalam lingkungan keluarga ia mesti menyembah patung-patung Buddha. Diakui, ia lebih condong ke Katolik, dan menjadi aktivis remaja Katolik. 

Saat SMA, dalam usahanya mencari kepuasan batin, Hok pergi ke Batu, Malang, Jawa Timur, menuntut ilmu agama di sebuah sekolah teologi. Itu dilakukan tiap Jumat sampai Minggu, ia baru kembali ke Jakarta Senin pagi. Ini berlangsung selama enam bulan. Ilmu yang didapat di Malang itu kemudian dibandingkan dengan ajaran Kristen di sebuah gereja Pantekosta.

Rupanya, Panteksosta sangat berpengaruh baginya, sehingga ia menjadi aktivis pemuda Panteskosta, dan sempat menghancurkan beberapa patung yang ia sembah. “Sebab aliran Pantekosta tidak memperbolehkan kita menyembah patung,” kata Hok. 

Seiring dengan itu, Hok juga aktif belajar silat Cimande, Cikalong, dan Bodi Suci di beberapa padepokan pencak silat di Jakarta. Agaknya, inilah jalan menuju Islam bagi Hok. Masalahnya, petuah-petuah dari para guru silatnya umumnya bersumber dari Al-Quran dan hadis. Selain itu ia juga harus puasa mutih, puasa Senin-Kamis, dan wudu sebelum bersilat.

Tiap Senin Malam

berandamadina.wordpress.com
Langkahnya menuju Islam semakin dekat ketika ia sering mendengarkan ceramah agama Habib Alwi Jamalulail pada tiap Senin malam di rumahnya yang berdekatan dengan sebuah masjid di Jalan Industri, Glodok, Jakarta Barat. Ketika itu ia sudah tidak sendirian lagi. Istrinya, Margie Antonio Giroe, yang dinikahinya saat ia berumur 18 tahun, sedang hamil delapan bulan.
Dalam salah satu ceramahnya, Habib Alwi mengupas surah Ali Imran ayat 19, yang artinya, “Sesungguhnya agama (yang diridai) di sisi Allah hanyalah Islam…” Sang Habib menegaskan, mereka yang tidak beragama Islam adalah kafir, dan akan diazab oleh Allah di neraka.
Saat mendengar itu, entah kenapa Hok merinding dan tubuhnya gemetar. Dan sejak itu, ia semakin gelisah.

Seminggu kemudian, tanpa sebab yang jelas, Hok terkulai lemas di tempat tidur. Ia merasa, rohnya seperti dicabut Malaikat Izrail. Tenggorokannya setengah tercekik dan sangat sakit. 
Doa minta selamat ala Katolik yang diucapkannya tak membuahkan apa-apa, tenggorokannya bahkan terasa semakin sakit luar biasa. Namun, entah bagaimana, mulutnya mampu mengucapkan dua kalimah syahadat dan zikir berulang-ulang. “Mungkin, karena saya sering mendengar syahadat dan zikir dari ceramah Habib Alwi,” ungkap Hok. 

Sejurus kemudian, ia merasa didatangi dua makhluk tinggi besar berjubah putih dengan wajah bersinar. “Minumlah air putih ini. Insya Allah, kamu akan tenang dan mendapat hidayah,” kata Hok menirukan ucapan makhluk tersebut. Setelah minum, kedua makhluk itu raib. Di bawah sadar ia melanjutkan zikirnya ribuan kali. 

Melihat suaminya terkapar, istri Hok memanggil tetangga dan seorang kiai. Pak kiai membacakan doa dan memercikkan segelas air putih ke wajah Hok. Ketika sadar, ia merasa, pikirannya plong. “Mungkin karena saya baru selesai zikir berpanjang-panjang,” ungkap Hok. Zikirnya memang berlangsung selama tiga jam.  

Kejadian itu kemudian diceritakan kepada salah seorang guru silatnya, Bang Musa. “Berarti kamu mendapat petunjuk dari Allah agar segera memeluk Islam. Kalau sudah mendapat petunjuk dan tidak ada yang memaksa, sebaiknya segera mengucapkan dua kalimah syahadat,” tutur Musa.

“Saya siap memeluk Islam,” jawab Hok.

 “Tapi, kamu harus dikhitan dulu,” tambah Musa.

Maka ia minta Bang Musa dan K.H. Abdul Mukhi, seorang guru agama, memberikan gambaran tentang Islam sehingga ia yakin dan mengikuti anjuran untuk khitan. Istrinya dapat memahami, karena Hok mengaku hanya untuk alasan kesehatan. 

Padepokan Pencak Silat

hanifah-art.blogspot.com
Kampung Rawa Selatan, Depok, Bogor, akhirnya menjadi tempat Hok mengucapkan dua kalimah syahadat pada tahun 1972. Bang Musa, yang membimbing pengislaman Hok, memberi nama Muhammad Tan Gunawan Arif, yang berarti seorang terpuji, berguna, lagi arif. Peristiwa itu disaksikan K.H. Abdul Mukhi dan puluhan murid padepokan pencak silat Bang Musa.

Sejauh itu ia tetap tidak terbuka kepada istrinya. Namun karena tekadnya untuk menyesuaikan ucapan dan perbuatan, dengan hati-hati dan lembut ia pun mengajak istrinya masuk ke dalam agama keselamatan ini. 

“Ma, Papa sudah dikhitan, kan? Artinya, Papa telah memeluk Islam,” tutur Gunawan lembut.
“Jadi, Papa sudah masuk Islam?” tanya istri Hok, kaget dan sempat lama terdiam.
Di saat istri terdiam, Hok memecah kesunyian. “Jadi, Mama mau ikut Papa, kan? Kalau ingin dapat Islam, ikut Papa. Tapi kalau tidak mau dapat Islam, tidak ikut Papa. Mau kan Mama memeluk Islam?” ajak Gunawan, lagi-lagi penuh kelembutan. Ia tidak ingin memaksakan kehendak dan melukai jiwa istri, yang sedang hamil tua.

Tanpa disangka, istri Hok mengangguk. Kemudian, ia memeluk suaminya erat-erat. Tanpa menunda, bersama istri, Hok pergi ke Masjid Istiqlal, Jakarta. Di masjid terbesar di Asia Tenggara ini, dengan dibimbing Bang Musa, Hok dan istri mengucapkan dua kalimah syahadat, disaksikan puluhan jemaah masjid. Nama sang istri kemudian diganti dengan Siti Maryam. Dan setelah memeluk Islam, suami-istri ini melakukan pernikahan ulang di Departemen Agama, Jakarta Barat.

Mereka kemudian mengunjungi dan berguru kepada ulama-ulama terkenal, seperti K.H. Sukri Ghozali, Buya Hamka, Habib Alwi Jamalulail, Habib Hasan Alaydrus, K.H. Mohamamad Natsir, dan K.H. Gofar Ismail. Saat berguru kepada Habib Alwi, ia sering membawakan tasnya. “Saya menjadi dekat dengan Habib Alwi,” tuturnya. 

Saat kali pertama bertemu ulama-ulama itu, pasangan ini selalu berbaiat dengan mengucapkan dua kalimah syahadat. “Bukan berarti saya ingin mengulang-ulang mengucapkan dua kalimah syahadat sebagai tanda memeluk Islam. Saya ingin, keislaman saya disaksikan para ulama ternama itu,” kata Gunawan merendah.

Dua tiga ayat selalu dihafalnya setiap hari. Tidak mengherankan, dalam waktu beberapa bulan, Gunawan mampu membaca dan menghafal Al-Quran dengan tajdwid terpelihara. “Saya merasa bersyukur, Allah memberikan kelebihan untuk bisa menghafal Al-Quran,” kata Gunawan. Kelak ia sempat memberi pelajaran studi format Al-Quran kepada beberapa santri di rumahnya selama dua tahun. Bahkan, baru seminggu memeluk Islam, ia sudah mendirikan majelis zikir Wali Sanga di rumahnya.

Namun, keislamannya harus dibayar mahal. Beberapa bulan setelah memeluk Islam, ia diberhentikan dari pekerjaannya sebagai staf keuangan, yang notabene milik pamannya sendiri.

Pamannya tidak mau Gunawan sering meninggalkan kerjanya untuk salat. Menurut si paman, Islam adalah agama kaum pribumi dan agama kekerasan. “Kamu hanya boleh salat seminggu sekali pada hari Jumat, jangan setiap saat,” kata pamannya. “Nanti, bagaimana kamu cari duit? Lihat saja, kalau nekat terus, kamu akan jadi miskin dan jembel.” Gunawan hanya bisa menangis dalam hati.

Merasa tindakan si paman sudah keterlaluan, Gunawan pun bereaksi. “Kalau soal keyakinan itu, lakum dinukum waliyaddin, untukmu agamamu, dan untukku agamaku. Digaji berapa juta pun, kalau disuruh seperti itu, saya tidak mau. Sampai hari ini saya tetap memeluk Islam. Sudahlah, Encek jangan menghina dan membujuk saya,” kata Gunawan tegas.

“Kalau begitu, mulai besok kamu tidak usah ke kantor saya lagi,” kata si paman. Sejak itu, Gunawan mencurahkan minatnya pada peningkatan keimanan. Tahun 1979, ibunya, Tjoa Sioe Lim, sakit keras dan minta agar anaknya mau mendoakan kesembuhan dirinya. “Doakan Mama ya?” pinta sang ibu.

Ia minta, ibunya, yang nonmuslim, mengikuti lafaz Astaghfirullahal Adzim dan Lailaha illallah, Muhammadar Rasulullah. “Beliau sangat fasih mengucapkan lafaz-lafaz itu, padahal sebelumnya belum pernah mengucapkannya,” kata Gunawan.

Rupanya, doa itu merupakan permintaan terakhir sang ibu. Esoknya beliau meninggal setelah sebelumnya dirawat di Unit Gawat Darurat sebuah rumah sakit di Jakarta. Jenazahnya dimakamkan di Kuburan Karet Bivak, Jakarta Pusat. Di sanalah, di antara jajaran ratusan nisan, satu nisan tertancap dengan nama Tionghoa: Tjoa Sioe Lim.
“Saya kuburkan beliau secara Islam, karena Mama sudah mengucapkan kalimah syahadat dengan fasih, meski lirih. Jenazahnya saya salatkan di masjid,” kata Gunawan.

Domery Alpacino
Catatan: Pernah dimuat di majalah Islam Alkisah

2 komentar: