Karena sering mendengar ceramah Habib Alwi Jamalulail, ia memeluk Islam.
Kini ia aktif sebagai juru dakwah dan memberikan terapi spiritual.
![]() |
rasajakarta.wordpress.com |
Gunawan, 54 tahun, pria
keturunan Cina yang memeluk Islam sejak 33 tahun lalu, berharap, Masjid Al-Amin
milik Bukopin itu bisa diwakafkan keseluruhannya kepada umat. Masalahnya,
jemaahnya cukup padat, sepadat pedagang keturunan Cina non-muslim di kompleks
pertokoan itu.
Tak mengherankan bila, untuk
urusan terapi, pasiennya terdiri dari semua lapisan masyarakat, baik pri maupun
nonpri, muslim maupun nonmuslim. Tapi, kebanyakan dari golongan menengah ke
atas. “Mereka sering memanggil saya ke rumah untuk terapi spiritual. Umumnya,
mereka pasien yang ‘gelap hati’ dan psikosomatik – sakit kejiwaaan yang
menyebabkan gangguan fisik. Mereka sebenarnya menderita batin, karena itu perlu
siraman rohani. Dan, saya berusaha membangkitkan kembali energi mereka,” tutur Gunawan,
yang mengaku pernah menjadi pelatih kungfu (Garuda Putih) di KONI Pusat dan
Gelanggang Remaja Senen, Jakarta Pusat, pada 1970-an, namun kini hanya sebagai
asisten pelatih.
Dalam berpraktik, Gunawan
sering memberikan terapi mawar. Ia meneteskan minyak mawar pada titik shenwen,
yaitu titik yang biasa digunakan untuk mengenakan tindik di telinga kanan.
Setelah diteteskan, minyak mawar itu akan menyebar ke 51 titik saraf di seluruh
tubuh hingga aromanya “masuk” ke dalam jiwa.
Sebelum meneteskan minyak mawar
kepada pasien, Gunawan membaca taawud, bismillah, ayat Kursi, surah
Al-Fatihah, An-Nas, dan Al-Alaq, berulang kali. “Bersama doa itu, insya Allah
ada energi yang masuk ke dalam jiwa pasien. Bacaan ini harus keluar dari energi
saya dan pasien secara total. Karena itu, pasien diusahakan bisa membaca doa
ini bersama-sama. Bila fisiknya lemah, minimal ia pasang telinga,” urai
Gunawan.
“Semua orang bisa menerapkan
pengobatan ini. Doa-doa ini bisa membangkitkan kekuatan dari dalam jiwa si
pasien,” kata Gunawan.
Soal imbalan, Gunawan tidak
pernah memasang tarif. Haram baginya menarik imbalan dari pasien. “Janganlah
kamu menjual ayat-ayat Allah untuk tujuan tertentu,” kata Gunawan, yang membuka
pintu selama 24 jam.
Gunawan juga membuka praktik feng shui dan fisiognomi
(ilmu wajah) yang Islami. Ia mendalami dua pengetahuan asal Cina itu dari
sejumlah buku, selain mendapat warisan dari neneknya yang pendeta Buddha. “Feng shui
yang Islami ada dalam surah 13 atau surah Ar-Ra’d (Guruh), tinggal bagaimana
kita menggunakan feng shui itu. Kalau yang mengemas bagus, sangat bermanfaat.
Dan, ini bukan takhayul,” ujar Gunawan.
Selain menyibukkan diri dalam
dua kegiatan itu, Gunawan juga sering berkhotbah Jumat dari satu kampung ke
kampung lain, dari satu kota ke kota lain. Sejak lima tahun terakhir, setiap
minggu ketiga, ia memberikan ceramah menjelang zuhur di Masjid Lautze di Jalan
Lautze, Jakarta Pusat. Dakwahnya yang menyejukkan itu, banyak diminati
masyarakat keturunan Cina muslim.
Keturunan
Pertama
media.isnet.org |
Anak sulung dari lima
bersaudara ini diberi nama Tan Soei Hok, yang berarti air mengalir yang
mendapat hidayah.
Sejak kecil ia dididik dalam
keluarga pemeluk Konghucu dan Buddha yang taat. Konghucu yang dianut
orangtuanya lebih sebagai pandangan hidup, sikap, dan cara berpikir. “Orangtua
saya mendidik anak-anaknya penuh dengan kelembutan tapi tegas. “Alhamdulillah,
dalam keluarga saya tidak ada kekerasan,” tuturnya.
Sejak kecil hingga menjelang
SD, Hok suka membantu ibunya membuat patung-patung lilin untuk sesembahan. Di
saat itulah ia sering menyelipkan telur ayam mentah pada salah satu patung
terbesar. Ia, dengan perantaraan jin, meminta sebuah ilmu pengobatan kepada
patung itu. Hasilnya, Hok kecil mampu mengobati orang dengan perantara telur.
Sejak kelas dua SD, Hok tinggal
bersama neneknya, Kho An Nio, di sebuah vihara di Jakarta Barat. Tiga tahun
kemudian, ayahnya meninggal, ia menjadi yatim. Sejak itu, setiap pagi dan sore
ia harus membersihkan semua patung yang ada dalam vihara tersebut. Selepas itu
ia belajar kungfu hingga berhasil menguasai segenap jurus kungfu dan tenaga
dalam.
Ketika di SMP, pikiran dan jiwa
Hok mulai terbelah. Di sekolah ia mendapat pelajaran agama Katolik dan harus
mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-sehari. Tapi, dalam lingkungan keluarga
ia mesti menyembah patung-patung Buddha. Diakui, ia lebih condong ke Katolik,
dan menjadi aktivis remaja Katolik.
Saat SMA, dalam usahanya
mencari kepuasan batin, Hok pergi ke Batu, Malang, Jawa Timur, menuntut ilmu
agama di sebuah sekolah teologi. Itu dilakukan tiap Jumat sampai Minggu, ia
baru kembali ke Jakarta Senin pagi. Ini berlangsung selama enam bulan. Ilmu
yang didapat di Malang itu kemudian dibandingkan dengan ajaran Kristen di
sebuah gereja Pantekosta.
Rupanya, Panteksosta sangat
berpengaruh baginya, sehingga ia menjadi aktivis pemuda Panteskosta, dan sempat
menghancurkan beberapa patung yang ia sembah. “Sebab aliran Pantekosta tidak
memperbolehkan kita menyembah patung,” kata Hok.
Seiring dengan itu, Hok juga
aktif belajar silat Cimande, Cikalong, dan Bodi Suci di beberapa padepokan
pencak silat di Jakarta. Agaknya, inilah jalan menuju Islam bagi Hok.
Masalahnya, petuah-petuah dari para guru silatnya umumnya bersumber dari
Al-Quran dan hadis. Selain itu ia juga harus puasa mutih, puasa Senin-Kamis,
dan wudu sebelum bersilat.
Tiap
Senin Malam
berandamadina.wordpress.com |
Dalam salah satu ceramahnya,
Habib Alwi mengupas surah Ali Imran ayat 19, yang artinya, “Sesungguhnya agama
(yang diridai) di sisi Allah hanyalah Islam…” Sang Habib menegaskan, mereka
yang tidak beragama Islam adalah kafir, dan akan diazab oleh Allah di neraka.
Saat mendengar itu, entah
kenapa Hok merinding dan tubuhnya gemetar. Dan sejak itu, ia semakin gelisah.
Seminggu kemudian, tanpa sebab
yang jelas, Hok terkulai lemas di tempat tidur. Ia merasa, rohnya seperti
dicabut Malaikat Izrail. Tenggorokannya setengah tercekik dan sangat
sakit.
Doa minta selamat ala Katolik
yang diucapkannya tak membuahkan apa-apa, tenggorokannya bahkan terasa semakin
sakit luar biasa. Namun, entah bagaimana, mulutnya mampu mengucapkan dua
kalimah syahadat dan zikir berulang-ulang. “Mungkin, karena saya sering
mendengar syahadat dan zikir dari ceramah Habib Alwi,” ungkap Hok.
Sejurus kemudian, ia merasa didatangi
dua makhluk tinggi besar berjubah putih dengan wajah bersinar. “Minumlah air
putih ini. Insya Allah, kamu akan tenang dan mendapat hidayah,” kata Hok
menirukan ucapan makhluk tersebut. Setelah minum, kedua makhluk itu raib. Di
bawah sadar ia melanjutkan zikirnya ribuan kali.
Melihat suaminya terkapar,
istri Hok memanggil tetangga dan seorang kiai. Pak kiai membacakan doa dan
memercikkan segelas air putih ke wajah Hok. Ketika sadar, ia merasa, pikirannya
plong. “Mungkin karena saya baru selesai zikir berpanjang-panjang,” ungkap Hok.
Zikirnya memang berlangsung selama tiga jam.
Kejadian itu kemudian
diceritakan kepada salah seorang guru silatnya, Bang Musa. “Berarti kamu
mendapat petunjuk dari Allah agar segera memeluk Islam. Kalau sudah mendapat
petunjuk dan tidak ada yang memaksa, sebaiknya segera mengucapkan dua kalimah
syahadat,” tutur Musa.
“Saya siap memeluk Islam,”
jawab Hok.
“Tapi, kamu harus dikhitan
dulu,” tambah Musa.
Maka ia minta Bang Musa dan
K.H. Abdul Mukhi, seorang guru agama, memberikan gambaran tentang Islam
sehingga ia yakin dan mengikuti anjuran untuk khitan. Istrinya dapat memahami,
karena Hok mengaku hanya untuk alasan kesehatan.
Padepokan
Pencak Silat
![]() |
hanifah-art.blogspot.com |
Sejauh itu ia tetap tidak
terbuka kepada istrinya. Namun karena tekadnya untuk menyesuaikan ucapan dan
perbuatan, dengan hati-hati dan lembut ia pun mengajak istrinya masuk ke dalam
agama keselamatan ini.
“Ma, Papa sudah dikhitan, kan?
Artinya, Papa telah memeluk Islam,” tutur Gunawan lembut.
“Jadi, Papa sudah masuk Islam?”
tanya istri Hok, kaget dan sempat lama terdiam.
Di saat istri terdiam, Hok
memecah kesunyian. “Jadi, Mama mau ikut Papa, kan? Kalau ingin dapat Islam,
ikut Papa. Tapi kalau tidak mau dapat Islam, tidak ikut Papa. Mau kan Mama
memeluk Islam?” ajak Gunawan, lagi-lagi penuh kelembutan. Ia tidak ingin
memaksakan kehendak dan melukai jiwa istri, yang sedang hamil tua.
Tanpa disangka, istri Hok
mengangguk. Kemudian, ia memeluk suaminya erat-erat. Tanpa menunda, bersama
istri, Hok pergi ke Masjid Istiqlal, Jakarta. Di masjid terbesar di Asia
Tenggara ini, dengan dibimbing Bang Musa, Hok dan istri mengucapkan dua kalimah
syahadat, disaksikan puluhan jemaah masjid. Nama sang istri kemudian diganti
dengan Siti Maryam. Dan setelah memeluk Islam, suami-istri ini melakukan
pernikahan ulang di Departemen Agama, Jakarta Barat.
Mereka kemudian mengunjungi dan
berguru kepada ulama-ulama terkenal, seperti K.H. Sukri Ghozali, Buya Hamka,
Habib Alwi Jamalulail, Habib Hasan Alaydrus, K.H. Mohamamad Natsir, dan K.H.
Gofar Ismail. Saat berguru kepada Habib Alwi, ia sering membawakan tasnya.
“Saya menjadi dekat dengan Habib Alwi,” tuturnya.
Saat kali pertama bertemu
ulama-ulama itu, pasangan ini selalu berbaiat dengan mengucapkan dua kalimah
syahadat. “Bukan berarti saya ingin mengulang-ulang mengucapkan dua kalimah
syahadat sebagai tanda memeluk Islam. Saya ingin, keislaman saya disaksikan
para ulama ternama itu,” kata Gunawan merendah.
Dua tiga ayat selalu dihafalnya
setiap hari. Tidak mengherankan, dalam waktu beberapa bulan, Gunawan mampu
membaca dan menghafal Al-Quran dengan tajdwid terpelihara. “Saya merasa
bersyukur, Allah memberikan kelebihan untuk bisa menghafal Al-Quran,” kata
Gunawan. Kelak ia sempat memberi pelajaran studi format Al-Quran kepada
beberapa santri di rumahnya selama dua tahun. Bahkan, baru seminggu memeluk
Islam, ia sudah mendirikan majelis zikir Wali Sanga di rumahnya.
Namun, keislamannya harus
dibayar mahal. Beberapa bulan setelah memeluk Islam, ia diberhentikan dari
pekerjaannya sebagai staf keuangan, yang notabene milik pamannya sendiri.
Pamannya tidak mau Gunawan
sering meninggalkan kerjanya untuk salat. Menurut si paman, Islam adalah agama
kaum pribumi dan agama kekerasan. “Kamu hanya boleh salat seminggu sekali pada
hari Jumat, jangan setiap saat,” kata pamannya. “Nanti, bagaimana kamu cari
duit? Lihat saja, kalau nekat terus, kamu akan jadi miskin dan jembel.” Gunawan
hanya bisa menangis dalam hati.
Merasa tindakan si paman sudah keterlaluan, Gunawan
pun bereaksi. “Kalau soal keyakinan itu, lakum
dinukum waliyaddin, untukmu agamamu, dan untukku agamaku. Digaji berapa juta pun, kalau disuruh seperti itu, saya tidak mau. Sampai
hari ini saya tetap memeluk Islam. Sudahlah, Encek jangan menghina dan membujuk
saya,” kata Gunawan tegas.
“Kalau begitu, mulai besok kamu
tidak usah ke kantor saya lagi,” kata si paman. Sejak itu, Gunawan mencurahkan
minatnya pada peningkatan keimanan. Tahun 1979, ibunya, Tjoa Sioe Lim, sakit
keras dan minta agar anaknya mau mendoakan kesembuhan dirinya. “Doakan Mama
ya?” pinta sang ibu.
Ia minta, ibunya, yang
nonmuslim, mengikuti lafaz Astaghfirullahal Adzim dan Lailaha illallah,
Muhammadar Rasulullah. “Beliau sangat fasih mengucapkan
lafaz-lafaz itu, padahal sebelumnya belum pernah mengucapkannya,” kata Gunawan.
Rupanya, doa itu merupakan
permintaan terakhir sang ibu. Esoknya beliau meninggal setelah sebelumnya
dirawat di Unit Gawat Darurat sebuah rumah sakit di Jakarta. Jenazahnya
dimakamkan di Kuburan Karet Bivak, Jakarta Pusat. Di sanalah, di antara jajaran
ratusan nisan, satu nisan tertancap dengan nama Tionghoa: Tjoa Sioe Lim.
“Saya kuburkan beliau secara Islam, karena Mama sudah mengucapkan kalimah
syahadat dengan fasih, meski lirih. Jenazahnya saya salatkan di masjid,” kata
Gunawan.
Domery Alpacino
Catatan: Pernah
dimuat di majalah Islam Alkisah
.
BalasHapus.
Alhamdulillah Ya Allah ...
.
Ya Allah Jaga dan bimbing bapak Tan Gunawan.. Amin
BalasHapus