Ia tetap sabar
dan tabah menghadapi cobaan. Ia berprinsip, di balik musibah pasti ada
hikmahnya.
sulselonline.com |
Peristiwa itu terjadi pada 29 Oktober 2004, tepatnya di bulan Ramadan,
menimpa rumahnya di Perumahan Citra I, Cengkareng, Tangerang. Namun,
alhamdulillah ia dan keluarganya selamat, karena saat itu keluarga tersebut
sedang berbuka puasa bersama keluarga kakaknya di sebuah restoran di Kebayoran
Baru, Jakarta Selatan. Yang tersisa hanya beberapa dokumen dan sebuah Al-Quran,
yang biasa digunakan mengaji sehari-hari.
“Menghadapi cobaan yang berat itu, saya berusaha bersabar dan tenang,
meski istri saya sedikit shock,” kata
Aziz berkaca-kaca. Musibah itu juga membuyarkan rencananya membuka sebuah
restoran di Pulau Batam.
Aziz, yang selalu menjaga wudu, menyadari, harta yang dimiliki tidak kekal
dan tidak bakal dibawa mati. Ia teringat surah Muhammad ayat 36, “Sesungguhnya
kehidupan dunia hanyalah permainan dan sendau gurau. Dan, jika kamu beriman
serta bertakwa, Allah akan memberikan pahala kepadamu dan Dia tidak akan
meminta harta-hartamu.”
Menghadapi musibah itu Aziz terpacu untuk bekerja lebih giat, agar tidak
mengalami trauma berkepanjangan. Ia makin rajin beribadah. “Saya berpikir,
masih ada orang yang lebih menderita ketimbang saya. Saya masih diberi
kesehatan dan bisa bersyukur serta tidak pernah telat salat lima waktu,” kata
Aziz, tegar.
Aziz juga berharap, musibah berat itu tidak lagi menimpa diri dan
keluarganya. “Ya Allah, ya Rabb, berikan kekuatan kepada saya, anak-anak dan
istri saya, agar bisa tetap melaksanakan kegiatan dalam kehidupan sehari-hari
seperti biasa. Berikan juga kami kesehatan jiwa dan badan,” doa Aziz
berkali-kali.
Dengan berbekal kesehatan badan itu, kini Aziz secara teratur berolahraga
senam dan squash sambil tetap mencari
peluang kerja. “Kalau hari kebahagiaan itu datang, kita akan bisa menikmati hal
itu,” ujar Aziz.
Yang Perkasa
www.alldealsasia.com |
Sejak kecil ia diberi nama Aziz. Tapi di rumah biasa dipanggil Tek Foo
dari Lian Tek Foo, namanya sejak lahir. Setelah memeluk Islam, ia lebih suka
dipanggil Aziz, yang berarti “yang perkasa”.
Namun ia pernah memprotes bapaknya, apakah benar ia bernama Aziz.
Pasalnya, ia tidak punya surat ganti nama, seperti kakak-kakaknya. Serta merta
ayahnya marah, “Kenapa kamu minta surat ganti nama? Sejak lahir kamu kuberi
nama Aziz.” Mengikuti bapaknya pula, ia juga menambah namanya hingga menjadi
Aziz Berlian.
Sebagai penganut agama Konghucu dan Buddha, Aziz kecil juga diajak
menyembah pay pekkong (arwah leluhur
orang-orang terkenal) sebulan dua kali, yaitu pada tanggal 15 yang disebut cap go dan pada akhir bulan yang disebut
guek boi. Sedang untuk menyembah
Tuhan langit yang disebut Thi Kong,
mereka lakukan satu tahun sekali, pada tiap 1 Januari.
Tapi oleh kakak-kakaknya yang semua penganut Katolik, ia juga sering
diajak ke gereja, meski mereka tidak memaksakan kehendak. “Itu karena orangtua
saya repot sehingga pengawasan saya dipercayakan kepada mereka,” tutur Aziz.
Orangtuanya akhirnya juga memeluk Katolik justru ketika Aziz masuk Islam.
Kelak, ketiga kakaknya dan seorang adiknya memeluk Islam.
Setamat SMP swasta di Tanjung Pinang, Aziz merantau seorang diri ke
Semarang. Di kota ini, ia diangkat anak oleh William dan disekolahkan di SMA
Katolik. Namun ia mengaku jarang ke gereja, kecuali terpaksa. Demikian pula
dengan pelajaran agama Katolik di sekolah. “Setiap kali ikut, saya tidak bisa
memahami maksudnya, khususnya yang bersifat dogmatis. Misalnya, konsep Trinitas
atau Tritunggal,” tutur Aziz.
“Saya seperti merasa diharuskan mempercayai doktrin itu. Padahal, hati
saya selalu menolak dan tidak bisa menerima begitu saja,” tambahnya.
Masalahnya, sejak SMP Aziz sudah meyakini, Tuhan itu esa, tidak beranak,
tidak diperanakkan, dan tak satu makhluk pun setara dengan-Nya. Keyakinan itu
muncul lewat pelajaran agama Islam yang diikutinya di sekolah. Saat itu, ia
sudah bisa memahami bahwa Islam adalah agama yang sempurna, logis, dan bukan
agama kekerasan.
Norma-norma keislaman yang sangat teratur dan mendetail sudah merasuki
kehidupan Aziz sejak ia masih di SMP. Adab kehidupan yang paling kecil pun
diatur dalam Islam, mulai dari cara memotong kuku, mengenakan dan melepas
pakaian, keluar-masuk kamar kecil, mau tidur, bangun tidur, sampai dengan tata
cara dan waktu salat.
Nama Aziz juga membuka mata hatinya sejak SMP untuk masuk Islam, demikian
pula dengan pergaulannya dengan orang-orang Melayu.
Jakarta adalah kota yang dijajakinya setamat SMA pada 1980. Tapi, nasib
mengharuskannya menganggur setahun, karena, “Orangtua angkat saya tidak mau
membantu saya lagi,” kata Aziz. Padahal, Universitas Trisakti, Jurusan
Arsitektur, telah membuka pintunya setelah ia berhasil melewati tes.
Untuk mengisi waktu, ia mengikuti kegiatan vokal grup di bawah asuhan
Anton Issudibyo serta pramuka di Kantor Pusat Imigrasi, Jakarta. Karena kakak
iparnya bekerja di tempat itu. “Jadi, saya bisa ikut kegiatan di sana,” ujar
Aziz.
![]() |
www.ibnuchaldun.ac.id |
Selama merantau di Jakarta, hatinya terpaut dengan Netty Zarlina Zen.
Namun hal itu hanya dipendam di lubuk hati meski respons positif dari sang
pujaan sudah tampak. Niat untuk menyunting baru terbuka setelah ia pada 1988
bekerja di perusahaan kayu dan ditugaskan di Biak, Irian Jaya. Agama menjadi
kendala, karena ia belum masuk Islam. Masuk Islam dulu baru meminang. Itulah
persoalan yang dihadapi saat itu. Kepada Ruslan Rumalutur, salah seorang teman
dekatnya, hal itu ia buka.
“Kebetulan Kepala Kantor Departemen Agama di Biak adalah saudara saya.
Mari kita temui beliau nanti malam. Di sana Anda bisa mengucapkan dua kalimah
syahadat,” jawab Ruslan.
Hari
itu, Jumat malam, mereka berdua menemui Muksin bin Tahir, sang kakandepag.
Menanggapi maksud tersebut, Muksin menyarankan agar Aziz mandi junub atau mandi
besar dan dikhitan lebih dahulu. Malam itu juga, Aziz mandi junub, kemudian
dikhitan. “Meski sempat berantakan dan sakit sekali, hasil akhirnya bagus,”
ujar Aziz terkekeh.
Dua hari kemudian, di rumah Mukhsin, Aziz
mengucapkan dua kalimah syahadat, dibimbing oleh Mukhsin dan disaksikan
puluhan teman Aziz. Peristiwa bersejarah itu berlangsung pada Oktober 1989. “Saya merasa lega, karena saya sudah seratus
persen Islam,” tutur Aziz.
Aziz kemudian mengirimkan surat lamarannya kepada Netty melalui kakaknya
yang ada di Jakarta sambil mengabarkan bahwa dirinya telah mengucapkan dua
kalimah syahadat di Biak. Sebulan kemudian, 23 Desember 1989, Aziz menikah
dengan Netty Zarlina Zen di Jakarta. Setelah itu, pengantin baru ini kembali ke
Biak. Ternyata istrinya banyak membantu Aziz mendalami Islam, baik lewat
buku-buku Islam maupun contoh langsung. “Bapak mampu menjalankan semua ajaran
Islam dengan baik. Karena itu, saya sebagai istri merasa bangga,” tutur
Netty, tidak bermaksud memuji sang
suami.
Pada 2003, Aziz dan istri menunaikan rukun Islam kelima, ibadah haji.
Saat salat Jumat di Masjidilharam, Aziz merasakan haru yang luar biasa. Betapa
tidak. Jemaah yang begitu melimpah rukuk, sujud bersama, mengingatkannya kepada
surah An-Nashr, “Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan, dan
kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong, bertasbihlah
dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah
Maha Penerima tobat.”
Tapi, hati Aziz tetap bertanya, “Kenapa agama Islam yang begitu besar dan
mulia ini masih tidak bisa dipahami orang-orang kafir? Mungkin mata, telinga,
dan hati mereka masih tertutup rapat. Andai saja mereka terbuka seperti saya,
alangkah nikmat dan indahnya dunia ini,” tutur Aziz, berkaca-kaca.
Kini, keluarga sakinah ini dikarunia dua orang anak. Salah satu anak Aziz
belajar di SD Kristen – karena semata-mata untuk mendapatkan mutu pendidikan
umum yang lebih baik, dan dekat dengan rumahnya. Di sinilah Aziz dituntut untuk
memberikan perhatian dan pendidikan secara Islami yang lebih besar. Untuk itu
ia memanggil guru ngaji seminggu dua kali. Dan, kini anaknya sudah mencapai
Iqra empat.
Aziz sendiri juga terus meningkatkan kemampuan tilawahnya sehingga makin
merdu saat menjadi imam salat. “Saya selalu memberi nasihat dan pelajaran agama
Islam kepada anak-anak saya supaya tidak melenceng dan lari,” ujar Aziz.
Setiap usai salat fardu, Aziz sering berlama-lama berdoa untuk kedua
orangtuanya, agar mereka ”kembali ke jalan yang benar, jalan yang diridai
Allah.” Aziz memberi contoh seorang Yahudi yang memberi minum kepada Nabi
Muhammad SAW. Nabi kemudian berdoa, “Semoga Allah memberikan kebaikan kepadamu.”
Domery Alpacino
Catatan: Pernah dimuat di majalah Islam Alkisah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar