Laman

Senin, 24 Oktober 2005

“Yang Perkasa” dari Kepulauan Riau


Ia tetap sabar dan tabah menghadapi cobaan. Ia berprinsip, di balik musibah pasti ada hikmahnya.

sulselonline.com
Ketika lidah api melahap rumahnya hingga rata dengan tanah, ia berstatus penganggur. Posisi sebagai manajer di sebuah perusahaan kayu terpaksa dilepas, karena ia tidak bersedia ditempatkan di Biak, Irian, dua tahun sebelumnya. Itulah serpihan nasib yang merundung Aziz Berlian, seorang mualaf asal Tanjung Pinang, sejak enam tahun lalu.

Peristiwa itu terjadi pada 29 Oktober 2004, tepatnya di bulan Ramadan, menimpa rumahnya di Perumahan Citra I, Cengkareng, Tangerang. Namun, alhamdulillah ia dan keluarganya selamat, karena saat itu keluarga tersebut sedang berbuka puasa bersama keluarga kakaknya di sebuah restoran di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Yang tersisa hanya beberapa dokumen dan sebuah Al-Quran, yang biasa digunakan mengaji sehari-hari. 


“Menghadapi cobaan yang berat itu, saya berusaha bersabar dan tenang, meski istri saya sedikit shock,” kata Aziz berkaca-kaca. Musibah itu juga membuyarkan rencananya membuka sebuah restoran di Pulau Batam.

Aziz, yang selalu menjaga wudu, menyadari, harta yang dimiliki tidak kekal dan tidak bakal dibawa mati. Ia teringat surah Muhammad ayat 36, “Sesungguhnya kehidupan dunia hanyalah permainan dan sendau gurau. Dan, jika kamu beriman serta bertakwa, Allah akan memberikan pahala kepadamu dan Dia tidak akan meminta harta-hartamu.”  

Menghadapi musibah itu Aziz terpacu untuk bekerja lebih giat, agar tidak mengalami trauma berkepanjangan. Ia makin rajin beribadah. “Saya berpikir, masih ada orang yang lebih menderita ketimbang saya. Saya masih diberi kesehatan dan bisa bersyukur serta tidak pernah telat salat lima waktu,” kata Aziz, tegar. 

Aziz juga berharap, musibah berat itu tidak lagi menimpa diri dan keluarganya. “Ya Allah, ya Rabb, berikan kekuatan kepada saya, anak-anak dan istri saya, agar bisa tetap melaksanakan kegiatan dalam kehidupan sehari-hari seperti biasa. Berikan juga kami kesehatan jiwa dan badan,” doa Aziz berkali-kali.

Dengan berbekal kesehatan badan itu, kini Aziz secara teratur berolahraga senam dan squash sambil tetap mencari peluang kerja. “Kalau hari kebahagiaan itu datang, kita akan bisa menikmati hal itu,” ujar Aziz.

Yang Perkasa
www.alldealsasia.com
Lahir pada 8 September 1960 di Tanjung Pinang, Kepulauan Riau, ia anak kedelapan dari sepuluh bersaudara pasangan Lian Tjai Soe alias Sudik Berlian dan Chong Han Foen alias Polly Berlian. Ibunya asli Cina Singapura dan ayahnya keturunan Cina Bangka, mantan pegawai Imigrasi. “Tapi, dalam pergaulan sehari-hari, keluarga kami sudah membaur dengan orang-orang Melayu. Bahkan, kakek saya dari garis ayah adalah tokoh utama pembaharuan Cina-Melayu di Tanjung Pinang,” kata Aziz.

Sejak kecil ia diberi nama Aziz. Tapi di rumah biasa dipanggil Tek Foo dari Lian Tek Foo, namanya sejak lahir. Setelah memeluk Islam, ia lebih suka dipanggil Aziz, yang berarti “yang perkasa”. 

Namun ia pernah memprotes bapaknya, apakah benar ia bernama Aziz. Pasalnya, ia tidak punya surat ganti nama, seperti kakak-kakaknya. Serta merta ayahnya marah, “Kenapa kamu minta surat ganti nama? Sejak lahir kamu kuberi nama Aziz.” Mengikuti bapaknya pula, ia juga menambah namanya hingga menjadi Aziz Berlian. 

Sebagai penganut agama Konghucu dan Buddha, Aziz kecil juga diajak menyembah pay pekkong (arwah leluhur orang-orang terkenal) sebulan dua kali, yaitu pada tanggal 15 yang disebut cap go dan pada akhir bulan yang disebut guek boi. Sedang untuk menyembah Tuhan langit yang disebut Thi Kong, mereka lakukan satu tahun sekali, pada tiap 1 Januari. 

Tapi oleh kakak-kakaknya yang semua penganut Katolik, ia juga sering diajak ke gereja, meski mereka tidak memaksakan kehendak. “Itu karena orangtua saya repot sehingga pengawasan saya dipercayakan kepada mereka,” tutur Aziz. Orangtuanya akhirnya juga memeluk Katolik justru ketika Aziz masuk Islam. Kelak, ketiga kakaknya dan seorang adiknya memeluk Islam.

Setamat SMP swasta di Tanjung Pinang, Aziz merantau seorang diri ke Semarang. Di kota ini, ia diangkat anak oleh William dan disekolahkan di SMA Katolik. Namun ia mengaku jarang ke gereja, kecuali terpaksa. Demikian pula dengan pelajaran agama Katolik di sekolah. “Setiap kali ikut, saya tidak bisa memahami maksudnya, khususnya yang bersifat dogmatis. Misalnya, konsep Trinitas atau Tritunggal,” tutur Aziz. 

“Saya seperti merasa diharuskan mempercayai doktrin itu. Padahal, hati saya selalu menolak dan tidak bisa menerima begitu saja,” tambahnya.

Masalahnya, sejak SMP Aziz sudah meyakini, Tuhan itu esa, tidak beranak, tidak diperanakkan, dan tak satu makhluk pun setara dengan-Nya. Keyakinan itu muncul lewat pelajaran agama Islam yang diikutinya di sekolah. Saat itu, ia sudah bisa memahami bahwa Islam adalah agama yang sempurna, logis, dan bukan agama kekerasan. 

Norma-norma keislaman yang sangat teratur dan mendetail sudah merasuki kehidupan Aziz sejak ia masih di SMP. Adab kehidupan yang paling kecil pun diatur dalam Islam, mulai dari cara memotong kuku, mengenakan dan melepas pakaian, keluar-masuk kamar kecil, mau tidur, bangun tidur, sampai dengan tata cara dan waktu salat.

Nama Aziz juga membuka mata hatinya sejak SMP untuk masuk Islam, demikian pula dengan pergaulannya dengan orang-orang Melayu.  

Jakarta adalah kota yang dijajakinya setamat SMA pada 1980. Tapi, nasib mengharuskannya menganggur setahun, karena, “Orangtua angkat saya tidak mau membantu saya lagi,” kata Aziz. Padahal, Universitas Trisakti, Jurusan Arsitektur, telah membuka pintunya setelah ia berhasil melewati tes.

Untuk mengisi waktu, ia mengikuti kegiatan vokal grup di bawah asuhan Anton Issudibyo serta pramuka di Kantor Pusat Imigrasi, Jakarta. Karena kakak iparnya bekerja di tempat itu. “Jadi, saya bisa ikut kegiatan di sana,” ujar Aziz. 

www.ibnuchaldun.ac.id
Nasib pula yang membawanya kuliah di Universitas Ibnu Khaldun, sebuah kampus Islam yang letaknya tidak jauh dari tempat tinggal kakak yang diikutinya. Cita-citanya untuk bekerja di Kantor Imigrasi tak tercapai, karena ketika gelar sarjana muda berhasil diraih dari UIK, kantor itu telah menutup pintunya untuk menerima pelamar bertaraf sarjana muda. Maka, Aziz pun meneruskan kuliahnya di UIK, Jurusan Hukum Perdata, hingga mendapat gelar sarjana lengkap, S1. “Saat itu, saya sudah jarang ke gereja. Sebaliknya, saya makin tahu kebenaran Islam,” kenangnya.

Selama merantau di Jakarta, hatinya terpaut dengan Netty Zarlina Zen. Namun hal itu hanya dipendam di lubuk hati meski respons positif dari sang pujaan sudah tampak. Niat untuk menyunting baru terbuka setelah ia pada 1988 bekerja di perusahaan kayu dan ditugaskan di Biak, Irian Jaya. Agama menjadi kendala, karena ia belum masuk Islam. Masuk Islam dulu baru meminang. Itulah persoalan yang dihadapi saat itu. Kepada Ruslan Rumalutur, salah seorang teman dekatnya, hal itu ia buka. 

“Kebetulan Kepala Kantor Departemen Agama di Biak adalah saudara saya. Mari kita temui beliau nanti malam. Di sana Anda bisa mengucapkan dua kalimah syahadat,” jawab Ruslan.

            Hari itu, Jumat malam, mereka berdua menemui Muksin bin Tahir, sang kakandepag. Menanggapi maksud tersebut, Muksin menyarankan agar Aziz mandi junub atau mandi besar dan dikhitan lebih dahulu. Malam itu juga, Aziz mandi junub, kemudian dikhitan. “Meski sempat berantakan dan sakit sekali, hasil akhirnya bagus,” ujar Aziz terkekeh.

Dua hari kemudian, di rumah Mukhsin, Aziz  mengucapkan dua kalimah syahadat, dibimbing oleh Mukhsin dan disaksikan puluhan teman Aziz. Peristiwa bersejarah itu berlangsung pada Oktober 1989. “Saya merasa lega, karena saya sudah seratus persen Islam,” tutur Aziz.

Aziz kemudian mengirimkan surat lamarannya kepada Netty melalui kakaknya yang ada di Jakarta sambil mengabarkan bahwa dirinya telah mengucapkan dua kalimah syahadat di Biak. Sebulan kemudian, 23 Desember 1989, Aziz menikah dengan Netty Zarlina Zen di Jakarta. Setelah itu, pengantin baru ini kembali ke Biak. Ternyata istrinya banyak membantu Aziz mendalami Islam, baik lewat buku-buku Islam maupun contoh langsung. “Bapak mampu menjalankan semua ajaran Islam dengan baik. Karena itu, saya sebagai istri merasa bangga,” tutur Netty,  tidak bermaksud memuji sang suami.

Pada 2003, Aziz dan istri menunaikan rukun Islam kelima, ibadah haji. Saat salat Jumat di Masjidilharam, Aziz merasakan haru yang luar biasa. Betapa tidak. Jemaah yang begitu melimpah rukuk, sujud bersama, mengingatkannya kepada surah An-Nashr, “Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan, dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong, bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima tobat.” 

Tapi, hati Aziz tetap bertanya, “Kenapa agama Islam yang begitu besar dan mulia ini masih tidak bisa dipahami orang-orang kafir? Mungkin mata, telinga, dan hati mereka masih tertutup rapat. Andai saja mereka terbuka seperti saya, alangkah nikmat dan indahnya dunia ini,” tutur Aziz, berkaca-kaca.

Kini, keluarga sakinah ini dikarunia dua orang anak. Salah satu anak Aziz belajar di SD Kristen – karena semata-mata untuk mendapatkan mutu pendidikan umum yang lebih baik, dan dekat dengan rumahnya. Di sinilah Aziz dituntut untuk memberikan perhatian dan pendidikan secara Islami yang lebih besar. Untuk itu ia memanggil guru ngaji seminggu dua kali. Dan, kini anaknya sudah mencapai Iqra empat. 

Aziz sendiri juga terus meningkatkan kemampuan tilawahnya sehingga makin merdu saat menjadi imam salat. “Saya selalu memberi nasihat dan pelajaran agama Islam kepada anak-anak saya supaya tidak melenceng dan lari,” ujar Aziz.

Setiap usai salat fardu, Aziz sering berlama-lama berdoa untuk kedua orangtuanya, agar mereka ”kembali ke jalan yang benar, jalan yang diridai Allah.” Aziz memberi contoh seorang Yahudi yang memberi minum kepada Nabi Muhammad SAW. Nabi kemudian berdoa, “Semoga Allah memberikan kebaikan kepadamu.” 

 Domery Alpacino
Catatan: Pernah dimuat di majalah Islam Alkisah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar