Laman

Rabu, 21 September 2005

Hidayah lewat Surat Al-Ikhlas


Setelah sakit berat, lelaki bule itu memeluk Islam bersama isterinya. Kini mereka hidup bahagia.

anggunsugiarti.blogspot.com
RUMAHNYA hampir tenggelam gara-gara Jakarta banjir pada 2001 lalu. Maklum, bangunannya berdiri di lembah dekat sungai di pojok kompleks Cirendeu Permai, Jakarta Selatan. Setelah direnovasi, rumah dengan lahan seluas sekitar 400 M2 itu kembali tertata apik. 

            Ruang tamunya yang menyatu dengan ruang tengah memberi kesan luas. Di salah satu sudutnya bertengger lukisan burung-burung merak ukuran 2 x 1,5 meter persegi. Sebuah patung artistik rupa setinggi satu meter berdiri tak jauh dari lukisan itu. Meja kursi mungil berselimutkan kain warna putih melengkapi keasriannya. Sementara lukisan Ka’bah ukuran 1,5 x 1 meter persegi menghiasi ruang tengah. Di samping kanan ruang tengah terdapat ruang salat cukup luas, sekitar 4 x 7 meter persegi. Lantainya berselimutkan karpet indah dan bersih.


           Di rumah besar bertingkat dua itulah, Sulaiman bersama isterinya, Khumaerah, tinggal. “Alhamdulillah, sekarang saya makin rajin menjalankan salat fardu dan salat-salat sunah lainnya,” kata Sulaiman, warganegara Belanda yang nama aslinya Adrianus Christianus Cornelis Van Meer alias Andre. Ia beristrikan perempuan Jawa asli asli Yogyakarta. 

            Sepasang suami istri yang baru setahun menyempurnakan agama dengan memeluk Islam ini, mengisi hari-harinya dengan mengekspor satwa reptil seperti buaya, ular, kodok, tokek, cecak.

            Kegiatan bisnis di Desa Curug Gunung Sindur, Parung, Bogor. Di sana mereka menyewa lahan seluas 4000 meter persegi untuk menampung dan menangkar sebagian satwa reptil yang hendak diekspor ke Eropa atau Amerika. Mereka menggeluti bisnis itu sejak 1989 lalu. Sulaiman sendiri sudah melakukannya sejak lama, saat masih di Belanda. “Alhamdulillah, reptil-reptil di Indonesia makin hari makin berlimpah ibarat harta karun,” tambahnya bercanda.

            Setelah menjadi muslim, Allah tampaknya lebih membukakan rezeki bagi mereka dari sumber yang tidak terduga, seperti termaktub dalam Al-Quran, surat Al-Talaq (2-3): Dan, Ia membukakan rezeki baginya dari (sumber) yang tak diduga-duga.

rumah-yatim.com
Sebagai rasa syukur, mereka selalu menyedekahkan sebagian rizki kepada yang berhak menerima, kaum fakir miskin dan yatim piatu. “Bila saya bersedekah tidak pakai hitung-hitungan lagi. Kalau ada orang butuh, saya beri. Sebaliknya, kalau saya tidak punya, ya saya minta maaf,” katanya lagi merendah. Tapi, sebelum masuk Islam pun sejatinya ia sudah sering membantu orang lain yang membutuhkan. Baginya, sesama manusia harus saling bantu-membantu. “Saya tidak mau menang sendiri dalam hidup,” tambahnya lagi.

            Beberapa tahun terakhir ini, ketika mendapat rizki melimpah, mereka semakin sering memuliakan anak yatim, antara lain dengan memanggil anak-anak yatim makan bersama di rumah. Anak-anak yatim itu juga mereka beri santunan secukupnya. Rupanya mereka cukup memahami surat Al-Ma’un, tidak ingin dimasukkan ke dalam golongan orang yang mendustakan agama, yaitu orang-orang yang menggertak anak yatim dan tidak memberi makan orang miskin. “Karena itu, saat peresmian mushalla baru di kantor, kami juga mengundang puluhan anak yatim,” kata Nyonya Sulaiman.

Bule Salat
            Mushalla untuk para karyawan itu baru dibangun beberapa bulan lalu, “agar mereka bertambah rajin salat. Masa, orang bule yang baru memeluk Islam saja mulai rajin salat, mereka yang sejak lahir sudah Islam tidak rajin salat?” ujar Sulaiman. Sebelum paangan itu masuk Islam, juga sudah memberi waktu cukup longgar kepada para karyawan menjalankan salat. “Mau salat atau tidak, itu terserah mereka. Yang penting, saya memberi kebebasan untuk menjalankan salat dan ibadah-ibadah lainnya,” katanya lagi.

Di tengah kesibukan bisnis, Sulaiman dan isterinya menyempatkan diri mengikuti pengajian di beberapa majelis taklim. Kadang di dekat rumah, kadang di masjid Al-Hakim atau Sunda Kelapa, di Menteng, Jakarta Pusat. Perjalanan keluarga sakinah ini memang penuh warna. Cahaya keislaman yang memancar dalam keluarga ini tentu tidak secara tiba-tiba, melainkan melalui proses yang cukup berliku.

kairupan-family.blogspot.com

            Sulaiman lahir pada 26 Desember 1960 di Breda, Belanda. Ia anak bungsu dari dua bersaudara pasangan Kees dan Fien yang masih Belanda totok. Ayahnya pensiunan kontraktor, ibundanya seorang ibu rumahtangga. Sementara Khumaerah lahir pada 5 Maret 1965 di Yogyakarta. Saat kecil bernama Maria Margaretha Mimi Maryati, anak kelima dari dua belas bersaudara yang dibesarkan dalam keluarga yang beragama campuran. Said, ayahandanya, muslim sementara Sophia Ladinem, ibundanya, seorang Katolik. 

            Sulaiman alias Andre sendiri juga dibesarkan dalam keluarga Belanda Katolik yang taat. “Meski orangtua saya membimbing anak-anaknya menjalankan ajaran Katolik, mereka tidak terlalu fanatik,” tutur Andre mengenang. Sejak kecil tentu saja sering diajak ke gereja, tapi ia tak mengerti apa yang dikhotbahkan oleh para pastor.

            Meski merasa kurang bisa memahami ajaran agama, ia selalu menjalankan norma-norma yang terpuji yang berlaku di masyarakat: tidak mencuri, tidak melecehkan orang lain, berbagi rizki dengan orang miskin. “Saya hanya mengandalkan akal sehat dan norma-norma kehidupan serta kemanusiaan saja,” katanya.

            Singkat cerita, maka pergilah Andre ke Indonesia pada 1989. Dan pada suatu hari bertemu dengan Mimi Maryati; saling jatuh cinta, lalu mereka pun menikahlah. Sebelum menikah, mereka sempat bolak-balik ke gereja Santa Maria, di Lapangan Banteng, Jakarta Pusat untuk mendapat izin menikah. Sebelum menikah, selama seminggu mereka mendapat bimbingan agama dari seorang pastor. Maka pada 16 Mei 1992 mereka pun resmi menikah.

            Singkat cerita, bisnis mereka semakin maju. Ketika itulah mertua Andre menderita sakit gagal ginjal dan harus cuci darah dua kali seminggu di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta Pusat. “Saat itu saya dan Andre benar-benar konsentrasi merawat ibu saya, meski akhirnya ibu saya meninggal dunia,” kenang Mimi sedih.
Dua minggu setelah sang ibu meninggal, rumah mereka kebanjiran. Sebagian perabot rumahtangga di lantai bawah satu rusak berat tidak bisa diselamatkan. Bangunannya pun mengalami hal sama, sementara sampah dan Lumpur menumpuk di dalam rumah. Pendek kata, saat itu mereka dihantui rasa takut luar biasa.
           
Kena Santet
kliniksupranatural.com
Usai banjir surut, dan rumah sudah direnovasi, mendadak Andre jatuh sakit. Badannya lemas, tidak bisa berdiri. Nafasnya tersengal-sengal, dadanya seperti dinjak-injak. Bila dada dipegang, sakitnya berpindah ke perut. Bila perut dipegang, sakit itu pindah ke punggung, dan seterusnya. Ia hanya bisa tergolek di tempat tidur. Anehnya, setiap kali ia mendengar azan maghrib dan subuh dari mesjid tak jauh dari rumah, rasa sakitnya bertambah berat.

            Sudah berulangkali Andre memeriksakan diri ke dokter spesialis penyakit dalam di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta Puat. Ia juga pergi ke beberapa dokter spesialis lain.  Tapi, anehnya, para dokter menyatakan Andre tidak terkena sakit apa-apa. Mereka bahkan penasaran ingin mengetahui, mengapa tubuh dan jiwa pasiennya begitu menderita. Tak puas dengan diagnosa dokter, Andre berobat ke beberapa paranormal. Tapi, hasilnya tetap nihil. Tapi tiga bulan ia hanya tergolek di tempat tidur, tak bisa berbuat apa-apa.

            Meski frustrasi, semangatnya untuk sembuh tetap saja membara. Ia terus mencari informasi, dokter, tabib atau paranormal mana yang bisa menyembuhkannya. Suatu hari istrinya mendapat informasi dari Zaki Afdad, pemilik toko material “Kurnia Indah” di Parung, Bogor, ada seorang ustaz yang bisa menyembuhkan segala penyakit, baik medis maupun nonmedis. Ia adalah Ustaz Mahmud Musa Sungkar. Maka mereka pun segera menemui sang ustaz yang juga sering menyembuhkan para korban narkoba.

            Anehnya, setiap kali Ustaz Musa memegang tubuh Andre sambil berdoa, rasa sakit paseien itu berangsur pulih, tubuhnya terasa ringan. “Orang yang membuat sakit telah mengincar Anda sejak lama. Saat fisikmu lemah atau kecapaian, penyakit itu menyerang,” kata Andre menirukan ucapan Ustaz Musa. Karena santet itu rupanya cukup kuat, Andre pun berobat ke Ustaz Musa beberapa kali. Tapi, anehnya lagi, setiap kali hendak menemui Ustaz Musa, mereka seperti dihalang-halangi oleh suatu kekuatan yang tak nampak.

            Pada kunjungan yang ketiga kalinya, kesehatan Andre semakin membaik. Berangsur-angsur ia mulai bisa berdiri dan berjalan. Badannya mulai segar, rasa sakit di seluruh tubuh mulai hilang, pikiran dan jiwanya kembali bersemangat. Tapi di lain pihak, sebagian karyawannya mulai terserang penyakit yang jenisnya hampir serupa.

            Dalam proses penyembuhan itulah, sepasang suami istri itu mulai akrab dengan Ustaz Musa, dan mereka pun semakin ingin tahu sejauh mana kelihaian sang ustaz dalam mengobati berbagai macam penyakit. “Ketika itu saya merasa ada sesuatu yang kurang dalam hidup saya. Saya ingin membentengi diri dari berbagai penyakit yang bisa menyerang secara tiba-tiba,” kata Andre.

            Mereka juga penasaran, apa sebenarnya arti berbagai doa yang dibaca oleh Ustaz Musa. Karena sang ustaz hanya menyatakan agar mereka membaca Al-Quran, walaupun hanya melalui terjemahannya saja, mereka pun minta kitab suci tersebut. “Mula-mula saya hanya ingin tahu penyakit apa yang menimpa saya. Tapi, saya juga ingin tahu mengapa tanpa pakai alat-alat kedokteran Ustaz Musa bisa mengobati penyakit. Hanya dengan doa dalam Al-Quran saja. Sedang para dokter yang pakai peralatan kedokteran modern tak mampu menyembuhkan penyakit saya,” ujar Andre.

            Tak diduga, Ustaz Musa memberi hadiah dua buah Al-Quran dan terjemahannya kepada sepasang suami isteri itu. Sejak itu setiap hari mereka mempelajari dan mendiskusikan ayat-ayat yang terjemahannya mereka baca bersama. Usai membaca dan mempelajari terjemahan surat Al-Fatihah, mereka mempelajari terjemahan surat Al-Ikhlas. Ketika itulah hati nurani mereka membenarkan bahwa Allah itu esa, satu, tidak beranak, tidak diperanakkan, dan tidak satu pun yang setara dengan-Nya.
           
Allah Itu Esa
Belakangan, semakin mereka mempelajari ayat-ayat yang lain, semakin bertambahlah iman mereka. “Setelah saya baca semua terjemahan Al-Quran, kok rasanya sebagian ajaran Islam sudah saya jalani,” kata Andre.  Tentu saja. Sebab, dua tahun sebelumnya misalnya, mereka berdua pernah belajar berpuasa saat Ramadhan tiba. Dan mereka mampu menjalankan puasa sebulan penuh. Mereka juga merasakan kedamaian. “Setiap kali saya cuci muka, kok saya merasa seperti berwudhu. Sejuk dan tenang rasanya,” tutur Mimi.

            Pada suatu hari, 25 Januari 2003, mereka pun mengambil keputusan sangat penting: masuk Islam. Mereka menuju masjid Sunda Kelapa, Menteng, Jakarta Pusat, untuk mengucapkan dua kalimat syahadat,  dibimbing oleh KH Syihabuddin Hamid, disaksikan oleh Ustaz Machmud Musa serta puluhan jemaah. Sejurus kemudian, mereka berurai air mata. “Saya menangis terharu karena suami saya sudah punya satu pegangan bahwa Allah itu ada. Dulu dia itu tidak percaya bahwa Tuhan itu ada,” kenang Mimi, isterinya. 

            Sejak itu, nama baptis Andrianus Christianus diganti dengan Sulaiman. Nama Sulaiman, seorang nabi yang sangat dekat dengan dunia hewan, sengaja dipilih karena profesi Andre yang berbisnis binatang. Sedangkan nama isterinya, Maria Margaretha Mimi Maryati, diganti dengan Khumaerah – panggilan kesayangan yang diberikan oleh Rasulullah SAW kepada Aisyiah, isterinya. “Nama-nama itu pemberian Ustaz Musa. Dan kami bangga menerimanya,” kata mereka hampir bareng. 

            Sejak itu mereka belajar agama kepada ustaz Musa. Tapi, Khumaerah bingung bagaimana caranya bisa membaca Al-Quran dengan cepat, sementara usianya sudah semakin tua. “Ternyata setelah saya jalani, hanya belajar dua tiga kali saja saya sudah bisa membaca dengan cukup fasih,” katanya. Selain itu mereka tentu juga belajar salat. Mula-mula belajar wudhu, kemudian mempelajari bacaan salat serta surat-surat Al-Quran yang pendek-pendek. “Alhamdulillah, Allah SWT memberi kemudahan kepada kami,” ujar Khumaerah sambil tak henti-hentinya bersyukur. 

            Kini, meski belum dikaruniai keturunan, mereka hidup dalam berkah dan rahmat Allah, sebuah keluarga yang sakinah alias berbahagia. Dalam mengarungi samudera kehidupan, mereka hanya ingin selalu berserah diri kepada Allah. Setiap kali berdoa mereka tidak mohon harta berlimpah atau bisnis lancar, misalnya, melainkan mohon ridha, berkah, dan maghfirah, selamat dunia akhirat; mampu mengakhiri kehidupan sebagai khusnul khatimah. Amin.
Domery Alpacino
Catatan: Pernah dimuat di majalah Islam Alkisah


Tidak ada komentar:

Posting Komentar