Dakwahnya selalu tampil berkobar-kobar dan
mampu memikat jemaah. Tawaran berceramah
ke beberapa daerah Indonesia pun mengalir, bahkan sampai ke luar negeri
mabok-sholawat.blogspot.com |
Di rumah kecil itulah Ustaz Muhammad
Zulkarnain dan istri tinggal. “Rumah ini dipinjami bapak Rudi, seorang guru
SMPN Parung, selama lima tahun. Ia ingin ada seorang ustadz yang mau sepenuhnya
membina masyarakat daerah ini agar lebih islami dan kebetulan saya bersedia,”
tutur Zulkarnain yang sudah 38 tahun menyempurnakan
agamanya dengan memeluk Islam.
Merasa ini sebuah amanah, Zulkarnain yang
baru menempati rumah itu sejak Nopember 2004 lalu langsung melakukan dakwah. Caranya?
Mula-mula ia membuat taman bunga di belakang bangunan rumahnya. Para tetangga,
khususnya ibu-ibu yang sedang menyuapi anaknya mulai mendekat dan melihat-lihat
taman itu. Di sinilah mulai terjadi kontak. Lambat laun, Zulkarnain membujuk
mereka untuk mendirikan sebuah pengajian atau majelis taklim.
Akhirnya, mereka bersedia. Dan, di taman
kecil inilah mereka mengadakan pengajian setiap dua minggu sekali, bada ashar hingga
menjelang maghrib. Ada sekitar 50 ibu-ibu yang aktif mengikuti majelis taklim Al-Inayah
ini. Zulkarnain pun selalu mengisi tausiah keimanan kepada mereka.
“Alhamdulillah, ada peningkatan dari sisi akidah dan akhlaq. Misalnya, mereka
yang tadinya keluar rumah hanya pakai celana pendek atau pakaian seadanya, kini
menutup auratnya,” ungkap Zulkarnain yang sudah menulis buku tentang Islam
lebih dari 46 judul dengan hanya menggunakan sebuah mesin ketik tua.
Zulkarnain juga mengajak anak-anak mereka
untuk belajar membaca Al-Quran dan ilmu agama. Di taman ini pula, ia mengajari
anak-anak kecil setiap hari, kecuali malam Jumat, setiap bada ashar hingga
menjelang maghrib. Ada sekitar 46 anak-anak (dari TK hingga SD kelas tiga)
rajin belajar membaca Al-Quran dengan metode Iqra. Bila kumandang azan mahgrib membelah
langit perumahan itu, Zulkarnain bersama anak-anak kecil itu berangkat ke
mushola dan pulang bersama-sama pula. Setiba di rumah hingga menjelang salat
isya, Zulkarnain memberi pelajaran membaca Al-Quran dan Tajwid kepada anak-anak
SD kelas empat sampai dengan SMP kelas dua. Jumlahnya ada sekitar 40 anak. Dalam
melaksanakan kegiatannya itu, ia dibantu istri dan Wida, seorang anak tetangga
yang masih duduk di kelas dua aliyah pondok pesantren An-Najah, Tangerang.
Sementara dua minggu sekali, selepas isya
hingga menjelang tengah malam, Zulkarnain memberi pelajaran agama Islam dan
kajian Kristologi (membahas berbagai masalah yang
berhubungan dengan kekristenan lewat titik pandang Al-Quran dan hadis) kepada para remaja,
juga di taman bunga itu. Jumlahnya mencapai 70 orang. Dan, setiap Rabu malam
Kamis, ia memberi pelajaran bahasa Inggris kepada mereka.
Setelah merangkul ibu-ibu dan anak-anak,
akhirnya Zulkarnain bisa dengan mudah merangkul bapak-bapak mendirikan majelis
taklim Al-Mantiq. Setiap dua minggu sekali selepas isya, ia mengisi tausiah
keagamaan di majelis taklim ini, yang juga bertempat di taman bunga itu.
Setelah majelis taklim ibu-ibu dan
bapak-bapak berjalan lancar, Zulkarnain mengusung kegiatan taklim itu di
mushola, tidak jauh dari tempat tinggalnya. Ia ingin mengajak mereka mencintai
masjid. Sedang kegiatan mengaji anak-anak tetap di taman buatan Zulkarnain. “Mereka
tampak lebih kerasan belajar di taman karena banyak bunga warna-warni,” paparnya.
Zulkarnain memang sangat sibuk berdakwah.
Selain dakwah di lingkungan tempat tinggalnya, ia berdakwah di beberapa masjid
di Jakarta. Misalnya, setiap bulan sekali ia memberi pelajaran agama Islam dan
kajian Kristologi di masjid Al-Ikhlas, Tanjung Priuk, Jakarta Utara. Belum lagi
kegiatannya memenuhi beberapa undangan berdakwah di beberapa tempat. Itupun
tidak tetap. Bahkan, jauh sebelumnya, hampir setiap hari tak ada waktu luang
untuk istirahat: ia selalu keliling Indonesia untuk berdakwah.
Dalam
safari dakwahnya Zulkarnain banyak melayani umat kelas bawah. “Sebab, di kelas
atas sudah banyak yang berdakwah. Tapi, di kelas pinggiran atau bawah para ustadz
jarang yang bersedia membagi ilmu secara ikhlas. Padahal, kita menjadi mubaligh
itu sebetulnya untuk kelas bawah,” katanya.
Pernah suatu hari ia menderita sakit usus
buntu, dan harus segera dioperasi. Padahal, saat itu ia tidak memiliki uang
sepeser pun. Tapi, berkat rezeki dari Allah, tiba-tiba ada seseorang memberi
uang untuk membayar operasi. “Jadi, kuncinya hilangkanlah ketakutan dan
kekhawatiran. Siapa yang takut pada hari esok, dia akan mendapat musibah.
Sebaliknya bila dia optimis, akan mendapat rejeki. Ini yang namanya iman,
optimis dengan tetap mengharapkan pertolongan Allah,” ujarnya seraya mengutip
surat Al-Baqarah, yang artinya, “dan bagi orang yang taqwa dan tawakal akan
dibangkitkan penolong-penolong”.
Beberapa hari lalu, tepatnya Awal Juli 2005,
ia juga pernah mendapat segepok rejeki dari Allah melalui perantara seorang
BPKP (Badan Pemeriksa Keuangan Pemerintah). Rejeki itu tidak dimakannya
sendiri, melainkan dibagi untuk menghitankan 20 anak kurang mampu di sekitar
tempat tinggalnya, bahkan setiap anak itu mendapat berbagai macam hadiah.
“Meski hidup saya pas-pasan, tapi saya lebih bahagia bila ada yang lebih
membutuhkan,” ujarnya.
Karena begitu cintanya pada masyarakat kelas
bawah, Zulkarnain juga mau dikirim di daerah terpencil Wakatobi dan Sangir
Talaud, Sulawesi Selatan, pada bulan ini (dari Agustus hingga beberapa bulan
lamanya). Prof. Dr. Muchtar Adam, pimpinan pondok pesantren Al-Quran
Babussalam, Dago Atas, Bandung meminta Zulkarnain untuk membina wirausaha
hasil-hasil kelautan di pondok-pondok terpencil di daerah itu. Sementara malam
harinya, ia akan memberi pelajaran agama Islam dan kajian Kristologi.
Perjalanan hidupnya penuh lika-liku derita.
Pada 6 Juni 1943, di sebuah rumah di Pekalongan, Jawa Tengah, yang sumpek oleh
asap dapur tempat orang mengoreng emping melinjo, seorang bayi lelaki – yang
kemudian diberi nama Eddy Hendrik – lahir pada saat matahari baru terbit. Lahir
dari keluarga kristiani, pada 28 Desember 1949 Eddy dibaptis dengan nama baru:
Eddy Crayn Hendrik.
Eddy kecil hidup di tengah keluarga miskin.
Begitu miskinnya sehingga untuk melengkapi air susu ibundanya yang kurus
kering, sesekali Eddy kecil minum air nasi hangat ditambah sedikit gula. Meski
demikian, anak semata wayang itu tumbuh menjadi bocah yang cerdas.
Ibundanya keturunan Tionghoa, ayahandanya
asli NTT, keduanya penganut Kristen Protestan. Ayahnya yang lulusan sekolah
pendeta Kweekschool van het Leger des Heils dan MULO Bandung, tentu saja
mendidik Eddy dalam kehidupan Kristen Protestan pula. Tapi, entah mengapa, Eddy
kecil disekolahkan di Sekolah Rakyat Rooms Katholiek.
Menginjak usia remaja, Eddy sudah mampu
memimpin ritual lengkap di gereja. Ia kadang menggantikan ayahandanya yang
berhalangan atau terlambat hadir di gereja. Tak heran, jika orangtuanya
berharap kelak ia menjadi seorang pendeta.
Tamat dari SMP Kristen di Kupang (1961), Eddy
merantau seorang diri ke Jakarta, lantas belajar di Sekolah Asisten Apoteker di
Kramat Raya. Selain mendidik menjadi asisten apoteker, sekolah ini juga
mendidik para siswa menjadi pendeta. Bila liburan sekolah tiba, ia suka
berkunjung ke pamannya yang tinggal di Surabaya.
Suatu pagi, dalam kereta api menuju Surabaya,
Eddy duduk berdampingan dengan seorang kyai bernama KH Machmud. Sebagai seorang
Kristen yang taat, Eddy selalu membaca Alkitab, termasuk di kereta api. Suatu
saat Kyai Mahmud menanyakan apa buku yang dibaca Eddy. “Ini Kitab Injil, kasih
Yesus Kristus yang kudus sebagai sang juru selamat manusia. Dan, Yesus adalah
anak Tuhan,” jawab Eddy.
Kyai Machmud tersenyum. Setelah mereka
berkenalan, obrolan berlanjut semakin serius. “Dalam pandangan Islam, Tuhan
tidaklah harus mati. Bagaimana mungkin Tuhan yang Maha Besar itu dapat mati. Menurut
ajaran nabi kami, Nabi Muhammad, berdasarkan wahyu Ilahi, Allah itu Maha Esa,
tidak beranak dan tidak diperanakkan. Dan Allah tidak dapat pula dibandingkan
dengan sesuatu lainnya,” kata Kyai Machmud. “Ananda tadi menyebutkan, Yesus
anak Tuhan. Misalnya, Yesus kawin dengan seorang manusia, apakah jenis anak
Yesus itu? Tuhankah atau manusiakah, atau setengah Tuhan setengah manusia?”
tambah Kyai Machmud.
Mendapat uraian sederhana itu, Eddy
terperangah, iman kristianinya goyah. Ia pun kemudian merenung dalam-dalam:
“Kalau bisa mati, tentulah bukan Tuhan. Kalau bisa beranak, tentu bukan Tuhan.
Yang bisa beranak tentulah hanya manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan.” Tapi, bukan
Eddy namanya kalau menyerah begitu saja. “Tapi, bukankah Islam identik dengan
Darul Islam, memperbolehkan banyak istri. Dan bukankah Islam itu ortodoks,
bukankah orang-orang Islam itu jorok, bodoh, suka mencuri dan merampok?”
katanya bertubi-tubi.
Tapi, Kyai Mahmud menyambut serangan itu
dengan tenang. “Kalau berbicara tentang Islam janganlah berbicara tentang
umatnya. Saya bukan anggota Darul Islam, dan isteri saya hanya seorang. Saya
tidak melimpahkan dosa-dosa saya ke pundak orang lain, apalagi kepada tokoh
yang dianggap suci. Alangkah kejinya bila hal itu dilakukan. Ananda yang suka mencuri
atau membunuh, misalnya, lalu melemparkan dosa kepada saya. Nah, perbuatan
baikkah itu?” jawab Kyai Machmud.
Tak terasa, kereta api sudah sampai di
Stasiun Tawang, Semarang. Kyai Machmud bangkit dari tempat duduknya dan permisi
turun. Sebelum turun, ia sempat mengucap: “Saya yakin, ananda Eddy suatu saat
akan mencari kebenaran Islam.” Kini, tinggalah Eddy dalam kereta api menuju
Surabaya. Pikirannya terus berkecamuk memikirkan argumentasi Kyai Machmud. Tiba
di Surabaya, ia membatalkan rencananya bertamasya ke kebun binatang Wonokromo
dengan pacarnya. Pikirannya goyah. Maka ia pun berjalan-jalan seorang diri,
lalu mampir ke sebuah toko buku di Tunjungan.
Di
situlah ia menemukan sebuah buku berjudul Pelajaran Agama Islam karya
Prof. Dr. Hamka. Merasa penasaran, ia membelinya. Semalaman ia baca buku
setebal lebih dari 300 halaman itu hingga tuntas. Dalam buku itu ia tidak
menemukan ajaran untuk saling membunuh, ajakan berperang, dan kawin dengan
banyak istri. Sejak itulah Eddy mengenal Islam.
Akhirnya ia sadar. Ia merasa selama ini telah
diperbodoh oleh guru-gurunya. Karena semakin penasaran, ia bolak-balik ke toko
buku tersebut hingga beberapa kali. Beberapa buku tentang Islam dibelinya. Tak
terasa, liburan yang 14 hari habis sudah. Eddy pun kembali ke Jakarta. Suatu
hari, di hadapan para pendeta dan kepala sekolahnya, ia mengemukakan segala
sesuatu tentang Islam yang dibacanya dari sejumlah buku itu. “Kamu bodoh dan
tidak masuk akal. Kamu tidak boleh mengilmiah-ilmiahkan Yesus,” ujar Calis,
kepala sekolahnya. Perdebatan dengan kepala sekolah memuncak, sampai-sampai
Calis menggebrak meja dan mengusir Eddy keluar ruangan.
Eddy pun keluar ruangan. Di luar, para calon
pendeta sudah menghadangnya ingin mengetahui apa gerangan yang baru saja
terjadi. Dengan suara lantang, ia berkotbah: “Allah itu tidak makan, sedang
Yesus diberi makan oleh Maria. Kesimpulannya, Yesus bukanlah Allah. Allah tidak
bersedih dan menangis, sedang Yesus suka bersedih dan menangis. Kesimpulannya,
Yesus bukanlah Allah. Allah tidak beranak dan diperanakkan, sedang Yesus
diperanakkan oleh Maria. Kesimpulannya, Yesus bukanlah Allah. Allah membuat
hukumnya sendiri, sedang Yesus tunduk pada hukum Allah. Jadi, Yesus bukanlah
Allah,” tambah Eddy.
Mendengar pendapat Eddy, para calon pendeta
pun geger. Mereka kemudian menuding Eddy sebagai manusia yang telah dikuasai
setan karena menyangkal Yesus Kristus. “Eddy telah murtad. Harus diusir dari
sekolah,” teriak mereka. Berita heboh ini cepat tersiar ke jemaah gereja,
termasuk kedua orangtua Eddy di NTT. Ketika ia pulang, orangtuanya tak lagi
semesra dulu. Tapi, bagi Eddy peristiwa itu merupakan tonggak pertama
kedekatannya dengan kebenaran.
Dalam pengembaraan spriritualnya mencari
Islam, Eddy masih harus menghadapi cobaan. Suatu hari ia menginap di rumah
pamannya di Sumbawa. Tiba-tiba ia kepergok sedang membaca buku Hadist Shahih
Bukhari Muslim. Seketika pamannya marah, dan terjadilah perang mulut hingga
sang paman memukul Eddy. Eddy tidak tinggal diam. Ia balas memukul hingga
pamannya babak belur.
Belakangan,
Eddy dilaporkan ke polisi dan ditahan. “Eddy bisa bebas, asal minta maaf kepada
pamannya serta mengurungkan niatnya masuk Islam,” kata Eddy menirukan ucapan
sang paman yang disampaikan oleh seorang polisi. Tapi, Eddy memilih tinggal sel
tahanan untuk beberapa bulan lamanya ketimbang mengurungkan niatnya mempelajari
Islam.
Eddy kemudian menuju ke daerah Dompu, Sumbawa
Timur, tinggal bersama Efraim Lalay, pamannya yang lain yang bekerja sebagai
polisi. Di Dompu ia sempat mengajar di sebuah SMP dan SMA. Tapi, lagi-lagi ia
mendapat cobaan: pamannya sering membujuk Eddy pergi ke gereja. Malah, suatu
hari, ia bahkan diperkenalkan sebagai seorang misionaris. Tentu saja, ini
bertentangan dengan batin Eddy yang sedang mencari kebenaran Islam. Perang batin
pun semakin tajam. Kata hatinya semakin menjerit untuk segera mengikrarkan dua
kalimat syahadat. Hanya saja, ia belum mampu melakukannya.
Di tengah kebimbangan, suatu malam Eddy
bermimpi. Seseorang memeluk pinggangnya di tengah gedung-gedung tinggi yang
hendak ambruk. Tiba-tiba, masih dalam mimpi, orang itu bertanya kepada Eddy,
“Bila kiamat tiba, kamu memilih Islam atau masih memeluk Protestan?” Di malam
yang sangat dingin, Eddy terjaga. Belakangan ia menanyakan tafsir mimpi itu
kepada seseorang. “Eddy harus segera masuk Islam dengan disunat terlebih dulu,”
kata juru tafsir mimpi itu.
Tanpa menunggu, Eddy segera ke Rumah Sakit
Umum Dompu minta disunat. Dasar anak mbeling, usai disunat ia langsung
naik sepeda. Akibatnya, tubuhnya panas dingin selama beberapa hari. Setelah
sembuh, pagi-pagi buta ia menemui Pak Lepong, kepala Kantor Urusan Agama
setempat untuk menyatakan masuk Islam.
Setelah mungucapkan dua kalimah syahadat, di
hadapan karyawan KUA Dompu, Eddy menceritakan sejarah panjang hidupnya. Tak terasa,
semua yang hadir meneteskan air mata. Terharu campur bahagia!
Eddy kemudian mendapat nama baru, Muhammad
Zulkarnain. Pasalnya, ia masuk Islam tepat di bulan Maulud, dan diharapkan
mampu tampil sebagai pemimpin besar yang memiliki segudang ilmu seperti
Iskandar Zulkarnain. Maka, Dompu kawasan yang kecil itu pun hebohlah. Seorang
guru SMA masuk Islam bukan lantaran kawin! Dan kabar itu tentu saja sampai juga
ke telinga pamannya.
Sang paman yang polisi memburu kemenakannya.
Tak disangka, tiga butir peluru ditembakkan ke arah Eddy. Tak kalah sigap,
Zulkarnain lari menyelinap di balik pekarangan rumah penduduk, dan terjerembab
di sela-sela kayu. Ia selamat.
Ia mengendap-endap menuju rumah Haji Machmud,
mantan Bupati Dompu – bukan Kyai Machmud yang ia kenal di kereta api tempo
hari. Di rumah inilah Zulkarnain dilindungi. Tapi, ternyata Efraim Lalay tahu
ke mana kemenakannya bersembunyi. Sang paman segera memburu kemenakannya ke
rumah Haji Machmud. Tapi, dengan tegas tuan rumah berkata: “Siapa pun yang masuk
ke rumah ini dan saya terima, ia dalam lindungan saya. Jika ada yang
mengganggu, nyawa saya taruhannya.” Terpaksalah Lalay pulang dengan kesal.
Meski begitu, Zulkarnain masih belum merasa
aman. Maka ia pun menuju Bima, minta perlindungan kepada Thayeb Abdullah
Thayeb, tokoh masyarakat setempat. Namun, di tempat ini pun ternyata jiwanya
masih terancam. Banyak warga Bima yang penasaran ingin mendengar cerita
Zulkarnain masuk Islam. Bukan hanya itu, sejumlah anggota polisi – teman-teman
Efraim Lalay – masih juga berusaha memburunya.
Apa boleh buat, akhirnya Zulkarnain lari
lagi, kali ini ke sebuah pelabuhan dan bersembunyi di sebuah kapal. Di sini ia
dilindungi oleh para anak buah kapal (ABK). Tapi rupanya Efraim Lalay masih
juga memburunya. Dan akhirnya Zulkarnain tertangkap dan dijebloskan dalam sel
tahanan.
Keluar dari kantor polisi, ia lari ke Alas,
sebuah kota pelabuhan kecil di ujung barat Sumbawa. Di sini ia diterima Tuan
Guru Hamzawadi, tokoh Nahdhatul Wathan. Bahkan ia sempat tinggal beberapa bulan
di daerah ini. Merasa tak betah, ia merantau ke Mataram. Setelah beberapa hari
tinggal di Mataram, ia meneruskan
perjalanan ke Denpasar. Dalam perjalanan ia bertemu dengan seorang brigjen
polisi – yang belakangan mengajaknya ke Surabaya.
Di Surabaya Zulkarnain dipertemukan dengan
Ustadz Umar Hubeis, tokoh Al-Irsyad Jawa Timur. Setelah mendengar perjalanan
hidup Zulkarnaen yang sangat mengenaskan, Ustadz Umar menggelar tabligh akbar,
khusus untuk menyambut Zulkarnain – yang diperkenalkan kepada kaum muslimin
Surabaya. Zulkarnain merasa beruntung karena sempat berguru kepada Ustadz Umar
Hubeis.
Melihat semangat Zulkarnain menuntut ilmu
agama begitu tinggi, Ustadz Umar mengirim Zulkarnain ke Pekalongan untuk
belajar agama kepada Ustadz Juneid. Beberapa bulan kemudian Uztadz Juneid
mengirim Zulkarnain untuk belajar agama kepada Buya Hamka di Masjid Al-Azhar
Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Zulkarnain juga sempat menuntut ilmu kepada
Mohammad Natsir dan Yunan Nasution di Masjid Almunawarah, Tanah Abang, Jakarta
Pusat.
Lambat laun, Zulkarnain mulai berani
berceramah. Dalam setiap kali berceramah, ia selalu tampil berkobar-kobar dan
mampu memikat jemaah. Ia pun akhirnya banyak dikenal umat. Tawaran berceramah
ke beberapa daerah Indonesia pun mengalir. Bahkan, pada tahun 1973, dengan
rekomendasi Daud Beureueh, tokoh ulama Aceh yang kharismatik itu, ia berceramah
di Universitas Kebangsaan di Malaysia dan di Singapura.
Gara-gara khotbah-khotbahnya yang “keras,” ia
sempat dituduh memprovokasi umat Islam untuk menyerang pemerintahan yang sah.
Bahkan, sebagian umat Islam sendiri ada yang menuduhnya sebagai orang Kristen
yang menyusup ke dalam komunitas muslim. Akibatnya ia sering ditangkap dan
dijebloskan ke penjara.
Karena sering masuk keluar penjara, ia
menderita sakit berbulan-bulan lamanya. Mereka kemudian pindah ke Pemalang,
Jawa Tengah, untuk “menyepi,” tinggal di sebuah rumah kecil sederhana di
pesisir pantai yang landai. Tapi, justru di tempat terpencil dan sepi di
kawasan pantai inilah, kedamaian dan kebahagiaan hidup mereka peroleh, hingga
mereka dikaruniai Allah SWT seorang anak.
Untuk menopang hidup sehari-hari, mereka membuat kerajinan tangan dari
kerang. Singkat cerita, beberapa tahun kemudian, mereka pindah ke Jakarta.
Tinggal dari satu rumah ke rumah lain, Zulkarnain tetap berdakwah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar