Laman

Rabu, 06 Juli 2005

Zulkarnain dari Timur

Dakwahnya selalu tampil berkobar-kobar dan mampu memikat jemaah. Tawaran berceramah ke beberapa daerah Indonesia pun mengalir, bahkan sampai ke luar negeri

mabok-sholawat.blogspot.com
Rumah itu kecil, hanya tipe 21. Berdiri di lahan seluas tak lebih dari 90 M2 di Perumnas Suradita, Cisauk, Tangerang, Banten. Ruang tamunya tanpa meja dan kursi, yang ada hanyalah ratusan buku tentang Islam bemacam judul yang tersusun rapi di sebuah rak.

Di rumah kecil itulah Ustaz Muhammad Zulkarnain dan istri tinggal. “Rumah ini dipinjami bapak Rudi, seorang guru SMPN Parung, selama lima tahun. Ia ingin ada seorang ustadz yang mau sepenuhnya membina masyarakat daerah ini agar lebih islami dan kebetulan saya bersedia,” tutur Zulkarnain yang sudah 38 tahun menyempurnakan agamanya dengan memeluk Islam.


Merasa ini sebuah amanah, Zulkarnain yang baru menempati rumah itu sejak Nopember 2004 lalu langsung melakukan dakwah. Caranya? Mula-mula ia membuat taman bunga di belakang bangunan rumahnya. Para tetangga, khususnya ibu-ibu yang sedang menyuapi anaknya mulai mendekat dan melihat-lihat taman itu. Di sinilah mulai terjadi kontak. Lambat laun, Zulkarnain membujuk mereka untuk mendirikan sebuah pengajian atau majelis taklim.

Akhirnya, mereka bersedia. Dan, di taman kecil inilah mereka mengadakan pengajian setiap dua minggu sekali, bada ashar hingga menjelang maghrib. Ada sekitar 50 ibu-ibu yang aktif mengikuti majelis taklim Al-Inayah ini. Zulkarnain pun selalu mengisi tausiah keimanan kepada mereka. “Alhamdulillah, ada peningkatan dari sisi akidah dan akhlaq. Misalnya, mereka yang tadinya keluar rumah hanya pakai celana pendek atau pakaian seadanya, kini menutup auratnya,” ungkap Zulkarnain yang sudah menulis buku tentang Islam lebih dari 46 judul dengan hanya menggunakan sebuah mesin ketik tua.

Zulkarnain juga mengajak anak-anak mereka untuk belajar membaca Al-Quran dan ilmu agama. Di taman ini pula, ia mengajari anak-anak kecil setiap hari, kecuali malam Jumat, setiap bada ashar hingga menjelang maghrib. Ada sekitar 46 anak-anak (dari TK hingga SD kelas tiga) rajin belajar membaca Al-Quran dengan metode Iqra. Bila kumandang azan mahgrib membelah langit perumahan itu, Zulkarnain bersama anak-anak kecil itu berangkat ke mushola dan pulang bersama-sama pula. Setiba di rumah hingga menjelang salat isya, Zulkarnain memberi pelajaran membaca Al-Quran dan Tajwid kepada anak-anak SD kelas empat sampai dengan SMP kelas dua. Jumlahnya ada sekitar 40 anak. Dalam melaksanakan kegiatannya itu, ia dibantu istri dan Wida, seorang anak tetangga yang masih duduk di kelas dua aliyah pondok pesantren An-Najah, Tangerang.

Sementara dua minggu sekali, selepas isya hingga menjelang tengah malam, Zulkarnain memberi pelajaran agama Islam dan kajian Kristologi (membahas berbagai masalah yang berhubungan dengan kekristenan lewat titik pandang Al-Quran dan hadis) kepada para remaja, juga di taman bunga itu. Jumlahnya mencapai 70 orang. Dan, setiap Rabu malam Kamis, ia memberi pelajaran bahasa Inggris kepada mereka.

Setelah merangkul ibu-ibu dan anak-anak, akhirnya Zulkarnain bisa dengan mudah merangkul bapak-bapak mendirikan majelis taklim Al-Mantiq. Setiap dua minggu sekali selepas isya, ia mengisi tausiah keagamaan di majelis taklim ini, yang juga bertempat di taman bunga itu.

Setelah majelis taklim ibu-ibu dan bapak-bapak berjalan lancar, Zulkarnain mengusung kegiatan taklim itu di mushola, tidak jauh dari tempat tinggalnya. Ia ingin mengajak mereka mencintai masjid. Sedang kegiatan mengaji anak-anak tetap di taman buatan Zulkarnain. “Mereka tampak lebih kerasan belajar di taman karena banyak bunga warna-warni,” paparnya.

Zulkarnain memang sangat sibuk berdakwah. Selain dakwah di lingkungan tempat tinggalnya, ia berdakwah di beberapa masjid di Jakarta. Misalnya, setiap bulan sekali ia memberi pelajaran agama Islam dan kajian Kristologi di masjid Al-Ikhlas, Tanjung Priuk, Jakarta Utara. Belum lagi kegiatannya memenuhi beberapa undangan berdakwah di beberapa tempat. Itupun tidak tetap. Bahkan, jauh sebelumnya, hampir setiap hari tak ada waktu luang untuk istirahat: ia selalu keliling Indonesia untuk berdakwah.
            Dalam safari dakwahnya Zulkarnain banyak melayani umat kelas bawah. “Sebab, di kelas atas sudah banyak yang berdakwah. Tapi, di kelas pinggiran atau bawah para ustadz jarang yang bersedia membagi ilmu secara ikhlas. Padahal, kita menjadi mubaligh itu sebetulnya untuk kelas bawah,” katanya.

Pernah suatu hari ia menderita sakit usus buntu, dan harus segera dioperasi. Padahal, saat itu ia tidak memiliki uang sepeser pun. Tapi, berkat rezeki dari Allah, tiba-tiba ada seseorang memberi uang untuk membayar operasi. “Jadi, kuncinya hilangkanlah ketakutan dan kekhawatiran. Siapa yang takut pada hari esok, dia akan mendapat musibah. Sebaliknya bila dia optimis, akan mendapat rejeki. Ini yang namanya iman, optimis dengan tetap mengharapkan pertolongan Allah,” ujarnya seraya mengutip surat Al-Baqarah, yang artinya, “dan bagi orang yang taqwa dan tawakal akan dibangkitkan penolong-penolong”.

Beberapa hari lalu, tepatnya Awal Juli 2005, ia juga pernah mendapat segepok rejeki dari Allah melalui perantara seorang BPKP (Badan Pemeriksa Keuangan Pemerintah). Rejeki itu tidak dimakannya sendiri, melainkan dibagi untuk menghitankan 20 anak kurang mampu di sekitar tempat tinggalnya, bahkan setiap anak itu mendapat berbagai macam hadiah. “Meski hidup saya pas-pasan, tapi saya lebih bahagia bila ada yang lebih membutuhkan,” ujarnya.

Karena begitu cintanya pada masyarakat kelas bawah, Zulkarnain juga mau dikirim di daerah terpencil Wakatobi dan Sangir Talaud, Sulawesi Selatan, pada bulan ini (dari Agustus hingga beberapa bulan lamanya). Prof. Dr. Muchtar Adam, pimpinan pondok pesantren Al-Quran Babussalam, Dago Atas, Bandung meminta Zulkarnain untuk membina wirausaha hasil-hasil kelautan di pondok-pondok terpencil di daerah itu. Sementara malam harinya, ia akan memberi pelajaran agama Islam dan kajian Kristologi.

Perjalanan hidupnya penuh lika-liku derita. Pada 6 Juni 1943, di sebuah rumah di Pekalongan, Jawa Tengah, yang sumpek oleh asap dapur tempat orang mengoreng emping melinjo, seorang bayi lelaki – yang kemudian diberi nama Eddy Hendrik – lahir pada saat matahari baru terbit. Lahir dari keluarga kristiani, pada 28 Desember 1949 Eddy dibaptis dengan nama baru: Eddy Crayn Hendrik.

Eddy kecil hidup di tengah keluarga miskin. Begitu miskinnya sehingga untuk melengkapi air susu ibundanya yang kurus kering, sesekali Eddy kecil minum air nasi hangat ditambah sedikit gula. Meski demikian, anak semata wayang itu tumbuh menjadi bocah yang cerdas.

Ibundanya keturunan Tionghoa, ayahandanya asli NTT, keduanya penganut Kristen Protestan. Ayahnya yang lulusan sekolah pendeta Kweekschool van het Leger des Heils dan MULO Bandung, tentu saja mendidik Eddy dalam kehidupan Kristen Protestan pula. Tapi, entah mengapa, Eddy kecil disekolahkan di Sekolah Rakyat Rooms Katholiek.

Menginjak usia remaja, Eddy sudah mampu memimpin ritual lengkap di gereja. Ia kadang menggantikan ayahandanya yang berhalangan atau terlambat hadir di gereja. Tak heran, jika orangtuanya berharap kelak ia menjadi seorang pendeta.

Tamat dari SMP Kristen di Kupang (1961), Eddy merantau seorang diri ke Jakarta, lantas belajar di Sekolah Asisten Apoteker di Kramat Raya. Selain mendidik menjadi asisten apoteker, sekolah ini juga mendidik para siswa menjadi pendeta. Bila liburan sekolah tiba, ia suka berkunjung ke pamannya yang tinggal di Surabaya.

Suatu pagi, dalam kereta api menuju Surabaya, Eddy duduk berdampingan dengan seorang kyai bernama KH Machmud. Sebagai seorang Kristen yang taat, Eddy selalu membaca Alkitab, termasuk di kereta api. Suatu saat Kyai Mahmud menanyakan apa buku yang dibaca Eddy. “Ini Kitab Injil, kasih Yesus Kristus yang kudus sebagai sang juru selamat manusia. Dan, Yesus adalah anak Tuhan,” jawab Eddy.

Kyai Machmud tersenyum. Setelah mereka berkenalan, obrolan berlanjut semakin serius. “Dalam pandangan Islam, Tuhan tidaklah harus mati. Bagaimana mungkin Tuhan yang Maha Besar itu dapat mati. Menurut ajaran nabi kami, Nabi Muhammad, berdasarkan wahyu Ilahi, Allah itu Maha Esa, tidak beranak dan tidak diperanakkan. Dan Allah tidak dapat pula dibandingkan dengan sesuatu lainnya,” kata Kyai Machmud. “Ananda tadi menyebutkan, Yesus anak Tuhan. Misalnya, Yesus kawin dengan seorang manusia, apakah jenis anak Yesus itu? Tuhankah atau manusiakah, atau setengah Tuhan setengah manusia?” tambah Kyai Machmud.

Mendapat uraian sederhana itu, Eddy terperangah, iman kristianinya goyah. Ia pun kemudian merenung dalam-dalam: “Kalau bisa mati, tentulah bukan Tuhan. Kalau bisa beranak, tentu bukan Tuhan. Yang bisa beranak tentulah hanya manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan.” Tapi, bukan Eddy namanya kalau menyerah begitu saja. “Tapi, bukankah Islam identik dengan Darul Islam, memperbolehkan banyak istri. Dan bukankah Islam itu ortodoks, bukankah orang-orang Islam itu jorok, bodoh, suka mencuri dan merampok?” katanya bertubi-tubi.

Tapi, Kyai Mahmud menyambut serangan itu dengan tenang. “Kalau berbicara tentang Islam janganlah berbicara tentang umatnya. Saya bukan anggota Darul Islam, dan isteri saya hanya seorang. Saya tidak melimpahkan dosa-dosa saya ke pundak orang lain, apalagi kepada tokoh yang dianggap suci. Alangkah kejinya bila hal itu dilakukan. Ananda yang suka mencuri atau membunuh, misalnya, lalu melemparkan dosa kepada saya. Nah, perbuatan baikkah itu?” jawab Kyai Machmud.

Tak terasa, kereta api sudah sampai di Stasiun Tawang, Semarang. Kyai Machmud bangkit dari tempat duduknya dan permisi turun. Sebelum turun, ia sempat mengucap: “Saya yakin, ananda Eddy suatu saat akan mencari kebenaran Islam.” Kini, tinggalah Eddy dalam kereta api menuju Surabaya. Pikirannya terus berkecamuk memikirkan argumentasi Kyai Machmud. Tiba di Surabaya, ia membatalkan rencananya bertamasya ke kebun binatang Wonokromo dengan pacarnya. Pikirannya goyah. Maka ia pun berjalan-jalan seorang diri, lalu mampir ke sebuah toko buku di Tunjungan. 

            Di situlah ia menemukan sebuah buku berjudul Pelajaran Agama Islam karya Prof. Dr. Hamka. Merasa penasaran, ia membelinya. Semalaman ia baca buku setebal lebih dari 300 halaman itu hingga tuntas. Dalam buku itu ia tidak menemukan ajaran untuk saling membunuh, ajakan berperang, dan kawin dengan banyak istri. Sejak itulah Eddy mengenal Islam.

Akhirnya ia sadar. Ia merasa selama ini telah diperbodoh oleh guru-gurunya. Karena semakin penasaran, ia bolak-balik ke toko buku tersebut hingga beberapa kali. Beberapa buku tentang Islam dibelinya. Tak terasa, liburan yang 14 hari habis sudah. Eddy pun kembali ke Jakarta. Suatu hari, di hadapan para pendeta dan kepala sekolahnya, ia mengemukakan segala sesuatu tentang Islam yang dibacanya dari sejumlah buku itu. “Kamu bodoh dan tidak masuk akal. Kamu tidak boleh mengilmiah-ilmiahkan Yesus,” ujar Calis, kepala sekolahnya. Perdebatan dengan kepala sekolah memuncak, sampai-sampai Calis menggebrak meja dan mengusir Eddy keluar ruangan.

Eddy pun keluar ruangan. Di luar, para calon pendeta sudah menghadangnya ingin mengetahui apa gerangan yang baru saja terjadi. Dengan suara lantang, ia berkotbah: “Allah itu tidak makan, sedang Yesus diberi makan oleh Maria. Kesimpulannya, Yesus bukanlah Allah. Allah tidak bersedih dan menangis, sedang Yesus suka bersedih dan menangis. Kesimpulannya, Yesus bukanlah Allah. Allah tidak beranak dan diperanakkan, sedang Yesus diperanakkan oleh Maria. Kesimpulannya, Yesus bukanlah Allah. Allah membuat hukumnya sendiri, sedang Yesus tunduk pada hukum Allah. Jadi, Yesus bukanlah Allah,” tambah Eddy.

Mendengar pendapat Eddy, para calon pendeta pun geger. Mereka kemudian menuding Eddy sebagai manusia yang telah dikuasai setan karena menyangkal Yesus Kristus. “Eddy telah murtad. Harus diusir dari sekolah,” teriak mereka. Berita heboh ini cepat tersiar ke jemaah gereja, termasuk kedua orangtua Eddy di NTT. Ketika ia pulang, orangtuanya tak lagi semesra dulu. Tapi, bagi Eddy peristiwa itu merupakan tonggak pertama kedekatannya dengan kebenaran.

Dalam pengembaraan spriritualnya mencari Islam, Eddy masih harus menghadapi cobaan. Suatu hari ia menginap di rumah pamannya di Sumbawa. Tiba-tiba ia kepergok sedang membaca buku Hadist Shahih Bukhari Muslim. Seketika pamannya marah, dan terjadilah perang mulut hingga sang paman memukul Eddy. Eddy tidak tinggal diam. Ia balas memukul hingga pamannya babak belur.
            Belakangan, Eddy dilaporkan ke polisi dan ditahan. “Eddy bisa bebas, asal minta maaf kepada pamannya serta mengurungkan niatnya masuk Islam,” kata Eddy menirukan ucapan sang paman yang disampaikan oleh seorang polisi. Tapi, Eddy memilih tinggal sel tahanan untuk beberapa bulan lamanya ketimbang mengurungkan niatnya mempelajari Islam.

Eddy kemudian menuju ke daerah Dompu, Sumbawa Timur, tinggal bersama Efraim Lalay, pamannya yang lain yang bekerja sebagai polisi. Di Dompu ia sempat mengajar di sebuah SMP dan SMA. Tapi, lagi-lagi ia mendapat cobaan: pamannya sering membujuk Eddy pergi ke gereja. Malah, suatu hari, ia bahkan diperkenalkan sebagai seorang misionaris. Tentu saja, ini bertentangan dengan batin Eddy yang sedang mencari kebenaran Islam. Perang batin pun semakin tajam. Kata hatinya semakin menjerit untuk segera mengikrarkan dua kalimat syahadat. Hanya saja, ia belum mampu melakukannya.

Di tengah kebimbangan, suatu malam Eddy bermimpi. Seseorang memeluk pinggangnya di tengah gedung-gedung tinggi yang hendak ambruk. Tiba-tiba, masih dalam mimpi, orang itu bertanya kepada Eddy, “Bila kiamat tiba, kamu memilih Islam atau masih memeluk Protestan?” Di malam yang sangat dingin, Eddy terjaga. Belakangan ia menanyakan tafsir mimpi itu kepada seseorang. “Eddy harus segera masuk Islam dengan disunat terlebih dulu,” kata juru tafsir mimpi itu.

Tanpa menunggu, Eddy segera ke Rumah Sakit Umum Dompu minta disunat. Dasar anak mbeling, usai disunat ia langsung naik sepeda. Akibatnya, tubuhnya panas dingin selama beberapa hari. Setelah sembuh, pagi-pagi buta ia menemui Pak Lepong, kepala Kantor Urusan Agama setempat untuk menyatakan masuk Islam.

Setelah mungucapkan dua kalimah syahadat, di hadapan karyawan KUA Dompu, Eddy menceritakan sejarah panjang hidupnya. Tak terasa, semua yang hadir meneteskan air mata. Terharu campur bahagia!

Eddy kemudian mendapat nama baru, Muhammad Zulkarnain. Pasalnya, ia masuk Islam tepat di bulan Maulud, dan diharapkan mampu tampil sebagai pemimpin besar yang memiliki segudang ilmu seperti Iskandar Zulkarnain. Maka, Dompu kawasan yang kecil itu pun hebohlah. Seorang guru SMA masuk Islam bukan lantaran kawin! Dan kabar itu tentu saja sampai juga ke telinga pamannya.
 
Sang paman yang polisi memburu kemenakannya. Tak disangka, tiga butir peluru ditembakkan ke arah Eddy. Tak kalah sigap, Zulkarnain lari menyelinap di balik pekarangan rumah penduduk, dan terjerembab di sela-sela kayu. Ia selamat.

Ia mengendap-endap menuju rumah Haji Machmud, mantan Bupati Dompu – bukan Kyai Machmud yang ia kenal di kereta api tempo hari. Di rumah inilah Zulkarnain dilindungi. Tapi, ternyata Efraim Lalay tahu ke mana kemenakannya bersembunyi. Sang paman segera memburu kemenakannya ke rumah Haji Machmud. Tapi, dengan tegas tuan rumah berkata: “Siapa pun yang masuk ke rumah ini dan saya terima, ia dalam lindungan saya. Jika ada yang mengganggu, nyawa saya taruhannya.” Terpaksalah Lalay pulang dengan kesal.

Meski begitu, Zulkarnain masih belum merasa aman. Maka ia pun menuju Bima, minta perlindungan kepada Thayeb Abdullah Thayeb, tokoh masyarakat setempat. Namun, di tempat ini pun ternyata jiwanya masih terancam. Banyak warga Bima yang penasaran ingin mendengar cerita Zulkarnain masuk Islam. Bukan hanya itu, sejumlah anggota polisi – teman-teman Efraim Lalay – masih juga berusaha memburunya.

Apa boleh buat, akhirnya Zulkarnain lari lagi, kali ini ke sebuah pelabuhan dan bersembunyi di sebuah kapal. Di sini ia dilindungi oleh para anak buah kapal (ABK). Tapi rupanya Efraim Lalay masih juga memburunya. Dan akhirnya Zulkarnain tertangkap dan dijebloskan dalam sel tahanan.

Keluar dari kantor polisi, ia lari ke Alas, sebuah kota pelabuhan kecil di ujung barat Sumbawa. Di sini ia diterima Tuan Guru Hamzawadi, tokoh Nahdhatul Wathan. Bahkan ia sempat tinggal beberapa bulan di daerah ini. Merasa tak betah, ia merantau ke Mataram. Setelah beberapa hari tinggal di Mataram, ia  meneruskan perjalanan ke Denpasar. Dalam perjalanan ia bertemu dengan seorang brigjen polisi – yang belakangan mengajaknya ke Surabaya.
 Di Surabaya Zulkarnain dipertemukan dengan Ustadz Umar Hubeis, tokoh Al-Irsyad Jawa Timur. Setelah mendengar perjalanan hidup Zulkarnaen yang sangat mengenaskan, Ustadz Umar menggelar tabligh akbar, khusus untuk menyambut Zulkarnain – yang diperkenalkan kepada kaum muslimin Surabaya. Zulkarnain merasa beruntung karena sempat berguru kepada Ustadz Umar Hubeis.

Melihat semangat Zulkarnain menuntut ilmu agama begitu tinggi, Ustadz Umar mengirim Zulkarnain ke Pekalongan untuk belajar agama kepada Ustadz Juneid. Beberapa bulan kemudian Uztadz Juneid mengirim Zulkarnain untuk belajar agama kepada Buya Hamka di Masjid Al-Azhar Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Zulkarnain juga sempat menuntut ilmu kepada Mohammad Natsir dan Yunan Nasution di Masjid Almunawarah, Tanah Abang, Jakarta Pusat.

Lambat laun, Zulkarnain mulai berani berceramah. Dalam setiap kali berceramah, ia selalu tampil berkobar-kobar dan mampu memikat jemaah. Ia pun akhirnya banyak dikenal umat. Tawaran berceramah ke beberapa daerah Indonesia pun mengalir. Bahkan, pada tahun 1973, dengan rekomendasi Daud Beureueh, tokoh ulama Aceh yang kharismatik itu, ia berceramah di Universitas Kebangsaan di Malaysia dan di Singapura.

Gara-gara khotbah-khotbahnya yang “keras,” ia sempat dituduh memprovokasi umat Islam untuk menyerang pemerintahan yang sah. Bahkan, sebagian umat Islam sendiri ada yang menuduhnya sebagai orang Kristen yang menyusup ke dalam komunitas muslim. Akibatnya ia sering ditangkap dan dijebloskan ke penjara.

Karena sering masuk keluar penjara, ia menderita sakit berbulan-bulan lamanya. Mereka kemudian pindah ke Pemalang, Jawa Tengah, untuk “menyepi,” tinggal di sebuah rumah kecil sederhana di pesisir pantai yang landai. Tapi, justru di tempat terpencil dan sepi di kawasan pantai inilah, kedamaian dan kebahagiaan hidup mereka peroleh, hingga mereka dikaruniai Allah SWT seorang anak.  Untuk menopang hidup sehari-hari, mereka membuat kerajinan tangan dari kerang. Singkat cerita, beberapa tahun kemudian, mereka pindah ke Jakarta. Tinggal dari satu rumah ke rumah lain, Zulkarnain tetap berdakwah.

 Domery Alpacino

Catatan: Pernah dimuat di majalah Islam Firdaus


Tidak ada komentar:

Posting Komentar