Laman

Jumat, 08 Juli 2005

Si Pembela Kaum Lemah

Setelah memeluk Islam, rezekinya semakin berkah. Ia kini tampil sebagai ustaz, pengacara, dan pengusaha.

jadikanpinter.blogspot.com
JANGAN kaget jika suatu saat Anda mendengar seorang ustaz menyelingi ceramahnya dengan beberapa kalimat dalam bahasa Mandarin. Muballigh yang menerjemahkan ayat Al-Quran atau hadis itu memang berdarah Cina. Ia adalah Ustaz Abdul Rahman Hakim, yang nama aslinya Nio Cun Lai. Di bulan Maulid ini jadual dakwahnya cukup padat. Dari mesjid ke mesjid, dari kampung ke kampung, dari majelis taklim ke majelis taklim, dari kota ke kota. Ia juga pernah berdakwah ke Singapura, Malaysia, Brunei Darussalam, Muangthai, Philipina Selatan.
Setiap kali ia berdakwah jemaah hampir selalu melimpah. Bukan hanya karena ceramahnya kocak, atau mampu menguras air mata jemaah, pesan-pesan moral juga banyak meluncur dari ustadz yang ujar-ujarannya lembut ini. Berlimpahnya jemaah itu barangkali juga lantaran ada pengurus majelis taklim yang memperkenalkan Abdul Rahman sebagai ustaz dari Hongkong atau Korea. Barangkali karena penasaran, jemaah pun membeludak hadir. Seperti tiga tahun lalu ketika ia memberi pengajian dalam acara maulud di sebuah majelis taklim Pengayoman, Tangerang. Ia jelas bukan muballigh asal Korea, Hongkong atau Taiwan, tapi muslim Indonesia keturunan Tionghoa yang memeluk Islam sejak 25 Oktober 1981.

Usai ceramah, Abdul Rahman tak jarang menyumbangkan honorarium yang ia terima kepada panitia pembangunan masjid. Misalnya, beberapa waktu lalu ketika ia berdakwah di Kademangan, Jakarta Timur, atau di Curug, Tangerang. Ia bahkan pernah pula beberapa kali menambahnya sebagai amal jariah. Selain berdakwah, ia punya kesibukan lain: mengelola limbah plastik, membuka wartel, dan mengontrakan beberapa kios. Kiosnya ada tujuh, masing-masing seluas 3,5 x 8 M, dengan sewa kontrak Rp 7 juta pertahun. Di belakang deretan kiosnya ia menyediakan musholla seluas 4 x 4 M. “Mushola dan rumah saya terbuka 24 jam sehari,” katanya.
Rumah Abdul Rahman di Jalan Pasar Baru, Tangerang, memang sekaligus menjadi kantor Pembina Iman Tauhid Islam (dulu Persatuan Islam Tionghoa Indonesia) cabang Tangerang serta Biro Konsultasi dan Bantuan Hukum PITI Tangerang. Ia adalah ketua PITI cabang Tangerang merangkap ketua umum Generasi Muda PITI Pusat. Di rumah itulah Abdul Rahman pernah membimbing sekitar 400 orang keturunan Tionghoa yang berminat memeluk Islam.
Selain itu ia juga aktif melakukan advokasi hukum, misalnya mengurus tewasnya seorang anak keturunan Tionghoa kelas 4 SD yang tersengat listrik saat bermain di SMEA Yayasan Strada, Tangerang. “SMEA Strada tidak memberi santunan layak, padahal listrik itu curian dari PLN. Saya lalu mensomasi Yayasan Strada, SMEA Strada dan pemerintah. Alhamdulillah, akhirnya mereka memberi santunan yang layak,” ujar Abdul Rahman.
Dalam kerusuhan Mei 1998 di Jakarta, ia juga sempat menyelamatkan puluhan rumah dan toko milik orang Tionghoa nonmuslim. Usai salat Dhuhur, ia keluar rumah menuju jalan raya sambil berteriak “Allahu Akbar” berulang kali. Walhasil, puluhan rumah dan kios milik warga keturunan Tionghoa, yang sudah dipetakan oleh kaum perusuh untuk dibakar, dapat diselamatkan. “Siapa pun orang yang dizalimi, dianiaya, harus kita bela. Tak peduli mereka itu muslim atau bukan,” katanya.
Ia juga pernah menangani sebuah kasus suami-isteri keturunan Tionghoa yang telah muslim. Suatu hari sang suami meninggal dunia, tapi keluarga dari pihak laki-laki memperabukannya dengan cara Budha, bahkan kemudian menuntut seluruh harta waris. Padahal mereka mempunyai seorang anak laki-laki, meski masih balita.
“Alhamdulillah, saya berhasil menyelesaikan pembagian harta waris itu sesuai dengan aturan hukum Islam,” tutur Abdul Rahman.
          Abdul Rahman alias Nio Cun Lai lahir pada 23 Juni 1958 di Jakarta, anak kelima dari enam bersaudara. Ayahandanya (sudah meninggal ketika Cun Lai berusia delapan tahun) adalah pedagang kaki lima, sementara ibundanya berjualan gado-gado. Mereka adalah pemeluk agama Budha/Konghucu yang taat. Tak heran jika Cun Lai kecil sering diajak ke kelenteng.
“Pada saat saya sakit pun, Mama tetap mengajak saya ke kelenteng, katanya agar lekas sembuh,” tutur Cun Lai mengenang. Orangtuanya juga selalu mendidik anak-anak mereka dengan budi pekerti yang baik: tidak mencuri, tidak melecehkan orang lain, berbagi rizki dengan orang miskin, dan patuh kepada orangtua.
          Tapi anehnya, mereka pernah mengajak Cun Lai kecil -- yang saat itu baru berusia sekitar 10 tahun -- ke masjid Luar Batang di Jakarta Barat. Di masjid yang berdiri pada 1730 itu, mereka berziarah ke makam Abdul Qadir, seorang Tionghoa, sahabat seperjuangan Habib Husain bin Abu Bakar Alaydrus yang wafat pada 17 Ramadhan 1169 H (24 Juni 1756 M), yang makamnya saling berdampingan.
“Saya tidak mengerti mengapa orangtua saya suka berziarah ke sana. Mungkin Abdul Qadir dianggap masih sebagai nenek moyangnya,” kata Cun Lai. Anehnya lagi, setiap bulan Maulud ibundanya selalu mengundang beberapa orang muslim, khususnya kaum dhuafa, untuk melakukan doa tolak bala atau doa selamatan di rumah.
         

Mengusir Setan

mcdonart.blogspot.com
Karena merasa aneh, Cun Lai pun bertanya kepada ibundanya, “Ma, mengapa sih mama suka mengundang orang-orang Islam, seperti tukang becak, penjual sayur dan tukang bangunan untuk melakukan doa selamatan di rumah setiap bulan Maulud? Bukankah doa seperti itu di agama kita juga ada?”
“Kalau di agama Islam, doa untuk mengusir mahluk halus seperti setan dan jin ada semua. Sedangkan di agama kita tidak ada,” jawab ibundanya.
“Kalau begitu agama Islam lebih, dong. Umat Islam kalau sembahyang juga lebih mudah. Cukup mengenakan sarung atau celana panjang. Sedang di agama kita harus pakai sejajian segala,” kata Cun Lai.
“Ya, begitulah,” jawab ibundanya, lirih.
Nah, dari sinilah untuk pertama kali ia mulai tertarik kepada Islam, meski baru sebatas berpikir sederhana. Singkat cerita, setelah dewasa ia kuliah di di dua perguruan tinggi swasta: di jurusan hukum Universitas Tarumanegara; dan jurusan bahasa Jepang di Akademi Bahasa Asing. Tapi, pada semester empat ia keluar dari ABA agar dapat sepenuhnya berkonsentrasi di jurusan hukum Untar.
Ketika kuliah di Untar inilah ia mulai mengenal ajaran Islam lebih mendalam, terutama ketika mendapat kuliah Asas-asas Hukum Islam di semester empat. Pada semester berikutnya ia mendapat mata kuliah Hukum Islam I dan II dari Ismail Hasan Metareum SH, yang saat itu Dekan Fakultas Hukum Untar. Bila ujian, Cun Lai selalu mencantumkan kalimat basmalah di lembar jawabannya, diakhiri dengan wassalam -- keduanya dengan huruf hijaiyah yang lazim.
          Ia bisa menulis basmalah dan wassalam dari Irwan Hadiwinata, sahabatnya satu angkatan, yang saat itu masih Katolik. Bahkan, jauh sebelum menjadi muslim, ia sudah belajar mengucapkan dua kalimat syahadat kepada Irwan di sebuah kamar kos. Kelak Irwan memeluk Islam berkat dakwah Cun Lai yang lembut dan tak kenal lelah.
          Saat mengikuti kuliah Asas Hukum Islam, Cun Lai sering mengajukan pertanyaan yang kadang sampai di luar materi kuliah. Karena sering bertanya, lama-lama ia semakin mengenal Islam. Apalagi, ia suka membaca buku-buku tentang hukum dan sejarah Islam yang ia pinjam dari perpustakaan atau ia beli. Meski demikian ia masih penasaran, mengapa banyak muslim pribumi yang berperilaku yang tidak benar.
“Kalau janji mereka jarang menepati. Sebaliknya orang-orang Cina selalu menempati janji, lebih-lebih dalam bisnis. Kalau hutang, orang Cina juga selalu membayar, sedangkan muslim pribumi yang katanya baik, hutangnya susah ditagih,” tanya Cun Lai suatu kali kepada temannya yang muslim.
          “Memandang Islam jangan dari manusianya, tapi dari ajarannya,” jawab teman Cun Lai sabar.
          Suatu hari, ketika Cun Lai kerja sama dagang dengan seorang muslim yang taat beribadah, terbukti pernyataan teman itu benar. Orang yang diajak kerjasama itu selalu menepati janji, selalu membayar hutang tepat waktu, dan tak pernah berbohong. Artinya, tidak semua muslim berperilaku buruk. Tapi juga tak berarti semua muslim adalah orang-orang baik. Sebab mereka adalah manusia biasa. Islam memang mengajarkan ahlak yang mulia, meskipun tidak semua muslim mampu berperilaku baik.
          Ketika mempelajari peri kehidupan Nabi Muhammad SAW, ia mulai mengaguminya. “Rasulullah diangkat oleh Allah SWT sebagai rasul pada usia 40 tahun, usia yang matang dalam kehidupan manusia. Beliau seorang pemimpin dan pedagang yang hebat, yang sejak muda sudah digelari Al-Amin (yang bisa dipercaya) oleh masyarakatnya. Beliau juga hidup berumah tangga seperti manusia biasa, berperilaku jujur, adil, cerdas, bertanggungjawab,” katanya lancar.
Dengan pemikiran seperti itu, bisa dimaklum jika kemudian ia mengambil keputusan untuk memeluk Islam. “Kapan lagi kalau bukan sekarang. Sebab, kalau saya mati dan ternyata belum memeluk Islam, bagaimana?” pikir Cun Lai gelisah. Maka tanpa pikir panjang lagi, Cun Lai segera menemui Haji Oslan Kencana (Ong Sun Lian), saudagar besar sekaligus tokoh Muslim keturunan Cina di Tangerang.
“Bagaimana caranya kalau saya mau masuk Islam?” tanya Cun Lai pada suatu hari kepada Oslan.
“Gampang, baca saja dua kalimat syahadat. Kapan mau diislamkan? Minggu?” tanya Oslan.
          “Insya Allah,” jawab Cun Lai.
          “Kalau begitu ba’da Isya saja kita kumpul di Masjid Wihdatul Ummah, jalan STM, Tangerang,” kata  Oslan lagi.
          Pada hari yang sudah disepakati, Cun Lai berangkat ke Masjid Wihdatul Ummah bersama dua orang sepupunya yang masih beragama Kristen Protestan. Sampai di sana, tentu saja mereka kaget. Di sana sudah berkumpul ratusan jemaah yang ingin menyaksikan seorang keturunan Cina masuk Islam. Ketika itu, 25 Oktober 1981, Cun Lai yang mahasiswa fakultas hukum Untar, berusia 23 tahun. Di masjid inilah ia mengucapkan dua kalimat syahadat, dibimbing oleh Kol. Zuhri, disaksikan oleh tokoh-tokoh muslim keturunan Cina serta ratusan jemaah.

Pesan Mama

drmaza.com
Sejurus kemudian, para jemaah saling berebut mengucapkan selamat. Ketika itulah Cun Lai berurai airmata. Kebahagiaan bercampur haru menyelimuti jiwanya. “Saya terharu karena diterima sebagai sesama saudara oleh umat Islam,” katanya dengan mata sembab. Setelah itu nama aslinya, Nio Cun Lai, diganti dengan Abdul Rahman Hakim.
“Nama itu dari saya sendiri. Saya menemukannya jauh sebelum memeluk Islam. Ketika itu, saya sering mimpi diajak seorang kakek berbaju putih bersih naik ke puncak gunung. Lalu ia menyuruh saya melihat ke bawah sambil berpesan, kelak bila jadi orang sukses jangan melupakan orang miskin dan yatim piatu, jangan lupa pula membangun masjid,” tuturnya.
          Pulang dari masjid Wihdatul Ummah, Abdul Rahman langsung menemui ibundanya dan memberitahukan perihal kemuslimannya. “Mama tidak melarang kamu masuk Islam, Cun! Mama Cuma berpesan, jadilah orang Islam yang baik,” kata Abdul Rahman menirukan pesan ibundanya. Dua hari setelah itu ia segera menemui Ustaz Rosyad untuk belajar membaca Al-Quran setiap usai Maghrib. “Dan alhamdulillah, sekarang saya sudah fasih membaca dan menerjemahkan Al-Quran,” katanya lagi sembari tak henti-hentinya bersyukur.
Beberapa waktu kemudian, usai lulus sebagai sarjana (1982), ia berusaha membuka percetakan sendiri. Setahun kemudian ia bekerja di sebuah perusahaan kayu milik Yusuf Hamka, konglomerat muslim keturunan Tionghoa, tapi hanya betah selama dua tahun. Setelah itu ia kembali berwiraswasta, membuka toko alat-alat tulis kantor dan fotokopi. Alhamdulillah, usahanya semakin berkembang.
Pergaulannya dengan kaum muslimin keturunan Tionghoa cukup luas, hingga ia dipercaya menjabat sebagai ketua PITI Tangerang merangkap ketua umum Generasi Muda PITI Pusat. Pada bulan-bulan pertama memimpin generasi muda PITI (1991), ia mendapat beasiswa dari Prof. Usman Efendi untuk meraih gelar MBA di Institut Pengembangan Wiraswasta Indonesia (IPWI), Jakarta. Belakangan, 1997, ia memperoleh hadiah PITI untuk melaksanakan ibadah haji.
Ada dua “pekerjaan rumah” yang sampai kini belum dapat ia laksanakan dengan baik. Pertama, membangun sebuah pondok pesantren - lengkap dengan fasilitas Balai Latihan Kerja. “Soal tempat, insya Allah sudah ada orang yang mau mewakafkan tanah sekluas satu hektar di daerah Cipanas,” kata Abdul Rahman. Yang kedua, cita-idam-idamannya untuk mengajak ibundanya, yang kini 80 tahun, untuk memeluk Islam.
Selain berbakti kepada ibundanya, antara lain dengan sering mengunjunginya, Abdul Rahman juga selalu menunjukkan tingkah laku yang baik sebagai seorang muslim. “Kalau sampai akhir hayatnya ibu belum juga memeluk Islam, mungkin doa saya memang belum diterima oleh Allah SWT. Tapi juga bisa berarti hidayah itu memang bukan milik ibu. Dalam hal ini saya pasrah, karena hidayah adalah milik Allah semata,” kata Abdul Rahman merendah dan pasrah.

Domery Alpacino

Catatan: Pernah dimuat di majalah Islam Alkisah


Tidak ada komentar:

Posting Komentar