Setelah memeluk Islam,
rezekinya semakin berkah. Ia kini tampil sebagai ustaz, pengacara, dan
pengusaha.
![]() |
jadikanpinter.blogspot.com |
Setiap kali ia berdakwah jemaah hampir selalu melimpah. Bukan hanya
karena ceramahnya kocak, atau mampu menguras air mata jemaah, pesan-pesan moral
juga banyak meluncur dari ustadz yang ujar-ujarannya lembut ini. Berlimpahnya
jemaah itu barangkali juga lantaran ada pengurus majelis taklim yang
memperkenalkan Abdul Rahman sebagai ustaz dari Hongkong atau Korea. Barangkali
karena penasaran, jemaah pun membeludak hadir. Seperti tiga tahun lalu ketika
ia memberi pengajian dalam acara maulud di sebuah majelis taklim Pengayoman,
Tangerang. Ia jelas bukan muballigh asal Korea, Hongkong atau Taiwan, tapi
muslim Indonesia keturunan Tionghoa yang memeluk Islam sejak 25 Oktober 1981.
Usai ceramah, Abdul Rahman tak jarang menyumbangkan honorarium yang ia
terima kepada panitia pembangunan masjid. Misalnya, beberapa waktu lalu ketika
ia berdakwah di Kademangan, Jakarta Timur, atau di Curug, Tangerang.
Ia bahkan pernah pula beberapa kali menambahnya sebagai amal jariah. Selain
berdakwah, ia punya kesibukan lain: mengelola limbah plastik, membuka wartel,
dan mengontrakan beberapa kios. Kiosnya ada tujuh, masing-masing seluas 3,5 x 8
M, dengan sewa kontrak Rp 7 juta pertahun. Di belakang deretan kiosnya ia
menyediakan musholla seluas 4 x 4 M. “Mushola dan rumah saya terbuka 24 jam
sehari,” katanya.
Rumah Abdul Rahman di Jalan
Pasar Baru, Tangerang, memang sekaligus menjadi kantor Pembina Iman Tauhid
Islam (dulu Persatuan Islam Tionghoa Indonesia) cabang Tangerang serta Biro
Konsultasi dan Bantuan Hukum PITI Tangerang. Ia adalah ketua PITI cabang
Tangerang merangkap ketua umum Generasi Muda PITI Pusat. Di rumah itulah Abdul
Rahman pernah membimbing sekitar 400 orang keturunan Tionghoa yang berminat memeluk
Islam.
Selain itu ia juga aktif
melakukan advokasi hukum, misalnya mengurus tewasnya seorang anak keturunan
Tionghoa kelas 4 SD yang tersengat listrik saat bermain di SMEA Yayasan Strada,
Tangerang. “SMEA Strada tidak memberi santunan layak, padahal listrik itu
curian dari PLN. Saya lalu mensomasi Yayasan Strada, SMEA Strada dan
pemerintah. Alhamdulillah, akhirnya mereka memberi santunan yang layak,” ujar
Abdul Rahman.
Dalam kerusuhan Mei 1998 di
Jakarta, ia juga sempat menyelamatkan puluhan rumah dan toko milik orang
Tionghoa nonmuslim. Usai salat Dhuhur, ia keluar rumah menuju jalan raya sambil
berteriak “Allahu Akbar” berulang kali. Walhasil, puluhan rumah dan kios milik
warga keturunan Tionghoa, yang sudah dipetakan oleh kaum perusuh untuk dibakar,
dapat diselamatkan. “Siapa pun orang yang dizalimi, dianiaya, harus kita bela.
Tak peduli mereka itu muslim atau bukan,” katanya.
Ia juga
pernah menangani sebuah kasus suami-isteri keturunan Tionghoa yang telah
muslim. Suatu hari sang suami meninggal dunia, tapi keluarga dari pihak
laki-laki memperabukannya dengan cara Budha, bahkan kemudian menuntut seluruh
harta waris. Padahal mereka mempunyai seorang anak laki-laki, meski masih
balita.
“Alhamdulillah, saya berhasil
menyelesaikan pembagian harta waris itu sesuai dengan aturan hukum Islam,”
tutur Abdul Rahman.
Abdul
Rahman alias Nio Cun Lai lahir pada 23 Juni 1958 di Jakarta, anak kelima dari
enam bersaudara. Ayahandanya (sudah meninggal ketika Cun Lai berusia delapan
tahun) adalah pedagang kaki lima, sementara ibundanya berjualan gado-gado.
Mereka adalah pemeluk agama Budha/Konghucu yang taat. Tak heran jika Cun Lai
kecil sering diajak ke kelenteng.
“Pada saat saya sakit pun,
Mama tetap mengajak saya ke kelenteng, katanya agar lekas sembuh,” tutur Cun Lai
mengenang. Orangtuanya juga selalu mendidik anak-anak mereka dengan budi pekerti yang baik: tidak
mencuri, tidak melecehkan orang lain, berbagi rizki dengan orang miskin, dan
patuh kepada orangtua.
Tapi anehnya, mereka pernah mengajak Cun Lai kecil -- yang
saat itu baru berusia sekitar 10 tahun -- ke masjid Luar Batang di Jakarta Barat. Di masjid yang berdiri pada 1730 itu,
mereka berziarah ke makam Abdul Qadir, seorang Tionghoa, sahabat seperjuangan
Habib Husain bin Abu Bakar Alaydrus yang wafat pada 17 Ramadhan 1169 H (24 Juni
1756 M), yang makamnya saling berdampingan.
“Saya tidak mengerti mengapa
orangtua saya suka berziarah ke sana. Mungkin Abdul Qadir dianggap masih
sebagai nenek moyangnya,” kata Cun Lai. Anehnya lagi, setiap bulan Maulud
ibundanya selalu mengundang beberapa orang muslim, khususnya kaum dhuafa, untuk
melakukan doa tolak bala atau doa selamatan di rumah.
Mengusir Setan
![]() |
mcdonart.blogspot.com |
“Kalau di agama Islam, doa
untuk mengusir mahluk halus seperti setan dan jin ada semua. Sedangkan di agama
kita tidak ada,” jawab ibundanya.
“Kalau
begitu agama Islam lebih, dong. Umat Islam kalau sembahyang juga lebih mudah.
Cukup mengenakan sarung atau celana panjang. Sedang di agama kita harus pakai
sejajian segala,” kata Cun Lai.
“Ya, begitulah,” jawab
ibundanya, lirih.
Nah, dari sinilah untuk
pertama kali ia mulai tertarik kepada Islam, meski baru sebatas berpikir
sederhana. Singkat cerita, setelah dewasa ia kuliah di di dua perguruan tinggi
swasta: di jurusan hukum Universitas Tarumanegara; dan jurusan bahasa Jepang di
Akademi Bahasa Asing. Tapi, pada semester empat ia keluar dari ABA agar dapat
sepenuhnya berkonsentrasi di jurusan hukum Untar.
Ketika kuliah di Untar inilah
ia mulai mengenal ajaran Islam lebih mendalam, terutama ketika mendapat kuliah
Asas-asas Hukum Islam di semester empat. Pada semester berikutnya ia mendapat
mata kuliah Hukum Islam I dan II dari Ismail Hasan Metareum SH, yang saat itu
Dekan Fakultas Hukum Untar. Bila ujian, Cun Lai selalu mencantumkan kalimat
basmalah di lembar jawabannya, diakhiri dengan wassalam -- keduanya dengan
huruf hijaiyah yang lazim.
Ia
bisa menulis basmalah dan wassalam dari Irwan Hadiwinata, sahabatnya satu
angkatan, yang saat itu masih Katolik. Bahkan, jauh sebelum menjadi muslim, ia
sudah belajar mengucapkan dua kalimat syahadat kepada Irwan di sebuah kamar
kos. Kelak Irwan memeluk Islam berkat dakwah Cun Lai yang lembut dan tak kenal
lelah.
Saat
mengikuti kuliah Asas Hukum Islam, Cun Lai sering mengajukan pertanyaan yang
kadang sampai di luar materi kuliah. Karena sering bertanya, lama-lama ia
semakin mengenal Islam. Apalagi, ia suka membaca buku-buku tentang hukum dan
sejarah Islam yang ia pinjam dari perpustakaan atau ia beli. Meski demikian ia
masih penasaran, mengapa banyak muslim pribumi yang berperilaku yang tidak
benar.
“Kalau janji mereka jarang
menepati. Sebaliknya orang-orang Cina selalu menempati janji, lebih-lebih dalam
bisnis. Kalau hutang, orang Cina juga selalu membayar, sedangkan muslim pribumi
yang katanya baik, hutangnya susah ditagih,” tanya Cun Lai suatu kali kepada
temannya yang muslim.
“Memandang
Islam jangan dari manusianya, tapi dari ajarannya,” jawab teman Cun Lai sabar.
Suatu
hari, ketika Cun Lai kerja sama dagang dengan seorang muslim yang taat
beribadah, terbukti pernyataan teman itu benar. Orang yang diajak kerjasama itu
selalu menepati janji, selalu membayar hutang tepat waktu, dan tak pernah
berbohong. Artinya, tidak semua muslim berperilaku buruk. Tapi juga tak berarti
semua muslim adalah orang-orang baik. Sebab mereka adalah manusia biasa. Islam
memang mengajarkan ahlak yang mulia, meskipun tidak semua muslim mampu
berperilaku baik.
Ketika
mempelajari peri kehidupan Nabi Muhammad SAW, ia mulai mengaguminya.
“Rasulullah diangkat oleh Allah SWT sebagai rasul pada usia 40 tahun, usia yang
matang dalam kehidupan manusia. Beliau seorang pemimpin dan pedagang yang
hebat, yang sejak muda sudah digelari Al-Amin (yang bisa dipercaya) oleh
masyarakatnya. Beliau juga hidup berumah tangga seperti manusia biasa, berperilaku
jujur, adil, cerdas, bertanggungjawab,” katanya lancar.
Dengan pemikiran seperti itu,
bisa dimaklum jika kemudian ia mengambil keputusan untuk memeluk Islam. “Kapan lagi
kalau bukan sekarang. Sebab, kalau saya mati dan ternyata belum memeluk Islam,
bagaimana?” pikir Cun Lai gelisah. Maka tanpa pikir panjang lagi, Cun Lai
segera menemui Haji Oslan Kencana (Ong Sun Lian), saudagar besar sekaligus
tokoh Muslim keturunan Cina di Tangerang.
“Bagaimana caranya kalau saya
mau masuk Islam?” tanya Cun Lai pada suatu hari kepada Oslan.
“Gampang, baca saja dua
kalimat syahadat. Kapan mau diislamkan? Minggu?” tanya Oslan.
“Insya
Allah,” jawab Cun Lai.
“Kalau
begitu ba’da Isya saja kita kumpul di Masjid Wihdatul Ummah, jalan STM,
Tangerang,” kata Oslan lagi.
Pada
hari yang sudah disepakati, Cun Lai berangkat ke Masjid Wihdatul Ummah bersama
dua orang sepupunya yang masih beragama Kristen Protestan. Sampai di sana,
tentu saja mereka kaget. Di sana sudah berkumpul ratusan jemaah yang ingin
menyaksikan seorang keturunan Cina masuk Islam. Ketika itu, 25 Oktober 1981, Cun Lai yang mahasiswa fakultas
hukum Untar, berusia 23 tahun. Di masjid inilah ia mengucapkan dua kalimat
syahadat, dibimbing oleh Kol. Zuhri, disaksikan oleh tokoh-tokoh muslim
keturunan Cina serta ratusan jemaah.
Pesan Mama
drmaza.com |
“Nama itu dari saya sendiri. Saya menemukannya jauh sebelum memeluk
Islam. Ketika itu, saya sering mimpi diajak seorang kakek berbaju
putih bersih naik ke puncak gunung. Lalu ia menyuruh saya melihat ke bawah
sambil berpesan, kelak bila jadi orang sukses jangan melupakan orang miskin dan
yatim piatu, jangan lupa pula membangun masjid,” tuturnya.
Pulang
dari masjid Wihdatul Ummah, Abdul Rahman langsung menemui ibundanya dan
memberitahukan perihal kemuslimannya. “Mama tidak melarang kamu masuk Islam,
Cun! Mama Cuma berpesan, jadilah orang Islam yang baik,” kata Abdul Rahman
menirukan pesan ibundanya. Dua hari setelah itu ia segera menemui Ustaz Rosyad
untuk belajar membaca Al-Quran setiap usai Maghrib. “Dan alhamdulillah,
sekarang saya sudah fasih membaca dan menerjemahkan Al-Quran,” katanya lagi
sembari tak henti-hentinya bersyukur.
Beberapa waktu kemudian, usai
lulus sebagai sarjana (1982), ia berusaha membuka percetakan sendiri. Setahun
kemudian ia bekerja di sebuah perusahaan kayu milik Yusuf Hamka, konglomerat
muslim keturunan Tionghoa, tapi hanya betah selama dua tahun. Setelah itu ia
kembali berwiraswasta, membuka toko alat-alat tulis kantor dan fotokopi.
Alhamdulillah, usahanya semakin berkembang.
Pergaulannya dengan kaum
muslimin keturunan Tionghoa cukup luas, hingga ia dipercaya menjabat sebagai
ketua PITI Tangerang merangkap ketua umum Generasi Muda PITI Pusat. Pada
bulan-bulan pertama memimpin generasi muda PITI (1991), ia mendapat beasiswa
dari Prof. Usman Efendi untuk meraih gelar MBA di Institut Pengembangan
Wiraswasta Indonesia (IPWI), Jakarta. Belakangan, 1997, ia memperoleh hadiah
PITI untuk melaksanakan ibadah haji.
Ada dua “pekerjaan rumah” yang
sampai kini belum dapat ia laksanakan dengan baik. Pertama, membangun sebuah
pondok pesantren - lengkap dengan fasilitas Balai Latihan Kerja. “Soal tempat,
insya Allah sudah ada orang yang mau mewakafkan tanah sekluas satu hektar di
daerah Cipanas,” kata Abdul Rahman. Yang kedua, cita-idam-idamannya untuk
mengajak ibundanya, yang kini 80 tahun, untuk memeluk Islam.
Selain berbakti kepada
ibundanya, antara lain dengan sering mengunjunginya, Abdul Rahman juga selalu
menunjukkan tingkah laku yang baik sebagai seorang muslim. “Kalau sampai akhir
hayatnya ibu belum juga memeluk Islam, mungkin doa saya memang belum diterima
oleh Allah SWT. Tapi juga bisa berarti hidayah itu memang bukan milik ibu.
Dalam hal ini saya pasrah, karena hidayah adalah milik Allah semata,” kata Abdul
Rahman merendah dan pasrah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar