Laman

Rabu, 22 Juni 2005

Prinsip Pernikahan Islam ialah Monogami

Dr. Musdah Mulia
Ia dinilai sekuler, dan lebih berpihak kepada kaumnya. Sesungguhnya, sikapnya lebih berperspektif jender.

www.hidupkatolik.com
IA salah seorang muslimah yang sangat peduli pada kesetaraan jender. Melihat beberapa ketimpangan dalam menyikapi hal tersebut, ia sering mengkritik kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan jender. Selama ini ia memang konsisten menyuarakan wacana dengan perspektif (pandangan) jender, yang kesetaraan derajat antara laki-laki dan perempuan. Sebab, dalam pandangan Islam, semua manusia -- lelaki maupun perempuan -- setara di hadapan Allah SWT.
Perempuan yang peduli itu ialah Dr. Musdah Mulia, Staf Ahli Menteri Agama RI bidang hubungan organisasi keagamaan Internasional. Kini ia tengah mengkaji ulang Undang-undang Perkawinan Nomor 1/1974 dan mencermati Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang dianggapnya belum terlalu Islami -- khususnya masalah poligami. Menurutnya, UU Perkawinan sudah tidak akomodatif lagi, terutama jika hal itu dikaitkan dengan kebutuhan kaum perempuan.

Kelemahan UU Perkawinan, menurut Musdah Mulia, antara lain terdapat pada pasal 59, yang mengindikasikan posisi isteri yang lemah. “Manakala isteri menolak menyetujui suaminya menikah lagi, maka Pengadilan Agama serta merta mengambil alih kedudukan si isteri sebagai pemberi izin, meskipun di akhir pasal ada klausul yang memberikan kesempatan kepada isteri untuk mengajukan banding,” katanya.
            Cuma sayang, tambah Musdah, dalam kehidupan sehari-hari para isteri umumnya malu atau berat hati mengajukan banding terhadap keputusan pengadilan menyangkut masalah poligami. Sementara alasan yang Pengadilan Agama memberi izin kepada suami untuk berpoligami ialah: pertama, isteri tak dapat menjalankan kewajiban; kedua, isteri cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; ketiga, isteri tidak dapat melahirkan anak keturunan.
            Tapi, menurut Musdah, alasan Pengadilan Agama itu sama sekali tidak selaras dengan semangat Al-Quran surah An-Nisa:19: “.... Dan bergaullah dengan mereka (isteri) secara patut. Kemudian, bila kamu tidak menyukai mereka (bersabarlah), karena boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” Kalau merujuk ayat tersebut, jelas bahwa semua alasan dalam undang-undang dan peraturan pemerintah -- yang membolehkan suami melakukan poligami – hanya dipertimbangkan dari sudut kepentingan suami semata, tidak mempertimbangkan perspektif kepentingan isteri.
            “Bagaimana andaikata suami tidak mampu menjalankan kewajiban sebagai suami, atau suami mengalami cacat atau menderita penyakit, atau suami mandul, apakah Pengadilan Agama juga memberikan izin kepada isteri untuk menikah lagi?” kata Musdah. “Demikian pula halnya dengan ketentuan mengenai poligami dalam KHI, yang jelas menunjukkan betapa posisi perempuan tidak berdaya di hadapan kaum laki-laki. Padahal, isteri yang mandul, misalnya, tentulah tidak disengaja, sebab hal itu lebih merupakan takdir Allah SWT,” tambahnya.
Menghadapi ketentuan yuridis seperti itu, Musdah menggugat. “Dalam kondisi seperti itu, wajarkah suami mementingkan diri sendiri, mengabaikan, atau bahkan menyakiti hati, isteri dengan mencari perempuan lain? Tegakah suami mereguk kebahagiaan di balik penderitaan isterinya? Bagaimana kalau kondisi seperti itu terjadi pada si suami? Bisakah ia menerima kenyataan istrinya bersenang-senang dengan laki-laki lain?” gugat Musdah, berapi-api.

Kaum Mustadh’afin

            Menurut Musdah, poligami yang dipahami orang sekarang ini sudah jauh dari apa yang dianut oleh Rasulullah SAW. Hampir seluruh praktik poligami sekarang ini, menurut Musdah Mulia, tendensinya hanya lantaran mementingkan syahwat semata. “Berbeda dengan Rasulullah SAW. Beliau melakukan poligami sesudah berusia 54 tahun, pada saat kemampuan seksual mulai menurun. Rasulullah berpoligami hanya selama delapan tahun, dan seluruh perkawinannya rata-rata demi dakwah, mensyi’arkan Islam, menolong orang. Tidak ada tendensi biologis,” kata Musdah bersemangat.
            Menurut Musdah, ketentuan poligami dalam Islam tak lepas dari misi pembebasan. Maksudnya, praktik poligami seharusnya berkaitan erat  dengan upaya perlindungan terhadap perempuan dan anak yatim, yang dalam Al-Quran disebut sebagai mustadh’afin yaitu orang-orang yang dilemahkan, karena hak-hak mereka terabaikan. “Ironisnya, sekarang ini orang banyak melakukan poligami, tapi juga banyak yang menelantarkan anak yatim. Padahal, sampai sekarang ini anak-anak yatim masih menjadi masalah besar di masyarakat kita,” ujarnya.
            Musdah lalu bercerita situasi masyarakat di zaman Rasulullah SAW, dan bagaimana kemudian ketika itu Islam mengizinkan poligami. Di zaman Rasulullah SAW, ketika belum turun ayat yang memperbolehkan poligami, anak yatim, budak dan perempuan seringkali jadi obyek perampasan harta karena tidak terlindungi oleh wali mereka. Ketika itu para lelaki mengawini anak yatim perempuan secara culas, tanpa mahar, dan sering kali sebagai kedok untuk menguasai harta.
Ketika itu ternyata tidak semua laki-laki mampu berbuat adil, terutama kepada anak yatim. Nah, kepada laki-laki yang tak mampu adil, akhirnya Allah SWT menurunkan ayat yang melarang mengawini anak yatim. Sebagai alternatifnya kaum lelaki boleh mengawini perempuan lain yang disukai sebanyak dua, tiga atau empat. “Itupun jika mereka sanggup berbuat adil. Kalau tidak, cukup satu saja. Dari sini jelas sekali bahwa prinsip perkawinan dalam Islam adalah monogami, bukan poligami,” kata Musdah dengan tegas. “Kalau maksudnya ingin mengikuti sunah Rasul, ikutilah sunah secara kafah, sempurna. Jadi, bukan hanya poligaminya saja tapin juga kebijakannya dan kehidupan beliau yang sangat sederhana dan penuh keteladanan,” tambahnya.
            Namun, oleh karena saat ini kehidupan masyarakat kita sudah sangat majemuk, sementara persoalannya pun sudah sangat kompleks, Musdah mengakui tidak mungkin melarang praktik poligami secara maksimal. “Dan menurut saya, orang sekarang tak mungkin meneladani Rasulullah dalam berpoligami. Karena itu, poligami harus dilarang karena dampak sosialnya jauh lebih besar. Dari hasil penelitian, lelaki yang berpoligami rata-rata menelantarkan isteri dan anak-anaknya,” katanya. “Kalau perlu, larangan itu datang dari pemerintah, seperti halnya di Tunisia, Turki dan Yordania yang menilai poligami hanya bisa dilakukan oleh Rasulullah,” tambahnya.
            Ironisnya, menurut Musdah, sekarang ini kaum muslimin sudah terpasung oleh pandangan fiqih yang mereka anggap sebagai pandangan Islam. Padahal, segala sesuatu harus dilihat secara kontekstual dan tidak harus diterima secara mutlak. “Belum tentu pandangan fiqih yang ditulis oleh para ulama terdahulu itu baik atau cocok untuk masa sekarang. Imam Syafi’i dan Imam Abu Hanifah misalnya, tidak pernah memutlakkan pendapatnya, melainkan selalu memberi ruang kepada publik untuk mengoreksi. Tapi anehnya, 14 abad kemudian kita memutlakkan pendapat mereka. Ironisnya lagi, mereka yang memutlakkan itu justru tak bisa membaca kitab kuning karya para imam tadi,” kata Musdah tersenyum.
           
Membujuk Perempuan

www.satuharapan.com
Musdah juga mengkritik penafsiran yang selama ini berlaku terhadap surah An-Nisa’ ayat 34, Ar-rijalu qawwamuna ‘alan nisa (lelaki adalah ‘pemimpin’ bagi perempuan). Menurut Musdah, qawwam berarti kantong perut unta untuk menyimpan air. Di musim panas, unta menyimpan air dalam jumlah besar, dan jika ia disembelih airnya bisa diminum karena masih bersih. “Jadi qawwam berarti sesuatu untuk menjaga, memelihara, dalam bahasa Jawa ngemong, bukan memimpin,” katanya. Kalaupun diartikan sebagai pemimpin, kata Musdah, lelaki itu harus memenuhi persyaratan, antara lain, kualitas akidah dan akhlaknya harus lebih dari pasangannya.
            Ia juga memprihatinkan adanya penilaian yang merendahkan peran perempuan dalam rumah tangga. Selama ini ada anggapan bahwa mengurus rumah tangga, termasuk mengasuh dan mendidik anak, tidak terlalu penting dibanding mencari nafkah yang dilakukan oleh kaum lelaki. “Ada pula anggapan, isteri yang melakukan pekerjaan rumah tangga dengan ikhlas akan mendapat pahala di sorga. Mengapa bukan suami yang mengerjakan pekerjaan rumah tangga agar mereka mendapat pahala di sorga? Bukankah soal pahala -- bagi kaum lelaki maupun perempuan -- hanya Allah yang menentukan? Ini jelas hanya upaya untuk membujuk perempuan saja. Saya lihat ajaran Islam banyak diselewengkan,” katanya.
            Musdah Mulia lahir pada 3 Maret 1958 di Bone, Sulawesi Selatan, dari pasangan Mustamin Abdul Fatah, seorang pengusaha sukses, dan Buaida, seorang ibu rumah tangga. Sejak berusia satu tahun dibawa orangtuanya ke Surabaya, belakangan mereka pindah ke Jakarta. Tapi, belakangan kakek Musdah, KH Rauf Husein, membawa Musdah yang baru kelas satu SMP, ke Wajo, Sulawesi Selatan. Di kota kecil itulah ia menuntut ilmu di Pondok Pesantren As-Sa’diyah sampai ‘aliyah, tingkat menengah atas.
            Kakeknya, yang Kepala Kantor Urusan Agama Wajo, mendidik Musdah kecil dengan secara tradisional. Begitu kolotnya, hingga Musdah pun dilarang mengikuti lomba baca seni Al-Quran. “Perempuan tidak boleh banyak keluar rumah, atau bergaul dengan kaum lelaki, karena seluruh tubuh perempuan adalah aurat,” tutur Musdah menirukan larangan sang kakek. Musdah pun menurutinya dengan patuh, sehingga hanya dalam waktu empat tahun ia sudah mampu membaca kitab-kitab klasik (lazim disebut “kitab kuning” karena kertasnya berwarna kuning) seperti Tafsir Jalalain, Tafsir Munir, Fathul Qarib, Ta’lim Muta’allim, Ihya ‘Ulumuddin.
            Tamat dari pesantren, ia kuliah di Jurusan Sastra Arab Fakultas Adab Institut Agama Islam Negeri Alauddin di Makassar (1982). Sejak semester dua ia menjadi asisten dosen bahasa Arab dan Inggris. Setelah tamat sebagai sarjana ia melanjutkan kuliah Program Pascasarjana di IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta (1992 dan 1997). Disertasinya tentang negara Islam dengan pokok bahasan pemikiran politik Muhammad Haekal, intelektual dan wartawan Mesir.
            Sejak kecil selalu kritis, bisa dimaklum jika prestasinya sejak masih di pesantren hingga kuliah selalu melebihi kawan-kawannya. Ia selalu mendapat peringkat cum laude. Barangkali lantaran terlalu kritis itu pula, maka Musdah tak mudah jatuh cinta kepada seorang lelaki. Namun, akhirnya Allah SWT memilihkan jodoh pada tahun 1984: seorang dosen asal Nusa Tenggara Barat.
“Dan itupun yang memilihkan teman-teman saya. Suami saya itu, alhamdulillah berwibawa, tidak macam-macam, mengerti dan memahami saya sebagai aktivis,” tutur Musdah yang kini dianugerahi Allah SWT dua anak. Satu hal yang ia impikan – dan ia harapkan bisa terwujud di masa mendatang – ialah terbangunnya suatu masyarakat dimana ada kesejajaran antara kaum lelaki dan perempuan, mereka saling menghargai dan menghormati. Tidak ada lagi diskriminasi dan eksploitasi oleh kaum lelaki terhadap kaum perempuan. 
Domery Alpacino
Catatan: Pernah dimuat di majalah Islam Firdaus



Tidak ada komentar:

Posting Komentar