Dr. Musdah Mulia
Ia dinilai
sekuler, dan lebih berpihak kepada kaumnya. Sesungguhnya, sikapnya lebih
berperspektif jender.
www.hidupkatolik.com |
Perempuan yang peduli itu ialah Dr. Musdah Mulia, Staf Ahli Menteri Agama
RI bidang hubungan organisasi keagamaan Internasional. Kini ia tengah mengkaji
ulang Undang-undang Perkawinan Nomor 1/1974 dan mencermati Kompilasi Hukum
Islam (KHI) yang dianggapnya belum terlalu Islami -- khususnya masalah
poligami. Menurutnya, UU Perkawinan sudah tidak
akomodatif lagi, terutama jika hal itu dikaitkan dengan kebutuhan kaum
perempuan.
Kelemahan UU Perkawinan, menurut Musdah Mulia, antara lain terdapat pada
pasal 59, yang mengindikasikan posisi isteri yang lemah. “Manakala isteri
menolak menyetujui suaminya menikah lagi, maka Pengadilan Agama serta merta
mengambil alih kedudukan si isteri sebagai pemberi izin, meskipun di akhir
pasal ada klausul yang memberikan kesempatan kepada isteri untuk mengajukan
banding,” katanya.
Cuma sayang, tambah Musdah, dalam
kehidupan sehari-hari para isteri umumnya malu atau berat hati mengajukan
banding terhadap keputusan pengadilan menyangkut masalah poligami. Sementara
alasan yang Pengadilan Agama memberi izin kepada suami untuk berpoligami ialah:
pertama, isteri tak dapat menjalankan kewajiban; kedua, isteri cacat badan atau
penyakit yang tidak dapat disembuhkan; ketiga, isteri tidak dapat melahirkan
anak keturunan.
Tapi, menurut Musdah, alasan
Pengadilan Agama itu sama sekali tidak selaras dengan semangat Al-Quran surah
An-Nisa:19: “.... Dan bergaullah dengan mereka (isteri) secara patut. Kemudian,
bila kamu tidak menyukai mereka (bersabarlah), karena boleh jadi kamu tidak
menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” Kalau
merujuk ayat tersebut, jelas bahwa semua alasan dalam undang-undang dan
peraturan pemerintah -- yang membolehkan suami melakukan poligami – hanya
dipertimbangkan dari sudut kepentingan suami semata, tidak mempertimbangkan
perspektif kepentingan isteri.
“Bagaimana andaikata suami tidak
mampu menjalankan kewajiban sebagai suami, atau suami mengalami cacat atau
menderita penyakit, atau suami mandul, apakah Pengadilan Agama juga memberikan
izin kepada isteri untuk menikah lagi?” kata Musdah. “Demikian pula halnya
dengan ketentuan mengenai poligami dalam KHI, yang jelas menunjukkan betapa
posisi perempuan tidak berdaya di hadapan kaum laki-laki. Padahal, isteri yang
mandul, misalnya, tentulah tidak disengaja, sebab hal itu lebih merupakan
takdir Allah SWT,” tambahnya.
Menghadapi ketentuan yuridis seperti itu, Musdah menggugat. “Dalam kondisi
seperti itu, wajarkah suami mementingkan diri sendiri, mengabaikan, atau bahkan
menyakiti hati, isteri dengan mencari perempuan lain? Tegakah suami mereguk
kebahagiaan di balik penderitaan isterinya? Bagaimana kalau kondisi seperti itu
terjadi pada si suami? Bisakah ia menerima kenyataan istrinya bersenang-senang
dengan laki-laki lain?” gugat Musdah, berapi-api.
Kaum Mustadh’afin
Menurut Musdah, poligami yang
dipahami orang sekarang ini sudah jauh dari apa yang dianut oleh Rasulullah
SAW. Hampir seluruh praktik poligami sekarang ini, menurut Musdah Mulia,
tendensinya hanya lantaran mementingkan syahwat semata. “Berbeda dengan
Rasulullah SAW. Beliau melakukan poligami sesudah berusia 54 tahun, pada saat
kemampuan seksual mulai menurun. Rasulullah berpoligami hanya selama delapan
tahun, dan seluruh perkawinannya rata-rata demi dakwah, mensyi’arkan Islam,
menolong orang. Tidak ada tendensi biologis,” kata Musdah bersemangat.
Menurut Musdah, ketentuan poligami
dalam Islam tak lepas dari misi pembebasan. Maksudnya, praktik poligami
seharusnya berkaitan erat dengan upaya
perlindungan terhadap perempuan dan anak yatim, yang dalam Al-Quran disebut
sebagai mustadh’afin yaitu orang-orang yang dilemahkan, karena hak-hak
mereka terabaikan. “Ironisnya, sekarang ini orang banyak melakukan poligami,
tapi juga banyak yang menelantarkan anak yatim. Padahal, sampai sekarang ini
anak-anak yatim masih menjadi masalah besar di masyarakat kita,” ujarnya.
Musdah lalu bercerita situasi
masyarakat di zaman Rasulullah SAW, dan bagaimana kemudian ketika itu Islam
mengizinkan poligami. Di zaman Rasulullah SAW, ketika belum turun ayat yang
memperbolehkan poligami, anak yatim, budak dan perempuan seringkali jadi obyek
perampasan harta karena tidak terlindungi oleh wali mereka. Ketika itu para
lelaki mengawini anak yatim perempuan secara culas, tanpa mahar, dan sering
kali sebagai kedok untuk menguasai harta.
Ketika itu ternyata tidak semua laki-laki mampu berbuat adil, terutama
kepada anak yatim. Nah, kepada laki-laki yang tak mampu adil, akhirnya Allah
SWT menurunkan ayat yang melarang mengawini anak yatim. Sebagai alternatifnya
kaum lelaki boleh mengawini perempuan lain yang disukai sebanyak dua, tiga atau
empat. “Itupun jika mereka sanggup berbuat adil. Kalau tidak, cukup satu saja.
Dari sini jelas sekali bahwa prinsip perkawinan dalam Islam adalah monogami,
bukan poligami,” kata Musdah dengan tegas. “Kalau maksudnya ingin mengikuti
sunah Rasul, ikutilah sunah secara kafah, sempurna. Jadi, bukan hanya
poligaminya saja tapin juga kebijakannya dan kehidupan beliau yang sangat
sederhana dan penuh keteladanan,” tambahnya.
Namun, oleh karena saat ini
kehidupan masyarakat kita sudah sangat majemuk, sementara persoalannya pun
sudah sangat kompleks, Musdah mengakui tidak mungkin melarang praktik poligami
secara maksimal. “Dan menurut saya, orang sekarang tak mungkin meneladani
Rasulullah dalam berpoligami. Karena itu, poligami harus dilarang karena dampak
sosialnya jauh lebih besar. Dari hasil penelitian, lelaki yang berpoligami rata-rata
menelantarkan isteri dan anak-anaknya,” katanya. “Kalau perlu, larangan itu
datang dari pemerintah, seperti halnya di Tunisia, Turki dan Yordania yang
menilai poligami hanya bisa dilakukan oleh Rasulullah,” tambahnya.
Ironisnya, menurut Musdah, sekarang
ini kaum muslimin sudah terpasung oleh pandangan fiqih yang mereka anggap
sebagai pandangan Islam. Padahal, segala sesuatu harus dilihat secara
kontekstual dan tidak harus diterima secara mutlak. “Belum tentu pandangan
fiqih yang ditulis oleh para ulama terdahulu itu baik atau cocok untuk masa
sekarang. Imam Syafi’i dan Imam Abu Hanifah misalnya, tidak pernah memutlakkan
pendapatnya, melainkan selalu memberi ruang kepada publik untuk mengoreksi.
Tapi anehnya, 14 abad kemudian kita memutlakkan pendapat mereka. Ironisnya
lagi, mereka yang memutlakkan itu justru tak bisa membaca kitab kuning karya
para imam tadi,” kata Musdah tersenyum.
Membujuk Perempuan
www.satuharapan.com |
Ia juga memprihatinkan adanya
penilaian yang merendahkan peran perempuan dalam rumah tangga. Selama ini ada
anggapan bahwa mengurus rumah tangga, termasuk mengasuh dan mendidik anak,
tidak terlalu penting dibanding mencari nafkah yang dilakukan oleh kaum lelaki.
“Ada pula anggapan, isteri yang melakukan pekerjaan rumah tangga dengan ikhlas
akan mendapat pahala di sorga. Mengapa bukan suami yang mengerjakan pekerjaan
rumah tangga agar mereka mendapat pahala di sorga? Bukankah soal pahala -- bagi
kaum lelaki maupun perempuan -- hanya Allah yang menentukan? Ini jelas hanya
upaya untuk membujuk perempuan saja. Saya lihat ajaran Islam banyak
diselewengkan,” katanya.
Musdah Mulia lahir pada 3 Maret 1958
di Bone, Sulawesi Selatan, dari pasangan Mustamin Abdul Fatah, seorang
pengusaha sukses, dan Buaida, seorang ibu rumah tangga. Sejak berusia satu
tahun dibawa orangtuanya ke Surabaya, belakangan mereka pindah ke Jakarta.
Tapi, belakangan kakek Musdah, KH Rauf Husein, membawa Musdah yang baru kelas
satu SMP, ke Wajo, Sulawesi Selatan. Di kota kecil itulah ia menuntut ilmu di
Pondok Pesantren As-Sa’diyah sampai ‘aliyah, tingkat menengah atas.
Kakeknya, yang Kepala Kantor Urusan
Agama Wajo, mendidik Musdah kecil dengan secara tradisional. Begitu kolotnya,
hingga Musdah pun dilarang mengikuti lomba baca seni Al-Quran. “Perempuan tidak
boleh banyak keluar rumah, atau bergaul dengan kaum lelaki, karena seluruh
tubuh perempuan adalah aurat,” tutur Musdah menirukan larangan sang kakek.
Musdah pun menurutinya dengan patuh, sehingga hanya dalam waktu empat tahun ia
sudah mampu membaca kitab-kitab klasik (lazim disebut “kitab kuning” karena
kertasnya berwarna kuning) seperti Tafsir Jalalain, Tafsir Munir, Fathul
Qarib, Ta’lim Muta’allim, Ihya ‘Ulumuddin.
Tamat dari pesantren, ia kuliah di
Jurusan Sastra Arab Fakultas Adab Institut Agama Islam Negeri Alauddin di
Makassar (1982). Sejak semester dua ia menjadi asisten dosen bahasa Arab dan
Inggris. Setelah tamat sebagai sarjana ia melanjutkan kuliah Program Pascasarjana
di IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta (1992 dan 1997). Disertasinya tentang
negara Islam dengan pokok bahasan pemikiran politik Muhammad Haekal,
intelektual dan wartawan Mesir.
Sejak kecil selalu kritis, bisa
dimaklum jika prestasinya sejak masih di pesantren hingga kuliah selalu
melebihi kawan-kawannya. Ia selalu mendapat peringkat cum laude.
Barangkali lantaran terlalu kritis itu pula, maka Musdah tak mudah jatuh cinta
kepada seorang lelaki. Namun, akhirnya Allah SWT memilihkan jodoh pada tahun 1984:
seorang dosen asal Nusa Tenggara Barat.
“Dan itupun yang memilihkan teman-teman saya. Suami saya itu, alhamdulillah
berwibawa, tidak macam-macam, mengerti dan memahami saya sebagai aktivis,”
tutur Musdah yang kini dianugerahi Allah SWT dua anak. Satu hal yang ia impikan
– dan ia harapkan bisa terwujud di masa mendatang – ialah terbangunnya suatu
masyarakat dimana ada kesejajaran antara kaum lelaki dan perempuan, mereka
saling menghargai dan menghormati. Tidak ada lagi diskriminasi dan eksploitasi
oleh kaum lelaki terhadap kaum perempuan.
Domery Alpacino
Catatan: Pernah dimuat di majalah Islam Firdaus
Tidak ada komentar:
Posting Komentar