Ia perempuan pertama yang menduduki jabatan Direktur
Pendidikan Keagamaan dan Pondok Pesantren (Pekapontren) di Departemen Agama.
Dalam memutuskan perkara, ia lebih dulu sering mendapatkan petunjuk lewat
mimpi.
sabilululum.wordpress.com |
Boleh jadi, kalau
bukan anak KH. Mansyur Kholil, perempuan ini sudah banyak dikecam oleh para
kiai Nahdhatul Ulama. Tapi, karena ia anak seorang kiai ternama – dan sekaligus
pengasuh Pondok Pesantren An-Nur di daerah Lasem, Rembang – mereka “enggan”
mengecamnya. Itulah perempuan beriman dan tawakal yang bernama Dra. Hj. Faiqoh
M. Hum., yang kini menjabat sebagai Direktur Pendidikan Keagamaan dan Pondok
Pesantren (Pekapontren), Departemen Agama (Depag).
Maklum, selain tradisi
direktur Pekapontren biasa dipimpin oleh seorang kiai, salah satu tugas
direktur ini adalah harus mengurusi madrasah diniyah dan pondok pesantren di
seluruh Indonesia, yang kebanyakan dipimpin seorang ustad atau kiai. Harus
diakui, sebagian kiai itu merasa “risih” bila dipimpin seorang perempuan.
Tapi, Faiqoh bergeming dalam kepemimpinannya. Ia tetap
mantap mengerjakan tugasnya: melakukan
pembinaan-pembinaan dalam kaitan pendidikan, kecerdasan, keimanan dan
ketrampilan pondok pesantren di seluruh Indonesia.
Faiqoh kemudian
memilah-milah tugas itu dalam dua program besar: program pemberdayaan santri
dan program pelayanan pondok pesantren kepada masyarakat. Tapi, program
tinggallah program bila tidak ada arus pendanaan yang memadai. “Karena itu, dalam
soal dana saya masih terus memperjuangkan ke RAPBN agar kontribusi negara
terhadap anak bangsa yang ada di pondok pesantren juga tidak dikesampingkan,”
kata Faiqoh.
Sebelum
rencananya digoalkan, Faiqoh melakukan beberapa terobosan. Misalnya,
memberikan beberapa bantuan ketrampilan dan material yang bersifat memancing ke
banyak pondok pesantren, mencarikan studi kelayakan bagaimana bisa membantu
pondok pesantren, memberdayakan perpustakaan, membangun kerjasama antar
departemen dan pondok pesantren itu sendiri untuk memberdayakan pondok
pesantren, dan lain sebagainya.
Muslimah yang tak
pernah meninggalkan puasa-puasa sunah ini berharap, pondok pesantren yang
selama ini dimarginalkan atau dipinggirkan sudah saatnya diperhitungkan.
Dan kelak, bila para santri menjadi pemimpin, ia menjadi pemimpin yang jujur,
bersih, cerdas, dan dapat dipercaya. Tak mustahil, mengingat pondok pesantren
tidak kalah dengan sekolah-sekolah umum lainnya, bahkan beberapa di antaranya
sudah sangat modern. Kita bisa menyaksikan ada seorang santri sudah menjadi
presiden. Bahkan, calon-calon presiden 2004 yang muncul dari arus pondok
pesantren sudah banyak bermunculan, seperti Nurcholish Madjid, Azyumardi Azra,
Hasyim Muzadi, dan sebagainya.
Tak heran, bila
perempuan yang selalu bertadarus di setiap kesempatan ini lebih banyak
menghabiskan waktu, pikiran, dan tenaga di pekerjaannya ketimbang urusan rumah
tangga. Menjelang tengah malam ia baru pulang ke rumah. Padahal ia berangkat
pagi-pagi buta dan tak pernah pulang sore hari.
Jangan Mencap Pesantren sebagai Sarang Teroris
enakidabi.wordpress.com |
Selain
menjabat sebagai direktur Pekapontren, Faiqoh juga punya kegiatan seabreg.
Misalnya menjadi anggota koordinator lintas agama Komnas HAM, anggota Komnas
HAM, anggota beberapa LSM, dan konseptor
pidato dalam berbagai kegiatan muslimat fatayat Nahdhatul Ulama.
Selaku pribadi
dan apalagi sebagai direktur Pekapontren, tentu saja ia merasa keberatan bila
ada seseorang atau sekelompok orang yang masih menuding pondok pesantren (PP)
sebagai sarang teroris. Bagaimana tidak, tanpa disertai bukti-bukti kuat yang
mendukungnya, mereka asal menuding. “Kalau ada satu dua alumni dari pondok
pesantren menjadi teroris, tidak bisa dong digeneralisasikan bahwa
pondok pesantren sarang teroris. Sebab, pondok pesantren yang ada di Indonesia
berjumlah 13 ribu buah,” ungkap Faiqoh.
Lagi pula,
menurut Faiqoh, tidak ada seorang kiai pun di pondok pesantren yang mengajari
para santrinya membuat bom. Sebaliknya para kiai sangat demokratis dalam mengajar dengan
merujuk buku-buku konservatif maupun progresif. Tapi, tidak ada justifikasi
(pembenaran) akhir dari seorang kiai yang memperbolehkan para santrinya
melakukan tindak kekerasan. “Yang ada adalah dakwah bil lisan (dengan
lisan), bil khal (dengan tulisan) dan bathin. Dan, para kiai
tidak pernah mengajarkan dakwah dengan peluru, bedil, maupun bom. Dengan kata
lain radikalisme tidak tumbuh dari pesantren,” ungkap Faiqoh.
Faiqoh
tentu saja bisa mengutarakan semua hal itu dengan jernih, lancar dan cerdas
karena ia sendiri berasal dari tradisi pesantren. Tengok saja perjalanan
hidupnya. Ia lahir menjelang fajar di sebuah kecamatan yang dilingkupi banyak
pondok pesantren, Lasem, terletak di kota Rembang, Jawa Tengah.
Gadis Mbeling
Sebelum sekolah,
Faiqoh kecil tidak punya catatan tanggal lahir yang pasti. Ada yang menyebutkan
ia lahir pada akhir Syawal, tapi tidak sedikit yang menyatakan di awal Hijriyah
atau Rajab. Hanya saja, saat awal ia belajar di sekolah dasar negeri Lasem,
seorang santri mencatatkan tanggal lahir dalam buku rapornya: 10 Juni 1955.
id.wikipedia.org |
Ayahnya bernama
KH. Mansyur Kholil, putra dari KH. Kholil, seorang sufi yang sangat wara
dan diteladani para santrinya. Salah satu murid KH. Mansyur Kholil adalah KH.
Abdullah Fakih (yang lebih dikenal dengan Kiai Langitan). Sedang salah satu
murid KH. Kholil adalah mantan Menteri Agama Prof Dr. Mukti Ali.
Ibundanya
bernama Muzayyanah Mahfudz, putri dari KH. Mahfudz (pengasuh pondok pesantren
Kajen, Pati) dan kakak dari Sahal Mahfudz, Ketua Majelis Ulama Indonesia dan
Rois A’am Nahdatul Ulama (NU). Faiqoh masih punya pertalian darah dengan mantan
presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Kakeknya masih saudara sekandung dengan
kakeknya Gus Dur. Karena itu, ia memanggil Gus Dur dengan sebutan Mas Dur.
Sedang Gus Dur memanggil ayah Faiqoh dengan sebutan paman.
Faiqoh
kecil, tepatnya di usia balita, sangat “nakal” perilakunya. Misalnya, ia suka
merobek atau main corat-coret buku-buku milik para santri ayahandanya. Ia
pernah merobek-robek dan mencorat-coret buku-buku milik Abdullah Faqih, saat
belajar mengaji. Abdullah Faqih konon hanya bisa mengurut dada. Anehnya, ketika
Abdullah Faqih mempunyai anak, ia memberinya nama Faiqoh. Saat Faiqoh
menanyakan kepadanya, Abdulllah Faqih hanya menjawab, “Saya ingin perilaku anak
saya seperti Faiqoh, yang nakal tapi pintar,” kata Faiqoh menirukan ucapan KH.
Abdullah Faqih.
Menjelang remaja,
anak kedua dari sepuluh bersaudara ini pun boleh dibilang masih mbeling.
Bila setiap sore teman-teman sebayanya tekun belajar mengaji kepada KH. Mansyur
Kholil, ia sendiri sering malas bergabung. Sebaliknya, ia lebih senang pergi ke
bioskop. Di tempat ini, ia sering nonton film tanpa membeli karcis alias
gratis. Malah, bak seorang ratu, penjaga karcis dengan ramah mengantarkan
Faiqoh sampai ke tempat duduknya. “Maklum, anak seorang kiai…,” kenang Faiqoh
sembari tersenyum lebar.
Setiap
kali pulang nonton, Faiqoh tak pernah kena marah dari ayahandanya. Sebaliknya,
ayahandanya sering membukakan pintu rumah dan menyindirnya dengan halus.
“Faiqoh baru pulang mengaji, tapi tempatnya di bioskop,” kata KH. Mansyur
Kholil kepada para santrinya yang sedang mengaji. Mereka pun lalu tertawa.
Rupanya itulah sindiran halus untuk mendidik anak-anaknya.
Meski mbeling,
Faiqoh anak yang rajin, pintar, dan pemurah. Pagi-pagi benar, Faiqoh kecil
sudah berangkat sekolah di SD Negeri, Lasem. Siang hari ia rajin belajar agama
di pondok pesantren milik ayahandanya sendiri. Di kedua sekolah ini, ia selalu
menjadi ketua kelas dan termasuk golongan anak-anak dengan nilai di atas
rata-rata.
Dalam
berteman, Faiqoh begitu peduli terhadap sesamanya. Ia sering membelikan buku
teman-temannya lebih dulu dengan koceknya sendiri. Tanpa menarik keuntungan
sepeser pun, mereka boleh mencicilnya beberapa kali. “Uang yang saya dapatkan
itu dari hasil pemberian ayah, ibu dan para tamu kedua orangtua saya. Ketimbang
uang itu disimpan dalam celengan, lebih baik untuk membantu teman-teman saya
yang tidak mampu,” kata Faiqoh.
Tak
hanya meringankan pembelian buku kepada teman-temannya, Faiqoh remaja juga
seorang dermawan. Ia sering membawa makanan ringan ke sekolah dalam jumlah
besar dan memberikannya kepada teman-teman satu kelas. Ada yang mendapatkan kue
jenang, rengginang, pisang goreng, dan kue lapis. “Kalau saya membawa makanan,
pasti teman-teman satu kelas mendapat jatah semua, “ kata Faiqoh yang membawa
kebiasaan itu hingga lulus di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri di Rembang.
Setamat
dari SMP Negeri Rembang, Faiqoh melanjutkan belajar di Madrasah Mualimat Atas
NU, Yogyakarta. Di kota Gudeg ini ia tinggal di rumah KH. Ali Maksum, pengasuh
pondok pesantren Krapyak. “Wa, saya titip anak saya,” kata Faiqoh menirukan
ucapan ayahandanya kepada KH. Ali Maksum yang masih saudara dekat itu.
“Tidak usah
belajar lama-lama di madrasah mualimat ini, cukup satu tahun saja dan silakan
meneruskan di IAIN Kalijaga, Yogyakarta,” ujar KH. Ali Maksum.
“Jangan,
wa! Nanti di IAIN dia cuma bisa melongo saja. Biarlah anak saya belajar secara
wajar,” jawab ayahanda Faiqoh.
Di madrasah
mualimat ini, ternyata Faiqoh bisa belajar lebih cepat. Ia bisa melompat satu
tahun. Tentu saja, waktu yang seharusnya ditempuh selama tiga tahun, ia
selesaikan hanya dengan dua tahun. Tamat dari madrasah ini, ia meneruskan
belajar di IAIN Sunan Kalijaga, Jogyakarta.
Begitu masuk di
IAIN, Faiqoh jarang masuk kuliah. Ia justru aktif di organisasi Himpunan
Mahasiswa Islam (HMI) cabang Yogyakarta. Ia sempat pula menjadi ketua Kohati
(Korps HMI putri) cabang Yogyakarta.
Selain aktif di
Kohati, sejatinya ia juga aktif di muslimat NU. Hanya saja, ia bergerak di
belakang layar sebagai tim pemberdayaan NU. Buktinya, ia suka membuat naskah
pidato Ketua Muslimat NU, Shinta Nuriyah alias istri Abdurrahman Wahid.
Sebelum
tamat dari IAIN Kalijaga (masih semester tiga), Faiqoh menjadi asisten dosen
agama Islam di Universitas Gajah Mada (UGM), Yogyakarta – di bawah Prof. Dr.
Azad Bashir MA. Begitu tamat dari IAIN Yogyakarta, ia diminta menjadi dosen
tetap – meski belum diangkat pegawai negeri – di UGM (1982-1987). Pada 1988, ia
diminta mejadi dosen agama Islam di Institut Teknologi Bandung (ITB), Bandung.
Ia juga mengajar di beberapa universitas sebagai dosen agama Islam. Misalnya di
Unisba, Bandung; Fakultas Kedokteran Yarsi, Jakarta; STIE Kusuma Negara,
Jakarta; dan STKIP Kusuma Negara, Jakarta.
Anehnya,
ia sebagai dosen terbang di beberapa universitas, bila pulang ke kampung masih
meminta uang saku. “Katanya dosen terbang, tapi kok tidak punya duit,” kata
Faiqoh menirukan ucapan ibundanya. “Jangan dinilai uangnya. Tapi, ilmu dia
bukan main harganya,” timpal ayahandanya sembari bercanda.
Faiqoh memang
mendapat honor mengajar. Tapi, honornya habis untuk mondar mandir dari satu
universitas ke universitas lainnya. Tak ayal, bila pulang kampung, ia selalu
meminta uang saku kepada ibundanya.
Suatu
hari menteri agama saat itu, Prof. Dr. Mukti Ali melihat Faiqoh mondar-mandir
di Departemen Agama. Karena sudah saling mengenal, Mukti Ali memanggil Faiqoh
dan menanyakan status kerjanya. Singkat cerita Mukti Ali meminta Faiqoh untuk
menjadi peneliti di Depag karena peneliti perempuan baru satu (Nurhayati
Jamas), itupun masih menuntut ilmu di Amerika Serikat. “Saudara harus jadi
peneliti di Depag,” kata Mukti Ali.
“Wah, saya masih
tetap senang menjadi dosen meski belum pegawai negeri, pak,” jawab Faiqoh.
“Saudara masih tetap
bisa menjadi dosen di mana-mana,” timpal Mukti Ali.
Singkat cerita,
Faiqoh menjadi pegawai negeri di Depag. Tapi, lambat laun, ia tidak betah
bekerja di Depag karena irama kerjanya yang begitu lambat. “Saya tidak mau lagi
menjadi pegawai negeri di Depag,” kata Faiqof mengadu ke Mukti Ali.
“Saudara
saya tempatkan di Depag bukan untuk menghindari masalah. Justru Anda untuk
mendatangi masalah dan menyelesaikan masalah. Saudara ‘kan peneliti! Saudara
masih muda tapi gampang putus asa,” jawab Mukti Ali sembari marah-marah, tapi
dibalik kemarahan itu sebenarnya ingin melecut Faiqoh agar lebih bersemangat.
Dari sinilah
kemudian karier Faiqoh melesat. Mulanya ia sebagai peneliti. Setelah itu, ia
diminta mengurusi perguruan tinggi swasta Islam seluruh Indonesia. Ketika Gus
Dur menjadi presiden, ia diminta oleh menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Yahya
Muhaimin, menjadi dirjen yang mengurusi anak-anak kecil usia dini.
Usai Gus Dur
dilengserkan, Menteri Agama, Said Agil Munawar meminta Faiqoh untuk kembali lagi
ke Depag. Ia diminta mengendalikan dan memperhatikan pondok pesantren di
seluruh Indonesia. Ia pun diangkat sebagai Dirjen Pekapontren.
Saat
awal bekerja di Depag inilah, Faiqoh melihat banyak hal yang tidak disukainya.
Salah satunya, sistem kerja yang lambat dan terlalu birokratis. Maklum, ia
aktifis LSM yang suka “jalan pintas” untuk menyelesaikan masalah dengan hasil
optimal. Melihat sepak terjang Faiqoh yang radikal, teman satu ruang Faiqoh –
seorang laki-laki yang bakal suaminya ini – menasihatinya. “Ibu bekerja di
tempat ini tidak bisa seperti di LSM,” kata lelaki bernama Ahmad Susilo.
Witing tresno jalaraning saka kulino. Mulanya biasa akhirnya jatuh cinta. Lambat laun, lelaki ini begitu
perhatian kepada Faiqoh dan Faiqoh merasa senang dengan perilakunya. Singkat
cerita, lelaki ini meminang Faiqoh dan menikahinya. Suami Faiqoh adalah putra
Kol. Ahmad Hadijaya, sahabat Karib Jenderal Sarwo Edi. Mertua Faiqoh juga
seorang santri di ABRI yang melakukan gerakan santrinisasi dengan mendirikan
Pusat Kerohanian ABRI yang pertama.
Firasat Lewat Mimpi
catatanimanku.wordpress.com |
Dibalik
perjalanan hidup Faiqoh yang tampak bebas dan lepas itu, sejatinya ada sesuatu
yang selalu memonitornya. Sejak kecil hingga sekarang, Allah selalu memberikan
“petunjuk” kepada Faiqoh melalui mimpi. Bila kurang baik beribadah, misalnya –
saat salat tidak khusu atau terlambat – ia selalu bermimpi berjumpa ayahandanya
yang menampakkan roman agak cemberut. Sebaliknya, bila salatnya rajin dan
khusu, ia bermimpi berjumpa ayahandanya yang menampakkan roman tersenyum.
“Karena seperti dimonitoring terus-menerus, hidup saya cenderung agak
berhati-hati,” kata Faiqoh.
Kala
remaja, malah Faiqoh pernah bermimpi seperti mendapat firasat. Alkisah,
beberapa bidadari mengunjungi Mbah Tasripan, tetangga sebelah rumah dan guru
mengaji yang sangat sholeh. Biasanya, bila seseorang bermimpi seperti itu,
tidak akan lama lagi seseorang yang tersebut dalam mimpi itu akan segera
menghadap Illahi.
Ternyata mimpi Faiqoh menjadi kenyatan. Siang harinya, Mbah Tasripan
meninggal dunia. Padahal, ketika baru bangun tidur, ia sempat menceritakan
tafsir mimpi itu kepada ibundanya. Tapi, sang ibunda tidak mempercayainya.
Malah balik memarahi Faiqoh, “Kamu itu ngomong apa, seenaknya sendiri,” kata
Faiqoh menirukan ucapan sang Ibundanya. Tapi, ayahandanya membela, “Kok,
disalahkan. Siapa tahu mimpinya itu benar,” bela sang ayah.
Sehari
menjelang Idul Adha tiba, Faiqoh juga pernah bermimpi. Ia menemukan batu hitam
berkhasiat dalam leher seekor kambing yang disembelih ayahandanya untuk korban.
Nah, begitu pagi tiba, ia mencari-cari batu hitam itu sesuai petunjuk dalam
mimpinya itu. Ternyata, mimpi itu menjadi kenyataan. Ia menemukan sebuah batu
hitam dalam leher kambing persis seperti dalam mimpinya. Dan, sampai kini batu
itu ia simpan baik-baik dalam sebuah tempat khusus. “Sekali-sekali, batu hitam
itu sangat berkhasiat untuk hidup saya,” kata Faiqoh yang tidak mau menyebut
apa khasiat batu itu.
Saat
kelas lima SD, Faiqoh pernah bermimpi bertemu Rosullullah. Dalam mimpinya, ia disuruh mencari sebuah
cincin yang hilang milik ayahandanya. Ia pun pergi ke pondok pesantren milik KH
Baidlowi yang jaraknya tidak begitu jauh dari rumahnya. Dalam benaknya, cincin
itu ada di sebuah pinggir kolam besar milik sang kiai itu.
Nah,
ketika tiba di sana dan hendak mengambil cincin itu, Rasulullah menyambut
kedatangan Faiqoh. Rasullullah tidak berkata satu patah kata pun, tapi hanya
tersenyum lebar, kemudian hilang. Meski singkat, Rasulullah sempat memberi
petunjuk akan keberadaan cincin itu di pinggir kolam. “Masa Allah, ya Rasullullah, engkau begitu
ganteng dan cakep,” puji Faiqoh dalam mimpinya itu seraya terkagum-kagum akan
wajah Rasulullah. Saat itu, Faiqoh melihat Rasulullah berjubah putih,
berjenggot tebal, berambut panjang, berwibawa dan ramah.
Beberapa hari
kemudian, cincin milik ayahandanya benar-benar hilang. Entah di mana. Anehnya,
anak KH. Baidlowi segera mengantarkan cincin itu ke rumah Faiqoh. Bukan Faiqoh
yang yang mencari-cari cincin itu.
Saat
ini, bila ia akan mengambil keputusan yang sangat berat, juga selalu mendapat
mimpi lebih dahulu. Misalnya, saat harus mengambil keputusan yang banyak
buruknya ketimbang yang baik. Bila tidak diberi mimpi, biasanya secara sadar
Faiqoh mendapat sebuah ayat Al-quran yang melintas secara tiba-tiba di hadapannya.
“Nah, setelah saya mengetahui makna dari ayat itu, saya pakai sebagai rujukan utama untuk
mengambil keputusan,” kata Faiqoh.
Dibalik
kekhusuannya, ia menyadari betul dirinya masih berlumur dosa. Misalnya, ia
mengakui bahwa dirinya terkadang masih tidak menyukai orang lain, tidak mau
kompromi, atau kasar model Jawa Timuran. “Tapi, setelah itu saya sadar dan
selalu berdoa untuk tidak mempunyai sifat seperti itu,” kata Faiqoh.
Lepas
dari kekurangannya, Faiqoh ingin mempunyai rumah tangga yang sakinah. Selain
itu, ia ingin berbuat lebih banyak pada masyarakat Indonesia. Sebagai seorang
birokrat, ia menginginkan aparatur kita jujur, amanah, dan dipercaya. Ia
berharap umat pesantren bisa mempeloporinya. Ia berharap pula masyarakat
pesantren bisa lebih bermutu serta tidak menjadi masyarakat yang marjinal.
“Saya belum selesai berjuang untuk umat, tapi lagi tengah berjuang sekuat
tenaga,” kata Faiqoh merendah.
Domery Alpacino
Catatan: Pernah dimuat di majalah Islam Firdaus
Tidak ada komentar:
Posting Komentar