Laman

Rabu, 20 Juli 2005

Kekerasan Tidak Tumbuh dari Pesantren

Ia perempuan pertama yang menduduki jabatan Direktur Pendidikan Keagamaan dan Pondok Pesantren (Pekapontren) di Departemen Agama. Dalam memutuskan perkara, ia lebih dulu sering mendapatkan petunjuk lewat mimpi.


sabilululum.wordpress.com
Boleh jadi, kalau bukan anak KH. Mansyur Kholil, perempuan ini sudah banyak dikecam oleh para kiai Nahdhatul Ulama. Tapi, karena ia anak seorang kiai ternama – dan sekaligus pengasuh Pondok Pesantren An-Nur di daerah Lasem, Rembang – mereka “enggan” mengecamnya. Itulah perempuan beriman dan tawakal yang bernama Dra. Hj. Faiqoh M. Hum., yang kini menjabat sebagai Direktur Pendidikan Keagamaan dan Pondok Pesantren (Pekapontren), Departemen Agama (Depag).

Maklum, selain tradisi direktur Pekapontren biasa dipimpin oleh seorang kiai, salah satu tugas direktur ini adalah harus mengurusi madrasah diniyah dan pondok pesantren di seluruh Indonesia, yang kebanyakan dipimpin seorang ustad atau kiai. Harus diakui, sebagian kiai itu merasa “risih” bila dipimpin seorang perempuan.


Tapi, Faiqoh  bergeming dalam kepemimpinannya. Ia tetap mantap mengerjakan  tugasnya: melakukan pembinaan-pembinaan dalam kaitan pendidikan, kecerdasan, keimanan dan ketrampilan pondok pesantren di seluruh Indonesia.

Faiqoh kemudian memilah-milah tugas itu dalam dua program besar: program pemberdayaan santri dan program pelayanan pondok pesantren kepada masyarakat. Tapi, program tinggallah program bila tidak ada arus pendanaan yang memadai. “Karena itu, dalam soal dana saya masih terus memperjuangkan ke RAPBN agar kontribusi negara terhadap anak bangsa yang ada di pondok pesantren juga tidak dikesampingkan,” kata Faiqoh.

Sebelum rencananya digoalkan, Faiqoh melakukan beberapa terobosan. Misalnya, memberikan beberapa bantuan ketrampilan dan material yang bersifat memancing ke banyak pondok pesantren, mencarikan studi kelayakan bagaimana bisa membantu pondok pesantren, memberdayakan perpustakaan, membangun kerjasama antar departemen dan pondok pesantren itu sendiri untuk memberdayakan pondok pesantren, dan lain sebagainya. 

Muslimah yang tak pernah meninggalkan puasa-puasa sunah ini berharap, pondok pesantren yang selama ini dimarginalkan atau dipinggirkan sudah saatnya diperhitungkan. Dan kelak, bila para santri menjadi pemimpin, ia menjadi pemimpin yang jujur, bersih, cerdas, dan dapat dipercaya. Tak mustahil, mengingat pondok pesantren tidak kalah dengan sekolah-sekolah umum lainnya, bahkan beberapa di antaranya sudah sangat modern. Kita bisa menyaksikan ada seorang santri sudah menjadi presiden. Bahkan, calon-calon presiden 2004 yang muncul dari arus pondok pesantren sudah banyak bermunculan, seperti Nurcholish Madjid, Azyumardi Azra, Hasyim Muzadi, dan sebagainya.

Tak heran, bila perempuan yang selalu bertadarus di setiap kesempatan ini lebih banyak menghabiskan waktu, pikiran, dan tenaga di pekerjaannya ketimbang urusan rumah tangga. Menjelang tengah malam ia baru pulang ke rumah. Padahal ia berangkat pagi-pagi buta dan tak pernah pulang sore hari. 

Jangan Mencap Pesantren sebagai Sarang Teroris

enakidabi.wordpress.com
Selain menjabat sebagai direktur Pekapontren, Faiqoh juga punya kegiatan seabreg. Misalnya menjadi anggota koordinator lintas agama Komnas HAM, anggota Komnas HAM, anggota beberapa LSM, dan  konseptor pidato dalam berbagai kegiatan muslimat fatayat Nahdhatul Ulama.

Selaku pribadi dan apalagi sebagai direktur Pekapontren, tentu saja ia merasa keberatan bila ada seseorang atau sekelompok orang yang masih menuding pondok pesantren (PP) sebagai sarang teroris. Bagaimana tidak, tanpa disertai bukti-bukti kuat yang mendukungnya, mereka asal menuding. “Kalau ada satu dua alumni dari pondok pesantren menjadi teroris, tidak bisa dong digeneralisasikan bahwa pondok pesantren sarang teroris. Sebab, pondok pesantren yang ada di Indonesia berjumlah 13 ribu buah,” ungkap Faiqoh.

Lagi pula, menurut Faiqoh, tidak ada seorang kiai pun di pondok pesantren yang mengajari para santrinya membuat bom. Sebaliknya para kiai  sangat demokratis dalam mengajar dengan merujuk buku-buku konservatif maupun progresif. Tapi, tidak ada justifikasi (pembenaran) akhir dari seorang kiai yang memperbolehkan para santrinya melakukan tindak kekerasan. “Yang ada adalah dakwah bil lisan (dengan lisan), bil khal (dengan tulisan) dan bathin. Dan, para kiai tidak pernah mengajarkan dakwah dengan peluru, bedil, maupun bom. Dengan kata lain radikalisme tidak tumbuh dari pesantren,” ungkap Faiqoh.

Faiqoh tentu saja bisa mengutarakan semua hal itu dengan jernih, lancar dan cerdas karena ia sendiri berasal dari tradisi pesantren. Tengok saja perjalanan hidupnya. Ia lahir menjelang fajar di sebuah kecamatan yang dilingkupi banyak pondok pesantren, Lasem, terletak di kota Rembang, Jawa Tengah.

Gadis Mbeling

Sebelum sekolah, Faiqoh kecil tidak punya catatan tanggal lahir yang pasti. Ada yang menyebutkan ia lahir pada akhir Syawal, tapi tidak sedikit yang menyatakan di awal Hijriyah atau Rajab. Hanya saja, saat awal ia belajar di sekolah dasar negeri Lasem, seorang santri mencatatkan tanggal lahir dalam buku rapornya: 10 Juni 1955.

id.wikipedia.org
Ayahnya bernama KH. Mansyur Kholil, putra dari KH. Kholil, seorang sufi yang sangat wara dan diteladani para santrinya. Salah satu murid KH. Mansyur Kholil adalah KH. Abdullah Fakih (yang lebih dikenal dengan Kiai Langitan). Sedang salah satu murid KH. Kholil adalah mantan Menteri Agama Prof Dr. Mukti Ali.

Ibundanya bernama Muzayyanah Mahfudz, putri dari KH. Mahfudz (pengasuh pondok pesantren Kajen, Pati) dan kakak dari Sahal Mahfudz, Ketua Majelis Ulama Indonesia dan Rois A’am Nahdatul Ulama (NU). Faiqoh masih punya pertalian darah dengan mantan presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Kakeknya masih saudara sekandung dengan kakeknya Gus Dur. Karena itu, ia memanggil Gus Dur dengan sebutan Mas Dur. Sedang Gus Dur memanggil ayah Faiqoh dengan sebutan paman.


Faiqoh kecil, tepatnya di usia balita, sangat “nakal” perilakunya. Misalnya, ia suka merobek atau main corat-coret buku-buku milik para santri ayahandanya. Ia pernah merobek-robek dan mencorat-coret buku-buku milik Abdullah Faqih, saat belajar mengaji. Abdullah Faqih konon hanya bisa mengurut dada. Anehnya, ketika Abdullah Faqih mempunyai anak, ia memberinya nama Faiqoh. Saat Faiqoh menanyakan kepadanya, Abdulllah Faqih hanya menjawab, “Saya ingin perilaku anak saya seperti Faiqoh, yang nakal tapi pintar,” kata Faiqoh menirukan ucapan KH. Abdullah Faqih.

Menjelang remaja, anak kedua dari sepuluh bersaudara ini pun boleh dibilang masih mbeling. Bila setiap sore teman-teman sebayanya tekun belajar mengaji kepada KH. Mansyur Kholil, ia sendiri sering malas bergabung. Sebaliknya, ia lebih senang pergi ke bioskop. Di tempat ini, ia sering nonton film tanpa membeli karcis alias gratis. Malah, bak seorang ratu, penjaga karcis dengan ramah mengantarkan Faiqoh sampai ke tempat duduknya. “Maklum, anak seorang kiai…,” kenang Faiqoh sembari tersenyum lebar.

Setiap kali pulang nonton, Faiqoh tak pernah kena marah dari ayahandanya. Sebaliknya, ayahandanya sering membukakan pintu rumah dan menyindirnya dengan halus. “Faiqoh baru pulang mengaji, tapi tempatnya di bioskop,” kata KH. Mansyur Kholil kepada para santrinya yang sedang mengaji. Mereka pun lalu tertawa. Rupanya itulah sindiran halus untuk mendidik anak-anaknya.

Meski mbeling, Faiqoh anak yang rajin, pintar, dan pemurah. Pagi-pagi benar, Faiqoh kecil sudah berangkat sekolah di SD Negeri, Lasem. Siang hari ia rajin belajar agama di pondok pesantren milik ayahandanya sendiri. Di kedua sekolah ini, ia selalu menjadi ketua kelas dan termasuk golongan anak-anak dengan nilai di atas rata-rata.

Dalam berteman, Faiqoh begitu peduli terhadap sesamanya. Ia sering membelikan buku teman-temannya lebih dulu dengan koceknya sendiri. Tanpa menarik keuntungan sepeser pun, mereka boleh mencicilnya beberapa kali. “Uang yang saya dapatkan itu dari hasil pemberian ayah, ibu dan para tamu kedua orangtua saya. Ketimbang uang itu disimpan dalam celengan, lebih baik untuk membantu teman-teman saya yang tidak mampu,” kata Faiqoh. 

Tak hanya meringankan pembelian buku kepada teman-temannya, Faiqoh remaja juga seorang dermawan. Ia sering membawa makanan ringan ke sekolah dalam jumlah besar dan memberikannya kepada teman-teman satu kelas. Ada yang mendapatkan kue jenang, rengginang, pisang goreng, dan kue lapis. “Kalau saya membawa makanan, pasti teman-teman satu kelas mendapat jatah semua, “ kata Faiqoh yang membawa kebiasaan itu hingga lulus di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri di Rembang.

Setamat dari SMP Negeri Rembang, Faiqoh melanjutkan belajar di Madrasah Mualimat Atas NU, Yogyakarta. Di kota Gudeg ini ia tinggal di rumah KH. Ali Maksum, pengasuh pondok pesantren Krapyak. “Wa, saya titip anak saya,” kata Faiqoh menirukan ucapan ayahandanya kepada KH. Ali Maksum yang masih saudara dekat itu.

“Tidak usah belajar lama-lama di madrasah mualimat ini, cukup satu tahun saja dan silakan meneruskan di IAIN Kalijaga, Yogyakarta,” ujar KH. Ali Maksum.

“Jangan, wa! Nanti di IAIN dia cuma bisa melongo saja. Biarlah anak saya belajar secara wajar,” jawab ayahanda Faiqoh.

Di madrasah mualimat ini, ternyata Faiqoh bisa belajar lebih cepat. Ia bisa melompat satu tahun. Tentu saja, waktu yang seharusnya ditempuh selama tiga tahun, ia selesaikan hanya dengan dua tahun. Tamat dari madrasah ini, ia meneruskan belajar di IAIN Sunan Kalijaga, Jogyakarta.

Begitu masuk di IAIN, Faiqoh jarang masuk kuliah. Ia justru aktif di organisasi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) cabang Yogyakarta. Ia sempat pula menjadi ketua Kohati (Korps HMI putri) cabang Yogyakarta.

Selain aktif di Kohati, sejatinya ia juga aktif di muslimat NU. Hanya saja, ia bergerak di belakang layar sebagai tim pemberdayaan NU. Buktinya, ia suka membuat naskah pidato Ketua Muslimat NU, Shinta Nuriyah alias istri Abdurrahman Wahid.

Sebelum tamat dari IAIN Kalijaga (masih semester tiga), Faiqoh menjadi asisten dosen agama Islam di Universitas Gajah Mada (UGM), Yogyakarta – di bawah Prof. Dr. Azad Bashir MA. Begitu tamat dari IAIN Yogyakarta, ia diminta menjadi dosen tetap – meski belum diangkat pegawai negeri – di UGM (1982-1987). Pada 1988, ia diminta mejadi dosen agama Islam di Institut Teknologi Bandung (ITB), Bandung. Ia juga mengajar di beberapa universitas sebagai dosen agama Islam. Misalnya di Unisba, Bandung; Fakultas Kedokteran Yarsi, Jakarta; STIE Kusuma Negara, Jakarta; dan STKIP Kusuma Negara, Jakarta.

Anehnya, ia sebagai dosen terbang di beberapa universitas, bila pulang ke kampung masih meminta uang saku. “Katanya dosen terbang, tapi kok tidak punya duit,” kata Faiqoh menirukan ucapan ibundanya. “Jangan dinilai uangnya. Tapi, ilmu dia bukan main harganya,” timpal ayahandanya sembari bercanda.

Faiqoh memang mendapat honor mengajar. Tapi, honornya habis untuk mondar mandir dari satu universitas ke universitas lainnya. Tak ayal, bila pulang kampung, ia selalu meminta uang saku kepada ibundanya.

Suatu hari menteri agama saat itu, Prof. Dr. Mukti Ali melihat Faiqoh mondar-mandir di Departemen Agama. Karena sudah saling mengenal, Mukti Ali memanggil Faiqoh dan menanyakan status kerjanya. Singkat cerita Mukti Ali meminta Faiqoh untuk menjadi peneliti di Depag karena peneliti perempuan baru satu (Nurhayati Jamas), itupun masih menuntut ilmu di Amerika Serikat. “Saudara harus jadi peneliti di Depag,” kata Mukti Ali.

“Wah, saya masih tetap senang menjadi dosen meski belum pegawai negeri, pak,” jawab Faiqoh.

“Saudara masih tetap bisa menjadi dosen di mana-mana,” timpal Mukti Ali.

Singkat cerita, Faiqoh menjadi pegawai negeri di Depag. Tapi, lambat laun, ia tidak betah bekerja di Depag karena irama kerjanya yang begitu lambat. “Saya tidak mau lagi menjadi pegawai negeri di Depag,” kata Faiqof mengadu ke Mukti Ali.

“Saudara saya tempatkan di Depag bukan untuk menghindari masalah. Justru Anda untuk mendatangi masalah dan menyelesaikan masalah. Saudara ‘kan peneliti! Saudara masih muda tapi gampang putus asa,” jawab Mukti Ali sembari marah-marah, tapi dibalik kemarahan itu sebenarnya ingin melecut Faiqoh agar lebih bersemangat.

Dari sinilah kemudian karier Faiqoh melesat. Mulanya ia sebagai peneliti. Setelah itu, ia diminta mengurusi perguruan tinggi swasta Islam seluruh Indonesia. Ketika Gus Dur menjadi presiden, ia diminta oleh menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Yahya Muhaimin, menjadi dirjen yang mengurusi anak-anak kecil usia dini.

Usai Gus Dur dilengserkan, Menteri Agama, Said Agil Munawar meminta Faiqoh untuk kembali lagi ke Depag. Ia diminta mengendalikan dan memperhatikan pondok pesantren di seluruh Indonesia. Ia pun diangkat sebagai Dirjen Pekapontren.

Saat awal bekerja di Depag inilah, Faiqoh melihat banyak hal yang tidak disukainya. Salah satunya, sistem kerja yang lambat dan terlalu birokratis. Maklum, ia aktifis LSM yang suka “jalan pintas” untuk menyelesaikan masalah dengan hasil optimal. Melihat sepak terjang Faiqoh yang radikal, teman satu ruang Faiqoh – seorang laki-laki yang bakal suaminya ini – menasihatinya. “Ibu bekerja di tempat ini tidak bisa seperti di LSM,” kata lelaki bernama Ahmad Susilo.

Witing tresno jalaraning saka kulino. Mulanya biasa akhirnya jatuh cinta. Lambat laun, lelaki ini begitu perhatian kepada Faiqoh dan Faiqoh merasa senang dengan perilakunya. Singkat cerita, lelaki ini meminang Faiqoh dan menikahinya. Suami Faiqoh adalah putra Kol. Ahmad Hadijaya, sahabat Karib Jenderal Sarwo Edi. Mertua Faiqoh juga seorang santri di ABRI yang melakukan gerakan santrinisasi dengan mendirikan Pusat Kerohanian ABRI yang pertama.   

Firasat Lewat Mimpi

catatanimanku.wordpress.com
Dibalik perjalanan hidup Faiqoh yang tampak bebas dan lepas itu, sejatinya ada sesuatu yang selalu memonitornya. Sejak kecil hingga sekarang, Allah selalu memberikan “petunjuk” kepada Faiqoh melalui mimpi. Bila kurang baik beribadah, misalnya – saat salat tidak khusu atau terlambat – ia selalu bermimpi berjumpa ayahandanya yang menampakkan roman agak cemberut. Sebaliknya, bila salatnya rajin dan khusu, ia bermimpi berjumpa ayahandanya yang menampakkan roman tersenyum. “Karena seperti dimonitoring terus-menerus, hidup saya cenderung agak berhati-hati,” kata Faiqoh.

Kala remaja, malah Faiqoh pernah bermimpi seperti mendapat firasat. Alkisah, beberapa bidadari mengunjungi Mbah Tasripan, tetangga sebelah rumah dan guru mengaji yang sangat sholeh. Biasanya, bila seseorang bermimpi seperti itu, tidak akan lama lagi seseorang yang tersebut dalam mimpi itu akan segera menghadap Illahi.

Ternyata mimpi Faiqoh menjadi kenyatan. Siang harinya, Mbah Tasripan meninggal dunia. Padahal, ketika baru bangun tidur, ia sempat menceritakan tafsir mimpi itu kepada ibundanya. Tapi, sang ibunda tidak mempercayainya. Malah balik memarahi Faiqoh, “Kamu itu ngomong apa, seenaknya sendiri,” kata Faiqoh menirukan ucapan sang Ibundanya. Tapi, ayahandanya membela, “Kok, disalahkan. Siapa tahu mimpinya itu benar,” bela sang ayah.

Sehari menjelang Idul Adha tiba, Faiqoh juga pernah bermimpi. Ia menemukan batu hitam berkhasiat dalam leher seekor kambing yang disembelih ayahandanya untuk korban. Nah, begitu pagi tiba, ia mencari-cari batu hitam itu sesuai petunjuk dalam mimpinya itu. Ternyata, mimpi itu menjadi kenyataan. Ia menemukan sebuah batu hitam dalam leher kambing persis seperti dalam mimpinya. Dan, sampai kini batu itu ia simpan baik-baik dalam sebuah tempat khusus. “Sekali-sekali, batu hitam itu sangat berkhasiat untuk hidup saya,” kata Faiqoh yang tidak mau menyebut apa khasiat batu itu.

Saat kelas lima SD, Faiqoh pernah bermimpi bertemu Rosullullah.  Dalam mimpinya, ia disuruh mencari sebuah cincin yang hilang milik ayahandanya. Ia pun pergi ke pondok pesantren milik KH Baidlowi yang jaraknya tidak begitu jauh dari rumahnya. Dalam benaknya, cincin itu ada di sebuah pinggir kolam besar milik sang kiai itu.

Nah, ketika tiba di sana dan hendak mengambil cincin itu, Rasulullah menyambut kedatangan Faiqoh. Rasullullah tidak berkata satu patah kata pun, tapi hanya tersenyum lebar, kemudian hilang. Meski singkat, Rasulullah sempat memberi petunjuk akan keberadaan cincin itu di pinggir kolam.  “Masa Allah, ya Rasullullah, engkau begitu ganteng dan cakep,” puji Faiqoh dalam mimpinya itu seraya terkagum-kagum akan wajah Rasulullah. Saat itu, Faiqoh melihat Rasulullah berjubah putih, berjenggot tebal, berambut panjang, berwibawa dan ramah.

Beberapa hari kemudian, cincin milik ayahandanya benar-benar hilang. Entah di mana. Anehnya, anak KH. Baidlowi segera mengantarkan cincin itu ke rumah Faiqoh. Bukan Faiqoh yang yang mencari-cari cincin itu.

Saat ini, bila ia akan mengambil keputusan yang sangat berat, juga selalu mendapat mimpi lebih dahulu. Misalnya, saat harus mengambil keputusan yang banyak buruknya ketimbang yang baik. Bila tidak diberi mimpi, biasanya secara sadar Faiqoh mendapat sebuah ayat Al-quran yang melintas secara tiba-tiba di hadapannya. “Nah, setelah saya mengetahui makna dari ayat itu,  saya pakai sebagai rujukan utama untuk mengambil keputusan,” kata Faiqoh.

Dibalik kekhusuannya, ia menyadari betul dirinya masih berlumur dosa. Misalnya, ia mengakui bahwa dirinya terkadang masih tidak menyukai orang lain, tidak mau kompromi, atau kasar model Jawa Timuran. “Tapi, setelah itu saya sadar dan selalu berdoa untuk tidak mempunyai sifat seperti itu,” kata Faiqoh.

Lepas dari kekurangannya, Faiqoh ingin mempunyai rumah tangga yang sakinah. Selain itu, ia ingin berbuat lebih banyak pada masyarakat Indonesia. Sebagai seorang birokrat, ia menginginkan aparatur kita jujur, amanah, dan dipercaya. Ia berharap umat pesantren bisa mempeloporinya. Ia berharap pula masyarakat pesantren bisa lebih bermutu serta tidak menjadi masyarakat yang marjinal. “Saya belum selesai berjuang untuk umat, tapi lagi tengah berjuang sekuat tenaga,” kata Faiqoh merendah.

Domery Alpacino
Catatan: Pernah dimuat di majalah Islam Firdaus




Tidak ada komentar:

Posting Komentar