Setelah menjadi muslimah, ia semakin
mantap beriman. Ia berharap bisa mendidik anak-anak jadi orang saleh.
| radarsorong.com |
Bagaimanapun sibuknya berkampanye, kewajiban mengasuh dan
mendidik anak-anak tetap ia perhatikan. Bagi pemeran utama film Bulan
Tertusuk Ilalang karya sutradara Garin Nugroho ini, mengasuh dan mendidik
anak-anak merupakan pekerjaan luar biasa. “Menjadi seorang ibu itu sebelumnya
kan tidak pernah siap. Begitu anak lahir, kontan muncul naluri keibuan pada
seorang perempuan. Dan ia lebih mempercayakan pada nuraninya. Kalau akan menjadi
politisi kita bisa membaca buku-buku politik lebih dahulu. Dalam kehidupan
berpolitik saat ini, banyak orang mengambil keputusan hanya dengan rasio, lagi
menggunakan nurani,” kata Paquita.
Sementara seorang ibu, tambah presenter yang pernah
meraih hadiah sebagai pemenang II Pembawa Acara Siaran Ramadhan 1342 Hijriyah
ini, selalu lebih menggunakan nurani dalam setiap mengambil keputusan.
Begitu pula ketika Paquita – sebagai
seorang ibu – ketika memutuskan untuk menjadi calon legislatif. Mula-mula ia
menolak. Tapi, ketika timbul sebuah pertanyaan besar ‘apa yang ingin ia berikan
kepada rakyat pemilihnya,’ ia mulai berpikir untuk menerima tawaran itu.
Apalagi suaminya juga mendukung. “Kalau kamu masuk dalam satu sistem, kamu akan
membangun Indonesia yang akhirnya adalah masa depan untuk anak-anak,” kata sang
suami.
Lahir pada 2 Juli 1970 di Jakarta, ia anak bungsu dari
dua bersaudara pasangan Joni dan Martina Widjaja. Ayahandanya seorang pengusaha
besar dari kelompok bisnis Tigaraksa, sedang ibundanya seorang tokoh olahraga
tennis lapangan yang juga aktif dalam sebuah yayasan yang peduli pada para
penderita AIDS.
Ia dibesarkan dalam keluarga Katholik, meskipun
orangtuanya jarang ke gereja. Paling saat Natal atau Paskah tiba, mereka baru
ke gereja. Padahal, sebelum menikah, ayah Paquita adalah calon pastor.
Orangtuanya memang mendidik anak-anaknya secara demokratis, termasuk dalam
menyikapi agama. “Saya tidak menyalahkan orangtua saya. Malah saya sekarang
bersyukur. Mungkin, ini sudah menjadi jalan hidup saya yang sudah dirancang
oleh Allah SWT sedemikian rupa,” katanya.
Sangat jarang ke gereja, Paquita yang alumni Parsons
School of Design di New York itu, lama kelamaan merasa ada sesuatu yang kurang,
bahkan kosong, di dalam jiwanya. Di tengah kerinduan akan siraman rohani yang
menyejukkan jiwa itulah. Pada suatu hari di hulan Ramadhan ia mencoba berpuasa
sebulan penuh. Ketika itu ia hanya ikut-ikutan saja, mengikuti tantenya yang
beragama Islam – yang kebetulan serumah dengannya. Ia juga pernah mencoba-coba belajar
melafazkan surah Al-Fatihah pada seorang pembantu. “Ketika itu saya hanya
ikut-ikutan tante yang rajin salat. Lucu juga ya orang salat, ribet banget
pakai mukena segala macam,” katanya lagi.
Melompati Angin
| dinarulfi.wordpress.com |
Seiring dengan itu, ia juga rajin membaca buku-buku
agama, termasuk agama Islam. Sampai suatu hari ia menggarap sinetron Melompati
Angin di Pulau Nias, Sumatera Utara. Ketika itu, entah mengapa. ia kerap
bermimpi aneh-aneh. Misalnya, mimpi ketemu ayah seorang teman yang sudah
meninggal. Yang paling seram, ia bermimpi dicekik sesuatu berkali-kali, sampai
sesak nafas tak bisa berbuat apa-apa. Gara-gara mimpi itu tiga hari ia tak
berani memejamkan mata. Merasa gelisah, ia menemui teman-temannya yang muslim,
menanyakan cara ampuh mengusir mimpi buruk.
“Surah apa yang kamu hafal?” tanya mereka.
“Hanya surah Al-Fatihah,” kata Paquita. Maka mereka pun menganjurkan
Paquita membaca surah Al-Fatihah tujuh kali menjelang tidur. Sejak itu, ajaib,
ia tak pernah bermimpi yang aneh-aneh lagi.
Tapi, suatu malam, ia bermimpi didatangi banyak orang
yang minta bantuan. Rasanya ia ingin menolong tapi tak berdaya. Tahu-tahu,
masih dalam mimpi, ada sesuatu yang menggerakkan hatinya agar ia salat. Entah
mengapa, setelah salat ia punya semacam kekuatan untuk menolong orang-orang
malang tadi. Lebih dari itu, rasanya ada semacam kepuasan batin.
Maka secara perlahan ia pun tertarik pada ibadah Islam
yang selama ini dilakukan oleh tantenya. Ketika hendak pulang dari Nias,
tiab-tiba hujan deras turun disertai badai dan angin kencang. Tak ayal, tim
sinetron itu pun terperangkap di pulau Nias. Celakanya, tak ada pesawat yang
berani terbang di cuaca seburuk itu. Padahal, ia harus segera pulang ke
Jakarta. Menempuh jalan laut atau darat? Tentu makan waktu cukup lamanya.
Tiba-tiba, tanpa sadar, ia berucap: “Kalau hujan
berhenti, aku akan belajar salat, ah.” Sejurus kemudian, hujan deras itu pun
berhenti, dan cuaca langsung cerah; matahari pun pelan-pelan menyemburatkan
sinarnya. Dan anehnya, pesawat kecil dari Gunung Sitoli (ibukota Nias) jurusan
Medan, yang sudah dua bulan tidak terbang, hari itu berani terbang.
Akhirnya ia tiba dengan selamat di Medan, lalu
melanjutkan perjalanan pulang ke Jakarta, dengan selamat pula. “Mungkin saya
diperingatkan oleh Allah SWT, selama ini sudah diberi hidayah kok tidak
juga segera masuk Islam,” tuturnya mencoba menganalis peristiwa menakjubkan
itu. Tapi, lagi-lagi rasionya mengalahkan perasaan itu. “Bukankah semua itu
terjadi serba kebetulan?” pikirnya.
Tapi, jauh di dasar jiwanya, sesungguhnya ia merasakan
kekosongan rohaniah yang luar biasa. Bila malam tiba, kadang-kadang ia ingin
berdialog dengan Tuhan. Tapi bagaimana caranya? Setelah berhari-hari ia
berfikir dan merenung, akhirnya tibalah saatnya ia memutuskan. Suatu hari,
tepatnya pada bulan Oktober 1997, ia memutuskan untuk memilih Islam sebagai
pedoman hidup. Hari itu, di depan dua orang stafnya, ia bilang: “Tolong dengerin
nih. Saya mau mengucapkan dua kalimat syahadat,” kata Paquita mengenang. Ketika
itu ia sempat berpikir, selama ini ia merasa kurang sreg menjalankan
ajaran Islam karena belum membaca syahadat.
Ia lalu minta salah seorang stafnya menuliskan
bacaan-bacaan salat untuk dipelajari. Sejak itu ia tak lagi khawatir terbebani
kewajiban salat. Selama ini ada semacam beban mental, kelak jika ia sudah
menjadi muslimah harus menjalankan salat minimal lima waktu sehari semalam.
Berat nian! Tapi, usai membaca syahadat, beban itu mendadak hilang.
Dua bulan kemudian, oom dan tantenya mendesak Paquita
agar mengucapkan kembali dua kalimat syahadat secara resmi. “Ah, nggak
lucu kamu mengucapkan syahadat hanya sekedarnya di depan staf kamu. Kami ingin menjadi wali kamu, sehingga
masuk Islam secara resmi,” kata oom dan tantenya. Paquita pun menuruti kemauan
mereka. Maka, pada bulan Desember 1997, mereka pun menuju sebuah masjid kecil
di Jalan Kenari, Jakarta Pusat, atas saran ustaz Shodik. Di sinilah ia kembali
mengucapkan dua kalimat syahadat, dibimbing seorang ustaz, disaksikan oom dan
tantenya serta jemaah masjid.
Jiwanya Tersentuh
Sebelumnya, Paquita sudah belajar tata cara salat, juga
berusaha menghafal surah-surah pendek Al-Quran. Hanya dalam seminggu, praktis
ia sudah mampu menghafal tujuh surah pendek Al-Quran. “Saya sudah komit pada
diri sendiri, harus hafal satu surah setiap hari. Tentu saja dalam seminggu,
tujuh surah sudah bisa saya hafal,” kata Paquita tak henti-hentinya bersyukur.
Di saat teman-temannya memanfaatkan waktu jalan-jalan usai shooting, ia
tekun menghafal surah-surah pendek Al-Quran. “Supaya saya bisa salat dengan
sempurna,” ujar Paquita mantap.
Suatu hari ia harus kembali ke Nias melanjutkan shooting.
Ketika pertama kali ia salat di sana, jiwanya tersentuh. Ia merasa begitu dekat
kepada Allah SWT; ia benar-benar menemukan kedamaian dan ketenangan jiwa yang
selama itu tak pernah didapatkannya. Usai salat ia berdoa dengan khusyu. Tak
terasa ia berurai air mata. “Ya Allah, malam ini aku pasrah kepada-Mu. Berikan
jalan yang Engkau ridhai. Kalau memang pacarku bukan jodohku kelak, tolong
hilangkan perasaanku mencintai dia. Tapi, apabila ia memang jodohku, segera
dekatkanlah.”
| indonesiaexplorer.net |
Keesokan harinya ia menerima telepon dari kekasihnya.
Tapi tiba-tiba ia malas berbicara. Perasaan cintanya hilang begitu saja.
“Mungkin Allah memberikan jalan bahwa dia bukan jodohku yang sesungguhnya,
meski ia seorang muslim,” kata Paquita. Sejak itu ia putuskan hubungan dengan
sang pacar hingga akhirnya ia menemukan jodoh seorang muslim yang alim bernama
Humam Afief, seorang juru kamera. Kedekatannya dengan Humam dimulai pada akhir
1997, ketika suatu hari Paquita berada di Medan dan hendak pulang ke Jakarta.
Ketika itu tiba-tiba Humam pinjam sarung Bali untuk salat. Paquita semakin
tertarik setelah sering melihat si juru kamera salat. Apalagi ia cukup dewasa
dan kepribadian menarik. “Padahal belum pernah saya tertarik kepada orang pada
saat ia mau beribadah. Tapi, ketika itu entah mengapa saya kok ingin dekat saja
dengan Humam,” kata Paquita mengenang.
Pada saat mulai berdekat-dekat itulah, Paquita melakukan
salat istikharah. Saat itu, tepat di malam tahun baru 1998. Saat teman-temannya
berpesta pora merayakan malam pergantian tahun di hotel Ascott, Jakarta,
Paquita yang malam itu juga menginap di hotel Ascott, diam-diam melakukan salat
istikharah. Usai salat ia berdoa: “Ya Allah, tolonglah aku petunjuk-Mu. Kalau
memang Humam adalah jodohku, mohon selalu dekatkanlah. Tapi, kalau ia bukan
jodohku, janganlah Engkau memperpanjang cintaku kepadanya. Karena aku tidak mau
sakit hati lagi.”
Sajadah Indah
| www.jilbabindonesia.com |
Singkat cerita, dua tahun kemudian, tepatnya 2 Februari 2000, mereka pun
menikah di sebuah masjid di Jakarta. Bagi Paquita, pernikahan adalah puncak
dari perjuangan panjang. Ia butuh waktu sekitar dua tahun lebih untuk mendapat
restu orangtua. Ketika mula-mula ia memperkenalkan calon suaminya kepada orangtuanya,
memang tidak ada masalah. Hanya saja, ketika itu ia belum mau segera menikah.
Setelah segalanya siap, ia baru bersedia dipersunting oleh Humam.
Orangtua Paquita memang demokratis. Ketika Paquita masuk
Islam, mereka sama sekali tidak mempermasalahkannya. Bagi mereka -- juga bagi
Paquita sendiri -- Islam bukan agama yang terlalu asing. Sebab, paman dan bibi
merela, baik dari garis ayah maupun ibu, adalah penganut Islam yang taat.
“Jadi, kami sudah terbiasa toleran dalam beragama,” kata Paquita. Tapi, suatu
hari, ayah Paquita sempat bertanya: “Kamu masuk Islam karena apa dan karena
siapa?” Tapi, setelah dijelaskan, ayahandanya memahaminya.
Sebaliknya dengan ibundanya. Ia sempat sedikit marah. Itupun hanya
lantaran tersinggung karena tidak dihubungi terlebih dahulu saat Paquita
mengucapkan dua kalimat syahadat. Ketika itu ibunya memang sedang berada di
Australia sementara ayahandanya di Bandung. “Kamu kan tahu Mama tidak melarang
kamu masuk Islam,” kata Martina Wijaya, sang ibu. Tapi, belakangan justru
ibunyalah orang pertama yang memberi hadiah mukena, baju muslimah, dan sajadah
indah yang dibelinya di Istambul, Turki.
Meski begitu, Paquita tidak berusaha mendoakan orangtuanya semoga Allah
SWT melimpahkan hidayah agar mereka memeluk Islam. Sebab, ia percaya setiap
orang punya jalan hidup masing-masing. Kalau seseorang belum mendapat hidayah
Allah, bagaimanapun tak akan mungkin memeluk Islam. “Saya sendiri memeluk Islam
bukan karena didoakan oleh siapapun,” kata Paquita. Tapi, ia berharap agar
Allah SWT berkenan memberikan semua hal yang terbaik buat mereka. Bila mereka
meninggal dalam keadaan muslim atau nonmuslim sekalipun, ia mohon agar arwahnya
diterima baik di sisi Allah SWT.
Kini, setelah empat tahun membina kehidupan rumahtangga secara Islami,
pasangan muda yang sakinah ini dikarunia dua putra yang cerdas, lucu, dan
tampan. Dan dalam menjalani kehidupan rumahtangga, Paquita tidak banyak
berteori. Ia hanya selalu menjaga hubungan baik dengan suami, menjaga posisi
sebagai seorang istri yang taat pada suami. Dalam hal apapun, ia selalu minta
izin kepada suami. Bila suami melarang, ia akan patuh tanpa harus mendebat.
“Sebab, yang menjadi kepala keluarga atau panutan saya adalah suami -- selain
orangtua saya,” katanya. Prinsip itu sudah ia pegang sejak sebelum ia menikah.
Sebab, sejak kecil ibundanya telah menanamkan ajaran moral itu berulang kali.
“Bila kelak menikah, kamu harus menghormati suami dan mengikuti nasihatnya.
Bagaimanapun karier melejit, posisi kamu di rumah adalah seorang istri,” ujar
Paquita menirukan nasihat ibunya.
Itu sebabnya, setiap hari ia selalu berusaha pulang lebih
awal ketimbang suaminya. Ia merasa tidak enak, sungkan, bila suami tiba lebih
dahulu di rumah. Ia berharap perasaan sungkan itu tidak sampai hilang. “Kalau
perasaan sungkan itu hilang, saya akan merasa menjadi seorang yang superior.
Dan, itu sangat berbahaya,” katanya lagi.
Ia berharap, keluarga sakinah yang telah berhasil ia bina
itu dapat tetap bertahan sampai akhir hayat. Ia juga berharap dapat mengasuh
dan mendidik anak-anaknya dengan sebaik-baiknya, hingga kelak mereka menjadi
muslim dan muslimah yang saleh, dan senantiasa mendapat ridha Allah SWT. Amin.
Domery Alpacino
Catatan: Pernah dimuat di majalah Islam
Alkisah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar