Laman

Senin, 01 Agustus 2005

Hidayah Melimpah dari Pulau Nias

Setelah menjadi muslimah, ia semakin mantap beriman. Ia berharap bisa mendidik anak-anak jadi orang saleh.

radarsorong.com
RATNA Paquita Widjaja adalah artis yang sangat sibuk. Apalagi belakangan ini. Bia dimaklum, sebab mantan model ini selain jadi produser dan sutradara, ia juga mengelola sebuah rumah produksi dan sekaligus dosen di Institut Kesenian Jakarta. Apalagi belakangan ini ia juga menyempatkan diri berkampanye sebagai calon legislatif sebuah partai politik, sekaligus pendukung salah seorang calon presiden RI.

Bagaimanapun sibuknya berkampanye, kewajiban mengasuh dan mendidik anak-anak tetap ia perhatikan. Bagi pemeran utama film Bulan Tertusuk Ilalang karya sutradara Garin Nugroho ini, mengasuh dan mendidik anak-anak merupakan pekerjaan luar biasa. “Menjadi seorang ibu itu sebelumnya kan tidak pernah siap. Begitu anak lahir, kontan muncul naluri keibuan pada seorang perempuan. Dan ia lebih mempercayakan pada nuraninya. Kalau akan menjadi politisi kita bisa membaca buku-buku politik lebih dahulu. Dalam kehidupan berpolitik saat ini, banyak orang mengambil keputusan hanya dengan rasio, lagi menggunakan nurani,” kata Paquita.

Sementara seorang ibu, tambah presenter yang pernah meraih hadiah sebagai pemenang II Pembawa Acara Siaran Ramadhan 1342 Hijriyah ini, selalu lebih menggunakan nurani dalam setiap mengambil keputusan.        

Begitu pula ketika Paquita – sebagai seorang ibu – ketika memutuskan untuk menjadi calon legislatif. Mula-mula ia menolak. Tapi, ketika timbul sebuah pertanyaan besar ‘apa yang ingin ia berikan kepada rakyat pemilihnya,’ ia mulai berpikir untuk menerima tawaran itu. Apalagi suaminya juga mendukung. “Kalau kamu masuk dalam satu sistem, kamu akan membangun Indonesia yang akhirnya adalah masa depan untuk anak-anak,” kata sang suami.

Lahir pada 2 Juli 1970 di Jakarta, ia anak bungsu dari dua bersaudara pasangan Joni dan Martina Widjaja. Ayahandanya seorang pengusaha besar dari kelompok bisnis Tigaraksa, sedang ibundanya seorang tokoh olahraga tennis lapangan yang juga aktif dalam sebuah yayasan yang peduli pada para penderita AIDS.

Ia dibesarkan dalam keluarga Katholik, meskipun orangtuanya jarang ke gereja. Paling saat Natal atau Paskah tiba, mereka baru ke gereja. Padahal, sebelum menikah, ayah Paquita adalah calon pastor. Orangtuanya memang mendidik anak-anaknya secara demokratis, termasuk dalam menyikapi agama. “Saya tidak menyalahkan orangtua saya. Malah saya sekarang bersyukur. Mungkin, ini sudah menjadi jalan hidup saya yang sudah dirancang oleh Allah SWT sedemikian rupa,” katanya.

Sangat jarang ke gereja, Paquita yang alumni Parsons School of Design di New York itu, lama kelamaan merasa ada sesuatu yang kurang, bahkan kosong, di dalam jiwanya. Di tengah kerinduan akan siraman rohani yang menyejukkan jiwa itulah. Pada suatu hari di hulan Ramadhan ia mencoba berpuasa sebulan penuh. Ketika itu ia hanya ikut-ikutan saja, mengikuti tantenya yang beragama Islam – yang kebetulan serumah dengannya. Ia juga pernah mencoba-coba belajar melafazkan surah Al-Fatihah pada seorang pembantu. “Ketika itu saya hanya ikut-ikutan tante yang rajin salat. Lucu juga ya orang salat, ribet banget pakai mukena segala macam,” katanya lagi.

Melompati Angin

dinarulfi.wordpress.com
Seiring dengan itu, ia juga rajin membaca buku-buku agama, termasuk agama Islam. Sampai suatu hari ia menggarap sinetron Melompati Angin di Pulau Nias, Sumatera Utara. Ketika itu, entah mengapa. ia kerap bermimpi aneh-aneh. Misalnya, mimpi ketemu ayah seorang teman yang sudah meninggal. Yang paling seram, ia bermimpi dicekik sesuatu berkali-kali, sampai sesak nafas tak bisa berbuat apa-apa. Gara-gara mimpi itu tiga hari ia tak berani memejamkan mata. Merasa gelisah, ia menemui teman-temannya yang muslim, menanyakan cara ampuh mengusir mimpi buruk. 
 “Surah apa yang kamu hafal?” tanya mereka.

 “Hanya surah Al-Fatihah,” kata Paquita. Maka mereka pun menganjurkan Paquita membaca surah Al-Fatihah tujuh kali menjelang tidur. Sejak itu, ajaib, ia tak pernah bermimpi yang aneh-aneh lagi.
Tapi, suatu malam, ia bermimpi didatangi banyak orang yang minta bantuan. Rasanya ia ingin menolong tapi tak berdaya. Tahu-tahu, masih dalam mimpi, ada sesuatu yang menggerakkan hatinya agar ia salat. Entah mengapa, setelah salat ia punya semacam kekuatan untuk menolong orang-orang malang tadi. Lebih dari itu, rasanya ada semacam kepuasan batin.

Maka secara perlahan ia pun tertarik pada ibadah Islam yang selama ini dilakukan oleh tantenya. Ketika hendak pulang dari Nias, tiab-tiba hujan deras turun disertai badai dan angin kencang. Tak ayal, tim sinetron itu pun terperangkap di pulau Nias. Celakanya, tak ada pesawat yang berani terbang di cuaca seburuk itu. Padahal, ia harus segera pulang ke Jakarta. Menempuh jalan laut atau darat? Tentu makan waktu cukup lamanya.

Tiba-tiba, tanpa sadar, ia berucap: “Kalau hujan berhenti, aku akan belajar salat, ah.” Sejurus kemudian, hujan deras itu pun berhenti, dan cuaca langsung cerah; matahari pun pelan-pelan menyemburatkan sinarnya. Dan anehnya, pesawat kecil dari Gunung Sitoli (ibukota Nias) jurusan Medan, yang sudah dua bulan tidak terbang, hari itu berani terbang.

Akhirnya ia tiba dengan selamat di Medan, lalu melanjutkan perjalanan pulang ke Jakarta, dengan selamat pula. “Mungkin saya diperingatkan oleh Allah SWT, selama ini sudah diberi hidayah kok tidak juga segera masuk Islam,” tuturnya mencoba menganalis peristiwa menakjubkan itu. Tapi, lagi-lagi rasionya mengalahkan perasaan itu. “Bukankah semua itu terjadi serba kebetulan?” pikirnya.

Tapi, jauh di dasar jiwanya, sesungguhnya ia merasakan kekosongan rohaniah yang luar biasa. Bila malam tiba, kadang-kadang ia ingin berdialog dengan Tuhan. Tapi bagaimana caranya? Setelah berhari-hari ia berfikir dan merenung, akhirnya tibalah saatnya ia memutuskan. Suatu hari, tepatnya pada bulan Oktober 1997, ia memutuskan untuk memilih Islam sebagai pedoman hidup. Hari itu, di depan dua orang stafnya, ia bilang: “Tolong dengerin nih. Saya mau mengucapkan dua kalimat syahadat,” kata Paquita mengenang. Ketika itu ia sempat berpikir, selama ini ia merasa kurang sreg menjalankan ajaran Islam karena belum membaca syahadat.

Ia lalu minta salah seorang stafnya menuliskan bacaan-bacaan salat untuk dipelajari. Sejak itu ia tak lagi khawatir terbebani kewajiban salat. Selama ini ada semacam beban mental, kelak jika ia sudah menjadi muslimah harus menjalankan salat minimal lima waktu sehari semalam. Berat nian! Tapi, usai membaca syahadat, beban itu mendadak hilang.

Dua bulan kemudian, oom dan tantenya mendesak Paquita agar mengucapkan kembali dua kalimat syahadat secara resmi. “Ah, nggak lucu kamu mengucapkan syahadat hanya sekedarnya di depan staf  kamu. Kami ingin menjadi wali kamu, sehingga masuk Islam secara resmi,” kata oom dan tantenya. Paquita pun menuruti kemauan mereka. Maka, pada bulan Desember 1997, mereka pun menuju sebuah masjid kecil di Jalan Kenari, Jakarta Pusat, atas saran ustaz Shodik. Di sinilah ia kembali mengucapkan dua kalimat syahadat, dibimbing seorang ustaz, disaksikan oom dan tantenya serta jemaah masjid.

Jiwanya Tersentuh

Sebelumnya, Paquita sudah belajar tata cara salat, juga berusaha menghafal surah-surah pendek Al-Quran. Hanya dalam seminggu, praktis ia sudah mampu menghafal tujuh surah pendek Al-Quran. “Saya sudah komit pada diri sendiri, harus hafal satu surah setiap hari. Tentu saja dalam seminggu, tujuh surah sudah bisa saya hafal,” kata Paquita tak henti-hentinya bersyukur. Di saat teman-temannya memanfaatkan waktu jalan-jalan usai shooting, ia tekun menghafal surah-surah pendek Al-Quran. “Supaya saya bisa salat dengan sempurna,” ujar Paquita mantap. 


indonesiaexplorer.net
 Suatu hari ia harus kembali ke Nias melanjutkan shooting. Ketika pertama kali ia salat di sana, jiwanya tersentuh. Ia merasa begitu dekat kepada Allah SWT; ia benar-benar menemukan kedamaian dan ketenangan jiwa yang selama itu tak pernah didapatkannya. Usai salat ia berdoa dengan khusyu. Tak terasa ia berurai air mata. “Ya Allah, malam ini aku pasrah kepada-Mu. Berikan jalan yang Engkau ridhai. Kalau memang pacarku bukan jodohku kelak, tolong hilangkan perasaanku mencintai dia. Tapi, apabila ia memang jodohku, segera dekatkanlah.”

Keesokan harinya ia menerima telepon dari kekasihnya. Tapi tiba-tiba ia malas berbicara. Perasaan cintanya hilang begitu saja. “Mungkin Allah memberikan jalan bahwa dia bukan jodohku yang sesungguhnya, meski ia seorang muslim,” kata Paquita. Sejak itu ia putuskan hubungan dengan sang pacar hingga akhirnya ia menemukan jodoh seorang muslim yang alim bernama Humam Afief, seorang juru kamera. Kedekatannya dengan Humam dimulai pada akhir 1997, ketika suatu hari Paquita berada di Medan dan hendak pulang ke Jakarta. Ketika itu tiba-tiba Humam pinjam sarung Bali untuk salat. Paquita semakin tertarik setelah sering melihat si juru kamera salat. Apalagi ia cukup dewasa dan kepribadian menarik. “Padahal belum pernah saya tertarik kepada orang pada saat ia mau beribadah. Tapi, ketika itu entah mengapa saya kok ingin dekat saja dengan Humam,” kata Paquita mengenang.

Pada saat mulai berdekat-dekat itulah, Paquita melakukan salat istikharah. Saat itu, tepat di malam tahun baru 1998. Saat teman-temannya berpesta pora merayakan malam pergantian tahun di hotel Ascott, Jakarta, Paquita yang malam itu juga menginap di hotel Ascott, diam-diam melakukan salat istikharah. Usai salat ia berdoa: “Ya Allah, tolonglah aku petunjuk-Mu. Kalau memang Humam adalah jodohku, mohon selalu dekatkanlah. Tapi, kalau ia bukan jodohku, janganlah Engkau memperpanjang cintaku kepadanya. Karena aku tidak mau sakit hati lagi.”
           
Sajadah Indah

www.jilbabindonesia.com
Singkat cerita, dua tahun kemudian, tepatnya 2 Februari 2000, mereka pun menikah di sebuah masjid di Jakarta. Bagi Paquita, pernikahan adalah puncak dari perjuangan panjang. Ia butuh waktu sekitar dua tahun lebih untuk mendapat restu orangtua. Ketika mula-mula ia memperkenalkan calon suaminya kepada orangtuanya, memang tidak ada masalah. Hanya saja, ketika itu ia belum mau segera menikah. Setelah segalanya siap, ia baru bersedia dipersunting oleh Humam.

Orangtua Paquita memang demokratis. Ketika Paquita masuk Islam, mereka sama sekali tidak mempermasalahkannya. Bagi mereka -- juga bagi Paquita sendiri -- Islam bukan agama yang terlalu asing. Sebab, paman dan bibi merela, baik dari garis ayah maupun ibu, adalah penganut Islam yang taat. “Jadi, kami sudah terbiasa toleran dalam beragama,” kata Paquita. Tapi, suatu hari, ayah Paquita sempat bertanya: “Kamu masuk Islam karena apa dan karena siapa?” Tapi, setelah dijelaskan, ayahandanya memahaminya.

Sebaliknya dengan ibundanya. Ia sempat sedikit marah. Itupun hanya lantaran tersinggung karena tidak dihubungi terlebih dahulu saat Paquita mengucapkan dua kalimat syahadat. Ketika itu ibunya memang sedang berada di Australia sementara ayahandanya di Bandung. “Kamu kan tahu Mama tidak melarang kamu masuk Islam,” kata Martina Wijaya, sang ibu. Tapi, belakangan justru ibunyalah orang pertama yang memberi hadiah mukena, baju muslimah, dan sajadah indah yang dibelinya di Istambul, Turki.  

Meski begitu, Paquita tidak berusaha mendoakan orangtuanya semoga Allah SWT melimpahkan hidayah agar mereka memeluk Islam. Sebab, ia percaya setiap orang punya jalan hidup masing-masing. Kalau seseorang belum mendapat hidayah Allah, bagaimanapun tak akan mungkin memeluk Islam. “Saya sendiri memeluk Islam bukan karena didoakan oleh siapapun,” kata Paquita. Tapi, ia berharap agar Allah SWT berkenan memberikan semua hal yang terbaik buat mereka. Bila mereka meninggal dalam keadaan muslim atau nonmuslim sekalipun, ia mohon agar arwahnya diterima baik di sisi Allah SWT.

Kini, setelah empat tahun membina kehidupan rumahtangga secara Islami, pasangan muda yang sakinah ini dikarunia dua putra yang cerdas, lucu, dan tampan. Dan dalam menjalani kehidupan rumahtangga, Paquita tidak banyak berteori. Ia hanya selalu menjaga hubungan baik dengan suami, menjaga posisi sebagai seorang istri yang taat pada suami. Dalam hal apapun, ia selalu minta izin kepada suami. Bila suami melarang, ia akan patuh tanpa harus mendebat. “Sebab, yang menjadi kepala keluarga atau panutan saya adalah suami -- selain orangtua saya,” katanya. Prinsip itu sudah ia pegang sejak sebelum ia menikah. Sebab, sejak kecil ibundanya telah menanamkan ajaran moral itu berulang kali. “Bila kelak menikah, kamu harus menghormati suami dan mengikuti nasihatnya. Bagaimanapun karier melejit, posisi kamu di rumah adalah seorang istri,” ujar Paquita menirukan nasihat ibunya.

Itu sebabnya, setiap hari ia selalu berusaha pulang lebih awal ketimbang suaminya. Ia merasa tidak enak, sungkan, bila suami tiba lebih dahulu di rumah. Ia berharap perasaan sungkan itu tidak sampai hilang. “Kalau perasaan sungkan itu hilang, saya akan merasa menjadi seorang yang superior. Dan, itu sangat berbahaya,” katanya lagi.

Ia berharap, keluarga sakinah yang telah berhasil ia bina itu dapat tetap bertahan sampai akhir hayat. Ia juga berharap dapat mengasuh dan mendidik anak-anaknya dengan sebaik-baiknya, hingga kelak mereka menjadi muslim dan muslimah yang saleh, dan senantiasa mendapat ridha Allah SWT. Amin.

Domery Alpacino
Catatan: Pernah dimuat di majalah Islam Alkisah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar