Prof. Dr. Hj.
Nabilah Lubis, MA
Ia asli Mesir, tapi sudah merasa jadi orang
Indonesia. Prestasi keilmuannya tak diragukan. Obsesinya memberdayakan ilmuwan
muslimah.
Aktifitas lembaga itu menangani berbagai masalah perempuan dan meningkatkan
kualitas perempuan, khususnya di bidang tulis-menulis, menerjemahkan, dan
mempublikasikan karya-karya ilmiah. Karya ilmiah itu meliputi bidang dakwah,
ekonomi, sosial, pendidikan, dan kegiatan kemanusiaan. Diharapkan, karya-karya
ilmuwan muslimah itu bisa mendunia.
April lalu lembaga ini menggelar kongres ketiga di Jakarta, dihadiri perwakilan
ilmuwan muslimah dari 56 negara. Salah satu keputusan terpenting: memindahkan
kantor pusat dari Maroko ke Indonesia; dan memilih Nabilah sebagai ketua untuk
masa jabatan selama tiga tahun. Nabilah dibantu 10 pakar dari beberapa negara.
Tapi, sampai bulan ini ia belum menerima kabar dari Sudan, kapan dan di mana 10
pakar itu akan bertemu. Setelah mereka bertemu, lembaga ini baru bisa
merencanakan langkah jangka pendek dan panjang, serta melakukan aktifitas lain.
Dalam pertemuan dengan 10 pakar itu, Nabilah akan membawakan makalah
mengenai rendahnya minat ilmuwan muslimah melakukan penelitian. “Apa salahnya
karya milik sendiri diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, atau menerjemahkan
karya-karya orang lain ke dalam bahasa Inggris. Sebab, kebanyakan ilmuwan bisa
lebih mengerti bahasa Inggris ketimbang bahasa asing lain,” kata Nabilah yang
maih aktif sebagai Dewan Pakar di Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia ini. Ia
berharap dalam periode kepemimpinannya kaum muslimah dunia mampu berbuat
sesuatu yang lebih menonjol, mampu memecahkan masalah-masalah yang dihadapi
kaum perempuan, khususnya di negara-negara sedang berkembang.
Arab, Inggris, Indonesia
Sebelum menjadi ketua umum lembaga tersebut, Nabilah menjadi ketua untuk
cabang Indonesia (2000-2003). Ketika itu ia menghimpun para pakar muslimah
berbagai disiplin ilmu untuk berbuat sesuatu. Misalnya, melakukan diskusi dan
seminar tentang segala permasalahan kaum muslimah dan memecahkan solusinya.
Selain itu menerbitkan dan menerjemahkan karya-karya ilmiah dalam bahasa Arab,
Inggris, dan Indonesia. “Selama ini saya dianggap sudah banyak berbuat, padahal
saya merasa belum apa-apa. Mungkin mereka membandingkan kepemimpinan saya
dengan ketua sebelumnya dari Maroko yang tidak banyak berbuat,” katanya
merendah.
Karena itu saat ditunjuk sebagai Ketua MIMS cabang Indonesia, ia mengajak
kawan-kawannya di daerah untuk turun secara langsung ke masyarakat. Meski
sejatinya ilmuwan hanya bertugas merencanakan dan membuat strategi serta
memberikan jalan keluar. Tak heran, bila anggotanya kini terus meningkat.
Semula 100 ilmuwan, kini lebih dari 1000 orang. Selain itu, Nabilah juga masih
sempat menjadi pemimpin redaksi majalah berbahasa Arab, Alo Indonesia.
“Majalah ini saya anggap sebagai puncak karir saya di bidang yang saya tekuni
sebagai dosen bahasa Arab,” kata Nabilah bangga.
Nabilah ternyata mampu memberikan “ruh” di majalah ini. Majalah yang
awalnya hanya dibaca orang-orang kedutaan, orang-orang Arab yang berada di
Indonesia, dan wisatawan Arab yang mampir ke negeri ini, kini dibaca dan
digemari mahasiswa serta para dosen IAIN di seluruh Indonesia. Dalam waktu
empat tahun, majalah dengan rubrik yang sangat variatif ini (budaya, sosial,
ekonomi, agama, bahkan resep makanan ala Nusantara), berkembang lebih cepat.
Oplahnya juga terus meningkat.
Dalam pandangan Nabilah, hingga kini masih banyak kaum muslimah yang
memiliki pengetahuan agama yang rendah. Sebab, selama ini dakwah para ustad
atau ustadzah kurang menyentuh mereka, masih terlalu formalistis. “Seharusnya
mereka memberi contoh secara langsung, dengan terjun ke pedalaman, misalnya
mengajarkan surat Alfatihah dan sekaligus mempraktikkannya dalam kehidupan
nyata,” kata Nabilah.
Bila Ramadhan tiba
Nabilah menilai, kerusakan moral
bangsa saat ini karena masih banyak yang mempelajari Alquran hanya sebatas di
bibir. “Bila kalam Allah menyentuh hati, niscaya orang yang tadinya suka
mencuri tidak akan lagi berbuat sesuatu yang merugikan orang lain. Mereka yang
tadinya suka menjarah atau korupsi, tidak melakukan perbuatan tercela lagi.
Bagaimana caranya agar Alquran bisa menyentuh hati? Tidak perlu khatam Alquran.
Cukup mempelajari isi satu surat saja, memahami, dan mengerjakan apa yang
terkandung didalamnya. Itu sudah jauh lebih berarti. Bila Ramadhan tiba, jangan
semata berlomba-lomba khatam Alquran. Khatam Alquran alhamdullillah, tapi lebih
berarti bila kita mampu memahami makna satu atau beberapa surat dan
mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-sehari,” ujarnya.
Nabilah punya pandangan khusus mengenai posisi perempuan dalam Islam.
Menurutnya, seorang perempuan bisa menjadi presiden, karena dalam Alquran dan
hadits tidak ada batasannya. Sebelum zaman Rasulullah, sebenarnya sudah ada
beberapa perempuan yang memimpin negara. Tapi, ia harus punya kemampuan dan
pendukung di belakangnya. Ia harus menunjukkan kepribadian yang mantap, punya
pengetahuan luas, dan berbobot. Tapi jika ada laki-laki yang punya kemampuan
relatif sama, dan dia terpilih, memang lebih baik laki-laki. Jika perempuan
terpilih sebagai presiden, rakyat harus menghormatinya dan ia dipilih dengan
suara terbanyak. Tapi, dalam masyarakat yang demokratis, jika presidennya
berbuat kemungkaran dan tidak memperhatikan kemaslahatan umum, rakyat boleh
saja meneriakkan “No” sekuat-kuatnya.
Dalam hal perkawinan,
Nabilah cukup demokratis. Perempuan bisa menjadi pemimpin rumah tangga asal
punya kemampuan. “Menafsirkan surat An-Nisa ayat 34 jangan
sepotong-sepotong. Karena bagaimanapun, perempuan juga punya kelebihan yang
tidak dimiliki oleh kaum laki-laki,” katanya. Laki-laki, tambah Nabilah, sejak
awal memang berat dalam mencari nafkah untuk keluarga. Tapi, pasangan suami
istri harus menjadi nakhoda kapal rumah tangga secara bersama-sama. Yang satu
satu duduk sebagai pengemudi, yang lain merapikan. Bila satu nakhoda capai,
nakhoda lainnya harus mampu menggantikan, atau ada pembagian tugas. “Pada zaman
Rasulullah kewajiban istri memang hanya melahirkan dan mengasuh anak. Tapi,
juga ada sebagian perempuan yang berdagang dan mencangkul. Bila ia punya
kemampuan, perlu dimanfaatkan. Rasulullah bersabda: Barang siapa punya ilmu
lalu tidak dimanfaatkan, maka pada hari kiamat lidah orang itu akan diberi
sepotong api neraka,” katanya.
Dari Rumahtangga
Hampir semua hal tentang perempuan
menjadi perhatian Nabilah, termasuk soal busana. Menurutnya, perempuan yang
tidak mengenakan pakaian muslimah sejatinya belum menghayati ajaran Islam yang
sesungguhnya. Lalu dari mana mulai memperbaikinya? Perbaikan pertama harus dari
rumahtangga, karena peran ibu dan ayah sangat berarti. Bila anak-anak dibiarkan
saja, akhirnya terjadi seperti sekarang ini. Mereka mengenakan jilbab, tapi
pakaiannya ketat. Bahkan ada yang sedikit terbuka dadanya. “Karena itu, setiap
muslim wajib menengur sesamanya. Bila masyarakat muslim peduli, hasilnya akan
lebih baik. Sebaliknya bila apatis, akibatnya terjadi kerusakan moral di
mana-mana, termasuk banyak perempuan yang membuka auratnya,” kata Nabilah lagi.
Dalam hal ini, Majelis Ulama Indonesia sudah mengeluarkan fatwa, kaum muslimah
diwajibkan menutup aurat.
Nabilah dilahirkan dalam budaya
Islam yang kental. Ia lahir 14 Maret 1942 di Cairo, Mesir. Masa kecil hingga
remaja dihabiskan di Cairo. Ayahnya, H. Abdul Fatah Muhammad, mantan Direktur
Jenderal Pajak di kawasan Cairo bagian selatan, Ghiza. Ibunya, Hj. Daulat
Muhammad Ahmad, ibu rumah tangga yang tidak mengenyam pendidikan tinggi, tapi
mengharap semua anaknya bisa bersekolah tinggi. Suatu hari, ketika ia di
tingkat satu jurusan sastra Cairo University, ada tamu asal Indonesia. Ia
adalah Burhanuddin Lubis. Lelaki asal Mandailing, Tapanuli Selatan, Sumatera
Utara, ini mengantar kiriman untuk keluarga Nabilah. Ketika itu kebetulan
Nabilah tidak di rumah. Tak lama kemudian Burhanuddin bersahabat dengan adik
lelaki Nabilah, dan belakangan kenal juga dengan Nabilah. Ketika itu
Burhanuddin baru lulus S1 salah satu universitas di Baghdad, Irak.
Ketika Burhanuddin kembali ke
Baghdad, ia menulis surat menyatakan ingin menikahi Nabilah. Bila Nabilah
setuju, ia akan kembali ke Mesir pada liburan berikutnya untuk bertunangan. Membaca surat itu, Nabilah langsung marah,
dan menunjukkannya kepada ayahandanya. “Lihat nih, orang Indonesia! Ia
berbicara seenaknya sendiri. Abah sih, orang seperti itu boleh datang ke
rumah,” sungut Nabilah ketika itu. “Sudahlah, surat itu tidak usah dibalas.
Biarkan saja,” ungkap Nabilah menirukan ucapan ayahandanya. Hari pun
bergantian, dan Nabilah hampir melupakan Burhanuddin. Tiba-tiba, saat liburan
sekolah tiba, Burhanuddin kembali datang.
Majalah Hawa
Singkat cerita,
Nabilah menerima lamaran Burhanuddin. Mereka pun bertunangan. Tapi setelah itu
berkali-kali Nabilah bimbang: menerima, dan tidak melanjutkan pertunangan ke
jenjang pernikahan. Dalam akad pertunangan di Mesir, apabila suatu hari seorang
perempuan merasa keberatan, ia bisa membatalkan pertunangan. Dalam kasus
seperti ini pihak perempuan akan mengembalikan semua pemberian dari pihak
laki-laki.
Akhirnya ia
mengirim surat ke rubrik konsultasi perkawinan di majalah Hawa (Perempuan). Ia membeberkan persoalannya.
“Saya bertunangan dengan orang Indonesia. Tapi, saya merasa tidak tenang. Saya
bimbang antara setuju dan tidak untuk melanjutkan ke jenjang pernikahan. Mohon
petunjuk.” Tapi, jawaban redaksi sangat mengejutkannya. Jika bimbang, ia
disarankan tidak melanjutkannya ke jenjang perkawinan. Apalagi antara Mesir dan
Indonesia ada perbedaan budaya, letaknya pun sangat jauh.
Di tengah kebimbangan itu, anehnya,
Nabilah terus mempersiapkan acara pernikahan. Ia juga sudah mempersiapkan baju
pengantin. Undangan pun sudah disebarkan. Dan selebihnya ia pasrah kepada Allah
SWT. Ia percaya Allah SWT akan memberikan jalan yang terbaik pada umatNya. “Apa
yang terjadi, terjadilah. Mungkin ini sudah jodoh saya,” katanya dalam hati.
Akhirnya, ia menikah dengan Burhanuddin pada 1963. Meski berasal dari budaya
yang berbeda, mereka bisa saling mengisi dan menyesuaikan. Bersama suaminya,
Nabilah sempat tinggal setahun di Cairo sampai anak pertama lahir. “Buat
orangtua saya, yang terpenting seiman, dan mereka percaya saya bisa hidup
karena mempunyai bekal ilmu yang cukup sebelum menikah. Mereka beranggapan saya
pasti bisa bekerja,” tutur Nabilah.
Perkiraan kedua orangtuanya benar.
Ketika diboyong suaminya ke Jakarta, tidak beberapa lama kemudian Nabilah yang
waktu itu berumur 22 tahun mendapat kepercayan sebagai kepala perpustakaan IAIN
Syarif Hidayatullah, Jakarta (1964-1969). Ia pun melakukan perubahan
besar-besaran. Perpustakaan IAIN yang tadinya hanya sebuah kamar dengan dua rak
buku, belakangan pindah ke bangunan baru dengan berbagai fasilitas dan koleksi
buku yang lengkap. Hanya saja, ketika pertama kali menginjakkan kaki di rumah
dinas suaminya di kompleks dosen IAIN Ciputat, ia sempat shock. Ia yang
selama ini biasa dilayani, tiba-tiba harus menyelesaikan sendiri urusan rumah
tangga. Ia yang biasa hidup di kota besar seperti Cairo, harus tinggal di
daerah Ciputat yang pada tahun 1960-an masih daerah pedesaan yang sepi. Belum
lagi soal makanan. Makanan pokok di Mesir adalah roti, sedang di Indonesia
nasi. Karena itu, ia sering minta suaminya membeli roti di Kebayoran Baru.
Rindu Kampung Halaman
Tahun pertama hingga ketiga, ia merasa hidup di Jakarta yang tak nyaman.
Tapi, ia menjalaninya dengan ikhlas, konsekuen sebagai istri yang ikut suami
orang asing dan tinggal di Indonesia. Pada 1969, ia mendapat tawaran
melanjutkan studi S2 di Mesir dalam bidang studi Islam. Tentu saja kesempatan
itu tidak disia-siakannya, meskipun harus meletakkan jabatan sebagai kepala
perpustakaan IAIN. Usai menyelesaikan studi di Mesir, ia kembali ke Indonesia.
Pada 1971 ia mendapat tugas sebagai dosen bahasa Arab di Fakultas Adab IAIN
Jakarta, kemudian sebagai Dekan Fakultas Adab, dan beberapa tahun kemudian
mengajar di Fakultas Tarbiyah. Ia juga masih sempat mengajar di beberapa
perguruan tinggi swasta seperti Akademi Bahasa Asing dan di Perguruan Tinggi
Ilmu Alquran serta Institut Ilmu Alquran (IIQ). Malah di IIQ ia menjabat wakil
direktur menggantikan Prof. Ibrahim Hosen.
Pada 1982 ia mengambil program
doktor di Universitas Al-Azhar, Cairo, selama dua tahun, dan di Belanda selama
satu tahun dalam bidang filologi -- ilmu yang mempelajari naskah-naskah kuno.
Ia mengambil disertasi tentang Syeikh Yusuf al-Taj al-Makassari, Menyingkap
Intisari Segala Rahasia yang pada 1996 diterbitkan oleh penerbit Mizan.
Dialah doktor perempuan pertama IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Sejak itu ia sering melakukan
penelitian. Tahun lalu, misalnya, ia meneliti naskah surat Yasin tulisan
tangan pada masa Walisongo. Ia juga menulis beberapa buku, seperti Teks,
Naskah dan Metode Penelitian Filologi; Fiqh Puasa; Dasar-dasar Akidah Islam;
The Methode of Arabic Manuscript Study; Rahasia Haji; The History of Arabic
Literature.
Sejak sekitar enam tahun lalu, ia
mulai berdakwah – meski pada awalnya ia merasa menghadapi kendala. “Saya merasa
tidak punya daya pikat sebagai mubalighah,” kata ibu empat anak dan sepuluh
cucu ini, merendah. Tapi, belakangan ternyata banyak jemaah yang tertarik pada
gaya dan isi dakwahnya. Gayanya tegas, materinya bernas, sistematis, dengan
penguasan terhadap Alquran dan hadits yang sempurna. Itu sebabnya permintaan
berceramah terus berdatangan, dari Istana Negara semasa pemerintahan Abdurahman
Wahid. Dan pada tahun 2000 ia berceramah pada peringatan Nuzurul Quran di
Mesjid Istiqlal, Jakarta. Ia juga sering mendapat undangan berdakwah dari
lembaga-lembaga internasional. Pengalaman berceramah di mesjid paling besar di
Asia Tenggara itu hingga kini masih membekas. Bagaimana tidak. Ia mubalighah
pertama yang mendapat kesempatan berceramah, dihadiri Presiden Megawati
Soekarnoputri, para pejabat negara dan tamu-tamu kehormatan dari negara-negara
muslim. Ceramahnya pun disiarkan langsung oleh televisi.
Kini Nabilah berusia 61 tahun. Dalam usia yang semakin senja, perasaan
rindu kepada tempat kelahiran dan kampung halamannya sesekali muncul juga.
Maklum, masih banyak famili yang tinggal di sana. Tapi, Nabilah mengaku secara
lahir batin sudah menjadi orang Indonesia. Mengapa? Sebab, katanya, masyarakat
Indonesia begitu ramah, suka menolong, dan bersatu. Cuma sayang, kebanggan itu
kini semakin berkurang karena bangsa Indonesia tengah mengalami transisi.
Bukannya menunjukkan tanda-tanda semakin membaik, tapi semakin memburuk.
\
\
Domery Alpacino
Catatan: Pernah dimuat di majalah Islam Firdaus
Tidak ada komentar:
Posting Komentar