Laman

Minggu, 05 Juni 2005

Memberdayakan Ilmuwan Muslimah

 Prof. Dr. Hj. Nabilah Lubis, MA

Ia asli Mesir, tapi sudah merasa jadi orang Indonesia. Prestasi keilmuannya tak diragukan. Obsesinya memberdayakan ilmuwan muslimah.

Aktifitas lembaga itu menangani berbagai masalah perempuan dan meningkatkan kualitas perempuan, khususnya di bidang tulis-menulis, menerjemahkan, dan mempublikasikan karya-karya ilmiah. Karya ilmiah itu meliputi bidang dakwah, ekonomi, sosial, pendidikan, dan kegiatan kemanusiaan. Diharapkan, karya-karya ilmuwan muslimah itu bisa mendunia.

April lalu lembaga ini menggelar kongres ketiga di Jakarta, dihadiri perwakilan ilmuwan muslimah dari 56 negara. Salah satu keputusan terpenting: memindahkan kantor pusat dari Maroko ke Indonesia; dan memilih Nabilah sebagai ketua untuk masa jabatan selama tiga tahun. Nabilah dibantu 10 pakar dari beberapa negara. Tapi, sampai bulan ini ia belum menerima kabar dari Sudan, kapan dan di mana 10 pakar itu akan bertemu. Setelah mereka bertemu, lembaga ini baru bisa merencanakan langkah jangka pendek dan panjang, serta melakukan aktifitas lain.
Dalam pertemuan dengan 10 pakar itu, Nabilah akan membawakan makalah mengenai rendahnya minat ilmuwan muslimah melakukan penelitian. “Apa salahnya karya milik sendiri diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, atau menerjemahkan karya-karya orang lain ke dalam bahasa Inggris. Sebab, kebanyakan ilmuwan bisa lebih mengerti bahasa Inggris ketimbang bahasa asing lain,” kata Nabilah yang maih aktif sebagai Dewan Pakar di Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia ini. Ia berharap dalam periode kepemimpinannya kaum muslimah dunia mampu berbuat sesuatu yang lebih menonjol, mampu memecahkan masalah-masalah yang dihadapi kaum perempuan, khususnya di negara-negara sedang berkembang.

Arab, Inggris, Indonesia
Sebelum menjadi ketua umum lembaga tersebut, Nabilah menjadi ketua untuk cabang Indonesia (2000-2003). Ketika itu ia menghimpun para pakar muslimah berbagai disiplin ilmu untuk berbuat sesuatu. Misalnya, melakukan diskusi dan seminar tentang segala permasalahan kaum muslimah dan memecahkan solusinya. Selain itu menerbitkan dan menerjemahkan karya-karya ilmiah dalam bahasa Arab, Inggris, dan Indonesia. “Selama ini saya dianggap sudah banyak berbuat, padahal saya merasa belum apa-apa. Mungkin mereka membandingkan kepemimpinan saya dengan ketua sebelumnya dari Maroko yang tidak banyak berbuat,” katanya merendah.
Karena itu saat ditunjuk sebagai Ketua MIMS cabang Indonesia, ia mengajak kawan-kawannya di daerah untuk turun secara langsung ke masyarakat. Meski sejatinya ilmuwan hanya bertugas merencanakan dan membuat strategi serta memberikan jalan keluar. Tak heran, bila anggotanya kini terus meningkat. Semula 100 ilmuwan, kini lebih dari 1000 orang. Selain itu, Nabilah juga masih sempat menjadi pemimpin redaksi majalah berbahasa Arab, Alo Indonesia. “Majalah ini saya anggap sebagai puncak karir saya di bidang yang saya tekuni sebagai dosen bahasa Arab,” kata Nabilah bangga.
Nabilah ternyata mampu memberikan “ruh” di majalah ini. Majalah yang awalnya hanya dibaca orang-orang kedutaan, orang-orang Arab yang berada di Indonesia, dan wisatawan Arab yang mampir ke negeri ini, kini dibaca dan digemari mahasiswa serta para dosen IAIN di seluruh Indonesia. Dalam waktu empat tahun, majalah dengan rubrik yang sangat variatif ini (budaya, sosial, ekonomi, agama, bahkan resep makanan ala Nusantara), berkembang lebih cepat. Oplahnya juga terus meningkat. 
Dalam pandangan Nabilah, hingga kini masih banyak kaum muslimah yang memiliki pengetahuan agama yang rendah. Sebab, selama ini dakwah para ustad atau ustadzah kurang menyentuh mereka, masih terlalu formalistis. “Seharusnya mereka memberi contoh secara langsung, dengan terjun ke pedalaman, misalnya mengajarkan surat Alfatihah dan sekaligus mempraktikkannya dalam kehidupan nyata,” kata Nabilah.

Bila Ramadhan tiba
            Nabilah menilai, kerusakan moral bangsa saat ini karena masih banyak yang mempelajari Alquran hanya sebatas di bibir. “Bila kalam Allah menyentuh hati, niscaya orang yang tadinya suka mencuri tidak akan lagi berbuat sesuatu yang merugikan orang lain. Mereka yang tadinya suka menjarah atau korupsi, tidak melakukan perbuatan tercela lagi. Bagaimana caranya agar Alquran bisa menyentuh hati? Tidak perlu khatam Alquran. Cukup mempelajari isi satu surat saja, memahami, dan mengerjakan apa yang terkandung didalamnya. Itu sudah jauh lebih berarti. Bila Ramadhan tiba, jangan semata berlomba-lomba khatam Alquran. Khatam Alquran alhamdullillah, tapi lebih berarti bila kita mampu memahami makna satu atau beberapa surat dan mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-sehari,” ujarnya.
Nabilah punya pandangan khusus mengenai posisi perempuan dalam Islam. Menurutnya, seorang perempuan bisa menjadi presiden, karena dalam Alquran dan hadits tidak ada batasannya. Sebelum zaman Rasulullah, sebenarnya sudah ada beberapa perempuan yang memimpin negara. Tapi, ia harus punya kemampuan dan pendukung di belakangnya. Ia harus menunjukkan kepribadian yang mantap, punya pengetahuan luas, dan berbobot. Tapi jika ada laki-laki yang punya kemampuan relatif sama, dan dia terpilih, memang lebih baik laki-laki. Jika perempuan terpilih sebagai presiden, rakyat harus menghormatinya dan ia dipilih dengan suara terbanyak. Tapi, dalam masyarakat yang demokratis, jika presidennya berbuat kemungkaran dan tidak memperhatikan kemaslahatan umum, rakyat boleh saja meneriakkan “No” sekuat-kuatnya.
            Dalam hal perkawinan, Nabilah cukup demokratis. Perempuan bisa menjadi pemimpin rumah tangga asal punya kemampuan. “Menafsirkan surat An-Nisa ayat 34 jangan sepotong-sepotong. Karena bagaimanapun, perempuan juga punya kelebihan yang tidak dimiliki oleh kaum laki-laki,” katanya. Laki-laki, tambah Nabilah, sejak awal memang berat dalam mencari nafkah untuk keluarga. Tapi, pasangan suami istri harus menjadi nakhoda kapal rumah tangga secara bersama-sama. Yang satu satu duduk sebagai pengemudi, yang lain merapikan. Bila satu nakhoda capai, nakhoda lainnya harus mampu menggantikan, atau ada pembagian tugas. “Pada zaman Rasulullah kewajiban istri memang hanya melahirkan dan mengasuh anak. Tapi, juga ada sebagian perempuan yang berdagang dan mencangkul. Bila ia punya kemampuan, perlu dimanfaatkan. Rasulullah bersabda: Barang siapa punya ilmu lalu tidak dimanfaatkan, maka pada hari kiamat lidah orang itu akan diberi sepotong api neraka,” katanya.

Dari Rumahtangga
            Hampir semua hal tentang perempuan menjadi perhatian Nabilah, termasuk soal busana. Menurutnya, perempuan yang tidak mengenakan pakaian muslimah sejatinya belum menghayati ajaran Islam yang sesungguhnya. Lalu dari mana mulai memperbaikinya? Perbaikan pertama harus dari rumahtangga, karena peran ibu dan ayah sangat berarti. Bila anak-anak dibiarkan saja, akhirnya terjadi seperti sekarang ini. Mereka mengenakan jilbab, tapi pakaiannya ketat. Bahkan ada yang sedikit terbuka dadanya. “Karena itu, setiap muslim wajib menengur sesamanya. Bila masyarakat muslim peduli, hasilnya akan lebih baik. Sebaliknya bila apatis, akibatnya terjadi kerusakan moral di mana-mana, termasuk banyak perempuan yang membuka auratnya,” kata Nabilah lagi. Dalam hal ini, Majelis Ulama Indonesia sudah mengeluarkan fatwa, kaum muslimah diwajibkan menutup aurat.
            Nabilah dilahirkan dalam budaya Islam yang kental. Ia lahir 14 Maret 1942 di Cairo, Mesir. Masa kecil hingga remaja dihabiskan di Cairo. Ayahnya, H. Abdul Fatah Muhammad, mantan Direktur Jenderal Pajak di kawasan Cairo bagian selatan, Ghiza. Ibunya, Hj. Daulat Muhammad Ahmad, ibu rumah tangga yang tidak mengenyam pendidikan tinggi, tapi mengharap semua anaknya bisa bersekolah tinggi. Suatu hari, ketika ia di tingkat satu jurusan sastra Cairo University, ada tamu asal Indonesia. Ia adalah Burhanuddin Lubis. Lelaki asal Mandailing, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, ini mengantar kiriman untuk keluarga Nabilah. Ketika itu kebetulan Nabilah tidak di rumah. Tak lama kemudian Burhanuddin bersahabat dengan adik lelaki Nabilah, dan belakangan kenal juga dengan Nabilah. Ketika itu Burhanuddin baru lulus S1 salah satu universitas di Baghdad, Irak. 
            Ketika Burhanuddin kembali ke Baghdad, ia menulis surat menyatakan ingin menikahi Nabilah. Bila Nabilah setuju, ia akan kembali ke Mesir pada liburan berikutnya untuk bertunangan.       Membaca surat itu, Nabilah langsung marah, dan menunjukkannya kepada ayahandanya. “Lihat nih, orang Indonesia! Ia berbicara seenaknya sendiri. Abah sih, orang seperti itu boleh datang ke rumah,” sungut Nabilah ketika itu. “Sudahlah, surat itu tidak usah dibalas. Biarkan saja,” ungkap Nabilah menirukan ucapan ayahandanya. Hari pun bergantian, dan Nabilah hampir melupakan Burhanuddin. Tiba-tiba, saat liburan sekolah tiba, Burhanuddin kembali datang.
           
Majalah Hawa
Singkat cerita, Nabilah menerima lamaran Burhanuddin. Mereka pun bertunangan. Tapi setelah itu berkali-kali Nabilah bimbang: menerima, dan tidak melanjutkan pertunangan ke jenjang pernikahan. Dalam akad pertunangan di Mesir, apabila suatu hari seorang perempuan merasa keberatan, ia bisa membatalkan pertunangan. Dalam kasus seperti ini pihak perempuan akan mengembalikan semua pemberian dari pihak laki-laki.  
Akhirnya ia mengirim surat ke rubrik konsultasi perkawinan di majalah Hawa  (Perempuan). Ia membeberkan persoalannya. “Saya bertunangan dengan orang Indonesia. Tapi, saya merasa tidak tenang. Saya bimbang antara setuju dan tidak untuk melanjutkan ke jenjang pernikahan. Mohon petunjuk.” Tapi, jawaban redaksi sangat mengejutkannya. Jika bimbang, ia disarankan tidak melanjutkannya ke jenjang perkawinan. Apalagi antara Mesir dan Indonesia ada perbedaan budaya, letaknya pun sangat jauh.
            Di tengah kebimbangan itu, anehnya, Nabilah terus mempersiapkan acara pernikahan. Ia juga sudah mempersiapkan baju pengantin. Undangan pun sudah disebarkan. Dan selebihnya ia pasrah kepada Allah SWT. Ia percaya Allah SWT akan memberikan jalan yang terbaik pada umatNya. “Apa yang terjadi, terjadilah. Mungkin ini sudah jodoh saya,” katanya dalam hati. Akhirnya, ia menikah dengan Burhanuddin pada 1963. Meski berasal dari budaya yang berbeda, mereka bisa saling mengisi dan menyesuaikan. Bersama suaminya, Nabilah sempat tinggal setahun di Cairo sampai anak pertama lahir. “Buat orangtua saya, yang terpenting seiman, dan mereka percaya saya bisa hidup karena mempunyai bekal ilmu yang cukup sebelum menikah. Mereka beranggapan saya pasti bisa bekerja,” tutur Nabilah.
            Perkiraan kedua orangtuanya benar. Ketika diboyong suaminya ke Jakarta, tidak beberapa lama kemudian Nabilah yang waktu itu berumur 22 tahun mendapat kepercayan sebagai kepala perpustakaan IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta (1964-1969). Ia pun melakukan perubahan besar-besaran. Perpustakaan IAIN yang tadinya hanya sebuah kamar dengan dua rak buku, belakangan pindah ke bangunan baru dengan berbagai fasilitas dan koleksi buku yang lengkap. Hanya saja, ketika pertama kali menginjakkan kaki di rumah dinas suaminya di kompleks dosen IAIN Ciputat, ia sempat shock. Ia yang selama ini biasa dilayani, tiba-tiba harus menyelesaikan sendiri urusan rumah tangga. Ia yang biasa hidup di kota besar seperti Cairo, harus tinggal di daerah Ciputat yang pada tahun 1960-an masih daerah pedesaan yang sepi. Belum lagi soal makanan. Makanan pokok di Mesir adalah roti, sedang di Indonesia nasi. Karena itu, ia sering minta suaminya membeli roti di Kebayoran Baru.
           
Rindu Kampung Halaman

Tahun pertama hingga ketiga, ia merasa hidup di Jakarta yang tak nyaman. Tapi, ia menjalaninya dengan ikhlas, konsekuen sebagai istri yang ikut suami orang asing dan tinggal di Indonesia. Pada 1969, ia mendapat tawaran melanjutkan studi S2 di Mesir dalam bidang studi Islam. Tentu saja kesempatan itu tidak disia-siakannya, meskipun harus meletakkan jabatan sebagai kepala perpustakaan IAIN. Usai menyelesaikan studi di Mesir, ia kembali ke Indonesia. Pada 1971 ia mendapat tugas sebagai dosen bahasa Arab di Fakultas Adab IAIN Jakarta, kemudian sebagai Dekan Fakultas Adab, dan beberapa tahun kemudian mengajar di Fakultas Tarbiyah. Ia juga masih sempat mengajar di beberapa perguruan tinggi swasta seperti Akademi Bahasa Asing dan di Perguruan Tinggi Ilmu Alquran serta Institut Ilmu Alquran (IIQ). Malah di IIQ ia menjabat wakil direktur menggantikan Prof. Ibrahim Hosen.
            Pada 1982 ia mengambil program doktor di Universitas Al-Azhar, Cairo, selama dua tahun, dan di Belanda selama satu tahun dalam bidang filologi -- ilmu yang mempelajari naskah-naskah kuno. Ia mengambil disertasi tentang Syeikh Yusuf al-Taj al-Makassari, Menyingkap Intisari Segala Rahasia yang pada 1996 diterbitkan oleh penerbit Mizan. Dialah doktor perempuan pertama IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.          Sejak itu ia sering melakukan penelitian. Tahun lalu, misalnya, ia meneliti naskah surat Yasin tulisan tangan pada masa Walisongo. Ia juga menulis beberapa buku, seperti Teks, Naskah dan Metode Penelitian Filologi; Fiqh Puasa; Dasar-dasar Akidah Islam; The Methode of Arabic Manuscript Study; Rahasia Haji; The History of Arabic Literature
            Sejak sekitar enam tahun lalu, ia mulai berdakwah – meski pada awalnya ia merasa menghadapi kendala. “Saya merasa tidak punya daya pikat sebagai mubalighah,” kata ibu empat anak dan sepuluh cucu ini, merendah. Tapi, belakangan ternyata banyak jemaah yang tertarik pada gaya dan isi dakwahnya. Gayanya tegas, materinya bernas, sistematis, dengan penguasan terhadap Alquran dan hadits yang sempurna. Itu sebabnya permintaan berceramah terus berdatangan, dari Istana Negara semasa pemerintahan Abdurahman Wahid. Dan pada tahun 2000 ia berceramah pada peringatan Nuzurul Quran di Mesjid Istiqlal, Jakarta. Ia juga sering mendapat undangan berdakwah dari lembaga-lembaga internasional. Pengalaman berceramah di mesjid paling besar di Asia Tenggara itu hingga kini masih membekas. Bagaimana tidak. Ia mubalighah pertama yang mendapat kesempatan berceramah, dihadiri Presiden Megawati Soekarnoputri, para pejabat negara dan tamu-tamu kehormatan dari negara-negara muslim. Ceramahnya pun disiarkan langsung oleh televisi. 
Kini Nabilah berusia 61 tahun. Dalam usia yang semakin senja, perasaan rindu kepada tempat kelahiran dan kampung halamannya sesekali muncul juga. Maklum, masih banyak famili yang tinggal di sana. Tapi, Nabilah mengaku secara lahir batin sudah menjadi orang Indonesia. Mengapa? Sebab, katanya, masyarakat Indonesia begitu ramah, suka menolong, dan bersatu. Cuma sayang, kebanggan itu kini semakin berkurang karena bangsa Indonesia tengah mengalami transisi. Bukannya menunjukkan tanda-tanda semakin membaik, tapi semakin memburuk. 
\
Domery Alpacino
Catatan: Pernah dimuat di majalah Islam Firdaus


Tidak ada komentar:

Posting Komentar