Setelah sering berdebat dan mengikuti kuliah agama Islam
di kampus, akhirnya ia menyempurnakan agama dengan memeluk Islam.
www.geocities.ws |
Seminggu setelah musibah, ia kembali
berdakwah. Baginya, dakwah tidak hanya sekedar membicarakan soal-soal ibadah,
tapi juga soal kemasyarakatan. Boleh dikata sebagai dokter, setiap hari ia
mengurusi kesehatan jasmani dan rohani. Hampir setiap pagi ia mengisi acara Mutiara
Subuh di beberapa radio atau stasiun televisi. Dan saat masuk waktu Dhuha,
ia bergegas menuju tempat praktik dokter di Gedung Balai Pustaka, Jakarta
Pusat, sementara Senin, Rabu, Jumat (pukul 13.30 - 16.00), ia menangani para
pasien pria yang mengalami gangguan kesehatan sex di Gedung Sarinah, Jakarta
Pusat.
Sore
dan malam hari ia masih sibuk. Setiap Rabu (17:00-18:00) ia bicara tentang
kesehatan seksual di Radio Pelita Kasih, sedang Kamis malam di Radio Sonora.
“Di dua radio itu, saya bicara kesehatan seksual dari sudut ajaran Islam.
Misalnya, bagaimana cara melakukan kegiatan sex yang baik dan sehat menurut
Islam,” katanya. Menurut Bambang, Islam tidak melarang orang membicarakan dan
melakukan hubungan sex. Bila dilarang, manusia tidak berkembang biak dengan
baik.
Bagaimana
hubungan sex antara suami dan istri secara Islami, bagaimana hubungan sex yang
mampu membangun keluarga sakinah, harmonis, hubungan sex yang sehat dan
memuaskan kedua belah pihak -- semua itu diterangkan secara baik dan benar
secara Islam. “Semua itu saya jelaskan secara terbuka, baik dari sudut ilmu
kedokteran maupun Islam,” tuturnya.
Uraian yang dibawakannya rupanya cukup menarik, sehingga
ia pernah diminta mengisi pendidikan sex yang baik dan sehat di beberapa gereja
di kawasan Jabotabek. Temanya membina hubungan sex suami istri agar tercipta
keluarga Kristiani. Tapi, Bambang menolak secara halus. “Maaf, pak Pendeta,
saya seorang muslim. Kalau saya bicara di forum itu rasanya kurang cocok.
Mungkin bapak bisa mencari dokter spesialis sex lain yang beragama Kristen,”
ujarnya.
Di lain pihak, ia menyayangkan beberapa radio yang
mengemban misi Islam, tapi tidak punya acara kesehatan seksual. Mereka
menganggap soal sex sesuatu yang tabu, bukan hal yang layak disampaikan secara
terbuka. “Padahal, membicarakan kesehatan seksual sangat penting, agar hidup
kita tidak ngawur, tetap sehat, dalam rangka membentuk keluarga sakinah,” kata
dokter yang juga mengasuh rubrik konsultasi sex di beberapa tabloid dan majalah
ibukota.
Di tengah kesibukannya, ia masih sempat membagi waktu
untuk Majelis Muhtadin, salah satu lembaga di bawah Dewan Dakwah, yang khusus
menghimpun dan membina para mualaf. Para mualaf mendapat berbagai bahan tentang
Islam untuk didiskusikan dengan seorang ustaz. Majelis ini juga memberikan
pemecahan masalah sosial ekonomi para mualaf, karena banyak di antara mereka
tak lagi mendapat bantuan biaya pendidikan, bahkan ada yang disingkirkan oleh
keluarga. Bahkan, setelah masuk Islam tidak sedikit yang dipecat dari tempat
pekerjaan mereka. “Karena itu, Majelis Muhtadin berusaha membantu mencarikan
pekerjaan, memberikan beasiswa sampai tamat sekolah menengah atau universitas.
Selain itu juga melakukan advokasi hukum,” tuturnya. Selain di Majelis
Muhtadin, Bambang juga aktif di Majelis Almantik yang setiap minggu ketiga
menggelar studi Kristologi di Mesjid Namira, Tebet Barat Dalam, Jakarta
Selatan.
Blasteran Jawa-Cina
Semangat dakwah Bambang yang super sibuk itu tak lepas dari latar
belakang hidupnya. Ia lahir 26 September 1944 di Yogyakarta sebagai anak sulung
dari empat bersaudara. Kedua orangtuanya, Raden Mas Bambang Soeparto dan
Agustin Kamtinah adalah pemeluk Katolik yang taat. Sebelumnya, ayahandanya yang
masih keturunan KPA Paku Alam II, adalah penganut Kejawen, sementara sang ibu
yang blasteran Jawa-Cina, sejak kecil sudah menganut Katolik.
Sejak kecil Bambang mendapat pendidikan agama yang keras
dari orangtuanya. Setiap minggu ke gereja dan mengikuti Sekolah Minggu, selain
bersekolah di sekolah Katolik. Mulai dari Taman Kanak-kanak Santa Maria
(Yogyakarta), lalu Sekolah Dasar Santa Yusuf, Surabaya. Naik kelas empat SD, ia
pindah ke SD Santo Tarsisius Jakarta, mengikuti ayahandanya yang bertugas
sebagai perwira TNI Angkatan Laut. Lulus SD, ia melanjutkan ke SMP dan SMA
Kanisius, Jakarta Pusat.
Saat kelas tiga SMP, Bambang
menerima sakramen pemandian (upacara penyucian jiwa), dengan nama baptis
Yohanes. Dan ketika berusia 17 tahun, ia menerima sakramen penguatan dengan
nama tambahan Paulus. Maka sejak itu ia bernama Yohanes Paulus Bambang Sukamto,
dan aktif sebagai anggota kongregasi gereja.
Ketika kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta
(1966), ia ikut aktif berdemontrasi menuntut tiga tuntutan rakyat: Bubarkan
Kabinet, Bubarkan PKI, Turunkan harga. Ketika Ramadhan tiba, semangat
kawan-kawannya yang berpuasa tak kalah dibanding mereka yang tidak berpuasa.
Ketika menuju Istana Negara dan berhadapan dengan moncong senjata siap tembak,
sikap mereka sangat tenang. Ketika saat salat tiba, mereka pun salat. Ketika
itu Bambang berpikir, ”Di balik semua ini pasti ada sesuatu.” Dan diam-diam ia
ingin tahu apa rahasianya.
Sejak itu, Bambang mulai banyak berkawan dengan para
mahasiswa muslim, khususnya saat belajar bersama. Dalam pandangan Bambang saat
itu, mereka yang bukan Katolik harus diselamatkan ibarat domba tersesat. “Ketika itu saya
bertekad menyelamatkan mereka agar memeluk agama Katolik,” tutur Bambang. Tapi,
hasilnya tak semudah yang diperkirakannya. Setiap kali mereka berdebat soal agama,
selalu saja Bambang kalah. Misalnya, ketika ia mempersoalkan kiblat salat dan
penggunaan bahasa Arab. “Mengapa dalam salat orang Islam menggunakan bahasa
Arab dan menghadap ke Ka’bah di Mekah? Apakah Tuhan cuma ada di Mekah dan hanya
mengerti bahasa Arab? Beda dengan agama Nasrani. Kalau orang Nasrani sembahyang
bisa menghadap ke mana saja karena Tuhan
ada di mana-mana,” kata Bambang.
Kawan-kawan Bambang pun menyanggah. “Ketika salat, kami
memang betul menghadap ke arah Ka’bah di Mekah. Tapi, bukan karena Tuhan cuma
ada di sana, melainkan hanya sebagai lambang saja bahwa Islam itu satu. Kaum
muslimin menuju ke satu titik sebagai lambang persatuan Islam,” kata mereka.
“Mengapa pula orang salat menggunakan bahasa Arab? Karena Islam diturunkan di
Arab, dan itu juga untuk menunjukkan persatuan pula. Intinya, di mana pun orang
Islam berada, bisa melakukan salat berjamaah karena bahasanya sama yaitu Arab,
kiblatnya sama yaitu Ka’bah, dan gerakannya pun sama,” tambah mereka.
Agama
Lokal
Mereka kemudian memberondong serangkaian argumentasi
kepada Bambang. “Anda beragama Katolik. Bila Anda pergi di gereja di Indonesia,
bahasa yang digunakan bahasa Indonesia. Tapi, bila Anda masuk ke gereja di
Jepang, bahasa yang digunakan bahasa Jepang. Padahal Anda tidak mengerti bahasa
Jepang. Berarti di gereja itu Anda hanya bengong karena tidak tahu apa yang
diomongkan. Itu artinya agama Anda adalah agama lokal,” kata teman itu. “Anda
tidak punya kiblat, karena diperbolehkan membangun gereja yang menghadap ke
semua arah mata angin. Kalau begitu, Tuhan Anda bisa bingung karena orang
Kristen sendiri tidak menunjukkan persatuan,” tambah teman itu lagi.
Merasa terdesak, Bambang mengajukan topik lain. “Islam
yang katanya agama keselamatan, ternyata orang-orangnya tidak selamat. Lihat
saja, semua penjara di Indonesia berisi orang-orang Islam,” kata Bambang.
Dengan cepat teman Bambang itupun menjawab, ”Kalau Anda ke Italia atau Amerika,
gembong-gembong yang dipenjara kan semuanya orang-orang Kristen. Jadi, yang
berperilaku jelek itu orangnya, bukan agamanya.” Akhirnya teman Bambang
menyatakan, diskusi soal agama harus mengacu pada ajaran atau konsepnya, bukan
kepada orangnya. Sejak itu, Bambang semakin penasaran. “Rupanya dalam Islam ada
hal-hal yang menarik,” pikirnya.
Ia kemudian membaca beberapa buku mengenai Islam yang ia
pinjam dari perpustakaan maupun dari teman-temannya. Suatu hari ia ingin
mengikuti kuliah agama Islam di kampus setiap Sabtu. Bambang sengaja masuk
kelas Islam, karena penasaran pada ajaran Islam yang selama ini mengganggu
pikirannya. Sebaliknya ia malah tak pernah masuk kelas Katolik. Tak terasa,
sudah tiga tahun ia mengikuti kelas Islam secara rutin. Belakangan ia juga ikut
dalam panitia peringatan hari-hari besar Islam: Maulid Nabi, Isra Mi’raj, Idul
Adha, Idul Fitri. Ia selalu mendapat tugas di bagian tranportasi, yang antara
lain mengantar da menjemput ustaz penceramah.
Selama dalam perjalanan menjemput dan mengantar ustz, Bambang banyak
berdiskusi tentang Islam. Ia bertanya hal-hal yang berkaitan dengan agama lain,
khususnya Kristen, sementara ustaz mengira Bambang, seorang Islam yang ingin
bertanya saja. “Itulah yang membuat saya semakin tertarik. Islam ternyata
indah. Islam ternyata sesuai dengan fitrah. Kita tidak disuruh meyakini hal-hal
yang tidak masuk akal, misalnya meyakini trinitas. Di dalam Kristen, saya harus
meyakininya meski tidak masuk akal,” katanya.
Menurut Bambang, bila kita mengikuti apa yang diperintahkan dan menjauhi
apa yang dilarang dalam Islam, hidup akan terasa indah. Kita juga tidak disuruh
menjalani hal-hal yang kita tidak mampu, melainkan sesuai dengan kemampuan.
Kalau sedang sakit boleh salat dengan duduk, atau berbaring. Puasa Ramadhan
juga demikian. Kalau kita tidak sanggup berpuasa, bisa membayar fidyah.
Semua disesuaikan dengan kemampuan. “Jadi, Islam memang cocok untuk manusia,”
pikir Bambang kala itu.
Sementara di Kristen, kata Bambang, umat disuruh percaya saja sebab kalau
tidak percaya diancam masuk neraka. Ajaran yang terpenting ialah masalah iman,
sedangkan di Islam kita tidak hanya diwajibkan beriman tapi juga harus beramal.
Setelah melalui pergulatan batin cukup panjang, Bambang menyimpulkan: Islam
merupakan penyempurnaan dan koreksi terhadap ajaran Kristen.
Ancam Bunuh Diri
Akhirnya, Bambang memutuskan memurnikan agamanya dengan resmi memeluk
Islam. Peristiwa bersejarah itu terjadi tepat pada hari ulangtahunnya yang
ke-27, 26 September 1971. Saat itu, ia duduk di semester sepuluh Fakultas
Kedokteran UI. Ia membaca syahadat dengan bimbingan Prof. Dr. Nurcholish Madjid
di rumah sebuah rumah di Kramat Kwitang, Jakarta Pusat, saat buka puasa
bersama. Puluhan mahasiswa kedokteran UI menyaksikan peristiwa bersejarah itu.
Sejak itu ia belajar agama Islam secara otodidak dari sejumlah buku.
Ia bertekad untuk lebih memperkuat akidah dan bagaimana bersikap dan
bertingkah laku secara Islami. Ia ingin menunjukkan bahwa setelah menjadi
muslim harus lebih baik dari sebelumnya. Jangan sampai orang menilai, setelah
menjadi muslim malah jauh lebih buruk perilakunya. Tapi, pada awal jadi muslim,
ia merasa kecewa dan kesepian. Kedua orangtua dan adik-adiknya menyingkirkannya
karena mereka menentang ia masuk Islam. Bahkan ibunya mengancam bunuh diri.
Tapi, berkat kesabaran dan penjelasan yang lemah lembut, akhirnya sang ibu
dapat menerima kenyataan. “Dalam Islam, kita diwajibkan berbakti kepada
orangtua meski kita berbeda agama,” kata Bambang kepada ibundanya.
Yang sangat disesalinya ialah kedua orangtuanya meninggal masih dalam
keadaan Kristen. Pada saat-saat terakhir dalam kehidupan mereka, Bambang tetap
mengajak kedua orangtuanya memeluk Islam. Tapi, takdir rupanya menghendaki
lain. Sang ibu ingin tetap dipanggilkan pastor. “Saya terima hal itu sebagai
takdir. Tapi, alhamdullillah, selang beberapa tahun kemudian dua adik saya
memeluk Islam, sementara dua adik saya yang lain tetap Katolik,” ujar Bambang.
Ada satu hal yang juga merisaukan Bambang. Teman-temannya sesama muslim
menganggap, orang yang baru masuk Islam adalah sesuatu yang biasa. Misalnya,
ketika pertama kali ia salat Jumat di Masjid Sunda Kelapa, Menteng, mereka
hanya menyambut dengan ucapan selamat, setelah itu berlalu begitu saja. Padahal
dalam Kristen, kata Bambang, orang yang masuk Kristen mendapat sambutan
luarbiasa. Ia dianggap sebagai “pulangnya si anak hilang.” Bahkan orang yang
sejak lahir memeluk Kristen, kalau lama tidak ke gereja selalu ditanyakan oleh
pastor atau jemaat. Bahkan tak jarang ditengok, atau dibantu. “Jadi, perhatian
mereka sampai pada kehidupan sehari-hari. Begitu ada yang sakit, mereka
menengoknya,” kata Bambang. Padahal, silaturahmi semacam itu justru diajarkan
oleh Rasulullah.
Hal lain yang merisaukannya ialah saat ditinggal pacar. Sebelum menjadi
muslim, ia pacaran dengan gadis Palembang. Belakangan si gadis tahu, Bambang
seorang Katolik sementara ia muslimah. Meski Bambang pernah mengungkapkan
sedang mempelajari Islam, si gadis tak mau mengerti. Saat Bambang hendak
berkirim surat mengabarkan sudah muslim, surat sang pacar tiba duluan:
memutuskan hubungan. Sehari kemudian ia
membalas surat. “Kalau memang keputusanmu sudah bulat begitu, terserah. Tapi,
semoga hubungan kita tetap baik karena kita seiman,” tulis Bambang dalam surat
itu.
Tunggu
punya tunggu tidak ada kabar, akhirnya hubungan putus dengan sendirinya.
Bambang berpikir: “Ini mungkin ujian pertama dari Allah. Pertama, apakah saya
benar-benar masuk Islam karena mendapat hidayah atau karena menginginkan gadis
muslimah. Kedua, saya menganggap peristiwa ini sebagai hikmah. Sebab, selama
ini saya dituding masuk Islam karena ingin menikah dengan pacar saya. Andaikata
saya jadi menikah dengan dia, benarlah argumentasi keluarga dan teman-teman
saya. Tapi, ternyata tidak terjadi, sehinga fitnah itu hilang dengan
sendirinya,” lanjutnya.
Amanah Almarhumah
Beberapa bulan kemudian, Bambang menemukan jodoh: Siti Maryam. Dan kini
mereka sudah dikaruniai Allah SWT dua orang putri. Tapi sang isteri mendahului
ke alam baka dalam usia muda, 32 tahun, karena kanker ginjal. Empat tahun
kemudian, Bambang mendapatkan jodoh Siti Kustiah, gadis Delanggu, Jawa Tengah. Tapi,
beberapa tahun kemudian istri kedua ini pun dipanggil oleh Allah SWT setelah
membina keluarga sakinah selama 11 tahun. “Meski belum mengaruniai anak, tapi
Allah memberikan amanah kepada almarhumah untuk membesarkan kedua anak saya
hingga dewasa,” kata Bambang.
Berbagai cobaan menghadangnya. Tapi, Bambang tetap saja memperteguh iman
dengan mempelajari Islam secara serius selama hampir 10 tahun, baik lewat
berbagai buku maupun diskusi dan seminar. Suatu hari, seorang teman mengajak
Bambang menggantikan praktik dokter di Masjid Almunawaroh, Tanahabang. Di
sinilah ia berpraktik sebagai dokter, termasuk mengobati para ustaz Dewan
Dakwah seperti Husen Umar, Anwar Haryono (alm), dan lain-lain. Kesempatan itu
juga ia manfaatkan untuk berdiskusi soal agama, sehingga ia tak lagi merasa
kesepian.
Pada 1991, bersama sang isteri (Siti Kustiah) Ia menunaikan ibadah haji.
Kesempatan beribadah haji ini sungguh di luar dugaannya. Sebab, ia baru
mendaftar pada hari terakhir. “Ini namanya nikmat iman. Banyak orang yang sudah
mendaftar dan siap berangkat, ternyata gagal. Tapi, tanpa susah payah saya bisa
berangkat haji,” tutur Bambang tanpa hentinya mengucap syukur. Di tanah suci,
ia bertugas sebagai dokter. “Dan alhamdulillah saya tetap sehat. Sebab, kalau
saya sakit bisa jadi para jemaah terlantar. Mungkin Allah memang memberi
kesehatan prima kepada saya karena saya sedang mengemban amanah,” ungkap
Bambang.
Namun, sepulang dari tanah suci Bambang terserang demam sangat tinggi
disertai batuk dan pilek. Suaranya hilang selama dua minggu. “Mungkin inilah
yang namanya sakit rapelan,” katanya sembari tersenyum. Setelah sembuh, ia
merasa terpanggil berbuat sesuatu yang lebih bermanfaat untuk kemaslahatan
umat. Sebab, ia sudah merasakan banyak kenikmatan iman dan karunia. Allah mengabulkan
doanya. Mula-mula diminta membuka praktik dokter di Dewan Da’wah, kemudian ia
diminta menjadi ketua Majelis Muhtadin di bawah payung Dewan Da’wah yang
didirikan oleh bekas Perdana Menteri Moh. Natsir. “Awalnya saya menolak sebab
saya merasa masih dangkal. Jangankan membina, saya sendiri masih perlu
dibimbing. Tapi, karena ada seorang ustaz menyatakan bahwa Umar bin Khatthab,
seorang mualaf, akhirnya menjadi khalifah, semangat saya pun bangkit, dan saya
mau menerimanya,” katanya Bambang.
Setelah sukses memimpin Majelis
Muhtadin, ia ditunjuk sebagai ketua
Majelis Almantik dan ketua beberapa lembaga yang berkaitan dengan layanan umat
secara cuma-cuma. Hal ini sesuai dengan cita-cita Bambang sejak menjadi muslim,
yaitu ingin menegakkan amar ma’ruf nahi munkar. “Bukankah umat Islam
Indonesia masih banyak yang miskin harta, ilmu, iman, dan kasih sayang?” ujar
Bambang. Mudah-mudahan berhasil. Amin.
Domery Alpacino
Catatan: Pernah dimuat di majalah
Islam Alkisah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar