Laman

Sabtu, 18 Juni 2005

“Islam adalah Agama Rasional”

Setelah sering berdebat dan mengikuti kuliah agama Islam di kampus, akhirnya ia menyempurnakan agama dengan memeluk Islam.

www.geocities.ws
DUKA baru saja menyelimuti lelaki ini. Pada 24 Agustus lalu, istri tercinta yang telah mendampinginya selama 11 tahun, dipanggil kembali oleh Sang Khaliq ke alam baka. Tak ada ratap tangis kecuali rasa ikhlas mengantarkan almarhumah ke peristirahatan terakhir. Rupanya ia memahami betul makna surah Alquran (3:185), Kulu nafsin zaiqatul maut (Setiap yang bernyawa akan merasakan mati). Lelaki yang tawakal itu adalah Dr H Bambang Sukamto DMSH.
            Seminggu setelah musibah, ia kembali berdakwah. Baginya, dakwah tidak hanya sekedar membicarakan soal-soal ibadah, tapi juga soal kemasyarakatan. Boleh dikata sebagai dokter, setiap hari ia mengurusi kesehatan jasmani dan rohani. Hampir setiap pagi ia mengisi acara Mutiara Subuh di beberapa radio atau stasiun televisi. Dan saat masuk waktu Dhuha, ia bergegas menuju tempat praktik dokter di Gedung Balai Pustaka, Jakarta Pusat, sementara Senin, Rabu, Jumat (pukul 13.30 - 16.00), ia menangani para pasien pria yang mengalami gangguan kesehatan sex di Gedung Sarinah, Jakarta Pusat.

            Sore dan malam hari ia masih sibuk. Setiap Rabu (17:00-18:00) ia bicara tentang kesehatan seksual di Radio Pelita Kasih, sedang Kamis malam di Radio Sonora. “Di dua radio itu, saya bicara kesehatan seksual dari sudut ajaran Islam. Misalnya, bagaimana cara melakukan kegiatan sex yang baik dan sehat menurut Islam,” katanya. Menurut Bambang, Islam tidak melarang orang membicarakan dan melakukan hubungan sex. Bila dilarang, manusia tidak berkembang biak dengan baik.
Bagaimana hubungan sex antara suami dan istri secara Islami, bagaimana hubungan sex yang mampu membangun keluarga sakinah, harmonis, hubungan sex yang sehat dan memuaskan kedua belah pihak -- semua itu diterangkan secara baik dan benar secara Islam. “Semua itu saya jelaskan secara terbuka, baik dari sudut ilmu kedokteran maupun Islam,” tuturnya.
            Uraian yang dibawakannya rupanya cukup menarik, sehingga ia pernah diminta mengisi pendidikan sex yang baik dan sehat di beberapa gereja di kawasan Jabotabek. Temanya membina hubungan sex suami istri agar tercipta keluarga Kristiani. Tapi, Bambang menolak secara halus. “Maaf, pak Pendeta, saya seorang muslim. Kalau saya bicara di forum itu rasanya kurang cocok. Mungkin bapak bisa mencari dokter spesialis sex lain yang beragama Kristen,” ujarnya.
            Di lain pihak, ia menyayangkan beberapa radio yang mengemban misi Islam, tapi tidak punya acara kesehatan seksual. Mereka menganggap soal sex sesuatu yang tabu, bukan hal yang layak disampaikan secara terbuka. “Padahal, membicarakan kesehatan seksual sangat penting, agar hidup kita tidak ngawur, tetap sehat, dalam rangka membentuk keluarga sakinah,” kata dokter yang juga mengasuh rubrik konsultasi sex di beberapa tabloid dan majalah ibukota.
            Di tengah kesibukannya, ia masih sempat membagi waktu untuk Majelis Muhtadin, salah satu lembaga di bawah Dewan Dakwah, yang khusus menghimpun dan membina para mualaf. Para mualaf mendapat berbagai bahan tentang Islam untuk didiskusikan dengan seorang ustaz. Majelis ini juga memberikan pemecahan masalah sosial ekonomi para mualaf, karena banyak di antara mereka tak lagi mendapat bantuan biaya pendidikan, bahkan ada yang disingkirkan oleh keluarga. Bahkan, setelah masuk Islam tidak sedikit yang dipecat dari tempat pekerjaan mereka. “Karena itu, Majelis Muhtadin berusaha membantu mencarikan pekerjaan, memberikan beasiswa sampai tamat sekolah menengah atau universitas. Selain itu juga melakukan advokasi hukum,” tuturnya. Selain di Majelis Muhtadin, Bambang juga aktif di Majelis Almantik yang setiap minggu ketiga menggelar studi Kristologi di Mesjid Namira, Tebet Barat Dalam, Jakarta Selatan.
           
Blasteran Jawa-Cina
Semangat dakwah Bambang yang super sibuk itu tak lepas dari latar belakang hidupnya. Ia lahir 26 September 1944 di Yogyakarta sebagai anak sulung dari empat bersaudara. Kedua orangtuanya, Raden Mas Bambang Soeparto dan Agustin Kamtinah adalah pemeluk Katolik yang taat. Sebelumnya, ayahandanya yang masih keturunan KPA Paku Alam II, adalah penganut Kejawen, sementara sang ibu yang blasteran Jawa-Cina, sejak kecil sudah menganut Katolik.
            Sejak kecil Bambang mendapat pendidikan agama yang keras dari orangtuanya. Setiap minggu ke gereja dan mengikuti Sekolah Minggu, selain bersekolah di sekolah Katolik. Mulai dari Taman Kanak-kanak Santa Maria (Yogyakarta), lalu Sekolah Dasar Santa Yusuf, Surabaya. Naik kelas empat SD, ia pindah ke SD Santo Tarsisius Jakarta, mengikuti ayahandanya yang bertugas sebagai perwira TNI Angkatan Laut. Lulus SD, ia melanjutkan ke SMP dan SMA Kanisius, Jakarta Pusat.
Saat kelas tiga SMP, Bambang menerima sakramen pemandian (upacara penyucian jiwa), dengan nama baptis Yohanes. Dan ketika berusia 17 tahun, ia menerima sakramen penguatan dengan nama tambahan Paulus. Maka sejak itu ia bernama Yohanes Paulus Bambang Sukamto, dan aktif sebagai anggota kongregasi gereja.
Ketika kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta (1966), ia ikut aktif berdemontrasi menuntut tiga tuntutan rakyat: Bubarkan Kabinet, Bubarkan PKI, Turunkan harga. Ketika Ramadhan tiba, semangat kawan-kawannya yang berpuasa tak kalah dibanding mereka yang tidak berpuasa. Ketika menuju Istana Negara dan berhadapan dengan moncong senjata siap tembak, sikap mereka sangat tenang. Ketika saat salat tiba, mereka pun salat. Ketika itu Bambang berpikir, ”Di balik semua ini pasti ada sesuatu.” Dan diam-diam ia ingin tahu apa rahasianya.
            Sejak itu, Bambang mulai banyak berkawan dengan para mahasiswa muslim, khususnya saat belajar bersama. Dalam pandangan Bambang saat itu, mereka yang bukan Katolik harus diselamatkan  ibarat domba tersesat. “Ketika itu saya bertekad menyelamatkan mereka agar memeluk agama Katolik,” tutur Bambang. Tapi, hasilnya tak semudah yang diperkirakannya. Setiap kali mereka berdebat soal agama, selalu saja Bambang kalah. Misalnya, ketika ia mempersoalkan kiblat salat dan penggunaan bahasa Arab. “Mengapa dalam salat orang Islam menggunakan bahasa Arab dan menghadap ke Ka’bah di Mekah? Apakah Tuhan cuma ada di Mekah dan hanya mengerti bahasa Arab? Beda dengan agama Nasrani. Kalau orang Nasrani sembahyang bisa menghadap ke mana saja  karena Tuhan ada di mana-mana,” kata Bambang.
            Kawan-kawan Bambang pun menyanggah. “Ketika salat, kami memang betul menghadap ke arah Ka’bah di Mekah. Tapi, bukan karena Tuhan cuma ada di sana, melainkan hanya sebagai lambang saja bahwa Islam itu satu. Kaum muslimin menuju ke satu titik sebagai lambang persatuan Islam,” kata mereka. “Mengapa pula orang salat menggunakan bahasa Arab? Karena Islam diturunkan di Arab, dan itu juga untuk menunjukkan persatuan pula. Intinya, di mana pun orang Islam berada, bisa melakukan salat berjamaah karena bahasanya sama yaitu Arab, kiblatnya sama yaitu Ka’bah, dan gerakannya pun sama,” tambah mereka.

Agama Lokal
Mereka kemudian memberondong serangkaian argumentasi kepada Bambang. “Anda beragama Katolik. Bila Anda pergi di gereja di Indonesia, bahasa yang digunakan bahasa Indonesia. Tapi, bila Anda masuk ke gereja di Jepang, bahasa yang digunakan bahasa Jepang. Padahal Anda tidak mengerti bahasa Jepang. Berarti di gereja itu Anda hanya bengong karena tidak tahu apa yang diomongkan. Itu artinya agama Anda adalah agama lokal,” kata teman itu. “Anda tidak punya kiblat, karena diperbolehkan membangun gereja yang menghadap ke semua arah mata angin. Kalau begitu, Tuhan Anda bisa bingung karena orang Kristen sendiri tidak menunjukkan persatuan,” tambah teman itu lagi.
            Merasa terdesak, Bambang mengajukan topik lain. “Islam yang katanya agama keselamatan, ternyata orang-orangnya tidak selamat. Lihat saja, semua penjara di Indonesia berisi orang-orang Islam,” kata Bambang. Dengan cepat teman Bambang itupun menjawab, ”Kalau Anda ke Italia atau Amerika, gembong-gembong yang dipenjara kan semuanya orang-orang Kristen. Jadi, yang berperilaku jelek itu orangnya, bukan agamanya.” Akhirnya teman Bambang menyatakan, diskusi soal agama harus mengacu pada ajaran atau konsepnya, bukan kepada orangnya. Sejak itu, Bambang semakin penasaran. “Rupanya dalam Islam ada hal-hal yang menarik,” pikirnya.
            Ia kemudian membaca beberapa buku mengenai Islam yang ia pinjam dari perpustakaan maupun dari teman-temannya. Suatu hari ia ingin mengikuti kuliah agama Islam di kampus setiap Sabtu. Bambang sengaja masuk kelas Islam, karena penasaran pada ajaran Islam yang selama ini mengganggu pikirannya. Sebaliknya ia malah tak pernah masuk kelas Katolik. Tak terasa, sudah tiga tahun ia mengikuti kelas Islam secara rutin. Belakangan ia juga ikut dalam panitia peringatan hari-hari besar Islam: Maulid Nabi, Isra Mi’raj, Idul Adha, Idul Fitri. Ia selalu mendapat tugas di bagian tranportasi, yang antara lain mengantar da menjemput ustaz penceramah.
Selama dalam perjalanan menjemput dan mengantar ustz, Bambang banyak berdiskusi tentang Islam. Ia bertanya hal-hal yang berkaitan dengan agama lain, khususnya Kristen, sementara ustaz mengira Bambang, seorang Islam yang ingin bertanya saja. “Itulah yang membuat saya semakin tertarik. Islam ternyata indah. Islam ternyata sesuai dengan fitrah. Kita tidak disuruh meyakini hal-hal yang tidak masuk akal, misalnya meyakini trinitas. Di dalam Kristen, saya harus meyakininya meski tidak masuk akal,” katanya.
Menurut Bambang, bila kita mengikuti apa yang diperintahkan dan menjauhi apa yang dilarang dalam Islam, hidup akan terasa indah. Kita juga tidak disuruh menjalani hal-hal yang kita tidak mampu, melainkan sesuai dengan kemampuan. Kalau sedang sakit boleh salat dengan duduk, atau berbaring. Puasa Ramadhan juga demikian. Kalau kita tidak sanggup berpuasa, bisa membayar fidyah. Semua disesuaikan dengan kemampuan. “Jadi, Islam memang cocok untuk manusia,” pikir Bambang kala itu.
Sementara di Kristen, kata Bambang, umat disuruh percaya saja sebab kalau tidak percaya diancam masuk neraka. Ajaran yang terpenting ialah masalah iman, sedangkan di Islam kita tidak hanya diwajibkan beriman tapi juga harus beramal. Setelah melalui pergulatan batin cukup panjang, Bambang menyimpulkan: Islam merupakan penyempurnaan dan koreksi terhadap ajaran Kristen.
           
Ancam Bunuh Diri
Akhirnya, Bambang memutuskan memurnikan agamanya dengan resmi memeluk Islam. Peristiwa bersejarah itu terjadi tepat pada hari ulangtahunnya yang ke-27, 26 September 1971. Saat itu, ia duduk di semester sepuluh Fakultas Kedokteran UI. Ia membaca syahadat dengan bimbingan Prof. Dr. Nurcholish Madjid di rumah sebuah rumah di Kramat Kwitang, Jakarta Pusat, saat buka puasa bersama. Puluhan mahasiswa kedokteran UI menyaksikan peristiwa bersejarah itu. Sejak itu ia belajar agama Islam secara otodidak dari sejumlah buku.
Ia bertekad untuk lebih memperkuat akidah dan bagaimana bersikap dan bertingkah laku secara Islami. Ia ingin menunjukkan bahwa setelah menjadi muslim harus lebih baik dari sebelumnya. Jangan sampai orang menilai, setelah menjadi muslim malah jauh lebih buruk perilakunya. Tapi, pada awal jadi muslim, ia merasa kecewa dan kesepian. Kedua orangtua dan adik-adiknya menyingkirkannya karena mereka menentang ia masuk Islam. Bahkan ibunya mengancam bunuh diri. Tapi, berkat kesabaran dan penjelasan yang lemah lembut, akhirnya sang ibu dapat menerima kenyataan. “Dalam Islam, kita diwajibkan berbakti kepada orangtua meski kita berbeda agama,” kata Bambang kepada ibundanya.
Yang sangat disesalinya ialah kedua orangtuanya meninggal masih dalam keadaan Kristen. Pada saat-saat terakhir dalam kehidupan mereka, Bambang tetap mengajak kedua orangtuanya memeluk Islam. Tapi, takdir rupanya menghendaki lain. Sang ibu ingin tetap dipanggilkan pastor. “Saya terima hal itu sebagai takdir. Tapi, alhamdullillah, selang beberapa tahun kemudian dua adik saya memeluk Islam, sementara dua adik saya yang lain tetap Katolik,” ujar Bambang.
Ada satu hal yang juga merisaukan Bambang. Teman-temannya sesama muslim menganggap, orang yang baru masuk Islam adalah sesuatu yang biasa. Misalnya, ketika pertama kali ia salat Jumat di Masjid Sunda Kelapa, Menteng, mereka hanya menyambut dengan ucapan selamat, setelah itu berlalu begitu saja. Padahal dalam Kristen, kata Bambang, orang yang masuk Kristen mendapat sambutan luarbiasa. Ia dianggap sebagai “pulangnya si anak hilang.” Bahkan orang yang sejak lahir memeluk Kristen, kalau lama tidak ke gereja selalu ditanyakan oleh pastor atau jemaat. Bahkan tak jarang ditengok, atau dibantu. “Jadi, perhatian mereka sampai pada kehidupan sehari-hari. Begitu ada yang sakit, mereka menengoknya,” kata Bambang. Padahal, silaturahmi semacam itu justru diajarkan oleh Rasulullah.
Hal lain yang merisaukannya ialah saat ditinggal pacar. Sebelum menjadi muslim, ia pacaran dengan gadis Palembang. Belakangan si gadis tahu, Bambang seorang Katolik sementara ia muslimah. Meski Bambang pernah mengungkapkan sedang mempelajari Islam, si gadis tak mau mengerti. Saat Bambang hendak berkirim surat mengabarkan sudah muslim, surat sang pacar tiba duluan: memutuskan hubungan.  Sehari kemudian ia membalas surat. “Kalau memang keputusanmu sudah bulat begitu, terserah. Tapi, semoga hubungan kita tetap baik karena kita seiman,” tulis Bambang dalam surat itu.
            Tunggu punya tunggu tidak ada kabar, akhirnya hubungan putus dengan sendirinya. Bambang berpikir: “Ini mungkin ujian pertama dari Allah. Pertama, apakah saya benar-benar masuk Islam karena mendapat hidayah atau karena menginginkan gadis muslimah. Kedua, saya menganggap peristiwa ini sebagai hikmah. Sebab, selama ini saya dituding masuk Islam karena ingin menikah dengan pacar saya. Andaikata saya jadi menikah dengan dia, benarlah argumentasi keluarga dan teman-teman saya. Tapi, ternyata tidak terjadi, sehinga fitnah itu hilang dengan sendirinya,” lanjutnya.

Amanah Almarhumah
Beberapa bulan kemudian, Bambang menemukan jodoh: Siti Maryam. Dan kini mereka sudah dikaruniai Allah SWT dua orang putri. Tapi sang isteri mendahului ke alam baka dalam usia muda, 32 tahun, karena kanker ginjal. Empat tahun kemudian, Bambang mendapatkan jodoh Siti Kustiah, gadis Delanggu, Jawa Tengah. Tapi, beberapa tahun kemudian istri kedua ini pun dipanggil oleh Allah SWT setelah membina keluarga sakinah selama 11 tahun. “Meski belum mengaruniai anak, tapi Allah memberikan amanah kepada almarhumah untuk membesarkan kedua anak saya hingga dewasa,” kata Bambang.
Berbagai cobaan menghadangnya. Tapi, Bambang tetap saja memperteguh iman dengan mempelajari Islam secara serius selama hampir 10 tahun, baik lewat berbagai buku maupun diskusi dan seminar. Suatu hari, seorang teman mengajak Bambang menggantikan praktik dokter di Masjid Almunawaroh, Tanahabang. Di sinilah ia berpraktik sebagai dokter, termasuk mengobati para ustaz Dewan Dakwah seperti Husen Umar, Anwar Haryono (alm), dan lain-lain. Kesempatan itu juga ia manfaatkan untuk berdiskusi soal agama, sehingga ia tak lagi merasa kesepian.
Pada 1991, bersama sang isteri (Siti Kustiah) Ia menunaikan ibadah haji. Kesempatan beribadah haji ini sungguh di luar dugaannya. Sebab, ia baru mendaftar pada hari terakhir. “Ini namanya nikmat iman. Banyak orang yang sudah mendaftar dan siap berangkat, ternyata gagal. Tapi, tanpa susah payah saya bisa berangkat haji,” tutur Bambang tanpa hentinya mengucap syukur. Di tanah suci, ia bertugas sebagai dokter. “Dan alhamdulillah saya tetap sehat. Sebab, kalau saya sakit bisa jadi para jemaah terlantar. Mungkin Allah memang memberi kesehatan prima kepada saya karena saya sedang mengemban amanah,” ungkap Bambang.
Namun, sepulang dari tanah suci Bambang terserang demam sangat tinggi disertai batuk dan pilek. Suaranya hilang selama dua minggu. “Mungkin inilah yang namanya sakit rapelan,” katanya sembari tersenyum. Setelah sembuh, ia merasa terpanggil berbuat sesuatu yang lebih bermanfaat untuk kemaslahatan umat. Sebab, ia sudah merasakan banyak kenikmatan iman dan karunia. Allah mengabulkan doanya. Mula-mula diminta membuka praktik dokter di Dewan Da’wah, kemudian ia diminta menjadi ketua Majelis Muhtadin di bawah payung Dewan Da’wah yang didirikan oleh bekas Perdana Menteri Moh. Natsir. “Awalnya saya menolak sebab saya merasa masih dangkal. Jangankan membina, saya sendiri masih perlu dibimbing. Tapi, karena ada seorang ustaz menyatakan bahwa Umar bin Khatthab, seorang mualaf, akhirnya menjadi khalifah, semangat saya pun bangkit, dan saya mau menerimanya,” katanya Bambang.
Setelah sukses memimpin Majelis Muhtadin,  ia ditunjuk sebagai ketua Majelis Almantik dan ketua beberapa lembaga yang berkaitan dengan layanan umat secara cuma-cuma. Hal ini sesuai dengan cita-cita Bambang sejak menjadi muslim, yaitu ingin menegakkan amar ma’ruf nahi munkar. “Bukankah umat Islam Indonesia masih banyak yang miskin harta, ilmu, iman, dan kasih sayang?” ujar Bambang. Mudah-mudahan berhasil. Amin.
Domery Alpacino
Catatan: Pernah dimuat di majalah Islam Alkisah


Tidak ada komentar:

Posting Komentar