Laman

Minggu, 22 Mei 2005

Tulip nan Teduh Semerbak

Perempuan Belanda itu jadi muslimah setelah hatinya tergetar oleh alunan takbir Idul Adha. Kini ia hidup dengan tujuan yang jelas.

tipspetani.blogspot.com
WAJAHNYA putih bersih, sedikit kemerah-merahan. Dan sejak mengenakan jilbab beberapa tahun lalu, wajah itu tampak teduh bagaikan bunga tulip yang semerbak dari negeri kincir angin, Belanda. Keteduhan itu semakin terasa manakala ia berusaha selalu sabar dalam menghadapi lika-liku kehidupan.

Itulah Fleur Paumen, warganegara Belanda, yang bersuamikan laki-laki asal Tapanuli, Syahganda Nainggolan. Dua belas tahun silam ia telah menyempurnakan agamanya dengan memeluk Islam.  

 Lahir pada 7 November 1966 di Leiden, Belanda, ia adalah anak sulung dua bersaudara dari pasangan Paul Paumen dan Dory van de Eynden. Ayahnya bekerja sebagai teknisi komputer, ibunya adalah pekerja sosial, membantu membersihkan tempat tidur orang-orang lanjut usia. Fleur dibesarkan dalam keluarga Katolik yang taat. Setiap minggu ia hampir selalu diajak oleh orangtuanya ke gereja. “Tapi, di gereja saya hanya melihat anak-anak kecil dan orang-orang tua saja. Anak-anak muda hampir tidak ada,” ujar Fleur mengenang.

Ketika Fleur menginjak usia enam tahun, ibundanya mulai jarang ke gereja. Maka Fleur pun ikut-ikutan. Apalagi sesuai dengan tradisi di negeri Kincir Angin, anak-anak yang usia di atas balita sudah bebas mengikuti cara berpikir sendiri. Meski begitu, orangtua biasanya mengajarkan norma-norma yang terpuji dan berlaku di masyarakat, seperti tidak membedakan ras, tidak melecehkan orang lain, tidak mencuri dan mengumpat. “Saya termasuk anak yang patuh kepada orangtua dan menjalankan semua nasihat mereka,” tutur Fleur.

Suatu hari keluarga Fleur pindah ke kepulauan Karibia, Amerika Tengah. Mereka tinggal di Curacao selama lima tahun. Di pulau yang beriklim tropis itu ia belajar di sebuah sekolah dasar Protestan, dari kelas satu hingga empat. Setelah itu mereka kembali ke Belanda dan Fleur melanjutkan sekolah dari kelas lima hingga enam di sebuah SD Katolik. Tamat SD, ia tetap belajar di sekolah Katolik. “Meski tidak pernah lagi ke gereja dan sejak SMP juga tidak mendapat pelajaran agama, saya terus tertarik mempelajari agama,” kata Fleur. 

Belakangan ia kuliah di Universitas Leiden jurusan psikologi hingga mencapai gelar master. Di tengah kesibukannya kuliah, pada 1988 Fleur sempat berkunjung ke Indonesia. Ia tertarik pada Indonesia setelah mendengar informasi dari teman-temannya mengenai negeri tropis yang indah ini. 

Selama sebulan di Indonesia, ia sempat jalan-jalan ke Bali dan Medan. Karena mulai “jatuh cinta” kepada Indonesia, ketika kembali ke kampung halaman ia giat mengikuti kursus bahasa Indonesia selama setahun. Ia juga memperkaya pengetahuannya dengan membaca beberapa buku mengenai sejarah Indonesia. Termasuk novel sejarah Max Havelaar karya Multatuli yang mengisahkan penderitaan kaum pribumi di bawah penjajahan Belanda.

Gayung Bersambut 

Pada 1989, Fleur kembali mengunjungi Indonesia. Kali ini ia tak sekedar jalan-jalan sebagai turis, melainkan melakukan penelitian untuk tesisnya di bidang psikologi perkembangan di Bandung, sekalian mengikuti kursus tambahan bahasa Indonesia kepada Prof. Yus Badudu.

Di Bandung ia in de cost di sebuah rumah yang cukup sederhana, di sebuah perkampungan yang penduduknya masih cukup akrab. Di Bandung inilah ia bertemu dengan Syahganda Nainggolan, mahasiswa ITB (Institut Teknologi Bandung) jurusan geodesi yang banyak membantu penelitiannya. Gayung pun bersambut, lama kelamaan mereka pun saling jatuh cinta dan akhirnya menikah. 

Hari-hari pertama di Indonesia, kebetulan menjelang Hari Raya Idul Adha. Tepat di malam hari raya, Fleur mendengar sayup-sayup alunan takbir, tahmid, dan tahlil di beberapa mesjid. Tak disadarinya, nuraninya pun tersentuh. Sejak itu, setiap kali ia mendengar ayat-ayat Al-Quran dibaca, berangsur-angsur hatinya merasa tenteram – perasaan yang menurut Fleur sangat sulit dilukiskan dengan kata-kata.

Merasa penasaran, pagi harinya ia berjalan-jalan keluar rumah. Ketika itulah ia menyaksikan kaum muslimin berbondong-bondong menuju ke sebuah lapangan mesjid Istiqomah,Bandung, terbuka untuk menunaikan salat Idul Adha. Lapangan itu penuh sesak oleh jemaah. Tua, muda, lelaki, perempuan, kaya, miskin, anak-anak. Mereka berderet dalam barisan saf-saf yang rapi. Jemaah lelaki, yang kebanyakan mengenakan baju koko dan sarung membentuk saf di depan, sementara jemaah perempuan yang mengenakan mukena serba putih di belakang. 

“Saat itu saya betul-betul terkesan. Saya melihat tidak ada perbedaan antara kaya dan miskin, tua dan muda. Mereka semua dalam barisan yang sama melaksanakan salat. Rasanya saat itu saya ingin salat bersama,” kenang Fleur berkaca-kaca. Ia juga menyaksikan orang-orang menyembelih hewan kurban, dan membagikan dagingnya kepada fakir miskin dan yatim piatu. “Saya tertarik menyaksikan betapa mereka begitu ihlas berkurban. Dari segi sosial itu sangat bagus,” katanya.

Komunitas Ideal 

Satu hal yang sangat mengesankan bagi Fluer ialah banyaknya anak muda yang menunaikan salat dan membantu membagi-bagikan daging kurban. Sedang di negerinya, ia tak pernah menyaksikan anak-anak muda pergi ke gereja. Gereja hanya dikunjungi oleh orang-orang tua dan lansia. Akhirnya ia berkesimpulan, Islam adalah agama yang benar-benar memenuhi hasrat kehidupan manusia dengan rasa persaudaraan yang kental. “Ini merupakan sebuah komunitas yang sangat ideal. Saya berkesimpulan inilah agama yang baik dan benar,” tambahnya. 

Ketika kembali ke Belanda, keinginan tahunya tentang Islam semakin besar. Perasaan itulah yang akhirnya mendorong Fleur mempelajari Islam dengan mengambil mata kuliah Islamologi selama satu semester. Ia pun mulai mengenal seluk-beluk Islam. Meski begitu, ia tidak langsung mengucapkan dua kalimat syahadat. Ia masih bimbang dan masih terus berusaha bergelut mencari kebenaran. 

Di tengah pergulatan itu, ia mencoba membolak-balik Al-Quran. Suatu malam ia membaca surat Al-Ikhlas yang menegaskan bahwa Allah itu esa, tiada beranak, tidak diperanakkan, dan tak satu mahluk pun setara dengan-Nya. Maka diam-diam, hati nuraninya pun membenarkan bahwa Islam adalah agama yang benar. 

Ketika itu kebetulan Dr. Sofyan Siregar, alumni Universitas Madinah, Arab Saudi, mengajak Fleur membantu menyusun tafsir Al-Quran dalam bahasa Belanda. Sebenarnya sudah ada dua tafsir Al-Quran dalam bahasa Belanda, tapi yang menyusun bukan ulama Islam melainkan pakar Islamologi. Lambat-laun, ia pun paham semua kandungan Al-Quran. 

Lain waktu, seorang muslimah asal Maroko mengajak Fleur mengikuti pengajian. Dalam pengajian itulah ia semakin menemukan simpul-simpul kebenaran. Tak heran jika belakangan imannya sekin mantap dan ingin belajar salat. Dengan sabar, muslimah Maroko itu mengajarinya gerakan-gerakan salat beserta bacaannya. “Waktu itu saya hanya pakai sarung yang dilipat-lipat. Sebab tidak ada mukena. Toh, yang penting niatnya,” kenang Fluer sambil tersenyum.

Setelah bisa menjalankan salat dengan cukup baik, muslimah Maroko itu berkata: “Kalau sudah dapat menunaikan salat, berarti kamu sudah mengucapkan syahadat. Dan berarti pula kamu sudah Islam. Karena itu, kamu langsung saja mandi untuk membersihkan dosa-dosa,” ujar Fleur menirukan ucapan rekannya, muslimah asal Maroko itu. Tapi, anjuran itu ia tampik dengan halus.

Rata-rata Sopan 

Fleur lagi-lagi tak segera mengambil keputusan masuk Islam. Sebab, pikirnya, ia masih ingin mencermati lebih dahulu orang-orang yang menjalankan salat secara benar. Dalam pengamatannya, ternyata tingkah laku mereka jauh berbeda dengan mereka yang tidak pernah salat, apalagi nonmuslim. Mereka yang selalu menegakkan salat rata-rata tampak sopan, menghargai orang lain, kalau berbicara selalu berhati-hati. 

Seiring dengan itu, Syahganda yang saat itu menyusul ke negeri Belanda, suka memberikan gambaran tentang Islam yang sebenarnya. Islam, menurut Syahganda tidak seseram apa yang digambarkan oleh Barat. Islam adalah agama keselamatan yang memberikan kesejukan kepada para pengikutnya. 

Pada suatu pagi, akhir Desember 1992, Fleur pun mengambil keputusan sangat penting: masuk Islam. Ia pergi ke sebuah masjid kecil di Rotterdam untuk mengucapkan dua kalimat syahadat, dibimbing oleh Dr. Sofyan Siregar, disaksikan oleh calon suami serta puluhan jemaah. Ia pun mendapat nama baru, Sumayyah, nama seorang muslimah di zaman Rasulullah yang pertama kali syahid -- meski akhirnya ia merasa lebih cocok dengan nama pemberian orangtuanya. 

Usai membaca syahadat, ia merasa sangat berbahagia bercampur haru. “Sejak itu, saya punya tanggungjawab untuk segera mempelajari Islam secara penuh,” katanya. Ia lalu pulang ke rumah, menceritakan kepada orangtuanya bahwa ia telah masuk Islam, sekalian memperlihatkan beberapa foto saat ia mengucapkan syahadat dengan mengenakan jilbab. Tentu saja orangtuanya terkejut, meski tidak marah. “Oh, kalau begitu kita harus foto bersama,” kata ibunya bercanda. 

Setelah menjadi muslimah, hubungannya dengan Syahganda semakin akrab. Meski calon suaminya belum mendapat pekerjaan tetap di Den Haag, mereka memutuskan untuk menikah. “Sebenarnya saat itu Syahganda belum mendapat pekerjaan tetap. Karena ingin hidup bersama, kami harus menikah lebih dulu sesuai ketentuan Islam. Secara ekonomi memang tidak masuk akal. Sebab, banyak teman-teman saya hidup bersama tanpa menikah dengan alasan ekonomi. Karena yakin Allah akan memberikan rizki yang tidak terduga, saya berani mengambil keputusan menikah,” tambahnya.

Mereka pun menikah pada 1 Januari 1994 di Den Haag. Setelah mencatatkan perkawinan di catatan sipil, mereka melakukan akad nikah di sebuah masjid, dipimpin oleh ustaz Hambali, sepupu mantan Presiden Abdurrahman Wahid. Orangtua dan saudara-saudara Fleur menyaksikan pernikahan itu. Bahkan neneknya yang menganut Katolik memberikan kata sambutan mewakili mempelai perempuan.

Usai menikah, Fleur banyak mengikuti pengajian di Den Haag. Namun, ia mengaku lebih banyak mengenal Islam setelah pindah ke Indonesia mengikuti sang suami. Di Indonesia ia tekun mengikuti pengajian, terutama di mesjid Al-Azhar, Kebayoran Baru, Jakarta. Ia juga aktif di pengajian para ekspatriat di Jalan Bangka, Jakarta.

Hablun Minallah 

Fleur merasa bersyukur telah memeluk Islam dengan sempurna. Kini, dalam usia perkawinannya yang menginjak 10 tahun, ia mengaku tidak lagi terlalu egoistis. Ia merasa bisa lebih serius mengisi kehidupan, membentuk keluarga sakinah, yang bahagia. “Bila tidak masuk Islam, mungkin sekali saya seperti teman-teman yang masih sendiri. Tidak mengenal nilai-nilai kehidupan dan tujuan hidup yang jelas,” katanya sembari tak henti-hentinya mengucap syukur. 

Menurut Fleur, seharusnya seorang muslim lebih banyak memberi kepada fakir miskin, yatim piatu, dan tetangga, selain tetap mendekatkan diri kepada Allah SWT dan menjalin silaturahmi. “Pendek kata, manusia seharusnya terus-menerus meningkatkan hablun minallah (hubungan dengan Allah) dan hablun minannas (hubungan dengan sesama manusia),” katanya lagi.

Kini ia hidup berbahagia bersama sang suami dan ketiga anak mereka, masing-masing berusia enam tahun (lelaki), satu setengah tahun (perempuan), dan tiga bulan (perempuan). Karena ingin lebih bersungguh-sungguh mengasuh dan mendidik anak-anak, Fleur rela meninggalkan pekerjaan di lembaga swadaya masyarakat (LSM). “Mengasuh dan mendidik anak-anak sendiri ternyata jauh lebih sulit ketimbang mendidik anak orang lain. Karena itu, terpikir oleh saya apakah harus pindah profesi atau tidak,” katanya.

Sebelum melahirkan anak ketiga, ia memang aktif di LSM Insan Kamil. LSM yang diketuai oleh suaminya itu bergerak di bidang pendidikan anak-anak, membantu menciptakan lingkungan yang kondusif bagi anak dengan menyelenggarakan pelatihan, seminar dan konsultasi psikologi bagi guru, orangtua, dan masyarakat. Sejak pagi buta hingga larut malam, ia bekerja seperti tak kenal lelah.

Sejak berdiri 17 Maret 1999 lalu, LSM Insan Kamil telah menggelar serangkaian kegiatan. Misalnya, membuat direktori Taman Kanak-kanak se-DKI dan sekitarnya, dan melakukan penelitian tentang kualitas Taman Kanak-kanak se-DKI dan sekitarnya degan bantuan Bernard van Leer Foundation, sebuah LSM Belanda sebesar Rp 200 juta lebih untuk sembilan bulan.

Selain itu, Fleur juga pernah melaksanakan psikotes untuk perekrutan guru dan kepala sekolah SD Islam terpadu Assa’adah Cijantung, SD Asy-Syukro Cipete, dan SD Lazuardi Cinere, semua di Jakarta. Ia juga menjadi konsultan psikologi dalam pelatihan guru di beberapa sekolah Taman Kanak-kanak dan SD Islam di Jakarta; menyelenggarakan workshop musik dan cerita untuk guru-guru TK seluruh Jakarta. “Idialisme ialah selalu memperhatikan dan meningkatkan pendidikan anak-anak secara seutuh,” katanya.

Domery Alpacino
Catatan: Pernah dimuat di majalah Islam Alkisah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar