Perempuan Belanda itu jadi muslimah setelah hatinya
tergetar oleh alunan takbir Idul Adha. Kini ia hidup dengan tujuan yang jelas.
![]() |
tipspetani.blogspot.com |
Itulah Fleur Paumen, warganegara Belanda, yang
bersuamikan laki-laki asal Tapanuli, Syahganda Nainggolan. Dua belas tahun
silam ia telah menyempurnakan agamanya dengan memeluk Islam.
Lahir pada 7 November 1966 di Leiden, Belanda,
ia adalah anak sulung dua bersaudara dari pasangan Paul Paumen dan Dory van de
Eynden. Ayahnya bekerja sebagai teknisi komputer, ibunya adalah pekerja sosial,
membantu membersihkan tempat tidur orang-orang lanjut usia. Fleur dibesarkan
dalam keluarga Katolik yang taat. Setiap minggu ia hampir selalu diajak oleh
orangtuanya ke gereja. “Tapi, di gereja saya hanya melihat anak-anak kecil dan
orang-orang tua saja. Anak-anak muda hampir tidak ada,” ujar Fleur mengenang.
Ketika Fleur menginjak usia enam tahun, ibundanya mulai
jarang ke gereja. Maka Fleur pun ikut-ikutan. Apalagi sesuai dengan tradisi di
negeri Kincir Angin, anak-anak yang usia di atas balita sudah bebas mengikuti
cara berpikir sendiri. Meski begitu, orangtua biasanya mengajarkan norma-norma
yang terpuji dan berlaku di masyarakat, seperti tidak membedakan ras, tidak
melecehkan orang lain, tidak mencuri dan mengumpat. “Saya termasuk anak yang
patuh kepada orangtua dan menjalankan semua nasihat mereka,” tutur Fleur.
Suatu hari keluarga Fleur pindah ke kepulauan Karibia,
Amerika Tengah. Mereka tinggal di Curacao selama lima tahun. Di pulau yang beriklim
tropis itu ia belajar di sebuah sekolah dasar Protestan, dari kelas satu hingga
empat. Setelah itu mereka kembali ke Belanda dan Fleur melanjutkan sekolah dari
kelas lima hingga enam di sebuah SD Katolik. Tamat SD, ia tetap belajar di
sekolah Katolik. “Meski tidak pernah lagi ke gereja dan sejak SMP juga tidak
mendapat pelajaran agama, saya terus tertarik mempelajari agama,” kata Fleur.
Belakangan ia kuliah di Universitas Leiden jurusan psikologi hingga mencapai
gelar master. Di tengah kesibukannya kuliah,
pada 1988 Fleur sempat berkunjung ke Indonesia. Ia tertarik pada Indonesia
setelah mendengar informasi dari teman-temannya mengenai negeri tropis yang
indah ini.
Selama sebulan di Indonesia, ia sempat jalan-jalan ke Bali dan
Medan. Karena mulai “jatuh cinta” kepada Indonesia, ketika kembali ke kampung
halaman ia giat mengikuti kursus bahasa Indonesia selama setahun. Ia juga
memperkaya pengetahuannya dengan membaca beberapa buku mengenai sejarah
Indonesia. Termasuk novel sejarah Max Havelaar karya Multatuli yang
mengisahkan penderitaan kaum pribumi di bawah penjajahan Belanda.
Gayung Bersambut
Pada 1989, Fleur kembali mengunjungi Indonesia. Kali ini ia tak sekedar
jalan-jalan sebagai turis, melainkan melakukan penelitian untuk tesisnya di
bidang psikologi perkembangan di Bandung, sekalian mengikuti kursus tambahan
bahasa Indonesia kepada Prof. Yus Badudu.
Di
Bandung ia in de cost di sebuah rumah yang cukup sederhana, di sebuah
perkampungan yang penduduknya masih cukup akrab. Di Bandung inilah ia bertemu
dengan Syahganda Nainggolan, mahasiswa ITB (Institut Teknologi Bandung) jurusan
geodesi yang banyak membantu penelitiannya. Gayung pun bersambut, lama kelamaan
mereka pun saling jatuh cinta dan akhirnya menikah.
Hari-hari pertama di Indonesia, kebetulan menjelang Hari Raya Idul Adha.
Tepat di malam hari raya, Fleur mendengar sayup-sayup alunan takbir, tahmid,
dan tahlil di beberapa mesjid. Tak disadarinya, nuraninya pun tersentuh. Sejak
itu, setiap kali ia mendengar ayat-ayat Al-Quran dibaca, berangsur-angsur
hatinya merasa tenteram – perasaan yang menurut Fleur sangat sulit dilukiskan
dengan kata-kata.
Merasa penasaran, pagi
harinya ia berjalan-jalan keluar rumah. Ketika itulah ia menyaksikan kaum
muslimin berbondong-bondong menuju ke sebuah lapangan mesjid Istiqomah,Bandung,
terbuka untuk menunaikan salat Idul Adha. Lapangan itu penuh sesak oleh jemaah.
Tua, muda, lelaki, perempuan, kaya, miskin, anak-anak. Mereka berderet dalam
barisan saf-saf yang rapi. Jemaah lelaki, yang kebanyakan mengenakan baju koko
dan sarung membentuk saf di depan, sementara jemaah perempuan yang mengenakan
mukena serba putih di belakang.
“Saat itu saya betul-betul terkesan. Saya melihat tidak ada perbedaan
antara kaya dan miskin, tua dan muda. Mereka semua dalam barisan yang sama
melaksanakan salat. Rasanya saat itu saya ingin salat bersama,” kenang Fleur
berkaca-kaca. Ia juga menyaksikan orang-orang menyembelih hewan kurban, dan
membagikan dagingnya kepada fakir miskin dan yatim piatu. “Saya tertarik
menyaksikan betapa mereka begitu ihlas berkurban. Dari segi sosial itu sangat
bagus,” katanya.
Komunitas Ideal
Satu hal yang sangat mengesankan bagi Fluer ialah banyaknya anak muda
yang menunaikan salat dan membantu membagi-bagikan daging kurban. Sedang di
negerinya, ia tak pernah menyaksikan anak-anak muda pergi ke gereja. Gereja
hanya dikunjungi oleh orang-orang tua dan lansia. Akhirnya ia berkesimpulan,
Islam adalah agama yang benar-benar memenuhi hasrat kehidupan manusia dengan
rasa persaudaraan yang kental. “Ini merupakan sebuah komunitas yang sangat
ideal. Saya berkesimpulan inilah agama yang baik dan benar,” tambahnya.
Ketika kembali ke Belanda, keinginan tahunya tentang Islam semakin besar.
Perasaan itulah yang akhirnya mendorong Fleur mempelajari Islam dengan
mengambil mata kuliah Islamologi selama satu semester. Ia pun mulai mengenal
seluk-beluk Islam. Meski begitu, ia tidak langsung mengucapkan dua kalimat
syahadat. Ia masih bimbang dan masih terus berusaha bergelut mencari kebenaran.
Di tengah pergulatan itu, ia mencoba membolak-balik Al-Quran. Suatu malam
ia membaca surat Al-Ikhlas yang menegaskan bahwa Allah itu esa, tiada
beranak, tidak diperanakkan, dan tak satu mahluk pun setara dengan-Nya. Maka
diam-diam, hati nuraninya pun membenarkan bahwa Islam adalah agama yang benar.
Ketika itu kebetulan Dr. Sofyan Siregar, alumni Universitas Madinah, Arab
Saudi, mengajak Fleur membantu menyusun tafsir Al-Quran dalam bahasa Belanda.
Sebenarnya sudah ada dua tafsir Al-Quran dalam bahasa Belanda, tapi yang
menyusun bukan ulama Islam melainkan pakar Islamologi. Lambat-laun, ia pun
paham semua kandungan Al-Quran.
Lain waktu, seorang muslimah asal Maroko mengajak Fleur mengikuti
pengajian. Dalam pengajian itulah ia semakin menemukan simpul-simpul kebenaran.
Tak heran jika belakangan imannya sekin mantap dan ingin belajar salat. Dengan
sabar, muslimah Maroko itu mengajarinya gerakan-gerakan salat beserta
bacaannya. “Waktu itu saya hanya pakai sarung yang dilipat-lipat. Sebab tidak
ada mukena. Toh, yang penting niatnya,” kenang Fluer sambil tersenyum.
Setelah bisa menjalankan salat dengan cukup baik, muslimah Maroko itu
berkata: “Kalau sudah dapat menunaikan salat, berarti kamu sudah mengucapkan
syahadat. Dan berarti pula kamu sudah Islam. Karena itu, kamu langsung saja
mandi untuk membersihkan dosa-dosa,” ujar Fleur menirukan ucapan rekannya,
muslimah asal Maroko itu. Tapi, anjuran itu ia tampik dengan halus.
Rata-rata Sopan
Fleur lagi-lagi tak segera mengambil keputusan masuk Islam. Sebab,
pikirnya, ia masih ingin mencermati lebih dahulu orang-orang yang menjalankan
salat secara benar. Dalam pengamatannya, ternyata tingkah laku mereka jauh
berbeda dengan mereka yang tidak pernah salat, apalagi nonmuslim. Mereka yang
selalu menegakkan salat rata-rata tampak sopan, menghargai orang lain, kalau
berbicara selalu berhati-hati.
Seiring dengan itu, Syahganda yang saat itu menyusul ke negeri Belanda,
suka memberikan gambaran tentang Islam yang sebenarnya. Islam, menurut
Syahganda tidak seseram apa yang digambarkan oleh Barat. Islam adalah agama
keselamatan yang memberikan kesejukan kepada para pengikutnya.
Pada suatu pagi, akhir Desember 1992, Fleur pun mengambil keputusan
sangat penting: masuk Islam. Ia pergi ke sebuah masjid kecil di Rotterdam untuk
mengucapkan dua kalimat syahadat, dibimbing oleh Dr. Sofyan Siregar, disaksikan
oleh calon suami serta puluhan jemaah. Ia pun mendapat nama baru, Sumayyah,
nama seorang muslimah di zaman Rasulullah yang pertama kali syahid -- meski
akhirnya ia merasa lebih cocok dengan nama pemberian orangtuanya.
Usai membaca syahadat, ia merasa sangat berbahagia bercampur haru. “Sejak
itu, saya punya tanggungjawab untuk segera mempelajari Islam secara penuh,”
katanya. Ia lalu pulang ke rumah, menceritakan kepada orangtuanya bahwa ia
telah masuk Islam, sekalian memperlihatkan beberapa foto saat ia mengucapkan
syahadat dengan mengenakan jilbab. Tentu saja orangtuanya terkejut, meski tidak
marah. “Oh, kalau begitu kita harus foto bersama,” kata ibunya bercanda.
Setelah menjadi muslimah, hubungannya dengan Syahganda semakin akrab.
Meski calon suaminya belum mendapat pekerjaan tetap di Den Haag, mereka
memutuskan untuk menikah. “Sebenarnya saat itu Syahganda belum mendapat
pekerjaan tetap. Karena ingin hidup bersama, kami harus menikah lebih dulu
sesuai ketentuan Islam. Secara ekonomi memang tidak masuk akal. Sebab, banyak
teman-teman saya hidup bersama tanpa menikah dengan alasan ekonomi. Karena
yakin Allah akan memberikan rizki yang tidak terduga, saya berani mengambil
keputusan menikah,” tambahnya.
Mereka pun menikah pada
1 Januari 1994 di Den Haag. Setelah mencatatkan perkawinan di catatan sipil,
mereka melakukan akad nikah di sebuah masjid, dipimpin oleh ustaz Hambali,
sepupu mantan Presiden Abdurrahman Wahid. Orangtua dan saudara-saudara Fleur
menyaksikan pernikahan itu. Bahkan neneknya yang menganut Katolik memberikan
kata sambutan mewakili mempelai perempuan.
Usai menikah, Fleur
banyak mengikuti pengajian di Den Haag. Namun, ia mengaku lebih banyak mengenal
Islam setelah pindah ke Indonesia mengikuti sang suami. Di Indonesia ia tekun
mengikuti pengajian, terutama di mesjid Al-Azhar, Kebayoran Baru, Jakarta. Ia
juga aktif di pengajian para ekspatriat di Jalan Bangka, Jakarta.
Hablun Minallah
Fleur merasa bersyukur telah memeluk Islam dengan sempurna. Kini, dalam
usia perkawinannya yang menginjak 10 tahun, ia mengaku tidak lagi terlalu
egoistis. Ia merasa bisa lebih serius mengisi kehidupan, membentuk keluarga
sakinah, yang bahagia. “Bila tidak masuk Islam, mungkin sekali saya seperti
teman-teman yang masih sendiri. Tidak mengenal nilai-nilai kehidupan dan tujuan
hidup yang jelas,” katanya sembari tak henti-hentinya mengucap syukur.
Menurut Fleur, seharusnya seorang muslim lebih banyak memberi kepada
fakir miskin, yatim piatu, dan tetangga, selain tetap mendekatkan diri kepada
Allah SWT dan menjalin silaturahmi. “Pendek kata, manusia seharusnya
terus-menerus meningkatkan hablun minallah (hubungan dengan Allah) dan hablun
minannas (hubungan dengan sesama manusia),” katanya lagi.
Kini ia hidup berbahagia bersama sang suami dan ketiga
anak mereka, masing-masing berusia enam tahun (lelaki), satu setengah tahun
(perempuan), dan tiga bulan (perempuan). Karena ingin lebih bersungguh-sungguh
mengasuh dan mendidik anak-anak, Fleur rela meninggalkan pekerjaan di lembaga
swadaya masyarakat (LSM). “Mengasuh dan mendidik anak-anak sendiri ternyata
jauh lebih sulit ketimbang mendidik anak orang lain. Karena itu, terpikir oleh
saya apakah harus pindah profesi atau tidak,” katanya.
Sebelum melahirkan anak ketiga, ia memang aktif di LSM
Insan Kamil. LSM yang diketuai oleh suaminya itu bergerak di bidang pendidikan
anak-anak, membantu menciptakan lingkungan yang kondusif bagi anak dengan
menyelenggarakan pelatihan, seminar dan konsultasi psikologi bagi guru,
orangtua, dan masyarakat. Sejak pagi buta hingga larut malam, ia bekerja
seperti tak kenal lelah.
Sejak berdiri 17 Maret 1999 lalu, LSM Insan Kamil telah
menggelar serangkaian kegiatan. Misalnya, membuat direktori Taman Kanak-kanak
se-DKI dan sekitarnya, dan melakukan penelitian tentang kualitas Taman
Kanak-kanak se-DKI dan sekitarnya degan bantuan Bernard van Leer Foundation,
sebuah LSM Belanda sebesar Rp 200 juta lebih untuk sembilan bulan.
Selain itu, Fleur juga pernah melaksanakan psikotes untuk
perekrutan guru dan kepala sekolah SD Islam terpadu Assa’adah Cijantung, SD
Asy-Syukro Cipete, dan SD Lazuardi Cinere, semua di Jakarta. Ia juga menjadi
konsultan psikologi dalam pelatihan guru di beberapa sekolah Taman Kanak-kanak
dan SD Islam di Jakarta; menyelenggarakan workshop musik dan cerita
untuk guru-guru TK seluruh Jakarta. “Idialisme ialah selalu memperhatikan dan
meningkatkan pendidikan anak-anak secara seutuh,” katanya.
Domery
Alpacino
Catatan:
Pernah dimuat di majalah Islam Alkisah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar