Ia
mampu membangkitkan semangat juang pasukan Islam sampai titik darah penghabisan.
Sampai sekarang namanya masih tetap
hidup di hati semua orang Mesir.
![]() |
ghalis4rt.blogspot.com |
Perjalanan
rombongan kafilah Pangeran Najamuddin Ayyub menuju Mesir penuh liku. Saat masuk
perbatasan wilayah Palestina, putra dari Raja Kamil itu (salah satu pengganti
Sultan Shalahuddin Al-Ayyubi yang mampu mendesak mundur pasukan Salib di
Yerusalem) mendapat cobaan yang sangat berat:
Seorang
lelaki datang tergopoh-gopoh menemui pangeran muda itu. Ia bercerita tentang
Raja Nashir Daud, penguasa Karak, Syabaubak, dan wilayah-wilayah sekitarnya,
termasuk Yordania, yang mengancam Najamuddin karena kepergiannya ke Mesir.
Pasalnya, kepergian itu dianggap melawan dan merampas hak Nashir Daud.
Tampaknya,
Raja Nashir juga ingin sekali menduduki takhta almarhum ayah Najamuddin dan
tidak mengakui Raja Adil di Kairo.
Najamuddin
pun mengadakan pertemuan dengan empat komandannya. Mereka membicarakan berita
penting yang dibawa laki-laki itu. Diam-diam Syajaratut Dur mendengarkan
pembicaraan mereka dari balik tabir. Dalam pertemuan itu, mereka sepakat
melanjutkan perjalanan ke Mesir dengan segala risiko yang dihadapi.
Ketika
kafilah Najamuddin tiba di gerbang kota Medinah, mereka dicegat sekawanan
pasukan berkuda Raja Nashir Daud. Najamuddin beserta rombongan kemudian ditahan
di Benteng Karak. Peristiwa itu terjadi pada 637 H atau 1216 M.
Setelah
penahanan tersebut, Raja Nashir berkirim surat kepada Raja Adil di Kairo. Sang
raja mengabarkan, ia berhasil menawan Najamuddin bersama rombongan. Ia bersedia
menyerahkan tawanan itu ke Mesir dengan imbalan memperoleh perluasan kekuasaan
di wilayah Syria.
![]() |
yafi20.blogspot.de |
Sebaliknya,
Najamuddin bersama rombongan merasa terputus hubungannya dengan dunia luar.
Dan, Syajaratut Dur ingin segera keluar dari ruang tawanan yang sangat pengap
itu. “Lebih baik kita bekerja sama dengan Raja Nashir. Kalau Tuanku didahului
Raja Adil di Mesir, semua rencana dan harapan-harapan kita akan sirna,” pinta
Syajaratut Dur kepada suaminya.
“Tapi,
bagaimana caranya,” tanya Najamuddin.
“Tidak usah
pusing, Tuanku. Kita tawari saja Raja Nashir kekuasaan lebih besar ketimbang
yang dia minta kepada Raja Adil,” jawab sang istri.
Mendengar
jawaban itu, Najamuddin kembali melihat ketajaman berpikir istrinya. Ia pun
setuju dengan usulan tersebut.
Sang
pangeran muda ini mulai menjalankan rencananya. Ia bersikap ramah terhadap para
penjaga tawanan, sering pula membagi-bagikan uang yang cukup banyak. Keramahan
dan kedermawanan pangeran muda membuahkan hasil.
Para
pengawal menjadi simpatik. Dan akhirnya, tanpa ditanya, mereka memberitahukan
kepada Najamuddin perihal penahanannya. Ternyata Raja Nashir terang-terangan
meminta kekuasaan di Syria kepada Raja Adil, sebagai imbalannya ia akan
menyerahkan tawanannya, yaitu kakak sulung Raja Adil alias Najamuddin. Namun,
ditunggu-tunggu Raja Adil belum memberikan jawaban.
Mendengar
penjelasan itu, bukan main senangnya hati Najamuddin. Ia meminta tolong untuk
menyampaikan kepada Raja Nashir bahwa Najamuddin akan memberikan kekuasaan di
Syria asal bisa bekerja sama.
Tawaran itu
pun disampaikan ke Raja Nashir. Ia menerima dengan suka cita. Keesokan harinya,
Raja Nashir menjenguk sendiri tawanannya di Benteng Karak. Najamuddin bersama
rombongan dibebaskan untuk bisa melanjutkan perjalanan ke Mesir. “Rencanamu
telah berhasil, Sayang. Kita sekarang telah bebas dan harus segera ke Mesir,”
ujar Najamuddin dengan wajah berseri-seri kepada sang istri tercinta.
“Setiap penyakit
tentu ada obatnya, Tuanku. Bagitu pula setiap kesulitan, pasti bisa diatasi.
Aku merasa sangat yakin, Tuanku akan berhasil meraih apa yang Tuanku inginkan
dengan izin Allah. Engkau putra Kamil, suamiku. Dan, engkaulah yang berhak
mewarisi takhtanya, bukan orang lain,” kata Syajaratut Dur tegas.
Di tengah
perjalanan yang masih panjang, Syajaratut Dur mengusulkan kepada suaminya agar
segera mengirim utusan lebih dahulu ke Kairo. Najamuddin menerima usulan cerdas
sang istri tercinta. Maka, dikirimlah tiga dari empat panglima perang yang
menyertai rombongan untuk segera ke Mesir.
Di Mesir,
ketiga orang itu berhasil menghimpun kekuatan yang cukup besar. Pasalnya, pada
saat utusan ini tiba di Mesir, pasukan Salib sedang mengepung Raja Adil yang
lemah dari arah barat.
Meskipun
penduduk Mesir turun tangan untuk mengusir tentara Salib, karena Raja Adil
terlalu lemah, mereka tidak dapat berbuat lebih banyak. Sementara, mereka
merindukan tokoh yang mampu mengusir pasukan Salib dengan gagah berani. Mereka
rindu tokoh yang mau terlibat langsung dalam memimpin pertempuran atas nama
jihad.
Ketika tiga
utusan Najamuddin menyebut nama Najamuddin Ayyub, penduduk Mesir segera
menyambutnya dengan hangat. Mereka berharap, sang tokoh yang
didengung-dengungkan segera tiba untuk memimpin pasukan Islam mengusir pasukan
Salib.
Akhirnya,
Najamuddin bersama istri tiba di tanah Mesir. Begitu mengetahui pangeran muda
ini datang, penduduk Mesir segera menyambutnya dengan penuh semangat. Puluhan
ribu penduduk akhirnya mendesak agar Najamuddin memimpin pasukan Islam untuk
mengusir tentara Salib. Sebab, Raja Adil sendiri telah meninggalkan istana
karena takut menghadapi gempuran pasukan Salib.
Najamuddin menerima uluran tangan penduduk
Mesir. Ia menggantikan Raja Adil Abu Bakar sekaligus pemimpin utama pasukan
perang Islam Mesir. Ia kemudian memproklamirkan dirinya sebagai “Raja Saleh”.
Syajaratut
Dur merasa gembira dengan keberhasilan suaminya. Ia jelas punya andil besar
dalam kesuksesan tersebut, tapi ia ingin menyembunyikan “jasa” itu
sedalam-dalamnya. Hanya saja, ribuan rakyat Mesir selalu menyebut namanya.
Saat sang
suami memerintah, Syajaratut Dur mengusulkan agar membuat markas militer di
Pulau Raudhah di Kairo. Tujuannya, selain sebagai tempat “berkumpulnya” para
pemimpin militer, juga sebagai kawah candradimuka para prajurit agar mereka
lebih gesit, gagah berani menghadapi pasukan Salib.
Usulan yang
cemerlang itu pun disetujui. Markas militer yang besar segera dibangun.
Najamuddin kemudian menggembleng para prajuritnya menjadi pasukan khusus yang
setia terhadap Islam, raja, dan negara. Sebagai hadiah pemikirannya yang
brilian, Najamuddin memberikan sebuah istana yang indah kepada sang istri di
dekat markas tentara tersebut. Diam-diam, Syajaratut Dur juga ikut terlibat
dalam menyusun rencana dan strategi menggembleng prajurit khusus itu.
Di saat
itulah, Khalil, anak semata wayangnya, meninggal dunia. Meninggalnya sang putra
yang sangat dicintainya itu membuat Syajaratut Dur sangat terpukul. Namun, ia
tidak larut berlama-lama dalam duka, karena pasukan Salib terus mengintainya di
luar kota.
Menyaksikan
ketabahan serta kesabaran istrinya, Najamuddin memanggil istrinya dengan
sebutan Ishmatut Din Khalil, yang
berarti “ibu Khalil si penjaga agama”.
en.wikipedia.org |
Ketika
pasukan Salib dengan panglima perangnya yang sadis, penguasa Prancis Louis IX,
mulai melancarkan serangan terhadap Mesir, Syajaratut Dur segera bangkit.
Ditepisnya segala kesedihan, semangat tempurnya berkobar-kobar. Keberaniannya
sebagai perempuan prajurit muncul dan ia yakin akan membawa kemenangan.
“Aku
bersumpah, Baginda, pasukan Salib akan lari tunggang langgang dari negeri kita
ini karena tangan hamba. Penyerangan mereka akan gagal seperti sebelumnya,”
seru Syajaratut Dur membangkitkan semangat suami tercinta.
“Sayangku, kamu
mengingatkanku pada Pangeran Fakhruddin, seorang panglima besar yang sangat
berpengalaman. Ia mampu memukul musuh-musuhnya dengan gemilang. Kabar terakhir
yang aku dengar, ia masih bersedia bertempur menerkam musuh laksana seekor
singa lapar,” ujar Najamuddin.
“Mudah-mudahan
Allah memberkati Pangeran Fakhruddin,” ujar Syajaratut Dur. “Kabarnya, sekarang
ini Pangeran Fakhruddin menjadi komandan pasukan yang sangat kecil melawan
pasukan Salib. Bagaimana kalau kita bantu dia dengan pasukan kita yang gagah
berani di bawah komandan-komandan kita,” tambah Syajaratut Dur menyarankan
kepada suami tercinta.
Mendengar
usulan itu, Raja Najamuddin kaget. Sejurus kemudian, ia bangkit sambil memuji
pemikiran istrinya yang lagi-lagi cemerlang. “Sungguh itu usul yang baik. Apa
yang kamu ucapkan semuanya mengandung berkah dan kebajikan.”
Pada
eskpedisi ketujuh, pasukan Salib yang dipimpin panglima Raja Louis IX memang
melancarkan serangan dahsyat ke timur. Armada mereka terdiri dari 1.800 perahu,
berlayar dari kota Marceilles. Setibanya di pantai Mesir pada musim panas,
tahun 1249 M, Louis IX mengirimkan kurir kepada Najamuddin agar menyerah saja.
Namun, Najamuddin bergeming. Ia menolak mentah-mentah, bahkan mengejek Raja
Louis IX. Akibatnya, api pertempuran berkobar antara kedua pihak dengan amat
sengitnya.
Pada
awalnya pasukan Salib memperoleh kemenangan. Mereka berhasil menguasai kota
Damiette. Saat itu Raja Najamuddin menderita sakit demam yang cukup parah.
Rakyat Mesir pun merasa resah.
Untung saja
masih ada Syajaratut Dur, yang dengan gagah berani membangkitkan semangat juang
pasukan Islam. Mereka terus bertempur tanpa mengenal putus asa. Pertempuran
sengit itu berlangsung sampai enam bulan lamanya.
Dalam
keadaan genting, penyakit Najamuddin makin parah. Akhirnya pada pertengahan
Syakban 647 H atau 1249 M, Raja Saleh Najamuddin menghadap Allah.
Untunglah,
berita kematian Najamuddin hanya diketahui kalangan dekat istana alias belum
sampai ke tangan musuh. Karena tidak ingin mematahkan semangat pasukan Islam,
berita kematian itu disimpan rapat-rapat.
Pada suatu
malam, diam-diam Syajaratut Dur memanggil Pangeran Fakhruddin, satu-satunya
orang yang ia percaya. Kepadanya ia membeberkan rahasia kematian sang suami
tercinta. “Pangeran, sebelum kita berhasil melumpuhkan kekuatan Salib, kematian
sang raja tidak boleh seorang pun tahu. Sebab, kalau pasukan musuh mengetahui
hal ini, tak pelak mereka akan terus melancarkan serangannya,” ungkap
Syajaratut Dur.
Agak kaget
juga Pangeran Fakhruddin mendengar kabar duka dan saran Syajaratut Dur
tersebut. Namun, ia sudah bertekad mengobarkan peperangan jihad sampai titik
darah penghabisan di medan tempur. “Aturlah yang terbaik menurut Anda. Saya
siap melaksanakan perintah,” kata Fakhruddin.
Pada malam
itu juga, Syajaratut Dur memerintahkan tabib dan para pelayannya memandikan
jenazah Raja Saleh Najamuddin dan membuatnya agar tidak busuk. Kepada para
pelayan dan tabib istana, ia berpesan agar tidak menyiarkan berita kematian ini
kepada rakyat.
Setelah dimasukkan ke dalam sebuah peti,
Pangeran Fakhruddin membawa mayat sang raja ke Istana Raudhah, melintasi Sungai
Nil. Di sana upacara penguburan dilakukan dengan sangat sederhana dan rahasia.
Sesuai
penguburan, kegiatan istana berjalan seperti biasa, tanpa ada yang mengetahui
bahwa sesungguhnya sang raja telah mangkat.
Ini semua berkat kepandaian Syajaratut Dur
dalam mengemas keadaan, sehingga pasukan Islam pun terus menggempur pasukan
Salib dengan penuh semangat. Bila ada yang ingin menghadap raja, Syajaratut Dur
selalu menjawab, sang raja tengah sibuk atau istirahat. Karena yang mengatakan
permaisuri, tidak seorang pun yang curiga. Dan, sang raja seperti masih hidup
di hati semua orang Mesir. Kelak, para sejarawan Islam menyebut Syajaratut Dur
sebagai ratu Islam pertama setelah zaman kenabian.
Domery Alpacino, dari berbagai sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar