Laman

Sabtu, 08 Januari 2005

Jihad Ratu Islam Setelah Zaman Kenabian

Ia mampu membangkitkan semangat juang pasukan Islam sampai titik darah penghabisan. Sampai sekarang namanya masih tetap hidup di hati semua orang Mesir.

ghalis4rt.blogspot.com
Perjalanan rombongan kafilah Pangeran Najamuddin Ayyub menuju Mesir penuh liku. Saat masuk perbatasan wilayah Palestina, putra dari Raja Kamil itu (salah satu pengganti Sultan Shalahuddin Al-Ayyubi yang mampu mendesak mundur pasukan Salib di Yerusalem) mendapat cobaan yang sangat berat:

Seorang lelaki datang tergopoh-gopoh menemui pangeran muda itu. Ia bercerita tentang Raja Nashir Daud, penguasa Karak, Syabaubak, dan wilayah-wilayah sekitarnya, termasuk Yordania, yang mengancam Najamuddin karena kepergiannya ke Mesir. Pasalnya, kepergian itu dianggap melawan dan merampas hak Nashir Daud.


Tampaknya, Raja Nashir juga ingin sekali menduduki takhta almarhum ayah Najamuddin dan tidak mengakui Raja Adil di Kairo.

Najamuddin pun mengadakan pertemuan dengan empat komandannya. Mereka membicarakan berita penting yang dibawa laki-laki itu. Diam-diam Syajaratut Dur mendengarkan pembicaraan mereka dari balik tabir. Dalam pertemuan itu, mereka sepakat melanjutkan perjalanan ke Mesir dengan segala risiko yang dihadapi.

Ketika kafilah Najamuddin tiba di gerbang kota Medinah, mereka dicegat sekawanan pasukan berkuda Raja Nashir Daud. Najamuddin beserta rombongan kemudian ditahan di Benteng Karak. Peristiwa itu terjadi pada 637 H atau 1216 M.

Setelah penahanan tersebut, Raja Nashir berkirim surat kepada Raja Adil di Kairo. Sang raja mengabarkan, ia berhasil menawan Najamuddin bersama rombongan. Ia bersedia menyerahkan tawanan itu ke Mesir dengan imbalan memperoleh perluasan kekuasaan di wilayah Syria.

yafi20.blogspot.de
 Sebaliknya, Najamuddin bersama rombongan merasa terputus hubungannya dengan dunia luar. Dan, Syajaratut Dur ingin segera keluar dari ruang tawanan yang sangat pengap itu. “Lebih baik kita bekerja sama dengan Raja Nashir. Kalau Tuanku didahului Raja Adil di Mesir, semua rencana dan harapan-harapan kita akan sirna,” pinta Syajaratut Dur kepada suaminya.

“Tapi, bagaimana caranya,” tanya Najamuddin.

“Tidak usah pusing, Tuanku. Kita tawari saja Raja Nashir kekuasaan lebih besar ketimbang yang dia minta kepada Raja Adil,” jawab sang istri.
Mendengar jawaban itu, Najamuddin kembali melihat ketajaman berpikir istrinya. Ia pun setuju dengan usulan tersebut.

Sang pangeran muda ini mulai menjalankan rencananya. Ia bersikap ramah terhadap para penjaga tawanan, sering pula membagi-bagikan uang yang cukup banyak. Keramahan dan kedermawanan pangeran muda membuahkan hasil.

Para pengawal menjadi simpatik. Dan akhirnya, tanpa ditanya, mereka memberitahukan kepada Najamuddin perihal penahanannya. Ternyata Raja Nashir terang-terangan meminta kekuasaan di Syria kepada Raja Adil, sebagai imbalannya ia akan menyerahkan tawanannya, yaitu kakak sulung Raja Adil alias Najamuddin. Namun, ditunggu-tunggu Raja Adil belum memberikan jawaban.

Mendengar penjelasan itu, bukan main senangnya hati Najamuddin. Ia meminta tolong untuk menyampaikan kepada Raja Nashir bahwa Najamuddin akan memberikan kekuasaan di Syria asal bisa bekerja sama.

Tawaran itu pun disampaikan ke Raja Nashir. Ia menerima dengan suka cita. Keesokan harinya, Raja Nashir menjenguk sendiri tawanannya di Benteng Karak. Najamuddin bersama rombongan dibebaskan untuk bisa melanjutkan perjalanan ke Mesir. “Rencanamu telah berhasil, Sayang. Kita sekarang telah bebas dan harus segera ke Mesir,” ujar Najamuddin dengan wajah berseri-seri kepada sang istri tercinta.

“Setiap penyakit tentu ada obatnya, Tuanku. Bagitu pula setiap kesulitan, pasti bisa diatasi. Aku merasa sangat yakin, Tuanku akan berhasil meraih apa yang Tuanku inginkan dengan izin Allah. Engkau putra Kamil, suamiku. Dan, engkaulah yang berhak mewarisi takhtanya, bukan orang lain,” kata Syajaratut Dur tegas.

Di tengah perjalanan yang masih panjang, Syajaratut Dur mengusulkan kepada suaminya agar segera mengirim utusan lebih dahulu ke Kairo. Najamuddin menerima usulan cerdas sang istri tercinta. Maka, dikirimlah tiga dari empat panglima perang yang menyertai rombongan untuk segera ke Mesir.

Di Mesir, ketiga orang itu berhasil menghimpun kekuatan yang cukup besar. Pasalnya, pada saat utusan ini tiba di Mesir, pasukan Salib sedang mengepung Raja Adil yang lemah dari arah barat.

Meskipun penduduk Mesir turun tangan untuk mengusir tentara Salib, karena Raja Adil terlalu lemah, mereka tidak dapat berbuat lebih banyak. Sementara, mereka merindukan tokoh yang mampu mengusir pasukan Salib dengan gagah berani. Mereka rindu tokoh yang mau terlibat langsung dalam memimpin pertempuran atas nama jihad.

Ketika tiga utusan Najamuddin menyebut nama Najamuddin Ayyub, penduduk Mesir segera menyambutnya dengan hangat. Mereka berharap, sang tokoh yang didengung-dengungkan segera tiba untuk memimpin pasukan Islam mengusir pasukan Salib.
Akhirnya, Najamuddin bersama istri tiba di tanah Mesir. Begitu mengetahui pangeran muda ini datang, penduduk Mesir segera menyambutnya dengan penuh semangat. Puluhan ribu penduduk akhirnya mendesak agar Najamuddin memimpin pasukan Islam untuk mengusir tentara Salib. Sebab, Raja Adil sendiri telah meninggalkan istana karena takut menghadapi gempuran pasukan Salib.

Najamuddin menerima uluran tangan penduduk Mesir. Ia menggantikan Raja Adil Abu Bakar sekaligus pemimpin utama pasukan perang Islam Mesir. Ia kemudian memproklamirkan dirinya sebagai “Raja Saleh”.

Syajaratut Dur merasa gembira dengan keberhasilan suaminya. Ia jelas punya andil besar dalam kesuksesan tersebut, tapi ia ingin menyembunyikan “jasa” itu sedalam-dalamnya. Hanya saja, ribuan rakyat Mesir selalu menyebut namanya.

Saat sang suami memerintah, Syajaratut Dur mengusulkan agar membuat markas militer di Pulau Raudhah di Kairo. Tujuannya, selain sebagai tempat “berkumpulnya” para pemimpin militer, juga sebagai kawah candradimuka para prajurit agar mereka lebih gesit, gagah berani menghadapi pasukan Salib.

Usulan yang cemerlang itu pun disetujui. Markas militer yang besar segera dibangun. Najamuddin kemudian menggembleng para prajuritnya menjadi pasukan khusus yang setia terhadap Islam, raja, dan negara. Sebagai hadiah pemikirannya yang brilian, Najamuddin memberikan sebuah istana yang indah kepada sang istri di dekat markas tentara tersebut. Diam-diam, Syajaratut Dur juga ikut terlibat dalam menyusun rencana dan strategi menggembleng prajurit khusus itu.

Di saat itulah, Khalil, anak semata wayangnya, meninggal dunia. Meninggalnya sang putra yang sangat dicintainya itu membuat Syajaratut Dur sangat terpukul. Namun, ia tidak larut berlama-lama dalam duka, karena pasukan Salib terus mengintainya di luar kota.

Menyaksikan ketabahan serta kesabaran istrinya, Najamuddin memanggil istrinya dengan sebutan Ishmatut Din Khalil, yang berarti “ibu Khalil si penjaga agama”.

en.wikipedia.org
Ketika pasukan Salib dengan panglima perangnya yang sadis, penguasa Prancis Louis IX, mulai melancarkan serangan terhadap Mesir, Syajaratut Dur segera bangkit. Ditepisnya segala kesedihan, semangat tempurnya berkobar-kobar. Keberaniannya sebagai perempuan prajurit muncul dan ia yakin akan membawa kemenangan.

“Aku bersumpah, Baginda, pasukan Salib akan lari tunggang langgang dari negeri kita ini karena tangan hamba. Penyerangan mereka akan gagal seperti sebelumnya,” seru Syajaratut Dur membangkitkan semangat suami tercinta.

“Sayangku, kamu mengingatkanku pada Pangeran Fakhruddin, seorang panglima besar yang sangat berpengalaman. Ia mampu memukul musuh-musuhnya dengan gemilang. Kabar terakhir yang aku dengar, ia masih bersedia bertempur menerkam musuh laksana seekor singa lapar,” ujar Najamuddin.

“Mudah-mudahan Allah memberkati Pangeran Fakhruddin,” ujar Syajaratut Dur. “Kabarnya, sekarang ini Pangeran Fakhruddin menjadi komandan pasukan yang sangat kecil melawan pasukan Salib. Bagaimana kalau kita bantu dia dengan pasukan kita yang gagah berani di bawah komandan-komandan kita,” tambah Syajaratut Dur menyarankan kepada suami tercinta.

Mendengar usulan itu, Raja Najamuddin kaget. Sejurus kemudian, ia bangkit sambil memuji pemikiran istrinya yang lagi-lagi cemerlang. “Sungguh itu usul yang baik. Apa yang kamu ucapkan semuanya mengandung berkah dan kebajikan.”

Pada eskpedisi ketujuh, pasukan Salib yang dipimpin panglima Raja Louis IX memang melancarkan serangan dahsyat ke timur. Armada mereka terdiri dari 1.800 perahu, berlayar dari kota Marceilles. Setibanya di pantai Mesir pada musim panas, tahun 1249 M, Louis IX mengirimkan kurir kepada Najamuddin agar menyerah saja. Namun, Najamuddin bergeming. Ia menolak mentah-mentah, bahkan mengejek Raja Louis IX. Akibatnya, api pertempuran berkobar antara kedua pihak dengan amat sengitnya.

Pada awalnya pasukan Salib memperoleh kemenangan. Mereka berhasil menguasai kota Damiette. Saat itu Raja Najamuddin menderita sakit demam yang cukup parah. Rakyat Mesir pun merasa resah.

Untung saja masih ada Syajaratut Dur, yang dengan gagah berani membangkitkan semangat juang pasukan Islam. Mereka terus bertempur tanpa mengenal putus asa. Pertempuran sengit itu berlangsung sampai enam bulan lamanya.

Dalam keadaan genting, penyakit Najamuddin makin parah. Akhirnya pada pertengahan Syakban 647 H atau 1249 M, Raja Saleh Najamuddin menghadap Allah.

Untunglah, berita kematian Najamuddin hanya diketahui kalangan dekat istana alias belum sampai ke tangan musuh. Karena tidak ingin mematahkan semangat pasukan Islam, berita kematian itu disimpan rapat-rapat.

Pada suatu malam, diam-diam Syajaratut Dur memanggil Pangeran Fakhruddin, satu-satunya orang yang ia percaya. Kepadanya ia membeberkan rahasia kematian sang suami tercinta. “Pangeran, sebelum kita berhasil melumpuhkan kekuatan Salib, kematian sang raja tidak boleh seorang pun tahu. Sebab, kalau pasukan musuh mengetahui hal ini, tak pelak mereka akan terus melancarkan serangannya,” ungkap Syajaratut Dur.

Agak kaget juga Pangeran Fakhruddin mendengar kabar duka dan saran Syajaratut Dur tersebut. Namun, ia sudah bertekad mengobarkan peperangan jihad sampai titik darah penghabisan di medan tempur. “Aturlah yang terbaik menurut Anda. Saya siap melaksanakan perintah,” kata Fakhruddin.

Pada malam itu juga, Syajaratut Dur memerintahkan tabib dan para pelayannya memandikan jenazah Raja Saleh Najamuddin dan membuatnya agar tidak busuk. Kepada para pelayan dan tabib istana, ia berpesan agar tidak menyiarkan berita kematian ini kepada rakyat.

Setelah dimasukkan ke dalam sebuah peti, Pangeran Fakhruddin membawa mayat sang raja ke Istana Raudhah, melintasi Sungai Nil. Di sana upacara penguburan dilakukan dengan sangat sederhana dan rahasia.

Sesuai penguburan, kegiatan istana berjalan seperti biasa, tanpa ada yang mengetahui bahwa sesungguhnya sang raja telah mangkat.

Ini semua berkat kepandaian Syajaratut Dur dalam mengemas keadaan, sehingga pasukan Islam pun terus menggempur pasukan Salib dengan penuh semangat. Bila ada yang ingin menghadap raja, Syajaratut Dur selalu menjawab, sang raja tengah sibuk atau istirahat. Karena yang mengatakan permaisuri, tidak seorang pun yang curiga. Dan, sang raja seperti masih hidup di hati semua orang Mesir. Kelak, para sejarawan Islam menyebut Syajaratut Dur sebagai ratu Islam pertama setelah zaman kenabian.

Domery Alpacino, dari berbagai sumber


Tidak ada komentar:

Posting Komentar