Setelah membaca buku Al-Quran, Bible dan Sains Modern, karya Prof. Dr.
Maurice Bucaille, ia memeluk Islam. Sempat diusir oleh keluarganya.
Perempuan itu semakin tekun
beribadah. Hampir setiap malam ia salat tahajud. Dan setiap minggu ketiga, dari
pagi hingga lepas zuhur, ia menghadiri majelis taklim muslimah di masjid
Al-Furqan, di kompleks perumahan Tri Daya II, Tambun, Bekasi. Ia adalah Ambar
Lestari, yang sejak 10 tahun lalu menjadi muslimah.
Kepala Bagian Quality Control PT Argo Pantes, Bekasi, itu
juga masih menyempatkan diri menghadiri pengajian ibu-ibu di lingkungan Rukun
Tetangga. “Alhamdulilah, saya masih bisa mengikuti majelis taklim ibu-ibu
muslimah di dua tempat. Tapi, untuk sementara majelis taklim di RT selama
beberapa hari ini vakum. Nantilah, Insya Allah akan saya gerakkan kembali,”
katanya.
Dua tahun lalu, ketika suaminya, Muhammad Wijaya, terkena
PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) sebagai kepala produksi PT Argo Pantes, Ambar
tidak bermuram durja dan patah arang. Ia malah memberi semangat kepada suaminya
agar bisa membuka usaha sendiri. Alhasil, Wijaya mampu memprodukti roti dan
berhasil dipasarkan di seputar Bekasi. Kini usaha suaminya sukses,
mempekerjakan enam orang karyawan. Setiap hari, penghasilan bersih dari bisnis
roti bisa mencapai Rp 125 ribu.
Sebagai ungkapan rasa syukur, Ambar
menyisihkan sebagian rezeki suaminya itu untuk disedekahkan kepada fakir miskin
dan anak-anak yatim. Dan alhamdulillah, pada Hari Raya Idul Adha tahun lalu,
keluarga ini mampu berkurban dengan menyembelih seekor sapi. “Insya Allah tahun
ini kami juga bisa berkurban seekor sapi lagi. Kami sudah menabung,” ujar Ambar
lagi.
Keberhasilan Ambar membangun keluarga sakinah melewati
jalan yang berliku. Lahir di Jakarta pada 7 Maret 1967, ia anak kedua dari lima
bersaudara pasangan Juventus Sumiarto dan Anastasia Tuminem, asli Yogyakarta.
Pada mulanya, ia memang bernama Ambar Lestari dengan nama baptis Maria Gorety.
Tapi setelah menjadi muslimah ia membuang nama baptis, dan tetap melestarikan
nama Ambar Lestari.
Ia memang dibesarkan dalam keluarga Katolik yang taat.
Dibaptis sejak lahir, sejak masa kanak-kanak Ambar rajin ke gereja dan Sekolah
Minggu. “Saat kecil saya tidak pernah absen pergi ke gereja,” tuturnya,
mengenang. Sejak duduk di SMP Santo Markus, ia sudah mengidam-idamkan menjadi
biarawati. Keinginan itu semakin menggebu setelah kemenakannya yang belajar di
sekolah pastor Muntilan, Jawa Tengah, sering menulis surat mengisahkan indahnya
kehidupan biarawati dan pendeta di sana. “Kelak, kalau lulus SMA saya harus
menjadi biarawati,” tekadnya saat itu dalam hati.
Dalam pandangan Ambar kecil, biarawati adalah pelayan
Tuhan, berguna untuk orang lain, pencinta anak-anak, disenangi dan disegani
umat. Tapi, begitu lulus SMA (1986), Ambar berubah pikiran. Ia tak jadi ke
Muntilan, tapi mengikuti tes di Lembaga Pendidikan Ketrampilan Sekretaris
Tarakanita, Jakarta. Tapi, ia gagal. Untunglah, ia kemudian diterima di
Universitas Pembangunan Nasional Veteran, Jakarta, jurusan tekstil. Di masa
kuliah, Ambar aktif dalam kegiatan kampus, antara lain menjadi pengurus
Keluarga Mahasiswa Katolik di kampus UPN.
Witing Trisno
Suatu hari, seorang teman yang beragama Kristen Protestan jatuh hati
kepadanya. Tapi, ia tidak menyambutnya. Sebaliknya, teman segerejanya itu terus
memburunya. Merasa ketakutan, ia minta tolong kepada Muhammad Wijaya, teman
sekuliahnya. Ambar pun berpura-pura pacaran dengan pemuda Betawi itu. “Padahal,
saya tidak mungkin pacaran dengan Wijaya karena dia seorang muslim,” kata
Maria.
Karena sering bersama,
Ambar sedikit demi sedikit mengenal perilaku Wijaya: penyabar dan rajin salat.
Seperti pepatah jawa, Witing trisna jalaran saka kulina (Pohon cinta
tumbuh gara-gara terbiasa). Mula-mula memang biasa-biasa, tapi lama kelamaan
mereka pun saling jatuh hati. “Cuma sayang, Wijaya orang Islam. Selain itu,
orangtua Wijaya juga tidak menyukai kehadiran saya,” kata Ambar menceritakan
kondisi “persahabatan” mereka kala itu.
Meski tak mendapat restu dari keluarga Wijaya,
pasangan muda-mudi ini tetap menjalin cinta, pacaran secara diam-diam. Tapi,
mereka masih tetap mempertahankan agama masing-masing. “Ketika itu saya sempat
mengajak dia memeluk agama Katolik, tapi tidak berhasil,” kata Ambar kepada Alkisah.
“Saya tidak tahu agamamu, jadi saya tidak bisa memeluk agama yang tidak saya
ketahui,” jawab Wijaya menolak dengan halus. “Lebih baik mari kita belajar dan
memperkuat iman pada agama kita masing-masing.”
Suatu hari Wijaya menyodorkan buku berjudul Al-Quran, Bible, dan Sains
Modern karangan Prof. Dr. Maurice Bucaille, terjemahan Prof HM Rasyidi.
Maka Ambar pun membaca buku – yang memperbandingkan antara Al-Quran, Injil dan
ilmunpengetahuan itu -- dengan cermat hingga selesai.
Usai membaca buku tersebut, Ambar marah besar. Mengapa
ada buku yang mendeskriditkan agama Katolik kok para petinggi gereja
diam saja? “Mengapa penulis atau penerjemahnya, juga penerbit dan toko buku
yang menjualnya tidak dilaporkan ke polisi?” tanyanya dalam hati dengan geram.
Merasa penasaran, suatu sore ia menemui Romo Mudji di sebuah gereja di
Clilitan, Jakarta Timur.
Ia mengadukan “kejahatan” buku tersebut. Sebagai umat yang sangat dekat
dengan Romo Mudji, ia menumpahkan kekesalannya. “Romo, saya marah membaca buku
ini dan kesal kepada para pastor. Romo pernah membaca buku ini?” kata Ambar
dengan harapan mendapat jawaban yang memuaskan.
“Saya sudah tahu dan sudah membacanya,” jawab Romo Mudji.
“Kalau Romo sudah tahu dan sudah membacanya, mengapa diam saja? Buku ini
menjelek-jelekkan agama Katolik,” kata Ambar lagi.
“Kalau kamu marah, berarti iman
kamu belum kuat,” kata omo Mudji lagi. “Biarlah buku ini kamu tinggal saja di
sini. mendapat jawaban dari romo secara gamblang. Kamu belum boleh membaca buku
seperti ini. Kalau kamu membaca buku ini saya khawatir kamu terpengaruh.”
“Siapa yang terpengaruh? Wong saya ingin mencari kebenaran,” jawab
Ambar.
Yusuf Roni
Pulang dari diskusi yang begitu seru dengan Romo Mudji, Ambar menuju Toko
Buku Gunung Mulia di Jalan Kwitang, Jakarta Pusat. Di toko buku yang banyak
menjual buku-buku Kristen ini ia mencari buku yang memuat argumen yang kuat
untuk mendiskreditkan Islam. “Wijaya sudah menjatuhkan agama saya, maka saya
pun harus bisa menjatuhkan agama dia,” katanya dalam hati, penuh amarah.
Kebetulan ia mendapatkan buku karangan Yusuf Roni, bekas
muslim yang murtad menjadi Nasrani. Buku itu memang menyudutkan Islam. “Nih,
saya juga punya buku yang menjelekkan agamamu! Memangnya kamu saja yang punya
buku yang bisa menjelekkan agamaku?” kata Maria sembari menyodorkan buku itu
kepada Wijaya. Tapi, di dalam hati kecilnya, sesungguhnya Ambar semakin ingin
mempelajari Islam. Maka, pada suatu hari ia pun mengunjungi Toko uku Wali
Songo, yang lokasinya tak jauh dari Toko Buku Gunung Mulia. “Apa sih hebatnya
Islam, kok mampu merendahkan dan menjelekkan agama lain?” Ambar mencibir
dalam hati.
Perasaan seperti itulah yang pada akhirnya mendorong Ambar hampir setiap
hari mampir ke toko buku Walisongo untuk membaca-baca buku tentang Islam.
Bahkan, saking penasarannya, ia sempat berulang kali membolos kuliah – hanya
untuk mengunjungi toko buku Walisongo.
Tapi, inilah barangkali yang disebut hidayah itu,
semakin ia mencari kelemahan Islam, justru ia semakin dalam menemukan
kebenaran. Tak heran jika belakangan iman Kristianinya mulai goyah. “Ternyata,
konsep ketuhanan Islam sederhana sekali ketimbang ketuhanan dalam Nasrani yang
menganut konsep Trinitas,” pikirnya. Setelah beberapa hari memelototi sejumlah
buku, dan merenung selama beberapa malam, pada suatu hari hati nuraninya
membenarkan bahwa Allah itu esa, tiada beranak, tidak diperanakkan, dan tak
satu makhluk pun setara dengan-Nya.
Ia juga mulai tertarik akan norma-norma keislaman. Adab
kehidupan yang paling kecil pun diatur dalam Islam; mulai dari cara memotong
kuku, keluar masuk kamar kecil, mau tidur, bangun tidur, sampai dengan tata
cara hubungan suami istri. Jemaah yang salat di masjid juga diatur, harus suci
lahir batin. Sebaliknya, orang yang masuk gereja tak perlu menanggalkan sepatu
atau sandal. “Akhirnya, saya berkesimpulan bahwa yang sempurna adalah Islam.
Sebab, sampai hal-hal yang kecil dalam kehidupan kita pun, semuanya diatur,”
kata Ambar kepada Alkisah.
Sejak itu, terjadilah “perang” di dalam batinnya: semakin
yakin akan kebenaran Islam, sebaliknya ia semakin ragu akan ajaran agama lain.
Ia pun semakin rajin membeli dan membaca buku-buku tentang Islam. Termasuk buku
dan kaset tentang tatacara salat, lalu berusaha menunaikannya, sedikit demi
sedikit. “Ketika itu sebenarnya saya ingin sekali belajar mengaji kepada
Wijaya, tapi dia malah menolak. Ia khawatir saya masuk Islam karena mencintai
dia,” tutur Ambar.
“Kalau kamu mau belajar,
belajar sendiri sajalah! Buku-buku dan kaset-kaset kan banyak dijual di
toko-toko buku Islam,” kata Wijaya kala itu.
Sembunyi-sembunyi
Suatu hari Ambar berkunjung ke Masjid Agung di Islamic Centre, Bekasi --
seorang diri. Dan diam-diam ia belajar mengaji kepada Pak Momon, penjaga
masjid, seminggu dua kali. Begitulah, selama setahun, pulang dari kantor ia
menyempatkan diri mengaji kepada Pak Momon. “Ketika itu belum ada yang tahu
saya belajar mengaji, kecuali Wijaya,” tutur Ambar lagi.
Tak terasa, sudah tujuh tahun lamanya Ambar mengenal dan
mengamalkan ajaran Islam tapi secara sembunyi-sembunyi. Mulai dari salat,
puasa, dan ajaran-ajaran Islam lainnya. Karena sudah merasa mantap, pada 11
Juni 1994 ia memutuskan untuk mengucapkan dua kalimat syahadat. Pengislaman itu berlangsung di Masjid Islamic
Centre Tangerang, dibimbing oleh KH Yunan Helmi Nasution, disaksikan oleh Wijaya,
beberapa rekan sekantor, dan para jemaah.
Sembari menerima ucapan selamat, tak terasa airmatanya mengalir
deras. Lega, bahagia, campur aduk jadi satu. Air mata itu semakin deras
mengalir ketika ia ingat sebuah peristiwa yang terjadi beberapa bulan
sebelumnya: setiap kali mendengar azan ia selalu menangis dan bersegera
mengambil wudu lalu salat secara sembunyi-sembunyi. “Saya tidak tahu entah
mengapa. Tapi, memang seperti ada yang menggerakkan hati untuk selalu terharu
setiap kali mendengar azan, dan kemudian bersegera salat,” tutur Ambar.
Dua
bulan setelah keislamannya secara resmi itu, Ambar pulang ke rumah orangtuanya.
Ketika itulah, secara diam-diam ia salat Ashar di kamar. Tentu saja tanpa
perlengkapan salat yang sempurna: hanya mengenakan kain panjang yang dililitkan
ke seluruh tubuh dan bersajadah sehelai handuk bersih. Saat itu, kebetulan ia
lupa mengunci pintu kamar. Pada rekaat kedua, adik lelakinya masuk ke dalam
kamar untuk mengambil baju. Betapa kaget si adik melihat kakaknya sedang salat.
Sejurus kemudian ia berteriak,
“Mama, mama, sini. Lihat, lihat, ada orang lagi nunggang-nungging!”
Tapi, mungkin berkat imannya yang sudah bulat dan kuat,
Amar malah semakin khusyuk. Tapi, karena adiknya berteriak-teriak memanggil
ibunnya terus-menerus, ia pun menghentikan salat pada rekaat ketiga. “Cepat
sedikit kalau mau mengambil baju, saya sedang salat,” kata Ambar kepada
adiknya. Sesaat kemudian ibunya datang. “Sedang apa kamu?” gertak sang ibu.
“Saya sedang salat, Bu” jawab Ambar polos.
Kemarahan ibunya pun memuncak, sementara Ambar buru-buru
keluar kamar lalu duduk di ruang tamu. Ketika itulah Ambar diadili oleh segenap
keluarganya. Berbagai pertanyaan terlontar dalam suasana yang emosional. “Kamu
sudah masuk Islam?” desak ibunya berulang kali sembari menangis. Akhirnya,
dengan lemah lembut Ambar menjawab, “Ya, mama. Saya sudah memeluk Islam.”
Mendengar itu, seluruh keluarganya terperanjat, dan marah. Ambar pun diusir
dari rumah orangtuanya. “Mamah kehilangan satu anak tak soal. Anak mamah masih
empat lagi!” teriak ibundanya ketika itu sembari mengusir Ambar pergi dari
rumah.
Wali Hakim
Sebelum pergi, Ambar sempat minta maaf kepada seluruh keluarga. Tapi,
mereka tak mau mengulurkan tangan. Maka, ia pun kembali ke mess
perusahaan tempat ia bekerja dengan berurai airmata. Dan segeralah ia menelepon
Wijaya, menceritakan peristiwa yang baru dialaminya. “Saya diusir oleh
keluarga, nih,” katanya. “Lho, kenapa?” tanya Wijaya. “Ya, saya ketahuan sedang
salat. Jadinya saya sebatang kara sekarang. Bagaimana nih?” jawab Maria.
Maka Wijaya pun
menceritakan nasib Ambar kepada orangtuanya. “Kalau orang sudah sebatang kara,
kita wajib menolongnya,” kata ayah Wijaya. Singkat cerita, selang dua minggu
kemudian, orangtua Wijaya pun berkunjung ke rumah orangtua Ambar untuk melamar
Ambar. “Ambil saja dia, wong dia sudah bukan anakku lagi,” kata ibunda
Ambar. Tapi, dengan sabar dan cukup sopan, ayahanda Wijaya menjawab, “Ya sudah
kalau begitu. Yang penting saya sudah bicara dengan ibu mau melamar anak ibu.”
Sebulan kemudian mereka pun menikah. Ambar menggunakan
wali hakim karena orangtuanya tidak berkenan menjadi wali bagi pengantin
perempuan. Tapi, kakak dan adik-adik Ambar masih bersedia hadir. Sehari setelah
menikah, mereka bersilaturahmi kepada orangtua Ambar untuk mohon doa restu.
Tapi, mereka tetap menolak kehadiran pasangan baru itu. Ambar tidak berputus
asa.
“Sebagai anak kandung, saya tetap ingin menjalin silaturahmi dengan
orangtua,” katanya. Setiap bulan ia selalu mengunjungi orangtuanya. “Mau
diterima atau tidak, saya harus bersilaturahmi. Saya tidak ingin durhaka kepada
orangtua yang telah melahirkan dan membesarkan saya. Meski beda agama, mereka
kan tetap orangtua saya,” katanya lagi.
Keteguhan hati dan doa Ambar didengar oleh Allah SWT – yang memang
menganjurkan agar anak berbakti kepada orangtua. Nah, beberapa bulan setelah
anak pertama pasangan Wijaya-Ambar lahir, hati orangtua dan keluarga Ambar
mulai terbuka. Mereka bisa menerima kembali kehadiran Ambar dan anak pertamanya
yang bernama Fathurrahman – yang berarti “pntu gerbang kasih sayang”. Kebetulan
sang bayi yang lucu itu juga murah senyum sehingga serta merta mampu meluluhkan
hati orangtua Ambar. Begitu melihat bayi itu suka senyum, neneknya kontan
menggendong dan membelai-belainya. Sejak itu, keluarga Ambar kembali rukun
dengan jalinan silaturahmi yang damai – meski berbeda agama – hingga kini.
Domery Alpacino
Catatan: Pernah dimuat di majalah Islam
Alkisah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar