Laman

Minggu, 09 Januari 2005

Urung Jadi Biarawati, Mendapat Hidayah

Setelah membaca buku Al-Quran, Bible dan Sains Modern, karya Prof. Dr. Maurice Bucaille, ia memeluk Islam. Sempat diusir oleh keluarganya.

Perempuan itu semakin tekun beribadah. Hampir setiap malam ia salat tahajud. Dan setiap minggu ketiga, dari pagi hingga lepas zuhur, ia menghadiri majelis taklim muslimah di masjid Al-Furqan, di kompleks perumahan Tri Daya II, Tambun, Bekasi. Ia adalah Ambar Lestari, yang sejak 10 tahun lalu menjadi muslimah. 
            Kepala Bagian Quality Control PT Argo Pantes, Bekasi, itu juga masih menyempatkan diri menghadiri pengajian ibu-ibu di lingkungan Rukun Tetangga. “Alhamdulilah, saya masih bisa mengikuti majelis taklim ibu-ibu muslimah di dua tempat. Tapi, untuk sementara majelis taklim di RT selama beberapa hari ini vakum. Nantilah, Insya Allah akan saya gerakkan kembali,” katanya.

            Dua tahun lalu, ketika suaminya, Muhammad Wijaya, terkena PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) sebagai kepala produksi PT Argo Pantes, Ambar tidak bermuram durja dan patah arang. Ia malah memberi semangat kepada suaminya agar bisa membuka usaha sendiri. Alhasil, Wijaya mampu memprodukti roti dan berhasil dipasarkan di seputar Bekasi. Kini usaha suaminya sukses, mempekerjakan enam orang karyawan. Setiap hari, penghasilan bersih dari bisnis roti bisa mencapai Rp 125 ribu.
            Sebagai ungkapan rasa syukur, Ambar menyisihkan sebagian rezeki suaminya itu untuk disedekahkan kepada fakir miskin dan anak-anak yatim. Dan alhamdulillah, pada Hari Raya Idul Adha tahun lalu, keluarga ini mampu berkurban dengan menyembelih seekor sapi. “Insya Allah tahun ini kami juga bisa berkurban seekor sapi lagi. Kami sudah menabung,” ujar Ambar lagi.
            Keberhasilan Ambar membangun keluarga sakinah melewati jalan yang berliku. Lahir di Jakarta pada 7 Maret 1967, ia anak kedua dari lima bersaudara pasangan Juventus Sumiarto dan Anastasia Tuminem, asli Yogyakarta. Pada mulanya, ia memang bernama Ambar Lestari dengan nama baptis Maria Gorety. Tapi setelah menjadi muslimah ia membuang nama baptis, dan tetap melestarikan nama Ambar Lestari. 
            Ia memang dibesarkan dalam keluarga Katolik yang taat. Dibaptis sejak lahir, sejak masa kanak-kanak Ambar rajin ke gereja dan Sekolah Minggu. “Saat kecil saya tidak pernah absen pergi ke gereja,” tuturnya, mengenang. Sejak duduk di SMP Santo Markus, ia sudah mengidam-idamkan menjadi biarawati. Keinginan itu semakin menggebu setelah kemenakannya yang belajar di sekolah pastor Muntilan, Jawa Tengah, sering menulis surat mengisahkan indahnya kehidupan biarawati dan pendeta di sana. “Kelak, kalau lulus SMA saya harus menjadi biarawati,” tekadnya saat itu dalam hati. 
            Dalam pandangan Ambar kecil, biarawati adalah pelayan Tuhan, berguna untuk orang lain, pencinta anak-anak, disenangi dan disegani umat. Tapi, begitu lulus SMA (1986), Ambar berubah pikiran. Ia tak jadi ke Muntilan, tapi mengikuti tes di Lembaga Pendidikan Ketrampilan Sekretaris Tarakanita, Jakarta. Tapi, ia gagal. Untunglah, ia kemudian diterima di Universitas Pembangunan Nasional Veteran, Jakarta, jurusan tekstil. Di masa kuliah, Ambar aktif dalam kegiatan kampus, antara lain menjadi pengurus Keluarga Mahasiswa Katolik di kampus UPN.

            Witing Trisno
Suatu hari, seorang teman yang beragama Kristen Protestan jatuh hati kepadanya. Tapi, ia tidak menyambutnya. Sebaliknya, teman segerejanya itu terus memburunya. Merasa ketakutan, ia minta tolong kepada Muhammad Wijaya, teman sekuliahnya. Ambar pun berpura-pura pacaran dengan pemuda Betawi itu. “Padahal, saya tidak mungkin pacaran dengan Wijaya karena dia seorang muslim,” kata Maria.
              Karena sering bersama, Ambar sedikit demi sedikit mengenal perilaku Wijaya: penyabar dan rajin salat. Seperti pepatah jawa, Witing trisna jalaran saka kulina (Pohon cinta tumbuh gara-gara terbiasa). Mula-mula memang biasa-biasa, tapi lama kelamaan mereka pun saling jatuh hati. “Cuma sayang, Wijaya orang Islam. Selain itu, orangtua Wijaya juga tidak menyukai kehadiran saya,” kata Ambar menceritakan kondisi “persahabatan” mereka kala itu.
Meski tak mendapat restu dari keluarga Wijaya, pasangan muda-mudi ini tetap menjalin cinta, pacaran secara diam-diam. Tapi, mereka masih tetap mempertahankan agama masing-masing. “Ketika itu saya sempat mengajak dia memeluk agama Katolik, tapi tidak berhasil,” kata Ambar kepada Alkisah. “Saya tidak tahu agamamu, jadi saya tidak bisa memeluk agama yang tidak saya ketahui,” jawab Wijaya menolak dengan halus. “Lebih baik mari kita belajar dan memperkuat iman pada agama kita masing-masing.”
Suatu hari Wijaya menyodorkan buku berjudul Al-Quran, Bible, dan Sains Modern karangan Prof. Dr. Maurice Bucaille, terjemahan Prof HM Rasyidi. Maka Ambar pun membaca buku – yang memperbandingkan antara Al-Quran, Injil dan ilmunpengetahuan itu -- dengan cermat hingga selesai. 
            Usai membaca buku tersebut, Ambar marah besar. Mengapa ada buku yang mendeskriditkan agama Katolik kok para petinggi gereja diam saja? “Mengapa penulis atau penerjemahnya, juga penerbit dan toko buku yang menjualnya tidak dilaporkan ke polisi?” tanyanya dalam hati dengan geram. Merasa penasaran, suatu sore ia menemui Romo Mudji di sebuah gereja di Clilitan, Jakarta Timur.
Ia mengadukan “kejahatan” buku tersebut. Sebagai umat yang sangat dekat dengan Romo Mudji, ia menumpahkan kekesalannya. “Romo, saya marah membaca buku ini dan kesal kepada para pastor. Romo pernah membaca buku ini?” kata Ambar dengan harapan mendapat jawaban yang memuaskan.
“Saya sudah tahu dan sudah membacanya,” jawab Romo Mudji.
“Kalau Romo sudah tahu dan sudah membacanya, mengapa diam saja? Buku ini menjelek-jelekkan agama Katolik,” kata Ambar lagi.
“Kalau kamu marah, berarti iman kamu belum kuat,” kata omo Mudji lagi. “Biarlah buku ini kamu tinggal saja di sini. mendapat jawaban dari romo secara gamblang. Kamu belum boleh membaca buku seperti ini. Kalau kamu membaca buku ini saya khawatir kamu terpengaruh.”
“Siapa yang terpengaruh? Wong saya ingin mencari kebenaran,” jawab Ambar.
           
Yusuf Roni

Pulang dari diskusi yang begitu seru dengan Romo Mudji, Ambar menuju Toko Buku Gunung Mulia di Jalan Kwitang, Jakarta Pusat. Di toko buku yang banyak menjual buku-buku Kristen ini ia mencari buku yang memuat argumen yang kuat untuk mendiskreditkan Islam. “Wijaya sudah menjatuhkan agama saya, maka saya pun harus bisa menjatuhkan agama dia,” katanya dalam hati, penuh amarah.
            Kebetulan ia mendapatkan buku karangan Yusuf Roni, bekas muslim yang murtad menjadi Nasrani. Buku itu memang menyudutkan Islam. “Nih, saya juga punya buku yang menjelekkan agamamu! Memangnya kamu saja yang punya buku yang bisa menjelekkan agamaku?” kata Maria sembari menyodorkan buku itu kepada Wijaya. Tapi, di dalam hati kecilnya, sesungguhnya Ambar semakin ingin mempelajari Islam. Maka, pada suatu hari ia pun mengunjungi Toko uku Wali Songo, yang lokasinya tak jauh dari Toko Buku Gunung Mulia. “Apa sih hebatnya Islam, kok mampu merendahkan dan menjelekkan agama lain?” Ambar mencibir dalam hati.
Perasaan seperti itulah yang pada akhirnya mendorong Ambar hampir setiap hari mampir ke toko buku Walisongo untuk membaca-baca buku tentang Islam. Bahkan, saking penasarannya, ia sempat berulang kali membolos kuliah – hanya untuk mengunjungi toko buku Walisongo.
Tapi, inilah barangkali yang disebut hidayah itu, semakin ia mencari kelemahan Islam, justru ia semakin dalam menemukan kebenaran. Tak heran jika belakangan iman Kristianinya mulai goyah. “Ternyata, konsep ketuhanan Islam sederhana sekali ketimbang ketuhanan dalam Nasrani yang menganut konsep Trinitas,” pikirnya. Setelah beberapa hari memelototi sejumlah buku, dan merenung selama beberapa malam, pada suatu hari hati nuraninya membenarkan bahwa Allah itu esa, tiada beranak, tidak diperanakkan, dan tak satu makhluk pun setara dengan-Nya. 
            Ia juga mulai tertarik akan norma-norma keislaman. Adab kehidupan yang paling kecil pun diatur dalam Islam; mulai dari cara memotong kuku, keluar masuk kamar kecil, mau tidur, bangun tidur, sampai dengan tata cara hubungan suami istri. Jemaah yang salat di masjid juga diatur, harus suci lahir batin. Sebaliknya, orang yang masuk gereja tak perlu menanggalkan sepatu atau sandal. “Akhirnya, saya berkesimpulan bahwa yang sempurna adalah Islam. Sebab, sampai hal-hal yang kecil dalam kehidupan kita pun, semuanya diatur,” kata Ambar kepada Alkisah.
            Sejak itu, terjadilah “perang” di dalam batinnya: semakin yakin akan kebenaran Islam, sebaliknya ia semakin ragu akan ajaran agama lain. Ia pun semakin rajin membeli dan membaca buku-buku tentang Islam. Termasuk buku dan kaset tentang tatacara salat, lalu berusaha menunaikannya, sedikit demi sedikit. “Ketika itu sebenarnya saya ingin sekali belajar mengaji kepada Wijaya, tapi dia malah menolak. Ia khawatir saya masuk Islam karena mencintai dia,” tutur Ambar.
“Kalau kamu mau belajar, belajar sendiri sajalah! Buku-buku dan kaset-kaset kan banyak dijual di toko-toko buku Islam,” kata Wijaya kala itu.
           
Sembunyi-sembunyi

Suatu hari Ambar berkunjung ke Masjid Agung di Islamic Centre, Bekasi -- seorang diri. Dan diam-diam ia belajar mengaji kepada Pak Momon, penjaga masjid, seminggu dua kali. Begitulah, selama setahun, pulang dari kantor ia menyempatkan diri mengaji kepada Pak Momon. “Ketika itu belum ada yang tahu saya belajar mengaji, kecuali Wijaya,” tutur Ambar lagi.
            Tak terasa, sudah tujuh tahun lamanya Ambar mengenal dan mengamalkan ajaran Islam tapi secara sembunyi-sembunyi. Mulai dari salat, puasa, dan ajaran-ajaran Islam lainnya. Karena sudah merasa mantap, pada 11 Juni 1994 ia memutuskan untuk mengucapkan dua kalimat syahadat.  Pengislaman itu berlangsung di Masjid Islamic Centre Tangerang, dibimbing oleh KH Yunan Helmi Nasution, disaksikan oleh Wijaya, beberapa rekan sekantor, dan para jemaah.
            Sembari menerima ucapan selamat, tak terasa airmatanya mengalir deras. Lega, bahagia, campur aduk jadi satu. Air mata itu semakin deras mengalir ketika ia ingat sebuah peristiwa yang terjadi beberapa bulan sebelumnya: setiap kali mendengar azan ia selalu menangis dan bersegera mengambil wudu lalu salat secara sembunyi-sembunyi. “Saya tidak tahu entah mengapa. Tapi, memang seperti ada yang menggerakkan hati untuk selalu terharu setiap kali mendengar azan, dan kemudian bersegera salat,” tutur Ambar.
            Dua bulan setelah keislamannya secara resmi itu, Ambar pulang ke rumah orangtuanya. Ketika itulah, secara diam-diam ia salat Ashar di kamar. Tentu saja tanpa perlengkapan salat yang sempurna: hanya mengenakan kain panjang yang dililitkan ke seluruh tubuh dan bersajadah sehelai handuk bersih. Saat itu, kebetulan ia lupa mengunci pintu kamar. Pada rekaat kedua, adik lelakinya masuk ke dalam kamar untuk mengambil baju. Betapa kaget si adik melihat kakaknya sedang salat. Sejurus kemudian ia berteriak, “Mama, mama, sini. Lihat, lihat, ada orang lagi nunggang-nungging!” 
            Tapi, mungkin berkat imannya yang sudah bulat dan kuat, Amar malah semakin khusyuk. Tapi, karena adiknya berteriak-teriak memanggil ibunnya terus-menerus, ia pun menghentikan salat pada rekaat ketiga. “Cepat sedikit kalau mau mengambil baju, saya sedang salat,” kata Ambar kepada adiknya. Sesaat kemudian ibunya datang. “Sedang apa kamu?” gertak sang ibu. “Saya sedang salat, Bu” jawab Ambar polos. 
            Kemarahan ibunya pun memuncak, sementara Ambar buru-buru keluar kamar lalu duduk di ruang tamu. Ketika itulah Ambar diadili oleh segenap keluarganya. Berbagai pertanyaan terlontar dalam suasana yang emosional. “Kamu sudah masuk Islam?” desak ibunya berulang kali sembari menangis. Akhirnya, dengan lemah lembut Ambar menjawab, “Ya, mama. Saya sudah memeluk Islam.” Mendengar itu, seluruh keluarganya terperanjat, dan marah. Ambar pun diusir dari rumah orangtuanya. “Mamah kehilangan satu anak tak soal. Anak mamah masih empat lagi!” teriak ibundanya ketika itu sembari mengusir Ambar pergi dari rumah.
           
Wali Hakim

Sebelum pergi, Ambar sempat minta maaf kepada seluruh keluarga. Tapi, mereka tak mau mengulurkan tangan. Maka, ia pun kembali ke mess perusahaan tempat ia bekerja dengan berurai airmata. Dan segeralah ia menelepon Wijaya, menceritakan peristiwa yang baru dialaminya. “Saya diusir oleh keluarga, nih,” katanya. “Lho, kenapa?” tanya Wijaya. “Ya, saya ketahuan sedang salat. Jadinya saya sebatang kara sekarang. Bagaimana nih?” jawab Maria.
             Maka Wijaya pun menceritakan nasib Ambar kepada orangtuanya. “Kalau orang sudah sebatang kara, kita wajib menolongnya,” kata ayah Wijaya. Singkat cerita, selang dua minggu kemudian, orangtua Wijaya pun berkunjung ke rumah orangtua Ambar untuk melamar Ambar. “Ambil saja dia, wong dia sudah bukan anakku lagi,” kata ibunda Ambar. Tapi, dengan sabar dan cukup sopan, ayahanda Wijaya menjawab, “Ya sudah kalau begitu. Yang penting saya sudah bicara dengan ibu mau melamar anak ibu.”
            Sebulan kemudian mereka pun menikah. Ambar menggunakan wali hakim karena orangtuanya tidak berkenan menjadi wali bagi pengantin perempuan. Tapi, kakak dan adik-adik Ambar masih bersedia hadir. Sehari setelah menikah, mereka bersilaturahmi kepada orangtua Ambar untuk mohon doa restu. Tapi, mereka tetap menolak kehadiran pasangan baru itu. Ambar tidak berputus asa.
“Sebagai anak kandung, saya tetap ingin menjalin silaturahmi dengan orangtua,” katanya. Setiap bulan ia selalu mengunjungi orangtuanya. “Mau diterima atau tidak, saya harus bersilaturahmi. Saya tidak ingin durhaka kepada orangtua yang telah melahirkan dan membesarkan saya. Meski beda agama, mereka kan tetap orangtua saya,” katanya lagi.
Keteguhan hati dan doa Ambar didengar oleh Allah SWT – yang memang menganjurkan agar anak berbakti kepada orangtua. Nah, beberapa bulan setelah anak pertama pasangan Wijaya-Ambar lahir, hati orangtua dan keluarga Ambar mulai terbuka. Mereka bisa menerima kembali kehadiran Ambar dan anak pertamanya yang bernama Fathurrahman – yang berarti “pntu gerbang kasih sayang”. Kebetulan sang bayi yang lucu itu juga murah senyum sehingga serta merta mampu meluluhkan hati orangtua Ambar. Begitu melihat bayi itu suka senyum, neneknya kontan menggendong dan membelai-belainya. Sejak itu, keluarga Ambar kembali rukun dengan jalinan silaturahmi yang damai – meski berbeda agama – hingga kini.

Domery Alpacino
Catatan: Pernah dimuat di majalah Islam Alkisah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar