Ia tak cemburu ketika Rasulullah menikah dengan Aisyah.
Bahkan ia sering membantu menyelesaikan pekerjaan madunya yang belia lagi
cantik itu. Ia sabar, tabah, teguh.
![]() |
pepraditiola.blogspot.com |
SEPENINGGAL
Khadijah binti Khuwailid RA, Rasulullah benar-benar kehilangan. Langit malam
yang selalu bertaburkan bintang di Mekah, tak mampu menghapus kenangan indah
selama hidup bersama Khadijah. Perempuan yang di zaman jahiliyah mendapat
julukan Ath-Thahirah (perempuan suci) itu adalah penyegar dan pengobat
segala rintangan dan kekerasan yang dilakukan orang-orang Quraish terhadap
Rasulullah. Setiap pulang dari berdakwah, Rasul mendapat kesejukan dan
ketentraman di rumah. Bagi Rasul, Khadijah bukan saja istri yang setia, tapi juga
ibu dan teman, baik di kala suka maupun duka. Tapi, semua itu tak ada lagi
setelah Khadijah wafat.
Sementara itu, dakwah Rasulullah
bertambah berat. Cobaan silih berganti. Suatu hari, Rasul memutuskan pergi
berdakwah ke Taif. Tapi, ketika Rasul tiba di daerah yang dihuni bermacam-macam
suku itu, mereka bukannya menyambut dengan hangat, tapi menolaknya dengan
keras. Bahkan mereka memerintahkan anak-anak melempari Rasul dengan batu. Tak
urung, kedua tumit Rasul luka dan berdarah-darah. Tapi, beliau tetap tabah dan
sabar, bahkan tetap mendoakan agar mereka memperoleh hidayah dari Allah.
Tidak beberapa lama Rasul kembali ke
Mekah. Tapi di sana, Rasul tetap mendapat ancaman kekerasan, pembunuhan, dan
olok-olok dari orang-orang Quraish. Di tekanan orang-orang Quraish, beberapa
sahabat yang sangat prihatin berpandangan bahwa dengan menikah lagi, kesedihan
Rasul minimal terkurangi. Tapi, tak seorang pun yang berani menyarankannya
kepada Rasulullah. Maka mereka pun menunggu kesempatan yang tepat untuk
menyampaikan saran itu kepada beliau.
Suatu hari, Khaulah binti Hakim
As-Salamiyah memberanikan diri menghadap Rasul. Dengan santun, sahabat
Almarhumah Khadijah ini membuka pembicaraan mengenai kemungkinan Rasul untuk
menikah lagi. “Ya Rasulullah, sepertinya Tuan sangat sedih setelah Khadijah
wafat,” katanya.
“Tentu. Karena dialah ibu rumahtangga
yang mengatur kehidupan keluargaku sehari-hari,” jawab Rasul. Setelah diam
beberapa saat, sembari menghela nafas dalam-dalam, Khaulah memberanikan diri
menyarankan agar beliau menikah lagi. Seketika Rasul kaget, lalu terdiam untuk
beberapa saat. Beliau teringat saat Nafisah binti Munayyah menyarankan agar
beliau bersedia menikah dengan Khadijah.
Kehormatan Besar
![]() |
imamalfataach.blogspot.com |
Rasulullah menilai, saran Khaulah
mengandung kebenaran. “Siapakah yang engkau pilihkan untukku?” tanya Rasulullah
memecah kebisuan. Khaulah yang sudah siap dengan jawaban, segera berkata, “Bila
Tuan menginginkan seorang gadis, dialah Aisyah binti Abubakar. Dan, bila Tuan
inginkan seorang janda, dialah Saudah binti Zam’ah”.
Karena Aisyah masih sangat belia, Rasul
memilih Saudah dan menunda lamarannya kepada Aisyah hingga ia tumbuh dewasa.
Jika menunggu tiga empat tahun lagi untuk menikah, siapakah yang mengurus
rumahtangga dan merawat kedua putrinda, Ummu Kultsum dan Fathimah yang
ditinggal wafat ibundanya? Mereka masih kecil, sementara dua putri Nabi yang
lain, Zainab dan Ruqayah, telah berumah tangga.
Setelah mempertimbangkannya masak-masak,
Rasul minta Khaulah melamar Saudah atas nama Nabi. Khaulah tersenyum, hatinya
berbunga-bunga. Ia lalu menemui Zam’ah, ayah Saudah. Sebelum bertemu dengan
Syeikh besar ini, terlebih dahulu ia menemui Saudah. “Hai Saudah, sungguh Allah
telah melimpahkan kebajikan dan keberkahan besar bagimu,” tutur Khaulah.
“Apa yang engkau maksudkan, Khaulah?”
tanya Saudah.
“Rasulullah mengutusku datang kemari untuk menyampaikan
lamaran beliau,” ujar Khaulah. Betapa kaget Saudah; ia tak percaya apa yang
baru saja didengarnya. Kepada Zam’ah, Khaulah menceritakan bahwa Saudah telah
menerima baik lamaran Rasul lewat dirinya. Mendengar itu, Zam’ah segera
memanggil putrinya. “Saudah, tahukah engkau bahwa Muhammad bin Abdullah
mengutus Khaulah datang kemari untuk melamarmu? Sungguh, ini merupakan kehormatan yang besar.
Sekarang, maukah engkau kunikahkan dengan Muhammad?” tanya Zam’ah kepada
putrinya.
Tanpa pikir panjang, Saudah menjawab
menerima lamaran Rasulullah. Zam’ah lalu minta Rasul datang ke rumahnya. Maka
perkawinan -- yang berlangsung pada bulan Ramadhan pada tahun kesepuluh dari
kenabian itu -- berlangsung dengan baik. Berita tentang pernikahan itu menyebar
ke segenap penjuru Mekah. Penduduk yang masih banyak menyembah berhala itu
gempar, tak percaya mendengar berita itu. Pasalnya, Saudah adalah janda tua dan
tidak lagi menarik. Dibanding Khadijah, jauh panggang dari api. Tapi bagi
Rasulullah, tak ada seorang perempuan pun yang dapat mengganti kedudukan
Khadijah: kesetiaan, pengorbanan, kasih sayang.
Suatu hari, Rasulullah pernah menyebut
nama delapan orang dari Bani Amir. Mereka ikut hijrah (yang pertama) ke
Habasyah untuk mempertahankan akidah Islam. Di antara mereka terdapat Saudah
dan suaminya. Syukran bin Amr bin Abdu Syams, suami Saudah, mula-mula memeluk
Islam bersama sekelompok orang dari Bani Qais bin Abdu Syamsin. Setelah
berbaiat di hadapan Nabi, ia menemui istrinya, dan memberitakan tentang
keislamannya. Saudah pun cepat memahami ajaran Islam. Ia kemudian mengikuti
suaminya memeluk agama Allah.
Habasyah, Ethiopia
www.reddit.com |
Gara-gara memeluk Islam, Syukran dan
keluarganya menuai cemoohan, penganiayaan, dan pengasingan dari keluarga
terdekat. Karena itu, ia lalu menemui Rasulullah minta nasihat. Rasulullah
menasihati agar mereka tetap kokoh berpegang teguh pada akidah, dan menyarankan
agar hijrah ke Habasyah atau Abbesinia, kini Ethiopia. Maka berangkatlah
Syukran dan isterinya, bersama serombongan orang lainnya, ke negeri Habasyah.
Mereka merasakan betapa pedih meninggalkan kampung halaman, betapa sulit
menempuh perjalanan dengan cuaca yang sangat buruk.
Di Habasyah mereka disambut dan diperlakukan
dengan baik oleh Raja Ethiopia yang beragama Nasrani. Beberapa hari lamanya
mereka menjadi tamu kerajaan. Tapi, rasa rindu akan wajah Rasulullah mendera
mereka. Sementara menunggu waktu yang tepat untuk kembali ke Mekah, mereka
mendengar kabar keislaman Umar bin Khathab – dengan penuh suka cita. Betapa
tidak. Umar adalah pemuka Quraish yang sangat disegani. Itu sebabnya mereka
memberanikan diri kembali ke Mekah dengan harapan Umar menjamin keselamatan
mereka. Di antara mereka terdapat Syukran dan Saudah.
Dalam perjalanan, Syukran jatuh sakit. Ia
kelaparan. Akhirnya ia meninggal. Betapa sedih Saudah mendengar suaminya
meninggal. Saudah menanggung derita itu dengan kepasrahan dan ketabahan. Ia
menyerahkan semuanya kepada Allah SWT. Ia pun kembali ke Mekah dengan harapan
keadaan sudah membaik setelah beberapa pemuka Quraisy memeluk Islam. Ternyata,
kezaliman orang Quraisy tetap merajalela. Dalam kondisi seperti itu, tak ada
pilihan lain baginya selain kembali ke rumah ayahandanya, Zam’ah bin Qais, yang
masih menyembah berhala. Ketabahan Saudah menghadapi penderitaan dan
kesengsaraan dalam mempertahankan akidah itulah yang terbayang oleh Nabi ketika
Khaulah menyebut nama Saudah.
Walhasil, Saudah mulai memasuki rumahtangga Rasulullah.
Dalam rumahtangga inilah ia merasakan kehormatan dan kemuliaan sebagai ibu
rumahtangga. Di rumahtangga Rasul inilah, Saudah merawat Ummu Kaltsum dan
Fathimah Az-Zahra seperti merawat anak kandungnya sendiri. Kedua putri Rasul
itupun menghargai, menghormati, dan memperlakukan ibu tirinya dengan baik.
Saudah yang lembut dan sabar mampu
menghibur Rasulullah, sekaligus memberi semangat. Ia memang tidak terlalu
berharap dapat sejajar dengan Khadijah di hati Rasulullah. Ia cukup puas dengan
posisinya sebagai istri Rasulullah dan Ummul Mukminin (Ibunda bagi orang
beriman). Ia juga cukup puas dapat membantu putri-putri Nabi. Ia senang dan
puas melihat Nabi, suaminya, tersenyum setiap kali berjumpa dengannya.
Kupencet Hidungku
www.inilah-salafi-takfiri.com |
Beberapa riwayat menyebutkan, Saudah
adalah perempuan yang berbadan gemuk, jalannya tampak berat. Tapi, ia periang,
dan kata-katanya sering menimbulkan gelak tawa. Suatu hari, ia berkata kepada
suaminya, “Ya Rasulullah, tadi malam ketika aku ruku’ di belakangmu, kupencet
hidungku karena takut kalau-kalau meneteskan darah.” Mendengar ucapan istrinya,
Rasul tertawa.
Diriwayatkan juga, Saudah adalah
perempuan yang lugu. Sikapnya itu menimbulkan dugaan bahwa ia sedikit
terbelakang. Konon, pada suatu hari ia melihat mantan iparnya yang bernama
Suhail bin Amr, tertawan dalam suatu peperangan. Melihat iparnya yang
mengenaskan itu, ia tak bisa menguasai diri. “Hai Abu Yazid (nama panggilan
Suhail bin Amr), mengapa engkau menyerah dan mau dibelenggu? Bukankah lebih
baik engkau mati terhormat?”
Mendengar ucapan Saudah itu, Rasul
menegurnya. “Hai Saudah, apakah engkau hendak mendorong orang supaya melawan
Allah dan Rasul-Nya?” Saudah terkejut atas teguran suami. Ia lalu segera
menjawab, “Ya Rasulullah, demi Allah yang mengutus engkau membawa kebenaran,
sungguh aku tak dapat menguasai diri ketika melihat Abu Yazid berdiri dalam
keadaan tangan terbelenggu ke leher hingga terlontarlah kata-kata itu dari
mulutku”.
Waktu pun berlalu. Beberapa bulan Saudah
berada di tengah-tengah keluarga Rasulullah. Keakraban dan keharmonisan pun
terjalin. Pengabdiannya kepada Nabi begitu tulus, tanpa keluh kesah. Bagi
Saudah, kenikmatan dan kebahagiaan yang paling berarti di dunia ini adalah
membuat Nabi senang dan bahagia.
Bahkan ketika Rasulullah meminang Aisyah
binti Abubakar yang masih belia dan cantik, Saudah rela dan sama sekali tidak
cemburu. Sejarah mencatat betapa bijak sikap Saudah terhadap Aisyah. Wajahnya
senantiasa ceria, tutur katanya lembut, bahkan ia sering membantu menyelesaikan
urusan-urusan madunya itu. Aisyah pun mencintai Saudah. Aisyah pernah berkata,
“Tidak ada perempuan lain yang lebih aku cintai untuk berkumpul bersamanya
selain Saudah binti Zam’ah, karena dia memiliki keistimewaan yang tidak
dimiliki perempuan lain.”
Umur Panjang
zheraf.wap.sh |
Saudah pernah terlibat dalam perang
Khaibar mendampingi Rasulullah, suaminya. Dalam perang ini banyak kesulitan
yang dialami Saudah, karena banyak kaum muslimin yang syahid sebelum Allah
memberikan kemenangan. Tak lama kemudian Rasulullah menikahi Shafiyyah binti
Huyay bin Akhtab. Mendengar hal ini pun Saudah rela dan menerima kehadiran
Shafiyyah tanpa rasa cemburu. Ketika Rasul hijrah ke Medinah tanpa membawa
keluarga, Saudah menjaga diri dan merawat kedua anak Nabi dengan baik. Ia
kemudian menyusul. Bagi Saudah, hijrahnya ke Medinah merupakan hijrah yang
kedua, setelah sebelumnya ia hijrah ke Habashah.
Bersama
istri-istri Rasulullah lainnya, Saudah menunaikan haji wada (perpisahan).
Pulang dari haji, Rasulullah sakit keras. Rasul minta persetujuan
istri-istrinya untuk tinggal di rumah Aisyah. Ketika Rasul sakit, Saudah tak
pernah putus-putusnya menjenguk beliau dan membantu Aisyah sampai Rasulullah
wafat. Menurut catatan, Nabi sakit selama 63 hari, terhitung sejak pulang dari
haji wada hingga wafat.
Sepeninggal Rasul, Saudah tidak pernah
lagi menunaikan ibadah haji karena khawatir melanggar ketentuan Rasulullah.
Tetapi, ia selalu beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Harta
bagiannya dari Baitul Mal sebagian besar ia salurkan di jalan Allah.
Belakangan, perempuan mulia yang penyabar ini tidak pernah meninggalkan
kamarnya kecuali untuk kebutuhan yang mendesak. Pada saat-saat itulah, Abubakar
selalu menjenguknya karena ia tahu, Saudah sangat mencintai putrinya.
Menurut beberapa riwayat,
Saudah dikaruniai umur panjang. Ia wafat di Medinah pada akhir masa
kekhalifahan Umar bin Khatab, pada tahun 23 Hijriyah. Sebagian riwayat lainnya
menyebutkan, ia meninggal pada tahun ke-19 Hijriyah. Tapi, yang jelas, ia wafat
dengan banyak meninggalkan kenangan indah. Begitu agung kepribadiannya,
sehingga sahabat Ibnu Abbas “bersujud” atas kematiannya. Mengapa ia bersujud?
Ibnu Abbas menjawab, “Apabila kalian melihat tanda-tanda kebesaran Allah,
bersujudlah. Dan tidak ada tanda kebesaran Allah melebihi kematian istri-istri
Rasulullah SAW.”
Domery
Alpacino, dari berbagai sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar