Laman

Minggu, 09 Januari 2005

Janda Mulia yang Penyabar

Ia tak cemburu ketika Rasulullah menikah dengan Aisyah. Bahkan ia sering membantu menyelesaikan pekerjaan madunya yang belia lagi cantik itu. Ia sabar, tabah, teguh.

pepraditiola.blogspot.com
SEPENINGGAL Khadijah binti Khuwailid RA, Rasulullah benar-benar kehilangan. Langit malam yang selalu bertaburkan bintang di Mekah, tak mampu menghapus kenangan indah selama hidup bersama Khadijah. Perempuan yang di zaman jahiliyah mendapat julukan Ath-Thahirah (perempuan suci) itu adalah penyegar dan pengobat segala rintangan dan kekerasan yang dilakukan orang-orang Quraish terhadap Rasulullah. Setiap pulang dari berdakwah, Rasul mendapat kesejukan dan ketentraman di rumah. Bagi Rasul, Khadijah bukan saja istri yang setia, tapi juga ibu dan teman, baik di kala suka maupun duka. Tapi, semua itu tak ada lagi setelah Khadijah wafat.

       Sementara itu, dakwah Rasulullah bertambah berat. Cobaan silih berganti. Suatu hari, Rasul memutuskan pergi berdakwah ke Taif. Tapi, ketika Rasul tiba di daerah yang dihuni bermacam-macam suku itu, mereka bukannya menyambut dengan hangat, tapi menolaknya dengan keras. Bahkan mereka memerintahkan anak-anak melempari Rasul dengan batu. Tak urung, kedua tumit Rasul luka dan berdarah-darah. Tapi, beliau tetap tabah dan sabar, bahkan tetap mendoakan agar mereka memperoleh hidayah dari Allah.
       Tidak beberapa lama Rasul kembali ke Mekah. Tapi di sana, Rasul tetap mendapat ancaman kekerasan, pembunuhan, dan olok-olok dari orang-orang Quraish. Di tekanan orang-orang Quraish, beberapa sahabat yang sangat prihatin berpandangan bahwa dengan menikah lagi, kesedihan Rasul minimal terkurangi. Tapi, tak seorang pun yang berani menyarankannya kepada Rasulullah. Maka mereka pun menunggu kesempatan yang tepat untuk menyampaikan saran itu kepada beliau.
       Suatu hari, Khaulah binti Hakim As-Salamiyah memberanikan diri menghadap Rasul. Dengan santun, sahabat Almarhumah Khadijah ini membuka pembicaraan mengenai kemungkinan Rasul untuk menikah lagi. “Ya Rasulullah, sepertinya Tuan sangat sedih setelah Khadijah wafat,” katanya.
       “Tentu. Karena dialah ibu rumahtangga yang mengatur kehidupan keluargaku sehari-hari,” jawab Rasul. Setelah diam beberapa saat, sembari menghela nafas dalam-dalam, Khaulah memberanikan diri menyarankan agar beliau menikah lagi. Seketika Rasul kaget, lalu terdiam untuk beberapa saat. Beliau teringat saat Nafisah binti Munayyah menyarankan agar beliau bersedia menikah dengan Khadijah.

Kehormatan Besar

imamalfataach.blogspot.com
       Rasulullah menilai, saran Khaulah mengandung kebenaran. “Siapakah yang engkau pilihkan untukku?” tanya Rasulullah memecah kebisuan. Khaulah yang sudah siap dengan jawaban, segera berkata, “Bila Tuan menginginkan seorang gadis, dialah Aisyah binti Abubakar. Dan, bila Tuan inginkan seorang janda, dialah Saudah binti Zam’ah”.
       Karena Aisyah masih sangat belia, Rasul memilih Saudah dan menunda lamarannya kepada Aisyah hingga ia tumbuh dewasa. Jika menunggu tiga empat tahun lagi untuk menikah, siapakah yang mengurus rumahtangga dan merawat kedua putrinda, Ummu Kultsum dan Fathimah yang ditinggal wafat ibundanya? Mereka masih kecil, sementara dua putri Nabi yang lain, Zainab dan Ruqayah, telah berumah tangga.
       Setelah mempertimbangkannya masak-masak, Rasul minta Khaulah melamar Saudah atas nama Nabi. Khaulah tersenyum, hatinya berbunga-bunga. Ia lalu menemui Zam’ah, ayah Saudah. Sebelum bertemu dengan Syeikh besar ini, terlebih dahulu ia menemui Saudah. “Hai Saudah, sungguh Allah telah melimpahkan kebajikan dan keberkahan besar bagimu,” tutur Khaulah.
       “Apa yang engkau maksudkan, Khaulah?” tanya Saudah.
“Rasulullah mengutusku datang kemari untuk menyampaikan lamaran beliau,” ujar Khaulah. Betapa kaget Saudah; ia tak percaya apa yang baru saja didengarnya. Kepada Zam’ah, Khaulah menceritakan bahwa Saudah telah menerima baik lamaran Rasul lewat dirinya. Mendengar itu, Zam’ah segera memanggil putrinya. “Saudah, tahukah engkau bahwa Muhammad bin Abdullah mengutus Khaulah datang kemari untuk melamarmu? Sungguh,  ini merupakan kehormatan yang besar. Sekarang, maukah engkau kunikahkan dengan Muhammad?” tanya Zam’ah kepada putrinya.
       Tanpa pikir panjang, Saudah menjawab menerima lamaran Rasulullah. Zam’ah lalu minta Rasul datang ke rumahnya. Maka perkawinan -- yang berlangsung pada bulan Ramadhan pada tahun kesepuluh dari kenabian itu -- berlangsung dengan baik. Berita tentang pernikahan itu menyebar ke segenap penjuru Mekah. Penduduk yang masih banyak menyembah berhala itu gempar, tak percaya mendengar berita itu. Pasalnya, Saudah adalah janda tua dan tidak lagi menarik. Dibanding Khadijah, jauh panggang dari api. Tapi bagi Rasulullah, tak ada seorang perempuan pun yang dapat mengganti kedudukan Khadijah: kesetiaan, pengorbanan, kasih sayang.
       Suatu hari, Rasulullah pernah menyebut nama delapan orang dari Bani Amir. Mereka ikut hijrah (yang pertama) ke Habasyah untuk mempertahankan akidah Islam. Di antara mereka terdapat Saudah dan suaminya. Syukran bin Amr bin Abdu Syams, suami Saudah, mula-mula memeluk Islam bersama sekelompok orang dari Bani Qais bin Abdu Syamsin. Setelah berbaiat di hadapan Nabi, ia menemui istrinya, dan memberitakan tentang keislamannya. Saudah pun cepat memahami ajaran Islam. Ia kemudian mengikuti suaminya memeluk agama Allah. 

Habasyah, Ethiopia

www.reddit.com
       Gara-gara memeluk Islam, Syukran dan keluarganya menuai cemoohan, penganiayaan, dan pengasingan dari keluarga terdekat. Karena itu, ia lalu menemui Rasulullah minta nasihat. Rasulullah menasihati agar mereka tetap kokoh berpegang teguh pada akidah, dan menyarankan agar hijrah ke Habasyah atau Abbesinia, kini Ethiopia. Maka berangkatlah Syukran dan isterinya, bersama serombongan orang lainnya, ke negeri Habasyah. Mereka merasakan betapa pedih meninggalkan kampung halaman, betapa sulit menempuh perjalanan dengan cuaca yang sangat buruk.
       Di Habasyah mereka disambut dan diperlakukan dengan baik oleh Raja Ethiopia yang beragama Nasrani. Beberapa hari lamanya mereka menjadi tamu kerajaan. Tapi, rasa rindu akan wajah Rasulullah mendera mereka. Sementara menunggu waktu yang tepat untuk kembali ke Mekah, mereka mendengar kabar keislaman Umar bin Khathab – dengan penuh suka cita. Betapa tidak. Umar adalah pemuka Quraish yang sangat disegani. Itu sebabnya mereka memberanikan diri kembali ke Mekah dengan harapan Umar menjamin keselamatan mereka. Di antara mereka terdapat Syukran dan Saudah.
       Dalam perjalanan, Syukran jatuh sakit. Ia kelaparan. Akhirnya ia meninggal. Betapa sedih Saudah mendengar suaminya meninggal. Saudah menanggung derita itu dengan kepasrahan dan ketabahan. Ia menyerahkan semuanya kepada Allah SWT. Ia pun kembali ke Mekah dengan harapan keadaan sudah membaik setelah beberapa pemuka Quraisy memeluk Islam. Ternyata, kezaliman orang Quraisy tetap merajalela. Dalam kondisi seperti itu, tak ada pilihan lain baginya selain kembali ke rumah ayahandanya, Zam’ah bin Qais, yang masih menyembah berhala. Ketabahan Saudah menghadapi penderitaan dan kesengsaraan dalam mempertahankan akidah itulah yang terbayang oleh Nabi ketika Khaulah menyebut nama Saudah.
Walhasil, Saudah mulai memasuki rumahtangga Rasulullah. Dalam rumahtangga inilah ia merasakan kehormatan dan kemuliaan sebagai ibu rumahtangga. Di rumahtangga Rasul inilah, Saudah merawat Ummu Kaltsum dan Fathimah Az-Zahra seperti merawat anak kandungnya sendiri. Kedua putri Rasul itupun menghargai, menghormati, dan memperlakukan ibu tirinya dengan baik.
       Saudah yang lembut dan sabar mampu menghibur Rasulullah, sekaligus memberi semangat. Ia memang tidak terlalu berharap dapat sejajar dengan Khadijah di hati Rasulullah. Ia cukup puas dengan posisinya sebagai istri Rasulullah dan Ummul Mukminin (Ibunda bagi orang beriman). Ia juga cukup puas dapat membantu putri-putri Nabi. Ia senang dan puas melihat Nabi, suaminya, tersenyum setiap kali berjumpa dengannya.

Kupencet Hidungku

www.inilah-salafi-takfiri.com
       Beberapa riwayat menyebutkan, Saudah adalah perempuan yang berbadan gemuk, jalannya tampak berat. Tapi, ia periang, dan kata-katanya sering menimbulkan gelak tawa. Suatu hari, ia berkata kepada suaminya, “Ya Rasulullah, tadi malam ketika aku ruku’ di belakangmu, kupencet hidungku karena takut kalau-kalau meneteskan darah.” Mendengar ucapan istrinya, Rasul tertawa.
       Diriwayatkan juga, Saudah adalah perempuan yang lugu. Sikapnya itu menimbulkan dugaan bahwa ia sedikit terbelakang. Konon, pada suatu hari ia melihat mantan iparnya yang bernama Suhail bin Amr, tertawan dalam suatu peperangan. Melihat iparnya yang mengenaskan itu, ia tak bisa menguasai diri. “Hai Abu Yazid (nama panggilan Suhail bin Amr), mengapa engkau menyerah dan mau dibelenggu? Bukankah lebih baik engkau mati terhormat?”
       Mendengar ucapan Saudah itu, Rasul menegurnya. “Hai Saudah, apakah engkau hendak mendorong orang supaya melawan Allah dan Rasul-Nya?” Saudah terkejut atas teguran suami. Ia lalu segera menjawab, “Ya Rasulullah, demi Allah yang mengutus engkau membawa kebenaran, sungguh aku tak dapat menguasai diri ketika melihat Abu Yazid berdiri dalam keadaan tangan terbelenggu ke leher hingga terlontarlah kata-kata itu dari mulutku”.
       Waktu pun berlalu. Beberapa bulan Saudah berada di tengah-tengah keluarga Rasulullah. Keakraban dan keharmonisan pun terjalin. Pengabdiannya kepada Nabi begitu tulus, tanpa keluh kesah. Bagi Saudah, kenikmatan dan kebahagiaan yang paling berarti di dunia ini adalah membuat Nabi senang dan bahagia.
       Bahkan ketika Rasulullah meminang Aisyah binti Abubakar yang masih belia dan cantik, Saudah rela dan sama sekali tidak cemburu. Sejarah mencatat betapa bijak sikap Saudah terhadap Aisyah. Wajahnya senantiasa ceria, tutur katanya lembut, bahkan ia sering membantu menyelesaikan urusan-urusan madunya itu. Aisyah pun mencintai Saudah. Aisyah pernah berkata, “Tidak ada perempuan lain yang lebih aku cintai untuk berkumpul bersamanya selain Saudah binti Zam’ah, karena dia memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki perempuan lain.”
      

Umur Panjang

zheraf.wap.sh
Saudah juga merelakan malam-malam gilirannya untuk Aisyah. Menurut Aisyah, ketika usia Saudah semakin uzur dan Rasulullah ingin menceraikannya, Saudah berkata, “Aku mohon jangan ceraikan diriku. Aku ingin selalu berkumpul dengan istri-istrimu. Aku rela menyerahkan malam-malamku untuk Aisyah. Aku sudah tidak lagi menginginkan sesuatu apa pun yang diinginkan oleh perempuan.” Rasulullah pun mengurungkan niatnya.
       Saudah pernah terlibat dalam perang Khaibar mendampingi Rasulullah, suaminya. Dalam perang ini banyak kesulitan yang dialami Saudah, karena banyak kaum muslimin yang syahid sebelum Allah memberikan kemenangan. Tak lama kemudian Rasulullah menikahi Shafiyyah binti Huyay bin Akhtab. Mendengar hal ini pun Saudah rela dan menerima kehadiran Shafiyyah tanpa rasa cemburu. Ketika Rasul hijrah ke Medinah tanpa membawa keluarga, Saudah menjaga diri dan merawat kedua anak Nabi dengan baik. Ia kemudian menyusul. Bagi Saudah, hijrahnya ke Medinah merupakan hijrah yang kedua, setelah sebelumnya ia hijrah ke Habashah.
       Bersama istri-istri Rasulullah lainnya, Saudah menunaikan haji wada (perpisahan). Pulang dari haji, Rasulullah sakit keras. Rasul minta persetujuan istri-istrinya untuk tinggal di rumah Aisyah. Ketika Rasul sakit, Saudah tak pernah putus-putusnya menjenguk beliau dan membantu Aisyah sampai Rasulullah wafat. Menurut catatan, Nabi sakit selama 63 hari, terhitung sejak pulang dari haji wada hingga wafat.
       Sepeninggal Rasul, Saudah tidak pernah lagi menunaikan ibadah haji karena khawatir melanggar ketentuan Rasulullah. Tetapi, ia selalu beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Harta bagiannya dari Baitul Mal sebagian besar ia salurkan di jalan Allah. Belakangan, perempuan mulia yang penyabar ini tidak pernah meninggalkan kamarnya kecuali untuk kebutuhan yang mendesak. Pada saat-saat itulah, Abubakar selalu menjenguknya karena ia tahu, Saudah sangat mencintai putrinya.
       Menurut beberapa riwayat, Saudah dikaruniai umur panjang. Ia wafat di Medinah pada akhir masa kekhalifahan Umar bin Khatab, pada tahun 23 Hijriyah. Sebagian riwayat lainnya menyebutkan, ia meninggal pada tahun ke-19 Hijriyah. Tapi, yang jelas, ia wafat dengan banyak meninggalkan kenangan indah. Begitu agung kepribadiannya, sehingga sahabat Ibnu Abbas “bersujud” atas kematiannya. Mengapa ia bersujud? Ibnu Abbas menjawab, “Apabila kalian melihat tanda-tanda kebesaran Allah, bersujudlah. Dan tidak ada tanda kebesaran Allah melebihi kematian istri-istri Rasulullah SAW.”

Domery Alpacino, dari berbagai sumber

Tidak ada komentar:

Posting Komentar