Laman

Senin, 21 Februari 2005

Muslimah Salihah, Juara Qiraah

Muslimah keturunan Tionghoa ini bukan hanya menjadi guru mengaji. Ia bahkan berhasil menjadi juara pertama MTQ Nasional. 


USIA boleh tua. Tapi, dalam melantunkan ayat-ayat suci Al-Quran, ia tak kalah dengan qariah yang lebih muda. Suaranya masih nyaring, jernih. Tak heran bila ia sering diundang pada acara pernikahan, selapanan, sunatan, peringatan hari-hari besar Islam untuk melantunkan kalam Ilahi. Seperti pada bulan Maulud ini, hampir setiap hari ia memenuhi undangan. Ia adalah Hajjah. Maesaroh, 53 tahun, perempuan keturunan Tionghoa pertama yang berhasil menjadi juara ketiga Musabaqah Tilawatil Quran tingkat Nasional di Jakarta (1986) dan juara pertama MTQ tingkat Nasional yang diselenggarakan oleh RRI/TVRI (1982).
            “Kalau mendapat dua undangan untuk jam yang sama, salah satunya saya serahkan kepada anak perempuan saya. Kalau bukan anak pertama, ya anak kedua. Panitia yang mengundang juga sudah maklum. Sebab, anak-anak saya suaranya juga bagus. Mereka pernah juara pertama MTQ tingkat Kotamadya Jakarta Timur,” ujar Maesaroh. Kalau kebetulan undangannya tidak pada jam yang bersamaan, ia sering mengajak salah seorang anaknya untuk membacakan sari tilawah. “Dengan membacakan sari tilawah, hati jemaah semakin tergetar sehingga mereka tertarik membaca dan mengamalkan Al-Quran,” katanya.

            Kesibukan Maesaroh tidak hanya memenuhi undangan berqiraah. Bersama kedua putrinya, sehari-hari ia mengajar membaca Al-Quran di Cipinang Baru Bunder No. 26, RT 07/018, Kel. Cipinang Timur, Pulogadung, Jakarta Timur. Di ruangan berukuran 7 x 4 M2 itu ia mengajar anak-anak, remaja, ibu-ibu. Ada yang belajar dari awal sekali, tapi juga ada yang belajar melagukan ayat-ayat suci Al-Quran yang tujuh macam yang disebut qiraah sab’ah. Ia juga mengajar para ibu di beberapa majelis taklim, seperti di Cipinang Muara, Cipinang Kebembem, Pulogadung, semuanya di Jakarta Timur. Seluruh muridnya tak kurang dari 300 orang, termasuk murid-murid yang belajar di rumah yang jumlahnya sekitar 30-an orang.
           
Mengisi Baterei

Hingga kini sudah banyak murid-murid Maesaroh yang mengajar di berbagai pelosok di Jabotabek. Ada beberapa di antaranya yang bahkan membuka majelis taklim, ada pula yang pernah meraih juara MTQ tingkat DKI Jakarta. Meski sibuk mengajar dari pagi hingga larut malam, ia masih menyempatkan diri belajar agama kepada seorang dosen Universitas Islam Negeri, Jakarta. “Selama masih sehat, saya harus tetap ‘mengisi baterai’ agar tidak kekeringan dalam mengajar,” katanya.
Maka setiap Minggu pagi ia belajar menerjemahkan ayat-ayat Al-Quran dan setiap Selasa pagi belajar tafsir Al-Quran. “Dengan kemampuan menerjemahkan dan menafsirkan Al-Quran, saya lebih mantap mengajar qiraah kepada para murid. Selain diharapkan bisa melantunkan ayat suci Al-Quran dengan benar dan merdu, mereka juga mampu memahami maknanya,” kata Maesaroh.
            Maesaroh lahir di Jakarta, 25 Juni 1951, dari pasangan suami isteri Li Cun On dan Wi Nyo. Belakangan sang ibu memeluk Islam dan berganti nama Maemunah. Sejak lahir hingga berusia delapan tahun, Maesaroh hidup dalam suasana keagamaan Konghucu. Ketika itu ayahnya sering mengajaknya ke kelenteng. Tapi, sejak ibundanya menjadi muslimah dan bercerai dengan suaminya, Maesaroh yang ketika itu berusia sembilan tahun dititipkan kepada uaknya (dari garis ibu), sementara ibunya tinggal bersama suaminya yang muslim.
            Uak Maesaroh yang bernama Wi Kun An alias Abdul Salam sudah jauh lebih dulu memeluk Islam. Di sinilah Maesaroh memperoleh pendidikan secara Islami, bahkan sempat belajar di madrasah Al-Wathaniyah di Cakung, Jakarta Timur, hingga kelas lima. Setelah itu ia mengaji di pondok pesantren Raudhatul Banat di Kaliabang, Bekasi, di bawah bimbingan khusus KH Muchtar, selama setahun. Pada 1964, ketika usianya 13 tahun, ia menikah dengan Marzuki yang usianya sembilan tahun lebih tua.

Variasi Irama

Tak berapa lama kemudian, pasangan muda ini pindah ke Cipinang Baru Bunder, Jakarta Timur. Baru beberapa hari tinggal di sana, ia sudah banyak menerima undangan dari teman-temannya untuk berqiraah meski  ia mengaku tajwidnya belum sempurna betul. Melihat “bakat terpendam” pada Maesaroh, suaminya pun menganjurkan isterinya belajar mengaji kepada Ustaz Yusuf, guru ngaji tetangganya. Bahkan Marzuki, suaminya, juga belajar kepadanya. Selama tiga tahun, seminggu sekali, mereka belajar agama. Ternyata cara mereka mengaji juga belum sempurna betul. 
            Pada tahun ketiga, pasangan suami isteri ini mendalami ilmu qiraah kepada Ustaz Abdul Muhid asal Serang. “Dialah yang menggembeleng saya setiap minggu selama 10 tahun tanpa putus sejak 1972 hingga saya mendapat juara pertama MTQ Nasional TVRI/RRI pada tahun 1982,” tutur Maesaroh. Semangat belajar Maesaroh semakin menggebu ketika Ustaz Abdul Muhid mendorongnya untuk belajar kepada beberapa guru ngaji yang lain.  “Coba ibu belajar mengaji kepada ustaz yang lain untuk mencari variasi irama qiraah yang lain,” ujar Maesaroh menirukan saran Ustaz Abdul Muhid.
            Maka Maesaroh pun belajar qiraah kepada Ustaz Fitrah Abdul Malik dari Cilincing, Jakarta Timur; belajar irama qiraah kepada Ustaz Abas dari Pekapuran Tujuh, Jakarta Barat, hingga akhirnya berhasil meraih juara ketiga MTQ tingkat Nasional, 1986. Selama belajar mengaji, suaminya giat memberi semangat kepada isterinya. Sementara kejuaraannya di arena MTQ juga berkat dorongan para gurunya. Awalnya ia mengikuti MTQ tingkat RW dan kelurahan. Ia mendapat juara pertama. “Waktu itu saya baru bisa membaca Juz Amma secara baik. Meski saya sudah khatam Al-Quran, tajwidnya belum sempurna betul,” kenang Maesaroh. 
            Ketika ia mengikuti MTQ tingkat Kecamatan Pulo Gadung, ia hanya meraih juara ketiga. Tapi, setahun kemudian, ia berhasil menggondol juara pertama di MTQ yang sama. Dan dalam MTQ MTQ tingkat Walikota Jakarta Timur, ia menggaet juara pertama. Debut kejuaraan itu berlanjut dalam MTQ Nasional TVRI/RRI (juara pertama, 1982) dan dalam MTQ Nasional (juara ketiga, 1986).           

         Ketika mengikuti MTQ Nasional TVRI/RRI 1982, dua hari sebelum masuk final, ibundanya wafat. Tentu saja ia sangat sedih. Tapi, akhirnya ia berhasil masuk final. Ia mendapat giliran membaca surah Al-Baqarah ayat 153-157. Saat membaca ayat 156 (“yaitu orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un) – jiwanya sangat tersentuh. Ia teringat ibundanya yang baru saja wafat. Dan ketika itulah, alhamdulillah, ia berhasil meraih juara pertama.
           
Naik Haji

Beberapa hari kemudian ia mendapat undangan H.Yunus Yahya, tokoh Tionghoa muslim, untuk keliling Samarinda, Kalimantan Timur untuk berqiraah di beberapa tempat. Dalam perjalanan, Yunus Yahya bertanya apakah ia sudah menunaikan ibadah haji. “Belum, pak. Doakan saya agar bisa menunaikan ibadah haji,” jawab Maesaroh. “Kalau begitu, kamu besok bisa menunaikan ibadah haji,” ujar Yunus Yahya. Tentu saja Maesaroh kaget campur bahagia, seraya bersyukur kepada Allah SWT. Maka ia pun menunaikan ibadah haji pada 1982. 
            Barangkali berkat menunaikan haji, dan selalu bersyukur serta ikhlas, sejak itu ia sering diundang untuk melantunkan ayat-ayat suci Al-Quran hampir di seluruh pelosok negeri, bahkan sampai ke Singapura, Kualalumpur, Sarawak, Beijing, Bangkok, Singapura. Di Kualalumpur ia membaca Al-Quran dalam pembukaan MTQ Nasional se-Malaysia, sementara di Bangkok dalam rangka peringatan ulangtahun Raja Bhumibhol Aduljadej.
            Empat tahun kemudian, 1986, ia meraih juara ketiga kategori perempuan dewasa dalam MTQ tingkat Nasional di masjid Istiqlal, Jakarta. Meski mesyukuri keberhasilannya, ia mengaku saat itu sempat ingin mengundurkan diri karena sakit tenggorokan akibat latihan yang cukup keras. Akibatnya, ia tak mampu membawakan nada-nada tinggi. Maka ia pun bertekad mengikuti MTQ Nasional empat tahun kemudian. Cuma sayang, ketika itu usia peserta dibatasi maksimal berusia 30 tahun. Padahal saat itu Maesaroh sudah 36 tahun.
            Kini, bersama kedua putrinya – yang juga cukup piawai dalam berqiraah – Hajjah Maesaroh tak henti-hentinya bersyukur karena bisa membagi ilmu qiraahnya kepada orang lain. “Meski ilmu saya ibarat hanya seujung kuku, mudah-mudahan yang saya ajarkan selama ini bermanfaat. Itu yang paling saya syukuri. Sebab,  banyak orang berilmu tinggi tapi tidak mau mengajar orang lain,” katanya. Semoga Allah SWT meridhai amal ibadah perempuan salihah yang juga berbakti dalam keluarga sakinah ini. Amin.

Domery Alpacino
Catatan: Pernah dimuat di majalah Islam Alkisah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar