Laman

Senin, 22 Maret 2004

Antara Batu Yakub dan Masjid al-Aqsha

Setibanya di Baitulmukadas, Umar bin Khattab membangun sebuah masjid. Apakah kini masjid Umar itu yang dinamakan Masjid al-Aqsha?

gamais.itb.ac.id
Derap kaki kuda mengantarkan Umar bin Khattab pergi ke Baitulmukadas (Yerusalem). Pemimpin pasukan perang Amr bin As dan Syurahbil bin Hasanah menemani perjalanan amirulmukminin ini.

Saat memasuki kota Baitulmukadas, Uskup Agung Severinus (Sophronius) dan pembesar-pembesar kota menyambut kedatangan amirulmukminin ini. Umar tampak aneh di mata mereka sebab hanya mengenakan pakaian lusuh sehari-hari dan menolak berganti pakaian yang lebih indah yang telah disediakan, sementara mereka semua berpakaian serba gemerlap menyambut kedatangan Umar. Meski demikian, Umar sangat ramah terhadap mereka dan akrab. Kata-katanya dalam pembicaraan juga sangat memikat hati mereka. Segala yang diberikan kepada mereka berupa jaminan keamanan untuk diri mereka, keyakinan, dan rumah-rumah ibadah mereka, mencerminkan kejujuran di wajah Umar. Bila dibandingkan dengan kedatangan Kaisar dulu yang bertangan besi dan serba menindas jelas sangat jauh berbeda—suka senaknya membantai anak-anak dan perempuan renta.


Selesai menyambut Umar beserta rombongan, mereka  pulang untuk bertemu lagi ke esokan harinya. Sesudah tinggal seorang diri, Umar melakukan salat tanda bersyukur kepada Allah atas segala karunia yang telah diberikan kepadanya. Sebab, nasib baik telah diberikan kepada Umar. Sejak selesainya Isra Mi’raj, Rasulillah tak pernah lagi ke Palestina dan tidak pula datang ke Masjidlaksa.

Kemudian beliau digantikan oleh Abu Bakar, juga belum ditakdirkan Allah berkunjung ke sana.  Baitulmukadas rupanya telah membukakan pintu buat Umar. la mendapat sambutan sebagai orang yang beruntung, yang dicintai karena keadilannya, karena toleransinya, serta kecenderungannya hendak memelihara jangan sampai ada orang yang dipaksa karena keyakinan agamanya.

Keesokan harinya, pagi-pagi Severinus sudah datang berkunjung kepada Umar. Ia mengajak Umar berkeliling kota untuk memperlihatkan peninggalan-peninggalan kuno di kota itu serta ke tempat-tempat ziarah umatnya. Memang banyak sekali peninggalan-peninggalan kuno di Baitul­mukadas, sebuah kota para rasul dan para nabi: ke sana Nabi Musa pergi bersama orang-orang Israil ketika keluar dari Mesir; di sana pula cerita penyaliban Almasih, dan di tempat ini didirikan Kanisat al-Qiyamah (Gereja Anastasis). Orang-orang Kristiani mengatakan, bahwa jasad Isa dimakamkan di tempat ini dan dari sini ia naik ke langit. Di tempat ini terdapat pula peninggalan-peninggalan para nabi, seperti mihrab Nabi Daud dan batu Nabi Yakub, yaitu batu yang disebutkan dalam kitab-kitab sejarah Nabi bahwa Rasulillah dari sinilah naik ketika Mi’raj. Di samping itu masih ada lagi reruntuhan Kuil Sulaiman yang masih dikenang sebagai raja agung, dan nabi-nabi yang lain.

Dari peninggalan-peninggalan puing-puing itu banyak juga terdapat rumah-rumah ibadah orang pagan yang dibangun oleh penguasa-penguasa Palestina dari pihak Roma. Sebelum itu, penguasa-penguasa Palestina dari pihak Mesir-lah yang mendirikan bangunan-bangunan itu. Pendek kata, tak ada yang disembunyikan Severinus kepada Umar. Semua yang sudah terkenal mengenai cerita tempat-tempat ibadah itu diceritakannya kembali kepada Umar.

Sementara kedua orang ini sedang di Gereja Anastasis, waktu salat pun tiba. Uskup itu meminta kepada Umar melaksanakan salat di tempat itu, karena itu juga rumah Tuhan. Tetapi Umar menolak dengan alasan di waktu yang akan datang khawatir jejaknya diikuti oleh kaum Muslimin, karena mereka akan menganggap apa yang dikerjakan Umar itu sebagai teladan yang baik (sunnah mustahabbah). Kalau mereka sampai melakukan itu, orang-orang Kristiani akan dikeluarkan dari gereja mereka dan ini menyalahi perjanjian yang ada. Dengan alasan yang sama juga ia menolak salat di Gereja Constantin di dekat gereja Anastasis itu. Padahal, di ambang pintu gereja itu kaum Nasrani sudah menghamparkan permadani untuk salat, tetapi Umar melakukan salat di tempat lain, yaitu di dekat Batu Yakub di reruntuhan Kuil Sulaiman.

eriikt.blogspot.com
Namun, saat Umar mengunjungi Kanisat al-Mahd atau Gereja Buaian di Bethlehem dan tiba waktu salat, ia salat di tempat itu. Pasalnya, Bethlehem tidak masuk dalam perjanjian Baitulmukadas).

Umar melakukan semua itu karena ingin menghormati perjanjian Baitulmukadas. Dalam persetujuan Baitulmukadas itu ia mencantumkan suatu ketentuan dengan pihak Nasrani bahwa umat Islam tidak boleh atau dilarang memasuki gereja-gereja mereka, di waktu malam atau siang; jangan membicarakan agama mereka atau berusaha meyakinkan pihak lain untuk menganutnya; mereka tidak boleh memakai pakaian Muslim; mereka tidak boleh berbicara dalam bahasa Arab sebagai bahasa pemenang dan menggunakan nama-nama seperti nama-nama mereka; tidak boleh menunggang kuda dan mernbawa senjata, dan harus berhenti jika seorang Muslim lewat di depan mereka. Jika ada seorang Muslim datang mereka harus berdiri sampai ia duduk; tidak boleh menjual minuman keras, menaikkan salib di atas gereja-gereja mereka dan tak boleh membunyikan lonceng; tak boleh mengambil seorang pembantu yang masih bekerja pada seorang Muslim.

Tetapi toleransi itu tidak berarti membiarkan Baitulmukadas hanya untuk orang-orang Kristen, dan kaum Muslimin dalam arti agama tidak mendapat tempat di situ. Baitulmukadas adalah kiblat umat Islam dan ke Masjidilaksa itu pula Allah memperjalankan hamba-Nya.

Kesuciannya bagi Umar tidak kurang dari kesuciannya bagi umat Nasrani. Di samping itu, setiap Muslim memasuki suatu tempat, mereka harus membangun sebuah mesjid. Karena itu, setibanya di Baitulmukadas, tidak beberapa lama kemudian Umar membangun sebuah masjid yang sangat sederhana, seperti mesjid yang dibangun Nabi di Madinah.

Sebelum membangun masjid, Umar memanggil Ka’b al-Ahbar, seorang Yahudi yang telah memeluk Islam dan ahli dalam isra’iliyyat atau studi-studi tentang Yahudi. Umar kemudian membacakan Al-Quran surat 17 dan 18. Setelah itu, ia meminta pendapat kepada Ka'b al-Ahbar di tempat mana ia bisa salat.

“Kalau Anda mau menerima saran saya, sebaiknya Anda salat di belakang Batu Yakub itu, maka seluruh Quds di depan Anda,” saran Ka’b kepada Umar. Ka’b memilih sebuah tempat di utara sebongkah batu dengan anggapan—tentu saja ini tidak benar—bahwa itu adalah situs dari Nabi Yakub. Jika Umar dan rombongan salat di sana, kaum Muslimin dapat menghadapkan wajah mereka, baik ke Ka’bah maupun ke tempat yang paling kudus menurut Yahudi. Pasalnya, lima puluh tahun sebelum peristiwa Isra Miraj, orang-orang Yahudi sudah tertarik kepada sebongkah batu itu.

Namun, Umar menolak dengan tegas, “Ka'b, Anda sudah meniru ajaran Yahudi. Saya sudah melihat Anda dan cara Anda membuka alas kaki. Tidak! Akan kita buat kiblat itu di bagian depan, seperti dilakukan oleh Rasulillah, kiblat mesjid-mesjid kita di depan. Kita tidak diperintahkan menghadap ke Batu, tetapi perintah itu menghadap ke Ka'bah.”

Umar kemudian memutuskan untuk membangun mesjid  di ujung selatan Batu Yakub atau situs Royal Portico (Serambi kerajaan) yang dibangun Raja Herodes. Tepatnya menghadap ke Ka'bah, bukan ke Batu Yakub—yang di bawahnya terdapat gua kecil, yang diyakini bahwa Rasulillah sebelum Mi’raj melakukan salat di tempat ini bersama para nabi.

Masjid Umar ini terbuat dari bangunan kayu yang sederhana untuk melestarikan cita-cita Islam awal yang ketat. Meski sederhana, masjid itu sangat luas, mampu menampung tiga ribu jamaah. Orang pertama yang menggambarkannya adalah peziarah Kristen Arculf, yang mengunjungi Jerusalem sekitar tahun 670, dan tercengang dengan perbedaan yang tajam antara masjid itu dengan Haekal megah yang dahulu berdiri, "Orang-orang Saracen sekarang ini membangun rumah ibadah bersisi empat, yang telah mereka bangun dengan kasar, yang mendirikannya dengan menaikkan permukaan dan tiang besar atas sisa-sisa reruntuhan.”

Meski pembangunan masjid tidak menghadap ke Batu Yakub, bukan berarti Umar tidak peduli adanya batu itu atau tidak mengurangi pentingnya batu itu karena di situlah terjadinya Isra Mi’raj Rasulillah s.a.w.

Tidak heran bila saat awal Umar masuk Baitulmukadas dan melihat di atas Batu Yakub itu ada timbunan sampah yang dilemparkan oleh orang-orang Kristen karena dijadikan tempat pembuangan sampah kota, ia segera berkata kepada sahabat-sahabatnya, “Kerjakanlah seperti yang saya lakukan.”

Umar Kemudian merangkak dengan tangan dan lutut di bawah batu itu dan sampah-sampah itu diangkatnya sendiri lalu dilemparkannya jauh-jauh. Sahabat-sahabatnya juga ikut bekerja seperti dia. Demikian mereka bekerja terus di atas Batu itu sampai semua di atasnya dapat dibersihkan. Awalnya, kotoran najis itu  telah memenuhi seluruh tempat ibadah yang suci itu, bahkan sampai tumpukan sampah itu keluar ke jalanan manakala pintu terbuka. Sampah itu menumpuk sangat tinggi sehingga menutupi atap-atap gerbang. Satu-satunya jalan untuk membersihkan sampah di puncak batu itu adalah merangkak dengan tangan dan lutut, seperti dilakukan Umar saat membersihkan Batu Yakub itu.

Sampai pada masa Khalifah Abdul Malik bin Marwan I (685-705), Masjid Umar dan Batu Yakub itu tetap terpelihara. Pada tahun 688 Abdul Malik mengarahkan untuk membangun dan memasang kubah di atas Batu Yakub sebagai “tandingan” Kubah Anastasis di Bukit Barat dan Gereja Kenaikan di Bukit Zaitun yang bersinar terang bila kena cahaya malam. Abdul Malik mempekerjakan ahli-ahli seni dan arsitek dari Bizantium—karena ia pernah tinggal di Damaskus di tengah-tengah gereja-gereja Nasrani dan segala peninggalan kunonya yang indah. Dua dari tiga orang yang bertanggungjawab dalam pembangunan itu adalah orang Kristen.

Kubah Batu bukanlah sebuah masjid—meski belakangan para perempuan banyak melakukan salat di serambi ini. Tidak ada dinding qiblah untuk mengarahkan kaum muslimin ke kiblat (Ka’bah) dan tidak ada ruang yang luas untuk salat. Batu itu sendiri mengambil posisi tengah dan dua jalan melingkar telah diciptakan di sekelilingnya, yang ditandai empat puluh tiang. Di atas lingkaran-lingkaran atap kubah bagian dalam terdapat tulisan ayat-ayat Al-Quran yang menyangkal gagasan bahwa Tuhan memperanakkan putra. Ini dialamatkan kepada para pengikut Injil dan memperingatkan mereka tentang pernyataan-pernyataaan yang tidak benar dan berbahaya tentang Tuhan.

Khalifah al-Walid I, yang menggantikan Abdul Malik tahun 705,  terus memperindah kesucian dan kebesaran tanah Haram ini. Pada tahun 709, ia memerintahkan pembangunan sebuah masjid baru—sekitar 300 meter dari Kubah batu—untuk mengganti masjid Umar yang kasar, di tempat Masjid al-Aqsha sekarang ini.

Domery Alpacino dari berbagai sumber

1 komentar: