Prof Dr Hj Aisjah
Girindra:
Umat Islam tenang karena ada kepastian tentang halal-haram. Pimpinan
lembaga yang menjaga masalah itu seorang perempuan: Aisjah Girindra.
id.wikipedia.org |
Berdirinya lembaga tersebut tak
lepas dari kepedulian untuk melindungi umat Islam dari rasa was-was setiap kali
menyantap makanan dalam kemasan, obat-obatan, atau menggunakan kosmetika.
Bahkan sampai kini pun masih banyak umat Islam yang khawatir jangan-jangan
produk yang mereka konsumsi atau pakai tidak halal alias haram. Apalagi hingga
kini masih ada produsen yang memasukkan bahan-bahan yang bisa dikategorikan
haram dalam produknya. Alasannya macam-macam, misalnya agar makanan lebih
nikmat, tahan lama, atau mengandung khasiat tertentu.
Menurut Aisjah yang juga Presiden
World Halal Food Council ini, LPPOM berdiri mengantisipasi merebaknya isyu
adanya lemak babi (gelatin) yang terkandung dalam delapan produk makanan pada
1989 di Malang, Jawa Timur. Belakangan, beberapa media bahkan memberitakan
produk makanan yang mengandung lemak babi lebih dari delapan. Maka isyu itu pun
semakin bertambah panas. Akibatnya, banyak produk makanan yang sering
dikonsumsi masyarakat, seperti susu, keju, bumbu masak, mie instan, dan corned
beef, tidak laku. Banyak produsen mengeluh karena persediaan barang mereka
menumpuk karena tidak laku, dan perusahaan terancam bangkrut. Dan puluhan ribu
karyawan terancam menganggur.
Ketika itulah pemerintah lantas
minta bantuan MUI untuk meredam isyu yang merugikan tersebut. “Fatwa MUI
diperlukan, sebab kalau yang berbicara pemerintah pasti umat tidak percaya,”
kata Guru Besar Biokimia Institut Pertanian Bogor (IPB) itu. Setelah
bermusyawarah dan mempertimbangkan segala hal, MUI segera mendirikan LPPOM
beranggotakan sekitar 70 orang, terdiri dari wakil-wakil ormas Islam dan para
pakar dari perguruan tinggi. Aisjah yang duduk sebagai tenaga ahli sangat
bersyukur, sebab dengan keahliannya di bidang biokimia, ia berkesempatan
memberikan sumbangsih kepada masyarakat.
Ibadah Haji
Aisjah sangat rajin menghadiri rapat
dan diskusi di LPPOM. “Mungkin saya yang paling rajin mengikuti semua kegiatan
LPPOM, setelah mendapat kepercayaan sebagai tenaga ahli” kata Kepala Bagian
Biologi Molekuler IPB ini. Ketika itu Amin Aziz (ketua LPPOM-MUI yang pertama)
sedang sibuk mendirikan Bank Muamalat, sehingga mempercayakan jabatan ketua
LPPOM kepada Aisjah. Awalnya ia menolak karena tak berani memimpin lembaga
tersebut. Sebab, pertanggung-jawabannya tidak sebatas dengan sesama manusia,
tapi juga dengan Alah SWT. Tapi Amin Aziz terus mendesak. “Cobalah Anda pimpin
lembaga ini. Kerjakan semampu yang Anda ketahui,” tutur Aisjah menirukan Amin.
Aisjah tetap menolak, dan minta
waktu sampai ia menunaikan ibadah haji pada 1983. Maka, di depan Ka’bah ia pun
berdoa agar Allah SWT berkenan memberi petunjuk bila memang jabatan sebagai
ketua LPPOM layak ia pegang. Pulang dari tanah suci, ia merasa mantap menerima
jabatan tersebut.
Mula-mula lembaga itu mengalami
kesulitan mempersiapkan sertifikasi halal. “Awalnya kami mengalami kesulitan
menafsirkan makna halal dan haram atau membumikannya ke dalam bahasa
sehari-hari. Misalnya, yang dimaksud daging babi itu apa?” ujar Aisjah yang
kini menjadi penasihat Perhimpunan Biokimia dan Biologi Molekuler Indonesia
ini. Pengurus LPPOM kemudian menggelar berbagai seminar untuk mengumpulkan
beberapa pendapat mengenai masalah halal dan haram itu. Sebagai perbandingan,
ia juga berkunjung ke Malaysia dan Singapura untuk mempelajari masalah
sertifikasi halal yang sudah lama diterapkan.
www.whfc-halal.com |
Rumah Makan Padang
Produk yang belum berlabel halal, atau tidak melalui sertifikasi LPPOM-MUI,
ada dua jenis: yang halal dan yang haram. Produk-produk makanan dari luar
negeri dan perusahaan-perusahaan besar yang tidak berlabel halal, juga
mempunyai dua kemungkinan seperti itu. Kecuali rumah makan Padang. “Tapi, kalau
rumah makan Padang itu menyediakan minuman seperti bir, ada kemungkinan makanan
yang disajikan juga tidak halal,” katanya. Menurut Aisjah, lembaga yang
dipimpinnya bertujuan membina produsen, bukan langsung mengharamkan sebuah
produk. Setelah diperiksa dan diketahui bahwa produk tersebut mengandung
unsur-unsur yang dinilai haram, LPPOM wajib mengingatkan produsen. Kalau
produsen tidak mempertimbangkan rekomendasi tersebut, maka LPPOM tidak
merekomendasi produk itu untuk dikonsumsi.
Ketika pertama kali memimpin LPPOM,
ia pernah menerima surat kaleng yang menuduh menghalalkan produk beberapa
perusahaan besar seperti Supermie, sehingga beberapa mie produk industri rakyat
terdesak di pasar. “Berarti ibu mematikan perusahaan kecil. Kalau hal itu
diteruskan, tahu sendiri akibatnya,” kata Aisjah menceritakan isi surat kaleng
tersebut. Tentu saja ia khawatir. Selain mohon perlindungan kepada Allah SWT,
ia melaporkannya kepada KH Hasan Basri, Ketua MUI ketika itu. Itu tak berarti
Aisjah sepi dari godaan. Misalnya, suap. “Bila tidak dipelihara dengan baik,
lembaga ini bisa menjadi sarang penyamun,” katanya. Mengapa? Sebab, setiap saat
pengurus LPPOM atau para karyawannya sering diuji dengan tawaran berupa
“amplop”. “Para produsen mencoba memotong jalur label halal dengan cara
menyuap, dengan berbagai cara. Ada yang terang-terangan, ada pula yang
menggunakan cara halus dengan menghadiahkan bingkisan,” ujarnya.
Aisjah pernah menerima sebuah arloji mahal – meski sebelumnya produk
perusahaan yang memberikan hadiah itu sudah mendapat sertifikat halal. “Jam
tangan itu saya kembalikan. Saya takut menerima bingkisan-bingkisan seperti
itu,” tambahnya. Padahal, proses pembuatan sertifikat halal bukan hanya di
tangan Aisjah sendiri. Sebuah produk dinyatakan halal jika sudah melalui
beberapa auditor, kemudian didiskusikan oleh sekitar 60 tenaga ahli. Baru
kemudian masuk ke Komisi Fatwa. Komisi inilah yang menentukan halal tidaknya
sebuah produk. “Jadi, melalui proses sangat panjang. Tidak hanya ditentukan
oleh satu orang saja, termasuk saya,” kata Aisjah tegas.
Perempuan Pemimpin
Dalam hal kemampuan perempuan sebagai pemimpin, Aisjah memiliki pandangan
tersendiri. Bila dalam keadaan terpaksa, dan kebanyakan laki-laki tidak
memenuhi syarat, maka perempuan bisa menjadi pemimpin. Tapi, bila ada laki-laki
yang memenuhi syarat, maka gugurlah si perempuan sebagai pemimpin. Sebaliknya,
bila seorang perempuan telanjur dipilih sebagai pemimpin, maka ia wajib patuh
dan menerima tugas tersebut sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan ajaran
Islam.
Mengenai posisi perempuan dalam
lembaga perkawinan, menurut Aisjah, perempuan harus mengikuti suami sepanjang
tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Sebab, dalam kehidupan berumah tangga,
suami adalah pemimpin. Dan menurut Aisjah, model seperti itu tidak hanya ada
dalam Islam, tapi juga di agama lain. “Tapi sekarang banyak perempuan yang
memimpin dalam kehidupan rumah tangga. Sebab, ada juga sih laki-laki yang suka
dipimpin oleh perempuan dalam kehidupan berkeluarga – meskipun sebenarnya Islam
tidak memperbolehkannya,” katanya lagi. Persoalannya, perempuan tidak selalu
mendapatkan suami sebagai pemimpin yang baik. Karena itu, Aisjah berpendapat,
suami dan istri harus hidup harmonis, bisa saling menyesuaikan diri, sabar, dan
saling pengertian. Caranya, dengan sering bertanya kepada diri sendiri: “Siapa
sebenarnya saya, dan siapa yang saya hadapi?”
Pada dasarnya kewajiban seorang laki-laki ialah memberi nafkah, sementara
isteri berkewajiban mendidik anak-anaknya dengan baik. “Saya rasa semua
perempuan menginginkan suami yang bisa mencari nafkah dan punya posisi cukup
tinggi,” ujar Aisjah. Mengenai busana muslimah, menurut Aisjah, wajib
mengenakan jilbab. Selain itu, juga harus memperlihatkan perilaku sebagai
muslimah. “Kalau pakai jilbab tapi tingkah lakunya tidak baik, ya tidak punya
arti apa-apa,” kata perempuan yang mengenakan jilbab usai menunaikan ibadah
haji pada 1993.
Aisjah lahir 7 Oktober 1935 di surau
Syeikh Batam di Bukittinggi, Sumatera Barat. Kakek ibunya memang seorang syeikh
asal Banten yang berjuang melawan penjajah Belanda di Cilegon, Banten, pada
akhir abad ke-18. Ia ditangkap lalu dibuang ke Bukitinggi. Di sana ia
mensyiarkan agama Islam dan mendirikan surau di sebelah rumahnya. Anak kelima
dari enam bersaudara pasangan Umar Ali dan Siti Marhamah ini menjalani masa
kecilnya dengan bahagia. Pagi ia belajar di sekolah umum, sore belajar di
madrasah. Ia berhenti belajar di madrasah ketika sudah tamat dari SLTP. Sejak
kecil ia gemar membaca, karena orangtuanya selalu menyediakan buku. Ia juga
terbiasa bangun pukul empat pagi – hingga sekarang.
Sarjana Pertanian
Tamat SLTP ia merantau ke Jakarta, mengikuti kakak sulungnya. Di Jakarta ia
masuk ke SMA Budi Utomo Bagian B (ilmu pasti). Di sekolah ini ia selalu menduduki
ranking tiga besar dengan nilai terbaik. Tamat SMA ia ingin menjadi
dokter, tapi lucunya ia takut memeriksa mayat. Atas anjuran kakaknya ia masuk
ke Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia jurusan kedokteran hewan yang
ketika itu bertempat di Bogor -- cikal bakal Institut Pertanian Bogor.
Belakangan ia mendapat tawaran beasiswa dari pemerintah. Mula-mula ia menolak
karena mengira ia harus bekerja di lembaga pemerintah. Ketika itu pemerintah
memang membutuhkan banyak sarjana pertanian.
Belakangan Aisjah menerima bea siswa tersebut setelah Girindra, sang pacar,
menganjurkannya. Setelah lulus sebagai dokter hewan ia mendaftar sebagai dosen
di almamaternya, IPB, mengajar bidang studi biokimia. Beberapa bulan kemudian
ia menikah dengan Ir Girindra, kakak kelasnya waktu kuliah, yang dikenalnya
saat perpeloncoan mahasiswa baru. Mula-mula Aisjah menghadapi kendala serius,
karena Girindra beragama Hindu Bali. Tapi, tanpa sepengetahuan sang pacar,
diam-diam Girindra mempelajari agama Islam dengan tekun. Dan pada suatu hari ia
mengucapkan dua kalimat syahadat, dan tak lama kemudian ia pun melakukan sunat.
“Saya malah nggak tahu. Saya tahunya malah dari para dosen,” tutur Aisjah. Setelah
itu mereka menikah di Jakarta.
Pada 1964, Aisjah mendapat tawaran belajar di North Carolina State
University, USA, jurusan biokimia pangan, sementara suaminya mendapat tugas
belajar di Inggris. Mereka terpaksa berpisah dengan meninggalkan seorang anak
di tanah air. Dua tahun kemudian, Aisyah hampir selesai dengan studinya di Amerika
Serikat. Karena merasa kangen dengan anak dan suaminya yang sudah berada di
Indonesia, ia tidak menyelesaikan studinya. “Padahal sudah menyelesaikan
penelitian, dan tinggal menyusun tesis,” katanya. Ia pun pulang dan mengajar
kembali di IPB, sementara suaminya melanjutkan karirnya di Departemen
Pertanian, Jakarta. Beberapa tahun kemudian, Aisjah mendapat tawaran
melanjutkan program doktor (S3) biokimia pertanian di IPB, yang ia selesaikan
pada 1979.
Khusnul Khotinah
Pada 7 Maret 1984, Aisjah mendapat cobaan sangat berat dari Allah SWT. Sang
suami meninggal karena kanker. “Ia meninggal dalam keadaan khusnul khotimah.
Semangatnya untuk terus memeluk Islam terlihat dari buku-buku yang
dipelajarinya. Dalam buku-buku yang dipelajarinya saya temukan banyak coretan,
terutama menyangkut ayat-ayat Alquran. Tampaknya ia tak pernah berhenti
mempelajari Islam,” kata Aisjah bersyukur. Selama hidup berkeluarga dengan
Girindra, ia dikatuniai Allah SWT empat anak laki-laki yang kini semuanya sudah
bergelar sarjana. Anak sulung sarjana ITB; kedua adiknya lulus dari Unpad;
sementara si bungsu lulusan Fakultas Ekonomi UI. Dan dari mereka Aisjah
mendapat delapan cucu.
Ia mendidik anak-anaknya dengan lemah lembut; tak pernah dengan kekerasan.
“Anda bisa tanyakan kepada anak-anak saya, apakah ibunya pernah memukul atau
mencubitnya,” katanya. Ia berpedoman pada cara pendidikan yang mengutamakan
perhatian dan kasih sayang, sementara wibawa ayah di hadapan anak-anak harus
selalu dijaga. “Intinya ialah mendidik anak-anak agar mereka bisa menyesuaikan
diri. Mungkin ada anak-anak yang hanya bisa dididik setelah dipukul atau
dicubit. Bukankah Rasulullah bersabda: ajarilah anak-anakmu salat. Bila tidak
mau melakukannya, tegurlah dengan baik sampai berusia tujuh tahun. Tapi, ketika
ia berusia 10 tahun tapi masih juga bandel baru boleh dipukul. Tapi itu pun
dengan pukulan kasih sayang,” katanya lagi.
Kini perempuan berprestasi (di kampus, di masyarakat dan di rumah tangga)
ini berusia 68 tahun. Meski begitu ia masih punya obsesi. Kelak, setelah
pensiun (dan insya Allah masih sehat), ia ingin mendirikan sekolah taman
kanak-kanak Islam di halaman rumahnya yang luasnya sekitar 600 M2. Ia masih
belum memutuskan, apakah taman kanak-kanak itu untuk anak-anak kelas menengah
ke atas atau untuk anak-anak kaum dhuafa. Perempuan, yang sampai kini masih
aktif olahraga lari pagi ini, juga ingin menyediakan baby sister yang
Islami agar mereka dapat mendidik anak-anak balita dengan cara-cara yang Islami
pula. Cukup banyak rencana yang akan dikerjakannya. Misalnya, merealisasikan
tawaran kerjasama dengan beberapa orang untuk mendirikan pondok pesantren. Yang
jelas, ia menolak tawaran bekerja di
beberapa perusahaan besar – setelah kelak ia pensiun. Mengapa? Dengan mantap ia
menegaskan: “Saya lebih memilih kesempatan untuk mempersiapkan diri untuk
bergabung di surga.” Insya Allah. Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar