Laman

Selasa, 03 Mei 2005

Wasit Penjaga Halal-Haram

Prof Dr Hj Aisjah Girindra:

Umat Islam tenang karena ada kepastian tentang halal-haram. Pimpinan lembaga yang menjaga masalah itu seorang perempuan: Aisjah Girindra.

id.wikipedia.org
TUTUR katanya halus. Dan murah senyum. Setiap orang yang berbincang dengan perempuan ini merasakan kehangatan tersendiri, merasa seolah dekat dan sudah kenal lama. Perempuan itu adalah Prof Dr Hj Aisjah Girindra, Direktur Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM-MUI). Lembaga itu bertugas memberi sertifikat halal kepada setiap produk makanan, obat-obatan dan kosmetika sebelum dipasarkan -- setelah melalui berbagai kajian.

            Berdirinya lembaga tersebut tak lepas dari kepedulian untuk melindungi umat Islam dari rasa was-was setiap kali menyantap makanan dalam kemasan, obat-obatan, atau menggunakan kosmetika. Bahkan sampai kini pun masih banyak umat Islam yang khawatir jangan-jangan produk yang mereka konsumsi atau pakai tidak halal alias haram. Apalagi hingga kini masih ada produsen yang memasukkan bahan-bahan yang bisa dikategorikan haram dalam produknya. Alasannya macam-macam, misalnya agar makanan lebih nikmat, tahan lama, atau mengandung khasiat tertentu.

 
            Menurut Aisjah yang juga Presiden World Halal Food Council ini, LPPOM berdiri mengantisipasi merebaknya isyu adanya lemak babi (gelatin) yang terkandung dalam delapan produk makanan pada 1989 di Malang, Jawa Timur. Belakangan, beberapa media bahkan memberitakan produk makanan yang mengandung lemak babi lebih dari delapan. Maka isyu itu pun semakin bertambah panas. Akibatnya, banyak produk makanan yang sering dikonsumsi masyarakat, seperti susu, keju, bumbu masak, mie instan, dan corned beef, tidak laku. Banyak produsen mengeluh karena persediaan barang mereka menumpuk karena tidak laku, dan perusahaan terancam bangkrut. Dan puluhan ribu karyawan terancam menganggur.
            Ketika itulah pemerintah lantas minta bantuan MUI untuk meredam isyu yang merugikan tersebut. “Fatwa MUI diperlukan, sebab kalau yang berbicara pemerintah pasti umat tidak percaya,” kata Guru Besar Biokimia Institut Pertanian Bogor (IPB) itu. Setelah bermusyawarah dan mempertimbangkan segala hal, MUI segera mendirikan LPPOM beranggotakan sekitar 70 orang, terdiri dari wakil-wakil ormas Islam dan para pakar dari perguruan tinggi. Aisjah yang duduk sebagai tenaga ahli sangat bersyukur, sebab dengan keahliannya di bidang biokimia, ia berkesempatan memberikan sumbangsih kepada masyarakat.

 

Ibadah Haji

            Aisjah sangat rajin menghadiri rapat dan diskusi di LPPOM. “Mungkin saya yang paling rajin mengikuti semua kegiatan LPPOM, setelah mendapat kepercayaan sebagai tenaga ahli” kata Kepala Bagian Biologi Molekuler IPB ini. Ketika itu Amin Aziz (ketua LPPOM-MUI yang pertama) sedang sibuk mendirikan Bank Muamalat, sehingga mempercayakan jabatan ketua LPPOM kepada Aisjah. Awalnya ia menolak karena tak berani memimpin lembaga tersebut. Sebab, pertanggung-jawabannya tidak sebatas dengan sesama manusia, tapi juga dengan Alah SWT. Tapi Amin Aziz terus mendesak. “Cobalah Anda pimpin lembaga ini. Kerjakan semampu yang Anda ketahui,” tutur Aisjah menirukan Amin.
            Aisjah tetap menolak, dan minta waktu sampai ia menunaikan ibadah haji pada 1983. Maka, di depan Ka’bah ia pun berdoa agar Allah SWT berkenan memberi petunjuk bila memang jabatan sebagai ketua LPPOM layak ia pegang. Pulang dari tanah suci, ia merasa mantap menerima jabatan tersebut.
            Mula-mula lembaga itu mengalami kesulitan mempersiapkan sertifikasi halal. “Awalnya kami mengalami kesulitan menafsirkan makna halal dan haram atau membumikannya ke dalam bahasa sehari-hari. Misalnya, yang dimaksud daging babi itu apa?” ujar Aisjah yang kini menjadi penasihat Perhimpunan Biokimia dan Biologi Molekuler Indonesia ini. Pengurus LPPOM kemudian menggelar berbagai seminar untuk mengumpulkan beberapa pendapat mengenai masalah halal dan haram itu. Sebagai perbandingan, ia juga berkunjung ke Malaysia dan Singapura untuk mempelajari masalah sertifikasi halal yang sudah lama diterapkan.
www.whfc-halal.com
            Kebetulan ketika itu ada organisasi yang ingin menyelenggarakan pameran beberapa produk makanan, tapi tidak tahu ke mana meminta sertifikasi atau label halal. Akhirnya, organisasi itu datang ke LPPOM-MUI. “Nah, di situlah Pak Amin Aziz untuk pertama kalinya memberi tugas kepada saya,” kata Aisyah yang kini masih aktif di Dewan Ketahanan Pangan. Itu terjadi pada 1989. Sejak itu sampai tiga tahun kemudian, LPPOM hampir tak berbuat banyak. Dan alhamdulillah, sejak Aisjah aktif sebagai ketua, lembaga tersebut tak pernah sepi dari kegiatan. Menurut Aisjah, tidak semua pemeriksaan LPPOM dilakukan di laboratorium. Ada beberapa metode lain yang digunakan, misalnya standarisasi dengan titik-titik kritis. Dalam pembuatan es krim, misalnya, ada kemungkinan menggunakan gelatin alias lemak babi supaya rasanya lebih enak, lembut, dan awet. Tapi bila menggunakan gelatin dari animal origin, bisa jadi es krim itu tidak halal. Sebab, bahan itu mungkin berasal dari lemak babi atau binatang yang dipotong dengan cara tidak Islami, bahkan bangkai.

Rumah Makan Padang

Produk yang belum berlabel halal, atau tidak melalui sertifikasi LPPOM-MUI, ada dua jenis: yang halal dan yang haram. Produk-produk makanan dari luar negeri dan perusahaan-perusahaan besar yang tidak berlabel halal, juga mempunyai dua kemungkinan seperti itu. Kecuali rumah makan Padang. “Tapi, kalau rumah makan Padang itu menyediakan minuman seperti bir, ada kemungkinan makanan yang disajikan juga tidak halal,” katanya. Menurut Aisjah, lembaga yang dipimpinnya bertujuan membina produsen, bukan langsung mengharamkan sebuah produk. Setelah diperiksa dan diketahui bahwa produk tersebut mengandung unsur-unsur yang dinilai haram, LPPOM wajib mengingatkan produsen. Kalau produsen tidak mempertimbangkan rekomendasi tersebut, maka LPPOM tidak merekomendasi produk itu untuk dikonsumsi.
            Ketika pertama kali memimpin LPPOM, ia pernah menerima surat kaleng yang menuduh menghalalkan produk beberapa perusahaan besar seperti Supermie, sehingga beberapa mie produk industri rakyat terdesak di pasar. “Berarti ibu mematikan perusahaan kecil. Kalau hal itu diteruskan, tahu sendiri akibatnya,” kata Aisjah menceritakan isi surat kaleng tersebut. Tentu saja ia khawatir. Selain mohon perlindungan kepada Allah SWT, ia melaporkannya kepada KH Hasan Basri, Ketua MUI ketika itu. Itu tak berarti Aisjah sepi dari godaan. Misalnya, suap. “Bila tidak dipelihara dengan baik, lembaga ini bisa menjadi sarang penyamun,” katanya. Mengapa? Sebab, setiap saat pengurus LPPOM atau para karyawannya sering diuji dengan tawaran berupa “amplop”. “Para produsen mencoba memotong jalur label halal dengan cara menyuap, dengan berbagai cara. Ada yang terang-terangan, ada pula yang menggunakan cara halus dengan menghadiahkan bingkisan,” ujarnya.
Aisjah pernah menerima sebuah arloji mahal – meski sebelumnya produk perusahaan yang memberikan hadiah itu sudah mendapat sertifikat halal. “Jam tangan itu saya kembalikan. Saya takut menerima bingkisan-bingkisan seperti itu,” tambahnya. Padahal, proses pembuatan sertifikat halal bukan hanya di tangan Aisjah sendiri. Sebuah produk dinyatakan halal jika sudah melalui beberapa auditor, kemudian didiskusikan oleh sekitar 60 tenaga ahli. Baru kemudian masuk ke Komisi Fatwa. Komisi inilah yang menentukan halal tidaknya sebuah produk. “Jadi, melalui proses sangat panjang. Tidak hanya ditentukan oleh satu orang saja, termasuk saya,” kata Aisjah tegas.

Perempuan Pemimpin

Dalam hal kemampuan perempuan sebagai pemimpin, Aisjah memiliki pandangan tersendiri. Bila dalam keadaan terpaksa, dan kebanyakan laki-laki tidak memenuhi syarat, maka perempuan bisa menjadi pemimpin. Tapi, bila ada laki-laki yang memenuhi syarat, maka gugurlah si perempuan sebagai pemimpin. Sebaliknya, bila seorang perempuan telanjur dipilih sebagai pemimpin, maka ia wajib patuh dan menerima tugas tersebut sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
            Mengenai posisi perempuan dalam lembaga perkawinan, menurut Aisjah, perempuan harus mengikuti suami sepanjang tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Sebab, dalam kehidupan berumah tangga, suami adalah pemimpin. Dan menurut Aisjah, model seperti itu tidak hanya ada dalam Islam, tapi juga di agama lain. “Tapi sekarang banyak perempuan yang memimpin dalam kehidupan rumah tangga. Sebab, ada juga sih laki-laki yang suka dipimpin oleh perempuan dalam kehidupan berkeluarga – meskipun sebenarnya Islam tidak memperbolehkannya,” katanya lagi. Persoalannya, perempuan tidak selalu mendapatkan suami sebagai pemimpin yang baik. Karena itu, Aisjah berpendapat, suami dan istri harus hidup harmonis, bisa saling menyesuaikan diri, sabar, dan saling pengertian. Caranya, dengan sering bertanya kepada diri sendiri: “Siapa sebenarnya saya, dan siapa yang saya hadapi?”
Pada dasarnya kewajiban seorang laki-laki ialah memberi nafkah, sementara isteri berkewajiban mendidik anak-anaknya dengan baik. “Saya rasa semua perempuan menginginkan suami yang bisa mencari nafkah dan punya posisi cukup tinggi,” ujar Aisjah. Mengenai busana muslimah, menurut Aisjah, wajib mengenakan jilbab. Selain itu, juga harus memperlihatkan perilaku sebagai muslimah. “Kalau pakai jilbab tapi tingkah lakunya tidak baik, ya tidak punya arti apa-apa,” kata perempuan yang mengenakan jilbab usai menunaikan ibadah haji pada 1993.
            Aisjah lahir 7 Oktober 1935 di surau Syeikh Batam di Bukittinggi, Sumatera Barat. Kakek ibunya memang seorang syeikh asal Banten yang berjuang melawan penjajah Belanda di Cilegon, Banten, pada akhir abad ke-18. Ia ditangkap lalu dibuang ke Bukitinggi. Di sana ia mensyiarkan agama Islam dan mendirikan surau di sebelah rumahnya. Anak kelima dari enam bersaudara pasangan Umar Ali dan Siti Marhamah ini menjalani masa kecilnya dengan bahagia. Pagi ia belajar di sekolah umum, sore belajar di madrasah. Ia berhenti belajar di madrasah ketika sudah tamat dari SLTP. Sejak kecil ia gemar membaca, karena orangtuanya selalu menyediakan buku. Ia juga terbiasa bangun pukul empat pagi – hingga sekarang.
           

Sarjana Pertanian

Tamat SLTP ia merantau ke Jakarta, mengikuti kakak sulungnya. Di Jakarta ia masuk ke SMA Budi Utomo Bagian B (ilmu pasti). Di sekolah ini ia selalu menduduki ranking tiga besar dengan nilai terbaik. Tamat SMA ia ingin menjadi dokter, tapi lucunya ia takut memeriksa mayat. Atas anjuran kakaknya ia masuk ke Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia jurusan kedokteran hewan yang ketika itu bertempat di Bogor -- cikal bakal Institut Pertanian Bogor. Belakangan ia mendapat tawaran beasiswa dari pemerintah. Mula-mula ia menolak karena mengira ia harus bekerja di lembaga pemerintah. Ketika itu pemerintah memang membutuhkan banyak sarjana pertanian.
Belakangan Aisjah menerima bea siswa tersebut setelah Girindra, sang pacar, menganjurkannya. Setelah lulus sebagai dokter hewan ia mendaftar sebagai dosen di almamaternya, IPB, mengajar bidang studi biokimia. Beberapa bulan kemudian ia menikah dengan Ir Girindra, kakak kelasnya waktu kuliah, yang dikenalnya saat perpeloncoan mahasiswa baru. Mula-mula Aisjah menghadapi kendala serius, karena Girindra beragama Hindu Bali. Tapi, tanpa sepengetahuan sang pacar, diam-diam Girindra mempelajari agama Islam dengan tekun. Dan pada suatu hari ia mengucapkan dua kalimat syahadat, dan tak lama kemudian ia pun melakukan sunat. “Saya malah nggak tahu. Saya tahunya malah dari para dosen,” tutur Aisjah. Setelah itu mereka menikah di Jakarta.
Pada 1964, Aisjah mendapat tawaran belajar di North Carolina State University, USA, jurusan biokimia pangan, sementara suaminya mendapat tugas belajar di Inggris. Mereka terpaksa berpisah dengan meninggalkan seorang anak di tanah air. Dua tahun kemudian, Aisyah hampir selesai dengan studinya di Amerika Serikat. Karena merasa kangen dengan anak dan suaminya yang sudah berada di Indonesia, ia tidak menyelesaikan studinya. “Padahal sudah menyelesaikan penelitian, dan tinggal menyusun tesis,” katanya. Ia pun pulang dan mengajar kembali di IPB, sementara suaminya melanjutkan karirnya di Departemen Pertanian, Jakarta. Beberapa tahun kemudian, Aisjah mendapat tawaran melanjutkan program doktor (S3) biokimia pertanian di IPB, yang ia selesaikan pada 1979.

Khusnul Khotinah

Pada 7 Maret 1984, Aisjah mendapat cobaan sangat berat dari Allah SWT. Sang suami meninggal karena kanker. “Ia meninggal dalam keadaan khusnul khotimah. Semangatnya untuk terus memeluk Islam terlihat dari buku-buku yang dipelajarinya. Dalam buku-buku yang dipelajarinya saya temukan banyak coretan, terutama menyangkut ayat-ayat Alquran. Tampaknya ia tak pernah berhenti mempelajari Islam,” kata Aisjah bersyukur. Selama hidup berkeluarga dengan Girindra, ia dikatuniai Allah SWT empat anak laki-laki yang kini semuanya sudah bergelar sarjana. Anak sulung sarjana ITB; kedua adiknya lulus dari Unpad; sementara si bungsu lulusan Fakultas Ekonomi UI. Dan dari mereka Aisjah mendapat delapan cucu.
Ia mendidik anak-anaknya dengan lemah lembut; tak pernah dengan kekerasan. “Anda bisa tanyakan kepada anak-anak saya, apakah ibunya pernah memukul atau mencubitnya,” katanya. Ia berpedoman pada cara pendidikan yang mengutamakan perhatian dan kasih sayang, sementara wibawa ayah di hadapan anak-anak harus selalu dijaga. “Intinya ialah mendidik anak-anak agar mereka bisa menyesuaikan diri. Mungkin ada anak-anak yang hanya bisa dididik setelah dipukul atau dicubit. Bukankah Rasulullah bersabda: ajarilah anak-anakmu salat. Bila tidak mau melakukannya, tegurlah dengan baik sampai berusia tujuh tahun. Tapi, ketika ia berusia 10 tahun tapi masih juga bandel baru boleh dipukul. Tapi itu pun dengan pukulan kasih sayang,” katanya lagi.
Kini perempuan berprestasi (di kampus, di masyarakat dan di rumah tangga) ini berusia 68 tahun. Meski begitu ia masih punya obsesi. Kelak, setelah pensiun (dan insya Allah masih sehat), ia ingin mendirikan sekolah taman kanak-kanak Islam di halaman rumahnya yang luasnya sekitar 600 M2. Ia masih belum memutuskan, apakah taman kanak-kanak itu untuk anak-anak kelas menengah ke atas atau untuk anak-anak kaum dhuafa. Perempuan, yang sampai kini masih aktif olahraga lari pagi ini, juga ingin menyediakan baby sister yang Islami agar mereka dapat mendidik anak-anak balita dengan cara-cara yang Islami pula. Cukup banyak rencana yang akan dikerjakannya. Misalnya, merealisasikan tawaran kerjasama dengan beberapa orang untuk mendirikan pondok pesantren. Yang jelas, ia menolak tawaran  bekerja di beberapa perusahaan besar – setelah kelak ia pensiun. Mengapa? Dengan mantap ia menegaskan: “Saya lebih memilih kesempatan untuk mempersiapkan diri untuk bergabung di surga.” Insya Allah. Amin.

Domery Alpacino

Catatan: Pernah dimuat di majalah Islam Alkisah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar