Laman

Selasa, 05 April 2005

Mendapat Hidayah Setelah Diusir dari Rumah


Satu lagi seorang keturunan Tionghoa masuk Islam. Tak kenal lelah ia berusaha mencari kebenaran. Kini ia menjadi ketua Yayasan Pendidikan Al-Falah di Bogor.


IA dikenal sebagai dermawan. Setiap tahun ia membebaskan biaya pendidikan anak-anak dari keluarga miskin atau yatim piatu yang menjadi murid Sekolah Islam Al-Falah di Gunung Sindur, Bogor. Sudah 100 dari 800 santri sekolah gratis di sana. Itulah Ustaz Muhammad Thoyib, seorang keturunan Tionghoa yang sejak 30 tahun lalu telah menyempurnakan agamanya dengan memeluk Islam.

            Ia adalah ketua Yayasan Pendidikan Islam Al-Falah. “Tetapi, saya menyerahkan sepenuhnya kepada kepala sekolah dan para guru. Tugas saya lebih banyak ke luar mencari dana. Kalaupun mengurus yayasan, saya lebih banyak melakukan konsolidasi para guru,” katanya. Berkat kepemimpinannya yang gigih, dalam dalam waktu 23 tahun lembaga pendidikan yang berdiri di lingkungan masyarakat miskin itu berkembang pesat.


Ketika pertama kali berdiri, 1982, yayasan itu baru mampu membangun sebuah gedung madrasah sanawiyah. Belakangan, yayasan mampu membangun sebuah gedung madrasah aliyah. Pendapatannya juga setiap tahun meningkat. Para santrinya pun rata-rata di atas tujuh, mereka lulus di ujian akhir sekolah negeri. Itu sebabnya tahun lalu Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor memberi penghargaan khusus kepada ini. 

            Thoyib selalu sibuk. Apalagi ia juga menjadi Wakil Ketua Yayasan Pendidikan Islam Nurul Falah di Ciseeng, Bogor, tempat 600 santri belajar. Selain mengurus dua yayasan tersebut, Ustaz Muhammad Thoyib juga dikenal sebagai muballigh. Menurut beberapa jemaah, dakwah Ustaz Thoyib cukup menyejukkan, selain mampu memberi semangat hidup kepada umat. Banyak jemaah menyukainya, terutama karena dakwah Ustaz Thoyib sering diseling humor.

            Ia lahir pada 6 Agustus 1940 di Gang Tepekong, Pasar Baru, Jakarta Pusat, dari pasangan Law Ken Bu dan Muhaya. Anak kedua dari empat bersaudara yang bernama Law Kim Swan dibesarkan di lingkungan keluarga yang taat beragama Budha yang memuja banyak dewa, malaikat (Pay Sin), dan para leluhur orang-orang besar. Termasuk misalnya Panglima Cengho yang mendapat julukan Sam Pekkong alias Pekkong ketiga. “Dulu, anehnya, meskipun saya beragama Budha, kalau Imlek saya dan keluarga selalu merayakannya juga,” tutur Thoyib.

            Sejak berusia enam tahun, Kim kecil tinggal bersama encim (nenek)-nya di Nagrok, Pengasinan, Gunung Sindur, Bogor. Dua tahun belajar di Sekolah dasar, ibunnya meninggal. Tapi, beberapa tahun kemudian ayahnya menikah dengan seorang pesinden asal Bandung. Di kelas enam SD, meski ketika itu belum masuk Islam, ia disunat. “Alasan nenek hanya untuk kesehatan saja. Saya dikhitan bersama orang-orang kampung. Hiburannya menanggap wayang golek,” tutur Thoyib mengenang.

            Tamat Sekolah Dasar, ia kembali ke rumah ayahnya di Pasar Baru, masuk ke SMP Taman Siswa, Kemayoran, Jakarta. Di sini ia banyak bergaul dengan teman-temannya yang beragama Katolik. Ketika itu ia pernah pula pergi ke gereja, tapi juga sering ke kelenteng bersama ayahanya. “Jadi, agama saya waktu itu campuran. Maklum, ibaratnya, sekali-sekali ingin juga kan mencicipi sayur asem. Orang kan bosan juga setiap hari makan sayur lodeh terus,” kata Thoyib bercanda.

            Tapi, sesungguhnya ia hanya ikut-ikutan saja. Ia sama sekali tidak tahu arti doa yang diucapkan, juga tidak tahu maksud serta tujuannya. Tamat SMP Taman Siswa, ia melanjutkan sekolah di SMA Muhammadiyah, Kemayoran, Jakarta. Ia tertarik karena melihat para siswa SMA Muhammadiyah rapi berpakaian dan tidak pernah tawuran.

Syukur Nikmat
Hanya beberapa bulan ia sudah punya banyak teman. Sebagian di antara mereka malah sering main ke rumahnya. Setiap main ke rumah, teman-temannya tak lupa mengucapkan salam, assalamualikum. Beberapa di antaranya malah ada yang salat di rumahnya. Kebetulan, yang pertama menemui mereka selalu ayahnya. Suatu hari sang ayah bilang, “Kim, mengapa kamu suka bermain dengan anak-anak yang beragama Islam? Padahal teman-temanmu yang beragama Katolik kan banyak?” 

Lambat laun ayahnya curiga. Akhirnya  ketahuan, Kim sekolah di SMA Muhammadiyah. Sejak semula Kim remaja memang tidak memberi tahu kepada ayahnya bahwa ia masuk ke SMA Muhammadiyah. Tak ayal, ayahnya marah besar, dan Kim pun diusirlah dari rumah. Apa boleh buat, Kim harus pergi. Mula-mula ia menuju ke Tanjung Sekong, Merak, ke rumah teman-teman mainnya. Ia menceritakan kejadian yang baru dialaminya. Singkat cerita, teman-temannya segera mencarikan pekerjaan buat Kim.

Beberapa  minggu bekerja serabutan, Kim tidak betah. Ia pun kembali ke Jakarta, tinggal di rumah seorang teman di Jalan Lautse, Pasar Baru, tak jauh dari rumahnya. Untuk membiayai sekolahnya di SMA Muhammadiyah, ia dibantu teman-temannya. Di sekolah itulah ia sering mendengarkan santapan rohani usai salat Jumat. Dari sinilah ia mulai mengenal dan memahami dasar-dasar ajaran agama Islam. 

Suatu hari ia terkesima mendengar ceramah Kiai Haji Zakir tentang pentingnya mensyukuri nikmat Allah. Sekalipun hanya nikmat membuang hajat. Terutama ketika Kiai Zakir mengutip Al-Quran surat Ibrahim ayat 7: “Sungguh, jika engkau bersyukur, maka Aku akan menambah nikmat-Ku. Dan, jika engkau kufur maka azab-Ku sangat pedih.”

            Ayat itu menghunjam ke dalam ke jiwa Kim. Hanya dalam hitungan detik, jiwanya bergetar. Benih-benih iman mulai tumbuh. Belakangan, diam-diam, ia mulai membanding-bandingkan ajaran beberapa agama. Setiap kali membanding-bandingkan ajaran beberapa agama, ia menemukan Islamlah yang paling unggul, masuk akal, sempurna. Kim juga diam-diam mencoba-coba membaca Al-Quran, sehingga mampu menghafal beberapa surat dalam Juz Amma.

Ketika itu ia mulai ikut teman-temannya salat tarawih di Mesjid Istiqlal atau mengikuti perayaan Isra Miraj atau Maulud Nabi. Meski hatinya sudah menerima kebenaran Islam, Kim belum berani menyatakan masuk Islam secara terang-terangan. Ia masih terus bergelut mencari kebenaran.

            Tamat SMA Muhammadiyah, ia kuliah di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, bahkan kemudian sempat menjadi Ketua Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia Batalion Haryono. Hanya sampai sarjana muda, kemudiann ia melanjutkan ke Sekolah Tinggi Lembaga Administrasi Negara hingga mendapat gelar sarjana.

            Seiring dengan aktivitas kuliahnya, keinginan tahu Kim terhadap kebenaran Islam semakin besar. Ia pun terdorong mempelajari ayat-ayat Al-Quran dan hadis. Semakin menggali, semakin ia tak mampu menemukan kelemahannya, apalagi jika dibandingkan dengan agama lain. Maka, ia pun menemukan simpul-simpul kebenaran, sehingga imannya semakin mantap. Meski begitu, ia belum segera memeluk Islam secara resmi.

            Belakangan ia memutuskan menikah dengan seorang muslimah asal Tanjung Sekong, Merak, lulusan Pendidikan Guru Agama Islam. Mereka pun menikah secara Islam. Sebelum ijab kabul dilaksanakan, pengantin pria harus mengucapkan dua kalimat syahadat. Kemudian pasangan ini tinggal di Gunung Sindur, Bogor.
           
Herder Galak
Istri Kim inilah yang kemudian mendorong suaminya bersilaturahmi dengan ayahnya kandungnya. “Tidak baik memutuskan silaturahmi. Lebih baik kamu jalin silaturahmi kembali dengan papamu, meski beliau tidak seiman dan telah mengusirmu dari rumah,” kata sang istri dengan bijak. Maka Kim pun menemui ayahandanya. Tapi, begitu ia tiba di depan pintu rumah, orangtuanya melepaskan 11 anjing herder yang galak-galak.

Walhasil, Kim gagal menemui orangtuanya, sementara orangtua Kim membuang begitu saja aneka makanan oleh-oleh bawaan Kim. Tapi, Kim tak putus asa. “Meski saat ini orangtuamu tidak mau menerima kita, sabarlah dan terus lakukan silaturahmi. Insya Allah, kelak orangtuamu akan menerimamu,” kata isterinya lagi.

            Belakangan, istri Kim pula yang mendorongnya agar segera memeluk Islam. Baru setelah lima tahun berumah tangga, Kim mendapat hidayah. Tepatnya pada 1 Mei 1973, ia memeluk Islam secara resmi. Ia pun lalu ingat Al-Quran surat Al-Maidah ayat 3: “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam sebagai agamamu”.

            Untuk mengucapkan kalimat syahadat, ia diantar oleh Pandhi Wijaya, pengurus Pembina Iman Tauhid (PITI) ke sebuah masjid kecil di Pasar Baru, Jakarta. Dengan disaksikan para jemaah, ia mengucapkan dua kalimat syahadat. Ia lalu mendapat nama baru: Muhammad Thoyib. Ia pun melakukan sujud syukur. Tak terasa airmata membasahi pipinya.
Muhammad Thoyib pun bergabung dengan PITI, bahkan menjabat sebagai sekretaris. Kegiatannya di PITI ia lakukan usai kerja. Saat itu, sambil kuliah ia bekerja sebagai staf adiministrasi kedokteran nuklir di RS Pertamina, Jakarta. Ia berhasil masuk ke RS Pertamina pun, katanya, berkat kemudahan dari Allah SWT: pada KTP-nya tercantum ia beragama Islam. Mungkin karena itulah ia gampang diterima. 

            Di PITI inilah ia rajin salat dan semakin giat mendalami ajaran Islam. Karena ingin membaca Al-Quran secara baik dan benar, ia belajar kepada KH Ali Assegaf dari Jamiatul Khair. “Karena ustaz senang sama saya, semangat belajar saya menggebu-gebu. Hanya dalam beberapa minggu saya sudah pandai membaca Al-Quran,” tuturnya. Beberapa bulan kemudian, ia masuk ke Akademi Dakwah Muhammadiyah, di Tanah Abang, tapi hanya selama dua tahun.

            Di PITI, ia juga sempat belajar berdakwah. Dan ternyata gaya dakwahnya banyak disenangi oleh para jemaah. Gaya dakwahnya sejuk, penuh humor. Kini, jadual dakwahnya selalu padat. Meski kini sudah dikenal sebagai seorang ustaz, bapak 12 anak itu, sudah berhasil bersilaturahmi dengan ayahandanya. Dan alhamdulillah, lima tahun lalu ayahandanya sudah memeluk Islam dalam usia 96 tahun. “Ayah berpikir, sudah sering dimaki-maki masih saja datang menjenguk. Karena itu ayah bilang: Inilah anak yang baik. Karena itu saya masuk Islam,” tutur Ustaz Thoyib menirukan ucapan ayahandanya.

Domery Alpacino
Catatan: Pernah dimuat di majalah Islam Alkisah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar