Satu lagi seorang keturunan
Tionghoa masuk Islam. Tak kenal lelah ia berusaha mencari kebenaran. Kini ia
menjadi ketua Yayasan Pendidikan Al-Falah di Bogor.
IA dikenal sebagai dermawan.
Setiap tahun ia membebaskan biaya pendidikan anak-anak dari keluarga miskin
atau yatim piatu yang menjadi murid Sekolah Islam Al-Falah di Gunung Sindur,
Bogor. Sudah 100 dari 800 santri sekolah gratis di sana. Itulah Ustaz Muhammad
Thoyib, seorang keturunan Tionghoa yang sejak 30 tahun lalu telah
menyempurnakan agamanya dengan memeluk Islam.
Ia adalah ketua Yayasan Pendidikan Islam Al-Falah.
“Tetapi, saya menyerahkan sepenuhnya kepada kepala sekolah dan para guru. Tugas
saya lebih banyak ke luar mencari dana. Kalaupun mengurus yayasan, saya lebih
banyak melakukan konsolidasi para guru,” katanya. Berkat kepemimpinannya yang
gigih, dalam dalam waktu 23 tahun lembaga pendidikan yang berdiri di lingkungan
masyarakat miskin itu berkembang pesat.
Ketika pertama kali berdiri, 1982, yayasan itu baru mampu membangun
sebuah gedung madrasah sanawiyah. Belakangan, yayasan mampu membangun sebuah
gedung madrasah aliyah. Pendapatannya juga setiap tahun meningkat. Para
santrinya pun rata-rata di atas tujuh, mereka lulus di ujian akhir sekolah
negeri. Itu sebabnya tahun lalu Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor memberi
penghargaan khusus kepada ini.
Thoyib selalu sibuk. Apalagi ia juga menjadi Wakil Ketua
Yayasan Pendidikan Islam Nurul Falah di Ciseeng, Bogor, tempat 600 santri
belajar. Selain mengurus dua yayasan tersebut, Ustaz Muhammad Thoyib juga
dikenal sebagai muballigh. Menurut beberapa jemaah, dakwah Ustaz Thoyib cukup
menyejukkan, selain mampu memberi semangat hidup kepada umat. Banyak jemaah
menyukainya, terutama karena dakwah Ustaz Thoyib sering diseling humor.
Ia lahir pada 6 Agustus 1940 di Gang Tepekong, Pasar
Baru, Jakarta Pusat, dari pasangan Law Ken Bu dan Muhaya. Anak kedua dari empat
bersaudara yang bernama Law Kim Swan dibesarkan di lingkungan keluarga yang
taat beragama Budha yang memuja banyak dewa, malaikat (Pay Sin), dan para
leluhur orang-orang besar. Termasuk misalnya Panglima Cengho yang mendapat
julukan Sam Pekkong alias Pekkong ketiga. “Dulu, anehnya, meskipun saya
beragama Budha, kalau Imlek saya dan keluarga selalu merayakannya juga,” tutur
Thoyib.
Sejak berusia enam tahun, Kim kecil tinggal bersama encim
(nenek)-nya di Nagrok, Pengasinan, Gunung Sindur, Bogor. Dua tahun belajar di
Sekolah dasar, ibunnya meninggal. Tapi, beberapa tahun kemudian ayahnya menikah
dengan seorang pesinden asal Bandung. Di kelas enam SD, meski ketika itu belum masuk
Islam, ia disunat. “Alasan nenek hanya untuk kesehatan saja. Saya dikhitan
bersama orang-orang kampung. Hiburannya menanggap wayang golek,” tutur Thoyib
mengenang.
Tamat Sekolah Dasar, ia kembali ke rumah ayahnya di Pasar
Baru, masuk ke SMP Taman Siswa, Kemayoran, Jakarta. Di sini ia banyak bergaul
dengan teman-temannya yang beragama Katolik. Ketika itu ia pernah pula pergi ke
gereja, tapi juga sering ke kelenteng bersama ayahanya. “Jadi, agama saya waktu
itu campuran. Maklum, ibaratnya, sekali-sekali ingin juga kan mencicipi sayur
asem. Orang kan bosan juga setiap hari makan sayur lodeh terus,” kata Thoyib
bercanda.
Tapi, sesungguhnya ia hanya ikut-ikutan saja. Ia sama
sekali tidak tahu arti doa yang diucapkan, juga tidak tahu maksud serta
tujuannya. Tamat SMP Taman Siswa, ia melanjutkan sekolah di SMA Muhammadiyah,
Kemayoran, Jakarta. Ia tertarik karena melihat para siswa SMA Muhammadiyah rapi
berpakaian dan tidak pernah tawuran.
Syukur
Nikmat
Hanya beberapa bulan ia sudah punya banyak teman. Sebagian di antara
mereka malah sering main ke rumahnya. Setiap main ke rumah, teman-temannya tak
lupa mengucapkan salam, assalamualikum. Beberapa di antaranya malah ada
yang salat di rumahnya. Kebetulan, yang pertama menemui mereka selalu ayahnya.
Suatu hari sang ayah bilang, “Kim, mengapa kamu suka bermain dengan anak-anak
yang beragama Islam? Padahal teman-temanmu yang beragama Katolik kan banyak?”
Lambat laun ayahnya curiga. Akhirnya
ketahuan, Kim sekolah di SMA Muhammadiyah. Sejak semula Kim remaja memang
tidak memberi tahu kepada ayahnya bahwa ia masuk ke SMA Muhammadiyah. Tak ayal,
ayahnya marah besar, dan Kim pun diusirlah dari rumah. Apa boleh buat, Kim
harus pergi. Mula-mula ia menuju ke Tanjung Sekong, Merak, ke rumah teman-teman
mainnya. Ia menceritakan kejadian yang baru dialaminya. Singkat cerita,
teman-temannya segera mencarikan pekerjaan buat Kim.
Beberapa minggu bekerja serabutan,
Kim tidak betah. Ia pun kembali ke Jakarta, tinggal di rumah seorang teman di
Jalan Lautse, Pasar Baru, tak jauh dari rumahnya. Untuk membiayai sekolahnya di
SMA Muhammadiyah, ia dibantu teman-temannya. Di sekolah itulah ia sering
mendengarkan santapan rohani usai salat Jumat. Dari sinilah ia mulai mengenal
dan memahami dasar-dasar ajaran agama Islam.
Suatu hari ia terkesima mendengar ceramah Kiai Haji Zakir tentang
pentingnya mensyukuri nikmat Allah. Sekalipun hanya nikmat membuang hajat.
Terutama ketika Kiai Zakir mengutip Al-Quran surat Ibrahim ayat 7: “Sungguh,
jika engkau bersyukur, maka Aku akan menambah nikmat-Ku. Dan, jika engkau kufur
maka azab-Ku sangat pedih.”
Ayat itu menghunjam ke dalam ke jiwa Kim. Hanya dalam
hitungan detik, jiwanya bergetar. Benih-benih iman mulai tumbuh. Belakangan,
diam-diam, ia mulai membanding-bandingkan ajaran beberapa agama. Setiap kali
membanding-bandingkan ajaran beberapa agama, ia menemukan Islamlah yang paling
unggul, masuk akal, sempurna. Kim juga diam-diam mencoba-coba membaca Al-Quran,
sehingga mampu menghafal beberapa surat dalam Juz Amma.
Ketika itu ia mulai ikut teman-temannya salat tarawih di Mesjid Istiqlal
atau mengikuti perayaan Isra Miraj atau Maulud Nabi. Meski hatinya sudah
menerima kebenaran Islam, Kim belum berani menyatakan masuk Islam secara
terang-terangan. Ia masih terus bergelut mencari kebenaran.
Tamat SMA Muhammadiyah, ia kuliah di Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, Jakarta, bahkan kemudian sempat menjadi Ketua Kesatuan
Aksi Mahasiswa Indonesia Batalion Haryono. Hanya sampai sarjana muda, kemudiann
ia melanjutkan ke Sekolah Tinggi Lembaga Administrasi Negara hingga mendapat
gelar sarjana.
Seiring dengan aktivitas kuliahnya, keinginan tahu Kim
terhadap kebenaran Islam semakin besar. Ia pun terdorong mempelajari ayat-ayat
Al-Quran dan hadis. Semakin menggali, semakin ia tak mampu menemukan
kelemahannya, apalagi jika dibandingkan dengan agama lain. Maka, ia pun
menemukan simpul-simpul kebenaran, sehingga imannya semakin mantap. Meski
begitu, ia belum segera memeluk Islam secara resmi.
Belakangan ia memutuskan menikah dengan seorang muslimah
asal Tanjung Sekong, Merak, lulusan Pendidikan Guru Agama Islam. Mereka pun
menikah secara Islam. Sebelum ijab kabul dilaksanakan, pengantin pria harus
mengucapkan dua kalimat syahadat. Kemudian pasangan ini tinggal di Gunung
Sindur, Bogor.
Herder Galak
Istri Kim inilah yang kemudian mendorong suaminya bersilaturahmi dengan
ayahnya kandungnya. “Tidak baik memutuskan silaturahmi. Lebih baik kamu jalin
silaturahmi kembali dengan papamu, meski beliau tidak seiman dan telah
mengusirmu dari rumah,” kata sang istri dengan bijak. Maka Kim pun menemui
ayahandanya. Tapi, begitu ia tiba di depan pintu rumah, orangtuanya melepaskan
11 anjing herder yang galak-galak.
Walhasil, Kim gagal menemui orangtuanya, sementara orangtua Kim membuang
begitu saja aneka makanan oleh-oleh bawaan Kim. Tapi, Kim tak putus asa. “Meski
saat ini orangtuamu tidak mau menerima kita, sabarlah dan terus lakukan
silaturahmi. Insya Allah, kelak orangtuamu akan menerimamu,” kata isterinya
lagi.
Belakangan, istri Kim pula yang mendorongnya agar segera
memeluk Islam. Baru setelah lima tahun berumah tangga, Kim mendapat hidayah.
Tepatnya pada 1 Mei 1973, ia memeluk Islam secara resmi. Ia pun lalu ingat
Al-Quran surat Al-Maidah ayat 3: “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu
agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam
sebagai agamamu”.
Untuk mengucapkan kalimat syahadat, ia diantar oleh
Pandhi Wijaya, pengurus Pembina Iman Tauhid (PITI) ke sebuah masjid kecil di
Pasar Baru, Jakarta. Dengan disaksikan para jemaah, ia mengucapkan dua kalimat
syahadat. Ia lalu mendapat nama baru: Muhammad Thoyib. Ia pun melakukan sujud
syukur. Tak terasa airmata membasahi pipinya.
Muhammad Thoyib pun bergabung dengan PITI, bahkan menjabat sebagai
sekretaris. Kegiatannya di PITI ia lakukan usai kerja. Saat itu, sambil kuliah
ia bekerja sebagai staf adiministrasi kedokteran nuklir di RS Pertamina,
Jakarta. Ia berhasil masuk ke RS Pertamina pun, katanya, berkat kemudahan dari
Allah SWT: pada KTP-nya tercantum ia beragama Islam. Mungkin karena itulah ia
gampang diterima.
Di PITI inilah ia rajin salat dan semakin giat mendalami
ajaran Islam. Karena ingin membaca Al-Quran secara baik dan benar, ia belajar
kepada KH Ali Assegaf dari Jamiatul Khair. “Karena ustaz senang sama saya,
semangat belajar saya menggebu-gebu. Hanya dalam beberapa minggu saya sudah
pandai membaca Al-Quran,” tuturnya. Beberapa bulan kemudian, ia masuk ke
Akademi Dakwah Muhammadiyah, di Tanah Abang, tapi hanya selama dua tahun.
Di PITI, ia juga sempat belajar berdakwah. Dan ternyata gaya
dakwahnya banyak disenangi oleh para jemaah. Gaya dakwahnya sejuk, penuh humor.
Kini, jadual dakwahnya selalu padat. Meski kini sudah dikenal sebagai seorang
ustaz, bapak 12 anak itu, sudah berhasil bersilaturahmi dengan ayahandanya. Dan
alhamdulillah, lima tahun lalu ayahandanya sudah memeluk Islam dalam usia 96
tahun. “Ayah berpikir, sudah sering dimaki-maki masih saja datang menjenguk.
Karena itu ayah bilang: Inilah anak yang baik. Karena itu saya masuk Islam,”
tutur Ustaz Thoyib menirukan ucapan ayahandanya.
Domery Alpacino
Catatan: Pernah dimuat di majalah Islam Alkisah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar