Laman

Sabtu, 09 April 2005

Qariah Cantik tingkat Dunia

Maria Ulfa

Sejak kecil melantunkan ayat-ayat suci di menara mesjid menjelang subuh, setelah dewasa menggondol juara pertama MTQ Internasional.

amien.yu.tl
AWAL 2004 nanti, ia akan keliling ke 10 negara bagian di Amerika Serikat. Di sana ia akan melantunkan ayat-ayat suci Alquran untuk menggalang dana mendirikan Sekolah Alquran Internasional di Boston. Ia adalah Dra Hj Maria Ulfa, MA, qariah peraih juara pertama Musabaqah Tilawatil Quran Internasional di Malaysia, 1980.

Sebagai penasihat panitia pendiri Sekolah Alquran Internasional, Ulfa menyarankan agar panitia (yang kebanyakan lulusan Universitas Harvard) mengajarkan Alquran kepada murid-murid sejak mereka masih anak-anak. Pada 1999, Ulfa pernah mengunjungi AS sebagai dosen tamu seni baca Alquran di beberapa universitas terkemuka: Harvard, Brown, Princeton University, Boston dan Haverford College. Jauh sebelumnya, qariah juara pertama Seleksi Tilawatil Quran Nasional (1978) ini mengunjungi beberapa negara Eropa (Prancis, Belanda, Belgia, Swiss) dan Australia.

 
            Saat ini ia sangat sibuk: sebagai pelatih qari dan qariah nasional; anggota Dewan Hakim MTQ propinsi, nasional dan TVRI/RRI; pengurus Lembaga Pendidikan Alquran DKI dan Pusat; anggota Komisi Fatwa MUI; dosen Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri Jakarta; dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Silihwangi; Pembantu Rektor III Bidang Administrasi di Institut Ilmu Alquran; ketua Yayasan Pesantren Al-Mudhaffar (Lamongan) dan Baytul Qurra, Jakarta.
            Meski baru berdiri dua tahun lalu, Pesantren Baytul Qurra yang khusus mengajarkan seni baca Alquran itu memiliki 33 santri dari seluruh Indonesia. Seorang di antaranya gadis muslimah asal Jepang. Pada waktu-waktu tertentu, terutama di saat liburan, beberapa dosen universitas Malaysia datang mendalami qiraah selama tiga bulan di pesantren ini. Bahkan ada seorang etnomusikolog asal AS, Prof Dr Anne Rasmosen, pernah riset di sana selama beberapa bulan, mendalami kaitan lagu dalam Alquran dengan musik Arab. Anne Gade, mahasiswa S2 dari Princeton University, pernah meneliti metode pengajaran seni baca Alquran di pesantren ini, dengan tesis Metode Pengajaran Alquran di Indonesia.

Nagham Alquran

            Para santri yang belajar di pesantren ini rata-rata dari kalangan tidak berpunya. Tapi, mereka punya kemauan keras untuk belajar seni baca Alquran. Mereka juga belajar terjemah Alquran, sehingga ketika membaca, mereka sekaligus bisa memahami maknanya dengan baik. Hasilnya, mereka mampu mengekspresikan lagu Alquran secara tepat. “Sebab, ada bermacam-macam jenis ayat Alquran: ayat perintah, larangan, kisah surga dan neraka, keesaan Allah, kisah nabi dan rasul, dan sebagainya. Tentu lagunya juga  berbeda,” kata qariah yang pernah mengikuti kursus nagham (lagu-lagu Alquran) di Kairo selama sembilan bulan itu.
            Mula-mula Ulfa menampung para santri di rumah, di lantai dua, dengan menanggung segala keperluan mereka. Tapi, karena jumlah mereka bertambah banyak, dua tahun lalu ia mendirikan pesantren di depan rumah, terdiri dari tiga bangunan, masing-masing 200 m2, 350 m2, dan 250 m2. Para santri dari keluarga tak mampu itu tidak dipungut bayaran. Tapi bagi santri yang mampu dipungut biaya Rp 200.000 perbulan, sudah termasuk makan tiga kali. Sementara untuk orang asing Rp 250.000 juga termasuk makan tiga kali dan cuci pakaian. Para santri dari mancanegara itu biasanya malah membayar lebih.
            Ulfa, sebagai ketua yayasan, mengajar tajwid dan nagham Alquran, sedang pelajaran tafsir dan bahasa Arab serta ilmu-ilmu lain diserahkan kepada para alumni UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Selain itu Ulfa juga mengajar nagham Alquran kepada masyarakat umum. Ulfa sudah mencetak beberapa qariah yang berhasil menjadi juara di MTQ nasional dan internasional. Misalnya, Marlina (juara pertama MTQ Nasional di Yogyakarta, juara dua MTQ Internasional, Malaysia); Nuraini (juara pertama MTQ Nasional, Riau; juara dua MTQ Internasional, Malaysia);  Masriah (juara pertama MTQ Nasional, Palu dan juara dua MTQ Internasional, Malaysia); Iis Sholihat (juara pertama STQ Nasional dan juara dua MTQ Internasional, Malaysia) serta puluhan qariah lain yang menjuarai MTQ propinsi maupun MTQ yang digelar TVRI/RRI.
Maria Ulfa lahir pada 21 Desember 1955 di Lamongan, Jawa Timur. Ia anak kesembilan dari 12 bersaudara. Orangtuanya yang pengusaha tenun, yaitu pasangan Mudhaffar dan Ruminah, mendidik anak-anaknya dengan ajaran agama yang kuat. Sebagai muslim dan pengusaha, orangtua Maria Ulfa banyak mewakafkan tanah untuk mesjid dan madrasah. Ia sering mengundang ulama-ulama besar untuk membina masyarakat sekitarnya. Termasuk Kyai Ichsan dari Cepu, Jawa Tengah, yang kelak menjadi mertuanya.

Di Menara Mesjid

Karena orangtuanya sibuk, Ulfa kecil lebih dekat dengan kakak sulungnya. Ia disekolahkan di SD Negeri I, Lamongan. Setelah lulus, ia belajar di Madrasah Mualimat NU, lulus 1971. Padahal, ia sendiri ingin belajar di sekolah umum. Ada pengalaman mengesankan di masa kecil. Ayahnya suka membujuk Ulfa salat subuh di mesjid. Dengan lembut, ayahnya memijit-mijit kaki anaknya agar segera bangun pagi. Lalu diajak naik ke menara masjid. Di ketinggian beberapa meter itulah, Maria Ulfa yang masih duduk di kelas dua SD, mengalunkan ayat-ayat suci Alquran dengan suara nyaring, merdu, jernih – tanpa pengeras suara. Para tetangga yang mendengar suara indah Ulfa banyak yang memuji.
Kemerduan suara Ulfa ternyata berkat kakak perempuannya yang selalu mengajarinya qiraah setiap hari. Dari belajar iqra sampai nagham Alquran – meski hanya secara hafalan. Semua kakaknya memang bersuara bagus. Dan mereka semua pernah menjadi juara MTQ tingkat kabupaten. Hanya saja, mereka tidak punya keinginan ikut MTQ sampai tingkat propinsi.
www.youtube.com
            Saat kelas dua SD, Ulfa disuruh ayahnya mengikuti MTQ tingkat kabupaten Lamongan. Saat itu ia hanya mengenakan rok pendek, sementara peserta lainnya mengenakan baju kurung berikut kerudung. Tapi, begitu lomba berakhir, dan hasilnya diumumkan, tak dinyana Maria Ulfa keluar sebagai juara pertama. Ulfa kecil malah lari, bersembunyi di balik pepohonan. Ia takut dites lagi sebelum menerima piala. Maklum, ia membaca Alquran baru sebatas menghafal saja. Ia belum bisa membaca, dan belum tahu ilmu tajwid. Ia hanya punya suara bagus, menirukan gaya lagu beberapa surat Alquran, persis seperti yang dikumandangkan para qariah ternama.
Ketakutan itu terus menghantui bocah cilik itu sampai berhari-hari hingga ia jatuh sakit karena stres. Juara pertama biasanya akan ditampilkan dalam tabligh akbar di alun-alun Lamongan. Sampai pada hari “H” Ulfa masih sakit hingga tak bisa tampil. Padahal, ia sudah dibelikan pakaian muslimah. “Akhirnya saya sembuh sendiri setelah tidak jadi tampil,” kenang Ulfa sembari tersenyum.
Lepas dari demam panggung, Ulfa kecil yang masih duduk di kelas dua SD mendapat tekanan lain. Kali ini dari beberapa gurunya yang minta Ulfa mewakili sekolah dalam MTQ tingkat kabupaten dalam rangka peringatan hari kemerdekaan. Ulfa bersyukur, panitia tidak mentes suaranya lebih dulu. Alhamdulillah, ia meraih juara pertama lagi. “Ketika itu saya membaca surat At-Tahrim, surat kegemaran saya. Tapi, saya takut orang lain berkomentar, kok yang dibaca surat itu melulu,” ujar Ulfa mengenang.

Nahwu Sharaf

Menginjak kelas empat SD, ia mulai mengenal huruf-huruf Hijaiyah. Dan sejak kelas lima ia sudah bisa khatam Alquran. Tapi, ia belum bisa membaca dan menulis bahasa Arab. Baru setelah belajar di Madrasah Mualimat Nahdlatul Ulama (1968-1971) ia belajar tajwid dan paramasastra bahasa Arab yang disebut nahwu sharaf. Saat belajar di sini, ia mewakili Lamongan dalam MTQ tingkat propinsi, tapi tidak berhasil menggondol juara.
Tamat dari Madrasah Mualimat NU (1971) ia belajar ke Pondok Pesantren Bahrul Ulum di Jombang. Di sinilah ia makin giat berlatih seni baca Alquran. Kebetulan, seminggu sekali, pondok ini mendatangkan qari atau qariah yang pernah menjadi juara MTQ tingkat propinsi, nasional maupun internasional. Ulfa pun belajar kepada mereka. Saat belajar di pondok inilah ia mengikuti MTQ tingkat propinsi dan berhasil menyabet juara pertama.
Tamat dari Bahrul Ulum ia melanjutkan ke Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel, Surabaya. Sebulan di IAIN, ayahandanya wafat, dan beberapa saat kemudian ibundanya pun wafat ketika ia duduk di semester enam. Ketika masih kuliah, ia sering diundang berqiraah di beberapa kota atau kabupaten di Jawa Timur. Meski jadual qiraahnya padat, ia mampu menyelesaikan studi tepat waktu, dan lulus dengan sangat memuaskan.
Tamat dari IAIN Sunan Ampel (1977), Ulfa melanjutkan belajar ke program S2 di Institut Ilmu Alquran, Jakarta. Di kampus ini ia harus tinggal di asrama selama tiga tahun, dan tidak boleh meninggalkan asrama. Segala keperluan hidup sehari-hari disediakan oleh kampus. Uang kuliahnya pun gratis, bahkan ia mendapat uang saku. Tugasnya hanya satu: membaca, mendalami dan menghafal Alquran.

Keluarga Sakinah

Ketika belajar di IIQ inilah Ulfa mengikuti STQ Nasional (1978) dan menyabet juara tiga. Itu sebabnya ia tidak bisa mengikuti MTQ Internasional di Malaysia. Tapi, ia puas dan bersyukur, sebab tak berambisi lagi mengikuti MTQ. “Tapi, karena terus didesak oleh rektor, saya terpaksa mengikuti STQ. Padahal, saya sendiri saat itu tidak punya keinginan lagi untuk mendapat juara,” katanya.
Tapi, setahun kemudian pikirannya berubah: ia ingin meraih juara. Maka, pada 1979 ia pun mengikuti MTQ Nasional di Semarang mewakili Jakarta. Tapi, ia tak berhasil menggondol juara. Pada 1980, Rektor IIQ kembali menunjuk Ulfa untuk mengikuti STQ Nasional. Dan, alhamdulillah, ia berhasil meraih juara! Mak, ia pun berhak mewakili Indonesia dalam MTQ Internasional di Malaysia. Di MTQ Internasional ini, 1980, ia menyabet juara pertama. “Kalau tidak mengejar target malah bisa juara. Tapi, kalau berambisi ingin juara malah tidak berhasil, karena ada unsur kehati-hatian yang mengakibatkan grogi. Karena itu, kalau ikut MTQ jangan berharap dapat juara; sebaliknya harus punya niat ikhlas yang sebesar-besarnya,” kata Ulfa tentang resep meraih kejuaraan.
Usai diwisuda di IIQ, kakak sulungnya menjemput Ulfa ke Jakarta. Ia diminta segera pulang ke Jombang untuk dinikahkan dengan laki-laki pilihan orangtuanya. Tiba di rumah ia langsung melaksanakan ijab qabul. Sang suami itu ialah dr. Mukhtar Ikhsan, alumni Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya, spesialis paru yang kini dosen Fakultas Kedokteran UI, spesialis paru. Tak lain tak bukan, ia adalah teman sepermainan Ulfa sejak kecil, karena rumah mereka saling berhadapan.
Meski impian Ulfa melanjutkan kuliah ke Universitas Al-Azhar pupus, agaknya Allah SWT mengaruniakan kebahagiaan tersendiri. Kini qariah cantik, yang juga mampu bermain gitar itu, hidup berbahagia sebagai keluarga sakinah bersama sang suami dan ketiga anak lelakinya. Itu tak berarti Ulfa melupakan impiannya. Ia kini tengah kuliah untuk meraih gelar doktor di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta.

Domery Alpacino 

Catatan: Pernah dimuat di majalah Islam Firdaus



Tidak ada komentar:

Posting Komentar