Maria Ulfa
Sejak kecil melantunkan ayat-ayat suci
di menara mesjid menjelang subuh, setelah dewasa menggondol juara pertama MTQ
Internasional.
amien.yu.tl |
Sebagai penasihat panitia pendiri
Sekolah Alquran Internasional, Ulfa menyarankan agar panitia (yang kebanyakan
lulusan Universitas Harvard) mengajarkan Alquran kepada murid-murid sejak
mereka masih anak-anak. Pada 1999, Ulfa pernah mengunjungi AS sebagai dosen tamu
seni baca Alquran di beberapa universitas terkemuka: Harvard, Brown, Princeton
University, Boston dan Haverford College. Jauh sebelumnya, qariah juara pertama
Seleksi Tilawatil Quran Nasional (1978) ini mengunjungi beberapa negara Eropa
(Prancis, Belanda, Belgia, Swiss) dan Australia.
Saat ini ia sangat sibuk: sebagai
pelatih qari dan qariah nasional; anggota Dewan Hakim MTQ propinsi, nasional
dan TVRI/RRI; pengurus Lembaga Pendidikan Alquran DKI dan Pusat; anggota Komisi
Fatwa MUI; dosen Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri Jakarta; dosen
Sekolah Tinggi Agama Islam Silihwangi; Pembantu Rektor III Bidang Administrasi
di Institut Ilmu Alquran; ketua Yayasan Pesantren Al-Mudhaffar (Lamongan) dan
Baytul Qurra, Jakarta.
Meski baru berdiri dua tahun lalu,
Pesantren Baytul Qurra yang khusus mengajarkan seni baca Alquran itu memiliki
33 santri dari seluruh Indonesia. Seorang di antaranya gadis muslimah asal
Jepang. Pada waktu-waktu tertentu, terutama di saat liburan, beberapa dosen
universitas Malaysia datang mendalami qiraah selama tiga bulan di pesantren
ini. Bahkan ada seorang etnomusikolog asal AS, Prof Dr Anne Rasmosen, pernah
riset di sana selama beberapa bulan, mendalami kaitan lagu dalam Alquran dengan
musik Arab. Anne Gade, mahasiswa S2 dari Princeton University, pernah meneliti
metode pengajaran seni baca Alquran di pesantren ini, dengan tesis Metode
Pengajaran Alquran di Indonesia.
Nagham Alquran
Para santri yang belajar di
pesantren ini rata-rata dari kalangan tidak berpunya. Tapi, mereka punya kemauan
keras untuk belajar seni baca Alquran. Mereka juga belajar terjemah Alquran,
sehingga ketika membaca, mereka sekaligus bisa memahami maknanya dengan baik.
Hasilnya, mereka mampu mengekspresikan lagu Alquran secara tepat. “Sebab, ada
bermacam-macam jenis ayat Alquran: ayat perintah, larangan, kisah surga dan
neraka, keesaan Allah, kisah nabi dan rasul, dan sebagainya. Tentu lagunya
juga berbeda,” kata qariah yang pernah
mengikuti kursus nagham (lagu-lagu Alquran) di Kairo selama sembilan
bulan itu.
Mula-mula Ulfa menampung para santri
di rumah, di lantai dua, dengan menanggung segala keperluan mereka. Tapi,
karena jumlah mereka bertambah banyak, dua tahun lalu ia mendirikan pesantren
di depan rumah, terdiri dari tiga bangunan, masing-masing 200 m2, 350 m2, dan
250 m2. Para santri dari keluarga tak mampu itu tidak dipungut bayaran. Tapi
bagi santri yang mampu dipungut biaya Rp 200.000 perbulan, sudah termasuk makan
tiga kali. Sementara untuk orang asing Rp 250.000 juga termasuk makan tiga kali
dan cuci pakaian. Para santri dari mancanegara itu biasanya malah membayar
lebih.
Ulfa, sebagai ketua yayasan,
mengajar tajwid dan nagham Alquran, sedang pelajaran tafsir dan bahasa
Arab serta ilmu-ilmu lain diserahkan kepada para alumni UIN Syarif
Hidayatullah, Jakarta. Selain itu Ulfa juga mengajar nagham Alquran
kepada masyarakat umum. Ulfa sudah mencetak beberapa qariah yang berhasil
menjadi juara di MTQ nasional dan internasional. Misalnya, Marlina (juara
pertama MTQ Nasional di Yogyakarta, juara dua MTQ Internasional, Malaysia);
Nuraini (juara pertama MTQ Nasional, Riau; juara dua MTQ Internasional,
Malaysia); Masriah (juara pertama MTQ
Nasional, Palu dan juara dua MTQ Internasional, Malaysia); Iis Sholihat (juara
pertama STQ Nasional dan juara dua MTQ Internasional, Malaysia) serta puluhan
qariah lain yang menjuarai MTQ propinsi maupun MTQ yang digelar TVRI/RRI.
Maria Ulfa lahir pada 21 Desember 1955 di Lamongan, Jawa Timur. Ia anak
kesembilan dari 12 bersaudara. Orangtuanya yang pengusaha tenun, yaitu pasangan
Mudhaffar dan Ruminah, mendidik anak-anaknya dengan ajaran agama yang kuat.
Sebagai muslim dan pengusaha, orangtua Maria Ulfa banyak mewakafkan tanah untuk
mesjid dan madrasah. Ia sering mengundang ulama-ulama besar untuk membina
masyarakat sekitarnya. Termasuk Kyai Ichsan dari Cepu, Jawa Tengah, yang kelak
menjadi mertuanya.
Di Menara Mesjid
Karena orangtuanya sibuk, Ulfa kecil lebih dekat dengan kakak sulungnya. Ia
disekolahkan di SD Negeri I, Lamongan. Setelah lulus, ia belajar di Madrasah
Mualimat NU, lulus 1971. Padahal, ia sendiri ingin belajar di sekolah umum. Ada
pengalaman mengesankan di masa kecil. Ayahnya suka membujuk Ulfa salat subuh di
mesjid. Dengan lembut, ayahnya memijit-mijit kaki anaknya agar segera bangun
pagi. Lalu diajak naik ke menara masjid. Di ketinggian beberapa meter itulah,
Maria Ulfa yang masih duduk di kelas dua SD, mengalunkan ayat-ayat suci Alquran
dengan suara nyaring, merdu, jernih – tanpa pengeras suara. Para tetangga yang
mendengar suara indah Ulfa banyak yang memuji.
Kemerduan suara Ulfa ternyata berkat kakak perempuannya yang selalu
mengajarinya qiraah setiap hari. Dari belajar iqra sampai nagham Alquran
– meski hanya secara hafalan. Semua kakaknya memang bersuara bagus. Dan mereka
semua pernah menjadi juara MTQ tingkat kabupaten. Hanya saja, mereka tidak
punya keinginan ikut MTQ sampai tingkat propinsi.
www.youtube.com |
Ketakutan itu terus menghantui bocah cilik itu sampai berhari-hari hingga
ia jatuh sakit karena stres. Juara pertama biasanya akan ditampilkan dalam
tabligh akbar di alun-alun Lamongan. Sampai pada hari “H” Ulfa masih sakit
hingga tak bisa tampil. Padahal, ia sudah dibelikan pakaian muslimah. “Akhirnya
saya sembuh sendiri setelah tidak jadi tampil,” kenang Ulfa sembari tersenyum.
Lepas dari demam panggung, Ulfa kecil yang masih duduk di kelas dua SD
mendapat tekanan lain. Kali ini dari beberapa gurunya yang minta Ulfa mewakili
sekolah dalam MTQ tingkat kabupaten dalam rangka peringatan hari kemerdekaan.
Ulfa bersyukur, panitia tidak mentes suaranya lebih dulu. Alhamdulillah, ia
meraih juara pertama lagi. “Ketika itu saya membaca surat At-Tahrim,
surat kegemaran saya. Tapi, saya takut orang lain berkomentar, kok yang
dibaca surat itu melulu,” ujar Ulfa mengenang.
Nahwu Sharaf
Menginjak kelas empat SD, ia mulai mengenal huruf-huruf Hijaiyah. Dan sejak
kelas lima ia sudah bisa khatam Alquran. Tapi, ia belum bisa membaca dan
menulis bahasa Arab. Baru setelah belajar di Madrasah Mualimat Nahdlatul Ulama
(1968-1971) ia belajar tajwid dan paramasastra bahasa Arab yang disebut nahwu
sharaf. Saat belajar di sini, ia mewakili Lamongan dalam MTQ tingkat propinsi,
tapi tidak berhasil menggondol juara.
Tamat dari Madrasah Mualimat NU (1971) ia belajar ke Pondok Pesantren
Bahrul Ulum di Jombang. Di sinilah ia makin giat berlatih seni baca Alquran.
Kebetulan, seminggu sekali, pondok ini mendatangkan qari atau qariah yang
pernah menjadi juara MTQ tingkat propinsi, nasional maupun internasional. Ulfa
pun belajar kepada mereka. Saat belajar di pondok inilah ia mengikuti MTQ
tingkat propinsi dan berhasil menyabet juara pertama.
Tamat dari Bahrul Ulum ia melanjutkan ke Fakultas Syariah Institut Agama
Islam Negeri Sunan Ampel, Surabaya. Sebulan di IAIN, ayahandanya wafat, dan
beberapa saat kemudian ibundanya pun wafat ketika ia duduk di semester enam.
Ketika masih kuliah, ia sering diundang berqiraah di beberapa kota atau
kabupaten di Jawa Timur. Meski jadual qiraahnya padat, ia mampu menyelesaikan
studi tepat waktu, dan lulus dengan sangat memuaskan.
Tamat dari IAIN Sunan Ampel (1977), Ulfa melanjutkan belajar ke program S2
di Institut Ilmu Alquran, Jakarta. Di kampus ini ia harus tinggal di asrama
selama tiga tahun, dan tidak boleh meninggalkan asrama. Segala keperluan hidup
sehari-hari disediakan oleh kampus. Uang kuliahnya pun gratis, bahkan ia
mendapat uang saku. Tugasnya hanya satu: membaca, mendalami dan menghafal
Alquran.
Keluarga Sakinah
Ketika belajar di IIQ inilah Ulfa mengikuti STQ Nasional (1978) dan
menyabet juara tiga. Itu sebabnya ia tidak bisa mengikuti MTQ Internasional di
Malaysia. Tapi, ia puas dan bersyukur, sebab tak berambisi lagi mengikuti MTQ.
“Tapi, karena terus didesak oleh rektor, saya terpaksa mengikuti STQ. Padahal,
saya sendiri saat itu tidak punya keinginan lagi untuk mendapat juara,”
katanya.
Tapi, setahun kemudian pikirannya berubah: ia ingin meraih juara. Maka,
pada 1979 ia pun mengikuti MTQ Nasional di Semarang mewakili Jakarta. Tapi, ia
tak berhasil menggondol juara. Pada 1980, Rektor IIQ kembali menunjuk Ulfa
untuk mengikuti STQ Nasional. Dan, alhamdulillah, ia berhasil meraih juara!
Mak, ia pun berhak mewakili Indonesia dalam MTQ Internasional di Malaysia. Di
MTQ Internasional ini, 1980, ia menyabet juara pertama. “Kalau tidak mengejar
target malah bisa juara. Tapi, kalau berambisi ingin juara malah tidak
berhasil, karena ada unsur kehati-hatian yang mengakibatkan grogi. Karena itu,
kalau ikut MTQ jangan berharap dapat juara; sebaliknya harus punya niat ikhlas
yang sebesar-besarnya,” kata Ulfa tentang resep meraih kejuaraan.
Usai diwisuda di IIQ, kakak sulungnya menjemput Ulfa ke Jakarta. Ia diminta
segera pulang ke Jombang untuk dinikahkan dengan laki-laki pilihan orangtuanya.
Tiba di rumah ia langsung melaksanakan ijab qabul. Sang suami itu ialah dr.
Mukhtar Ikhsan, alumni Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya,
spesialis paru yang kini dosen Fakultas Kedokteran UI, spesialis paru. Tak lain
tak bukan, ia adalah teman sepermainan Ulfa sejak kecil, karena rumah mereka
saling berhadapan.
Meski impian Ulfa melanjutkan kuliah ke Universitas Al-Azhar pupus, agaknya
Allah SWT mengaruniakan kebahagiaan tersendiri. Kini qariah cantik, yang juga
mampu bermain gitar itu, hidup berbahagia sebagai keluarga sakinah bersama sang
suami dan ketiga anak lelakinya. Itu tak berarti Ulfa melupakan impiannya. Ia
kini tengah kuliah untuk meraih gelar doktor di Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah, Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar