Sejak kecil ia kering spiritualitas Islam dan
menjalani kehidupan Katolik. Setelah Allah SWT menegur lewat sakit yang luar
biasa, ia kembali kepada Islam. Kini hidupnya mengabdi pada program pendidikan.
Rumah di Jalan Masjid Ar-Ridwan, Jatipadang, Pasar Minggu, Jakarta
Selatan itu tampak teduh dan asri. Di halaman tumbuh sebuah pohon cukup besar
dan berdaun lebat, menambah sejuk suasana. Kesejukan itu makin terasa manakala
ada si penghuni rumah. Pasalnya, bila ia di rumah, sering menjalankan salat
berjemaah dengan anak semata wayang dan dua orang pembantunya sejak beberapa tahun
lalu. Bahkan, saat sepertiga malam tiba,
ia tidak segan melakukan salat Tahajud. Itulah Haryana Susie Achadiena, managing director Business Dynamics dan ketua Yayasan Semai Jiwa Amini, yang
telah kembali kepada Islam secara kafah sejak sembilan tahun lalu.
Hari-hari Diena cukup sibuk. Ia mengabdi pada dua pekerjaan mulia.
Pertama, di Business Dynamics, sebuah perusahaan jasa yang menangani
pelatihan-pelatihan dan budaya kerja di perusahaan. Misalnya, soal
kepemimpinan, customer service, team work, sales,
pengawasan, dan communications. “Saya
selalu terlibat langsung. Maksudnya, hati saya langsung berinteraksi dengan
klien, sebab akan jauh lebih memuaskan,” kata Diena, yang pernah bekerja untuk
Bank HSBC, PT Coca-Cola Indonesia, Aqua, dan beberapa hotel bintang lima di
Jakarta.
Kedua, di Yayasan Semai Jiwa Amini, sejak yayasan itu berdiri, Mei 2004.
Yayasan ini bergerak di bidang pendidikan, yang berupaya membangkitkan
nilai-nilai kemanusiaan yang luhur agar tampak dan tercermin dalam perilaku
sehari-hari para siswa. Kegiatan yayasan ini, antara lain, memberikan pelatihan
kepada guru-guru SD, SMP, dan SMA untuk mengembangkan pada siswanya sikap
positif, menjaga harga diri, terbuka, melayani, menerima, dan interaktif. “Guru
pengaruhnya luar biasa kepada para siswa. Bila perangai para siswa bagus,
mereka bisa mempengaruhi orangtuanya di rumah. Jadi, satu orang punya sentuhan
yang lebih massal,” ungkap Diena.
Yayasan ini mengabadikan nama Amini karena ia simbol keluhuran dan
kepedulian yang kuat pada pendidikan dan kualitas masyarakat. Ia seorang tokoh
pendidik di Pekalongan, Jawa Tengah, yang sadar akan nilai-nilai untuk
mempengaruhi orang lain. “Nilai-nilai itu mulai dari kejujuran, kedamaian, dan
bagaimana mengajak orang untuk bekerja sama,” ujar Diena. Dalam menjalankan roda pengelolaan yayasan, Diena tidak sebatas
memberikan pelatihan, tapi juga memberikan konsultasi pada
sekolah-sekolah. “Pengalaman kami di manajemen korporasi, insya Allah bisa
dibawa ke sekolah-sekolah. Kami ingin berbagi pengalaman kepada mereka yang
betul-betul berdampak besar kepada banyak orang,” urai Diena.
Yang jelas, tambah Diena, program-programnya tidak lepas dari unsur-unsur
spiritualitas, sehingga muncullah sentuhan-sentuhan yang bisa menyadarkan kita
semua untuk mengabdi. “Kami tidak mengharapkan imbalan dari mereka. Niat kami
adalah ibadah. Karena, apa yang mereka berikan kepada murid-murid juga ibadah,”
kata Diena, yang mengaku, semua pekerjaannya adalah ibadah.
Lahir
pada 9 Februari 1959 di Madiun, Jawa Timur, ia anak bungsu dari tujuh
bersaudara pasangan keluarga Jawa. Orangtuanya pemeluk Islam yang taat. Ayahnya
seorang pengusaha sukses, yang mempunyai hotel dan berhektare-hektare tanah.
“Ayah saya, dalam pandangan saya, adalah seorang dermawan,” kata Diena, yang
tidak bermaksud memuji kemurahan ayahnya. Sedangkan ibunya, seorang ibu rumah
tangga yang ulet.
Sejak usia lima tahun, Diena menjadi anak yatim. Setahun kemudian, ia
diajak kakak sulungnya yang sudah menikah dengan tentara, tinggal di Jakarta.
Mereka berharap, Diena kecil bisa mendapat pendidikan yang lebih baik.
Di kota metropolitan ini ia hidup dalam lingkungan keluarga Islam
abangan. Ia dimasukkan ke SD Negeri yang sangat kurang pelajaran agama Islam.
Selepas SD, ia dimasukkan ke SMP Katolik Vincensius, Jakarta Timur. Alhasil,
Diena kecil kering akan kehidupan spiritualitas Islam. “Saya mendapatkan cinta
di sekolah ini. Saya merasa tidak hanya sebagai murid, tapi sebagai keluarga.
Pendek kata, semua orang saling membagi kasih,” puji Diena, yang saat itu punya
ranking tiga besar dari kelas satu
hingga lulus. Lebih jauh dari itu, “Saya merasa damai, dekat dengan Tuhan Yesus
karena Ia hadir di hati saya,” kata Diena.
Di SMA Tarakanita, Pulogadung, Jakarta Timur, Diena merasakan suasana
yang sangat berbeda dibanding saat SMP, jiwanya menjadi kering. Tidak
mengherankan bila ia makin malas ikut-ikutan ke gereja. Paling hanya satu bulan
sekali. “Pokoknya kehidupan saya di SMA sangat berat,” tutur Diena.
Di saat kehidupan sosial dan spritualitas kering, Diena terbang ke AS
lewat program AFS (American Field Service) untuk siswa SMA. Di Georgetown
Dover, AS, ia tinggal bersama keluarga religius Kristen dan menemukan kembali
suasana damai dan tenteram. Ia rajin ke gereja setiap Minggu. “Selama di
Amerika, saya menyerap berbagai bentuk kehidupan, kultur, bagaimana keluarga
itu saling berkomunikasi dan menyelesaikan masalah di antara mereka. Di sekolah
pun saya menemukan dinamika yang luar biasa. Guru betul-betul menjadi suri
teladan bagi para siswanya,” urai Diena.
Sepulang dari Amerika, Diena dihadapkan pada persoalan lama: kegelisahan
hati. Pasalnya, ia kehilangan teman-teman akrab, baik di gereja maupun di
sekolah, karena mereka telah lulus. Setiap ke gereja, ia tidak lagi menemukan
kedamaian, ketenteraman, dan kehangatan jiwa. “Itulah salah satu puncak krisis
dalam kehidupan saya,” ungkap Diena.
Dalam rangka meraih kedamaian dan kehangatan jiwa, Diena berpindah-pindah
gereja. Tapi, ia tidak berhasil menemukan apa yang diinginkannya. “Apakah saya
sudah ditinggalkan Tuhan? Ke mana Tuhan itu, padahal saya rindu,” gugat Diena.
“Barangkali, inilah jalan saya mendapatkan Islam,” tambahnya.
Hal itu menggiringnya kepada hal-hal yang lebih prinsip. Misalnya,
siapakah Yesus dan konsep Trinitas. “Saya mengakui Isa atau Yesus sebagai Nabi.
Tapi, saat Yesus dianggap sebagai Tuhan, saya berpikir lebih dalam lagi, karena
menurut saya sudah tidak logis,” ungkap Diena.
Kemudian, dari berbagai buku agama yang dibacanya, baik Islam, Katolik,
Hindu, maupun Buddha, ia berpikir lebih kritis, “Kalau Yesus itu Tuhan, mengapa kalah dengan orang yang menyalib
dirinya? Bukankah Tuhan bisa membuat manusia sesakti apa pun? Tuhan bisa
melakukan apa saja, sebab punya banyak kesaktian. Tuhan Mahasakti dan Ia tidak
perlu menjelma menjadi manusia. Kok, sepertinya mengecilkan diri Tuhan!” pikir
Diena. Ia berontak dalam pikiran seperti itu.
“Diena, kamu berdoa saja. Jalan kamu akan ditentukan oleh Dia. Apa pun
jalan itu, adalah jalan terbaik buatmu,” tutur para pastor yang dihubunginya.
Jawaban itu jelas tidak memuaskan dirinya. Bahkan menambah penasaran. Beberapa
kiai di Jakarta dan Sala ditemuinya, ia
menceritakan kegundahan hatinya. “Terus terang, saya belum mengenal Islam.
Tapi, secara prinsip saya sudah tahu dari bacaan, Islam itu bagus. Meski
keluarga saya Islam, saya tidak punya kehangatan Islam, baik di keluarga maupun
tempat lain,” tutur Diena.
“Coba kamu baca surah Al-Fatihah dan renungkan artinya,” ungkap seorang
kiai yang ditemui. Sementara kiai yang lain menganjurkan agar Diena berdoa dan
belajar agama Islam lebih tekun. “Ia sepertinya bisa melihat, kalau saya
belajar Islam lebih tekun akan dibukakan pintu hati,” kata Diena.
Yang pasti, para kiai yang ditemui tidak mempermasalahkan atau menuding
bahwa dirinya telah sesat. “Kalau mereka bicara begitu, mungkin saya tidak
simpatik dan kabur. Orang lagi bingung, kok ditakut-takuti,” kata Diena
bersyukur.
Pencarian terhadap Tuhan tidak terasa telah berlangsung sekitar tiga
tahun, sejak pulang dari Amerika hingga semester enam di Jurusan Bahasa Inggris
IKIP Jakarta. Setelah itu, jiwa Diena sedikit tenang. Ia makin tekun membaca
dan menelaah semua buku agama.
Selepas dari IKIP Jakarta, Diena mengabdi sebagai dosen bahasa Inggris di
almamaternya. Beberapa tahun kemudian, ia mendapat beasiswa untuk melanjutkan S2
Jurusan Pengajaran Bahasa Inggris di Warwick University-Conventry, Inggris.
Lima minggu sebelum pulang ke Indonesia, Diena berkenalan dengan Andrew
Trigg, bujangan Inggris yang beragama Kristen Anglikan. Empat bulan setelah
Diena berada di Indonesia, Andrew ternyata menyusul. Baru tiga hari di Jakarta,
pria romantis ini mengajak Diena menikah. Diena pun menyambut ajakan itu dengan
suka cita, tapi dengan satu syarat. “Kalau mau serius dengan saya, kamu harus
memeluk Islam,” ajak Diena kepada calon suaminya itu. Padahal Diena belum
benar-benar yakin akan ajaran Islam, tapi ia merasa lebih tenang bila suaminya
beragama Islam.
“Saya bersedia memeluk Islam. Tapi, tolong beri gambaran tentang Islam,”
pinta Andrew.
Melalui Dr. Arief Rachman, tokoh pendidik nasional, senior Diena, Andrew
mendapat gambaran dan bimbingan intensif tentang Islam. Setelah mantap dengan
Islam, dengan dibimbing sendiri oleh Arief Rachman, Andrew mengucapkan dua
kalimah syahadat di Masjid Sunda Kelapa, Jakarta, disaksikan Diena dan puluhan
jemaah masjid. “Saya sangat lega dan bahagia, sebab satu langkah telah selesai.
Tapi, saya tetap berpikir bahwa proses itu belum usai, karena saya sendiri juga
masih dalam proses,” kata Diena.
Lima bulan kemudian, 31 Juni 1988, Diena dan Andrew melangsungkan
pernikahan di sebuah masjid kecil di daerah Rawamangun, Jakarta Timur.
“Orang-orang kampung di daerah ini banyak yang datang untuk menyaksikan
pernikahan saya. Saya sangat senang,” ungkap Diena, yang tidak henti-hentinya
mengucap syukur.
Setelah menikah sekitar empat tahun, proses pencarian Tuhan belum juga
usai. Ia berusaha “mencari” Tuhan melalui buku-buku agama apa saja. Tapi,
lagi-lagi ia gagal. Ia tidak mendapatkan apa yang ia inginkan.
Suatu malam, di tengah kegelisahan mencari Tuhan, ia tertidur pulas. Saat
itu, jarum jam menunjuk pukul 22.00 WIB. Sedang suami masih asyik membaca-baca
buku. Saat suami hendak berangkat tidur, tanpa sebab yang jelas, Diena terjaga
dari tidurnya. Napasnya tiba-tiba terengah-engah. Seluruh tubuhnya gemetar dan
bercucuran keringat dingin. Padahal ia tidak pernah mengidap penyakit asma atau
sakit berat apa pun.
Di tengah menahan sakit yang luar biasa, Diena sempat meminta tolong
kepada suami. “Tolong, bantu saya dengan doa,” kata Diena dengan suara
terbata-bata.
“Kamu kenapa?” tanya suami, setengah panik.
“Saya tidak mengerti. Saya sulit bernapas,” jawab Diena masih
terbata-bata. Sejurus kemudian, sebuah suara menggetarkan hati Diena, “Sekarang kamu
harus berdoa!”
Seketika, Diena pun berdoa, “Bapa kami yang ada di surga, dimuliakanlah
nama-Mu....” Tiba-tiba, ia melihat sekelilingnya menjadi gelap. Ia mengulang
doa itu. Tapi, sekelilingnya tetap gelap. Diena kembali berdoa, tapi dengan kalimat lain, “Salam Maria bunda
Allah.....” Doa itu juga tetap tidak membuahkan hasil, bahkan napasnya makin
terengah-engah. Sekelilingnya juga masih tetap gelap. Tidak
berapa lama sebuah suara menggetarkan hati Diena lagi, “Coba kamu berdoa lagi,
berdoa lagi.”
Diena mengikuti ajakan suara lembut itu. Tapi, kali ini ia mengucapkan doa
Islam, “Ya Allah, ampunilah aku atas dosa-dosaku. Tunjukkan jalan yang harus
kutempuh.” Seketika, napasnya mereda. Namun, dari mulutnya terucap istigfar,
surah Al-Fatihah, dan dua kalimah syahadat berulang-ulang.
Berangsur-angsur kondisi mental Diena kembali
normal, meski tubuhnya masih lemas. Ia kemudian memanjatkan doa dengan suara
lirih, “Ya Allah, aku terima agama ini, yang Engkau karuniakan kepadaku. Aku
mohon ampun dan mohon tuntunan-Mu, ya Allah.”
Dengan suara lirih, Diena mengutarakan isi hatinya kepada sang suami,
“Ini hidayah buat saya. Ini jawaban doa saya selama ini. Sekarang saya
betul-betul merasa, Islam adalah agama saya.”
“Saya bahagia,” jawab sang suami. “Apa yang kamu anggap baik, dan karena
kamu merasa ini sebuah hidayah, lakukanlah.”
Esok siangnya, di tengah kesibukannya memberikan pelatihan manajemen di
sebuah hotel bintang lima di Jalan Sudirman, Jakarta, Diena menyempatkan diri
mencari sebuah mukena dan sajadah di Gunung Agung, Kwitang, Jakarta Pusat. Ia
juga membeli sebuah buku perbandingan agama Islam dan Kristen. Ternyata, buku
itu mampu memperkuat keyakinan Diena tentang ajaran Islam.
Selepas memberikan pelatihan, Diena buru-buru mengerjakan salat untuk
kali yang pertama di rumah, dengan mukena dan sajadah baru. Anehnya, saat mengerjakan
salat, ia begitu lancar membaca bacaan salat hingga selesai. Usai salat, ia pun
berdoa dengan bahasanya sendiri secara khusyuk dan berurai air mata. “Saya
seperti mendapat oase,” kata Diena.
Sejak itu, wanita muslimah ini tidak pernah meninggalkan salat fardu.
Bahkan, setiap sepertiga malam, ia menjalankan salat Tahajud. Ia juga sering
melakukan puasa sunah Senin-Kamis.
Tiga tahun kemudian, pada 2002, Diena menunaikan ibadah haji. Ia ingin
merasakan lebih dekat kepada Allah SWT. “Suami saya sangat mendukung,” kata
Diena.
Ternyata, di Tanah Suci ia banyak mendapat kemudahan. Ia bisa berdoa dan
salat dua rakaat di Hijir Ismail, persis sebelah barat Ka’bah, padahal lautan
manusia merangsek ke tempat itu.
“Saya merasakan nikmat Allah yang luar biasa diberikan kepada saya. Kalau
saya tidak menggunakannya untuk mengabdi kepada Allah dan manusia lain,
sepertinya berkah Allah itu tidak saya syukuri,” ungkap Diena.
Kerinduannya kepada Tanah Suci membuat Diena umrah pada tahun berikutnya,
bersama Nadia Ayu Trigg, putri tunggalnya, yang kini bersekolah di SD Al-Izhar,
Pondok Labu, Jakarta Selatan. Ia mengajak si buah hati untuk menanamkan
nilai-nilai Islam sejak dini.
Diena menyekolahkan Nadia di sekolah Islam favorit itu agar putrinya
tidak seperti dirinya – menemukan Allah dengan jalan berliku dan terjal.
Domery Alpacino
Catatan: Pernah dimuat di majalah Islam Alkisah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar