Laman

Rabu, 23 Februari 2005

“Aku Ingin Meninggal dalam Husnul Khatimah”

Setelah 20 tahun mencari kebenaran, aktor El Manik akhirnya menemukan agama yang sangat diyakininya.


islamislogic.wordpress.com
KUMANDANG azan Maghrib sebentar lagi membelai langit Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Cahaya keemasan di ufuk barat belum tampak jelas. Namun, lelaki botak itu sudah masuk ke Mesjid Amir Hamzah di sudut belakang gedung Graha Bakti Budaya. Agaknya ia sangat memahami makna hadist, sebaik salat ialah salat pada waktunya.

Segera setelah azan usai, sekitar 40 orang jemaah serta-merta mendaulat “sang mualaf” itu menjadi imam salat. Sejenak ia tertegun. Tapi dua tiga detik kemudian, dengan tenang ia pun melangkah maju menuju mihrab. Dengan suara mantap ia mengalunkan ayat Kursi pada rekaat pertama dan surat Annas pada rekaat kedua. Cukup fasih dan lembut. Ia tiada lain adalah El Manik, actor terkenal itu.


Setelah memperoleh hidayah dan “menyempurnakan agamanya” – dari Protestan menjadi Muslim – tak pernah meninggalkan salat, di manapun ia berada. Waktunya pun tak pernah terlambat. Dan selalu khusyuk. Baginya, salat sudah merupakan kebutuhan yang harus segera dikerjakan. Bila tidak, jiwa terasa hampa dan gersang. Karena itu, dengan segala suka cita ia selalu menjalankan salat, baik fardhu maupun sunnah.

Kini, setelah menemukan hidayah kebenaran, ia selalu memimpikan kesempatan untuk menjadi orang baik, orang saleh. Minimal mulai dari diri sendiri, baru kemudian keluarganya. “Saya belum mampu mengubah orang lain menjadi baik,” kata pemeran sinetron Apa Kata Hatiku yang bernama lengkap Iman Ginting Manik itu merendah.

sabbimovie.blogspot.com
Baginya, hidup itu tidak mudah, penuh dengan godaan. Karena itu, ia berusaha menjalani hidup dengan selalu mendekatkan diri kepada Allah SWT, tawakal dan pasrah. “Saya jalani hidup ini dengan sederhana saja. Saya sangat percaya justru yang sederhanalah yang bisa langgeng. Saya berharap, kelak saya mampu melakukan jihad yang paling besar, yaitu menaklukkan diri sendiri,” ujarnya mantap. 

Bak seorang sufi, ia merindukan akhir hidup yang husnul khatimah, akhir kehidupan yang baik.  Kematian, baginya bukan suatu akhir, bukan suatu kesedihan, melainkan hanyalah jembatan yang menuntun sang pencinta kepada Yang Dicintai, menuju perjamuan dengan Tuhan. Suatu “perjumpaan abadi” yang membahagiakan, tanpa rasa sedih.

Ia tak ingin meninggalkan alam fana seperti sapi di rumah potong. Ketika seekor sapi dipotong, sapi-sapi lain tengah asyik makan rumput. Padahal, sebentar lagi mereka pun mendapat giliran disembelih. “Karena bodoh, mereka asyik saja menikmati hidup. Berpesta pora, sementara masih banyak fakir miskin menahan lapar. Padahal, dengan hitungan menit mereka juga akan mati,” tuturnya.

Bisa dimaklum jika El Manik sangat mendambakan semua itu. Sebab, sebelumnya ia pernah mengalami kehidupan yang hitam kelam. Seperti  panggung sandiwara tempatnya ia berkarir, di balik gemerlap kostum, tepuk tangan dan puja-puji, jiwa para pemainnya kosong dan gersang. Lelaki Tapanuli ini lahir di lingkungan keluarga animis di kampung Bahorok, Sumatra Utara, yang belakangan menganut Kristen Protestan.

Menginjak remaja, seperti anak-anak pada umumnya, Manik bergaul dengan teman-teman yang beragama lain. Ketika itulah anak-anak remaja temannya bermain mengejeknya. “Kalau kamu tidak beragama Islam, itu kafirlah kamu!” seru mereka. “Seram amat ya, agama Islam itu,” pikir Manik. Ejekan itu berlalu begitu saja ketika belakangan ia merantau ke Jawa. Mula-mula jadi wartawan, ia lalu melompat jadi bintang film.

Barangkali sudah takdir Allah, bukan kebetulan kalau Manik kemudian bertemu dengan Nyimas Ida Zainun, yang kemudian dipersunting sebagai pendamping hidupnya. Perempuan muslimah inilah pula yang sangat berperan dalam membimbing sang suami tercinta untuk memperoleh cahaya Ilahi. Dan tentulah berkat anugerah Allah pula jika karir Manik kian melejit.

Ia memang berhasil menyabet tiga Piala Citra sebagai aktor terbaik dalam Festival Film Indonesia, dan satu penghargaan sebagai pemain pembantu terbaik dalam Festival Film Asia. Tentu saja ia bangga. Meski begitu, ia mengaku ada sesuatu terasa hampa dalam jiwa. Ia mengaku sudah lama ia meninggalkan gereja. Bukan apa-apa, hanya karena sibuk di dunia film.

Apalagi, dulu, ia merasa khotbah para pendeta di gereja tak mampu memberikan kesejukan kepada jiwanya. Sementara ia punya prinsip hidup ini ibarat api yang harus selalu menyala. Hari Minggu diisi, namun pada hari Senin dan hari-hari berikutnya gersang lagi. Api dalam jiwa bukan semakin menyala tapi semakin mengecil. Dan akhirnya bisa padam sama sekali.
“Padahal, setiap hari berbagai persoalan hidup terus bergulir. Dan saat itu tak ada yang bisa memberi petunjuk,” tuturnya. Dulu, suatu saat ia bahkan pernah beberapa kali mengajak isterinya pergi ke gereja. “Kamu mau ikut saya enggak? Saya kan kepala rumahtangga,” katanya kepada sang isteri yang muslimah, suatu kali. Terpaksa isteri ikut. Tapi di rumah ia selalu mengajak suaminya berdiskusi soal agama. Dan biasanya Manik selalu kalah.

Manik masih bertahan. Ajakan anaknya untuk “menyempurnakan agama” tak digubrisnya. Tapi suatu hari, ketika Manik tidur siang sementara isterinya keluar rumah, tiba-tiba putrinya yang ketika itu berusia 12 tahun, masuk kamar sembari menangis. “Nik, lebih baik masuk Islam supaya kita sama-sama satu agama. Allah tidak beranak dan diperanakkan,” kata anak keduanya itu seperti menguliahi sang ayah yang biasa dipanggil “Nik”. El Manik dianugerahi sepasang anak, lelaki dan perempuan.

“Kamu ini kemasukan setan atau apa?” teriak Manik. Tapi sejurus kemudian ia tersadar, barangkali ia tengah berhadapan dengan Allah melalui mulut anaknya sendiri yang sangat dicintainya. “Begini ya nak. Saya tidak mau masuk Islam hanya karena airmatamu. Biarlah kalau saya masuk Islam karena kesadaran saya sendiri, supaya saya bisa bertanggungjawab dan konsekuen. Tapi, terima kasih atas ajakanmu,” tambahnya.

“Siapa yang menyuruh kamu ngomong begitu? Mama, ya?”

“Bukan!”

Tapi, sejak itu hidup aktor kita ini masih saja terombang-ambing mencari pegangan. Bahkan selama 20 tahun ia masih mencari-cari cahaya Ilahi. Ia selalu gelisah gara-gara merasa tidak mantap terhadap agamanya semula, Kristen Protestan.

Pada suatu hari Manik merasa benar-benar takut mati. Entah mengapa. Ia pun menangis dan berdoa. “Ya Tuhan, aku percaya padaMu. Aku cinta padaMu. Aku juga tahu kebesaranMu. Begitu banyak agama yang Kau tawarkan, dan semua mengaku paling benar. Tapi, tolong tunjukkan kepadaku agama yang terbaik, ya Tuhan. Mana yang paling benar buat aku, Tuhan!” pinta Manik berkali-kali sambil bercucuran airmata. “Tapi, kalau bisa mohon jangan agama Islam!” tambahnya.

Ia tidak ingin memilih Islam karena sepanjang pengalamannya, banyak orang Islam yang munafik. Mereka suka mengganggu orang lain, mereka menggunakan mikrofon mesjid untuk azan keras-keras hingga mengganggu orang lain. Mereka minta sumbangan untuk membangun mesjid dengan memukul-mukul drum di tengah jalan. “Meski saat itu saya bukan orang Islam, sekali-sekali saya memberi sumbangan juga. Tapi hati saya memaki-maki,” tutur Manik.

Semula Manik beranggapan perilaku seperti itu merupakan ajaran Islam, ajaran yang “berisik”. Belakangan barulah ia tahu bahwa itu hanyalah perilaku sebagian kecil orang-orangnya – yang sama sekali tak mengerti ajaran Islam yang sejati.

Mendapat Hidayah

travel.detik.com
Beberapa tahun kemudian, suatu hari, seorang teman menganjurkan agar ia berpuasa. Menurut teman itu, puasa merupakan obat bagi mereka yang kolesterolnya cukup tinggi seperti halnya El Manik. Ia lalu mencoba berpuasa Senin-Kamis. Ketika itu tentu saja ia belum tahu bahwa puasa Senin-Kamis merupakan kebiasaan Rasulullah. Ternyata Manik mampu berpuasa. “Sampai malam saya tidak lapar dan haus. Bahkan badan terasa enteng,” katanya.

Ia merasa lulus ujian. Ternyata, kalau ada niat segala sesuatu bisa dikerjakan dengan mudah. Sejak itulah Manik merasa mantap menerima Islam dengan mengikrarkan dua kalimat syahadat. Ketika itu 1993, saat ia berusia 43 tahun. Orang Inggris mengatakan, “Life begin at forty,” sementara Allah mengangkat Nabi Muhammad pada usia 40 tahun. “Jadi, pada usia 40 tahunan itulah sebenarnya ada pintu kesadaran,” katanya lagi.

Menurut Manik, bila pada usia 50 tahun seseorang belum juga mempunyai kesadaran akan makna hidup, kemungkinan besar hidupnya akan sulit, bahkan “tertutup” dari hidayah Allah. “Bila Allah sudah menutup pintu hati seseorang, itu yang paling mengerikan. Makanya, saya bersyukur mendapat hidayah pada usia 43 itu,” ujarnya.

Ia lalu mencoba berpuasa sedikit demi sedikit, menjalankan syariat yang lain setahap demi setahap. Ingatannya lalu menerawang pada ucapan seorang teman: “Islam itu tidaklah garang. Agama yang dibawa Muhammad itu memberikan kesejukan bila dilaksanakan dengan ikhlas.” Sementara itu sang isteri berperan sebagai “pelabuhan hati” tempat sang suami bertanya dan berdiskusi.

Berkat sang istri pulalah ia mampu memahami Islam secara lebih utuh. “Saya tak sempat ikut pengajian. Karena itu saya banyak berdiskusi dengan istri saya. Saya juga belajar mengaji dari dia, dari A hingga Z,” tutur Manik memuji kemuliaan istrinya. Pernah suatu malam, Manik berjamaah dengan sang istri melakukan salat tahajud. Usai salat, ia bertanya: “Dulu, ketika kamu bermasalah dengan saya, apa juga suka tahajud dan mendoakan saya?” Istrinya menjawab dengan lembut, “Iya. Saya selalu tahajud dan mendoakan abang.”

Airmata Manik membanjir tak terbendung. Ia teringat ketika sering berdebat dengan keras bahkan sempat menyeretnya ke gereja. Diraihnya tangan sang isteri lalu diciuminya dengan mesra penuh isak tangis: “Terima kasih, Mamah, terimaksih, cintaku.”  Aktor ini semakin tawadhu. Tapi juga sering mendapat cobaan Allah: adik kandungnya enggan bersilaturahmi dengannya.

“Saya sangat sedih. Tapi saya terus berusaha menghubunginya,” katanya. Ia pun ingat paman Nabi, Abdul Muthalib, yang sampai akhir hayatnya masih kafir tapi Nabi tetap mencintainya. Karena itu Manik tetap berdoa untuk melembutkan hati adiknya. “Ya, Allah, lembutkanlah hati dan pikirannnya supaya dia menerima kenyataan bahwa saya seorang muslim. Jangan sampai ia memutuskan silaturahmi hanya karena perbedaan di antara kami.” Ia pun berlinang air mata.

Bagi Manik, sesama saudara boleh berbeda keyakinan, tapi satu dengan yang lain tidak boleh saling mencela. “Kalau kamu bahagia dengan keyakinanmu, silakan. Aku juga bahagia dengan keyakinanku. Aku tidak pernah memaksa kamu masuk Islam. Tidak! Karena Islam itu bukan agama paksaan,” kata Manik suatu kali kepada sang adik. Meski berbeda keyakinan, ia berharap hubungannya dengan sang adik tetap mesra.

Perjalanan Seorang Mualaf

ustazidrissulaiman.wordpress.com
Pada bulan-bulan pertama sebagai muslim, Manik baru bisa membaca surat Al-Fatihah. Suatu hari, ketika mau salat Ashar di sebuah mesjid, para jemaah yang berjumlah sekitar 10 orang mendaulatnya menjadi iman. Meski sudah menolak berkali-kali, para jamaah yang rata-rata masih muda itu tetap memaksanya. Sebaliknya, ia sedikit gengsi untuk mengaku sebagai mualaf yang baru belajar.

Apa boleh buat, ia pun maju menjadi imam. Untung, ketika itu salat Ashar, yang bacaan surat-suratnya tidak perlu dilafalkan dengan keras. Ketika itu ia hanya hafal surat Al-Fatihah, belum hafal surat-surat yang lain. Yang diingatnya pun baru jumlah rekaat setiap salat. “Saya takut salah, sih,” kenangnya. Tak ayal, ia salat sambil gemetaran dan keringat dingin pun bercucuran. “Untunglah saat itu salat Ashar. Apa jadinya kalau salat Mahrib atau Isya?” Manik terkekeh.

Usai salat ia mengucap syukur. Lega! “Terimakasih, Tuhan. Aku berhasil menjadi iman untuk kali pertama,” katanya dalam doa. Ada pengalaman lain yang agak lucu. Pada suatu hari ia merasa terganggu. Jemaah yang salat di sebelahnya menggerak-gerakkan jari telunjuk ketika membaca tahiyat awal dan akhir; dan ketika takbiratul ihram mengangkat kedua belah tangannya tinggi-tinggi.

“Saat itu saya betul-betul terganggu. Sekarang saya baru mengerti ada yang namanya mazhab yang bermacam-macam, meski intinya tetap berusaha mendekatkan diri kepada Allah,” ujar Manik.

Pada 1996, alhamdulillah, Manik sempat menunaikan ibadah haji bersama isterinya, atas undangan Duta Besar Republik Mesir untuk Indonesia. Perkenalannya dengan Dubes Mesir berawal ketika Manik menolong isterinya melahirkan di rumah sakit, padahal tak ada mobil. Berkat mobil pick up Manik, istri sang dubes bisa sampai ke rumah sakit dengan selamat, dan melahirkan dengan selamat pula.

Manik sebetulnya sudah lupa kejadian yang berlangsung beberapa tahun sebelumnya itu. Tapi, rupanya sang dubes masih mengingatnya. Tiba-tiba pada 1996 Dubes Mesir itu mengundang Manik untuk berhaji sekaligus menikmati keindahan negeri Mesir. “Itupun saya tahunya setelah tiba di Mesir. Ternyata, berbuat baik tanpa dihitung-hitung, tanpa pamrih, bisa membawa keberkahan tersendiri,” jelas Manik.

Alhamdulillah, kini Manik hidup dalam keluarga sakinah. Berkat hidayah Allah pula, sebelum Manik memeluk agama Allah, anak lelakinya juga sudah mendapat hidayah. Dan, anak gadisnya pun sudah mengenakan jilbab. Subhanallah, Allahu Akbar

Domery Alpacino
Catatan: Pernah dimuat di majalah Islam Firdaus

1 komentar: