Setelah 20 tahun mencari
kebenaran, aktor El Manik akhirnya menemukan agama yang sangat diyakininya.
islamislogic.wordpress.com |
KUMANDANG azan
Maghrib sebentar lagi membelai langit Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Cahaya
keemasan di ufuk barat belum tampak jelas. Namun, lelaki botak itu sudah masuk
ke Mesjid Amir Hamzah di sudut belakang gedung Graha Bakti Budaya. Agaknya ia
sangat memahami makna hadist, sebaik salat ialah salat pada waktunya.
Segera setelah
azan usai, sekitar 40 orang jemaah serta-merta mendaulat “sang mualaf” itu
menjadi imam salat. Sejenak ia tertegun. Tapi dua tiga detik kemudian, dengan
tenang ia pun melangkah maju menuju mihrab. Dengan suara mantap ia mengalunkan
ayat Kursi pada rekaat pertama dan surat Annas pada rekaat kedua. Cukup fasih
dan lembut. Ia tiada lain adalah El Manik, actor terkenal itu.
Setelah
memperoleh hidayah dan “menyempurnakan agamanya” – dari Protestan menjadi
Muslim – tak pernah meninggalkan salat, di manapun ia berada. Waktunya pun tak
pernah terlambat. Dan selalu khusyuk. Baginya, salat sudah merupakan kebutuhan
yang harus segera dikerjakan. Bila tidak, jiwa terasa hampa dan gersang. Karena
itu, dengan segala suka cita ia selalu menjalankan salat, baik fardhu maupun
sunnah.
Kini, setelah
menemukan hidayah kebenaran, ia selalu memimpikan kesempatan untuk menjadi
orang baik, orang saleh. Minimal mulai dari diri sendiri, baru kemudian
keluarganya. “Saya belum mampu mengubah orang lain menjadi baik,” kata pemeran
sinetron Apa Kata Hatiku yang bernama
lengkap Iman Ginting Manik itu merendah.
![]() |
sabbimovie.blogspot.com |
Baginya, hidup
itu tidak mudah, penuh dengan godaan. Karena itu, ia berusaha menjalani hidup
dengan selalu mendekatkan diri kepada Allah SWT, tawakal dan pasrah. “Saya
jalani hidup ini dengan sederhana saja. Saya sangat percaya justru yang
sederhanalah yang bisa langgeng. Saya berharap, kelak saya mampu melakukan
jihad yang paling besar, yaitu menaklukkan diri sendiri,” ujarnya mantap.
Bak seorang sufi,
ia merindukan akhir hidup yang husnul
khatimah, akhir kehidupan yang baik.
Kematian, baginya bukan suatu akhir, bukan suatu kesedihan, melainkan
hanyalah jembatan yang menuntun sang pencinta kepada Yang Dicintai, menuju
perjamuan dengan Tuhan. Suatu “perjumpaan abadi” yang membahagiakan, tanpa rasa
sedih.
Ia tak ingin
meninggalkan alam fana seperti sapi di rumah potong. Ketika seekor sapi
dipotong, sapi-sapi lain tengah asyik makan rumput. Padahal, sebentar lagi
mereka pun mendapat giliran disembelih. “Karena bodoh, mereka asyik saja
menikmati hidup. Berpesta pora, sementara masih banyak fakir miskin menahan
lapar. Padahal, dengan hitungan menit mereka juga akan mati,” tuturnya.
Bisa dimaklum
jika El Manik sangat mendambakan semua itu. Sebab, sebelumnya ia pernah
mengalami kehidupan yang hitam kelam. Seperti
panggung sandiwara tempatnya ia berkarir, di balik gemerlap kostum,
tepuk tangan dan puja-puji, jiwa para pemainnya kosong dan gersang. Lelaki
Tapanuli ini lahir di lingkungan keluarga animis di kampung Bahorok, Sumatra
Utara, yang belakangan menganut Kristen Protestan.
Menginjak remaja,
seperti anak-anak pada umumnya, Manik bergaul dengan teman-teman yang beragama
lain. Ketika itulah anak-anak remaja temannya bermain mengejeknya. “Kalau kamu
tidak beragama Islam, itu kafirlah kamu!” seru mereka. “Seram amat ya, agama
Islam itu,” pikir Manik. Ejekan itu berlalu begitu saja ketika belakangan ia
merantau ke Jawa. Mula-mula jadi wartawan, ia lalu melompat jadi bintang film.
Barangkali sudah
takdir Allah, bukan kebetulan kalau Manik kemudian bertemu dengan Nyimas Ida
Zainun, yang kemudian dipersunting sebagai pendamping hidupnya. Perempuan
muslimah inilah pula yang sangat berperan dalam membimbing sang suami tercinta
untuk memperoleh cahaya Ilahi. Dan tentulah berkat anugerah Allah pula jika
karir Manik kian melejit.
Ia memang
berhasil menyabet tiga Piala Citra sebagai aktor terbaik dalam Festival Film
Indonesia, dan satu penghargaan sebagai pemain pembantu terbaik dalam Festival
Film Asia. Tentu saja ia bangga. Meski begitu, ia mengaku ada sesuatu terasa
hampa dalam jiwa. Ia mengaku sudah lama ia meninggalkan gereja. Bukan apa-apa,
hanya karena sibuk di dunia film.
Apalagi, dulu, ia
merasa khotbah para pendeta di gereja tak mampu memberikan kesejukan kepada
jiwanya. Sementara ia punya prinsip hidup ini ibarat api yang harus selalu
menyala. Hari Minggu diisi, namun pada hari Senin dan hari-hari berikutnya
gersang lagi. Api dalam jiwa bukan semakin menyala tapi semakin mengecil. Dan
akhirnya bisa padam sama sekali.
“Padahal, setiap
hari berbagai persoalan hidup terus bergulir. Dan saat itu tak ada yang bisa
memberi petunjuk,” tuturnya. Dulu, suatu saat ia bahkan pernah beberapa kali
mengajak isterinya pergi ke gereja. “Kamu mau ikut saya enggak? Saya kan kepala
rumahtangga,” katanya kepada sang isteri yang muslimah, suatu kali. Terpaksa
isteri ikut. Tapi di rumah ia selalu mengajak suaminya berdiskusi soal agama.
Dan biasanya Manik selalu kalah.
Manik masih
bertahan. Ajakan anaknya untuk “menyempurnakan agama” tak digubrisnya. Tapi
suatu hari, ketika Manik tidur siang sementara isterinya keluar rumah, tiba-tiba
putrinya yang ketika itu berusia 12 tahun, masuk kamar sembari menangis. “Nik,
lebih baik masuk Islam supaya kita sama-sama satu agama. Allah tidak beranak
dan diperanakkan,” kata anak keduanya itu seperti menguliahi sang ayah yang
biasa dipanggil “Nik”. El Manik dianugerahi sepasang anak, lelaki dan
perempuan.
“Kamu ini
kemasukan setan atau apa?” teriak Manik. Tapi sejurus kemudian ia tersadar,
barangkali ia tengah berhadapan dengan Allah melalui mulut anaknya sendiri yang
sangat dicintainya. “Begini ya nak. Saya tidak mau masuk Islam hanya karena
airmatamu. Biarlah kalau saya masuk Islam karena kesadaran saya sendiri, supaya
saya bisa bertanggungjawab dan konsekuen. Tapi, terima kasih atas ajakanmu,”
tambahnya.
“Siapa yang
menyuruh kamu ngomong begitu? Mama, ya?”
“Bukan!”
Tapi, sejak itu
hidup aktor kita ini masih saja terombang-ambing mencari pegangan. Bahkan
selama 20 tahun ia masih mencari-cari cahaya Ilahi. Ia selalu gelisah gara-gara
merasa tidak mantap terhadap agamanya semula, Kristen Protestan.
Pada suatu hari
Manik merasa benar-benar takut mati. Entah mengapa. Ia pun menangis dan berdoa.
“Ya Tuhan, aku percaya padaMu. Aku cinta padaMu. Aku juga tahu kebesaranMu.
Begitu banyak agama yang Kau tawarkan, dan semua mengaku paling benar. Tapi,
tolong tunjukkan kepadaku agama yang terbaik, ya Tuhan. Mana yang paling benar
buat aku, Tuhan!” pinta Manik berkali-kali sambil bercucuran airmata. “Tapi,
kalau bisa mohon jangan agama Islam!” tambahnya.
Ia tidak ingin
memilih Islam karena sepanjang pengalamannya, banyak orang Islam yang munafik.
Mereka suka mengganggu orang lain, mereka menggunakan mikrofon mesjid untuk
azan keras-keras hingga mengganggu orang lain. Mereka minta sumbangan untuk
membangun mesjid dengan memukul-mukul drum di tengah jalan. “Meski saat itu
saya bukan orang Islam, sekali-sekali saya memberi sumbangan juga. Tapi hati
saya memaki-maki,” tutur Manik.
Semula Manik
beranggapan perilaku seperti itu merupakan ajaran Islam, ajaran yang “berisik”.
Belakangan barulah ia tahu bahwa itu hanyalah perilaku sebagian kecil
orang-orangnya – yang sama sekali tak mengerti ajaran Islam yang sejati.
Mendapat Hidayah
travel.detik.com |
Beberapa tahun
kemudian, suatu hari, seorang teman menganjurkan agar ia berpuasa. Menurut
teman itu, puasa merupakan obat bagi mereka yang kolesterolnya cukup tinggi
seperti halnya El Manik. Ia lalu mencoba berpuasa Senin-Kamis. Ketika itu tentu
saja ia belum tahu bahwa puasa Senin-Kamis merupakan kebiasaan Rasulullah.
Ternyata Manik mampu berpuasa. “Sampai malam saya tidak lapar dan haus. Bahkan
badan terasa enteng,” katanya.
Ia merasa lulus
ujian. Ternyata, kalau ada niat segala sesuatu bisa dikerjakan dengan mudah.
Sejak itulah Manik merasa mantap menerima Islam dengan mengikrarkan dua kalimat
syahadat. Ketika itu 1993, saat ia berusia 43 tahun. Orang Inggris mengatakan,
“Life begin at forty,” sementara
Allah mengangkat Nabi Muhammad pada usia 40 tahun. “Jadi, pada usia 40 tahunan
itulah sebenarnya ada pintu kesadaran,” katanya lagi.
Menurut Manik,
bila pada usia 50 tahun seseorang belum juga mempunyai kesadaran akan makna
hidup, kemungkinan besar hidupnya akan sulit, bahkan “tertutup” dari hidayah
Allah. “Bila Allah sudah menutup pintu hati seseorang, itu yang paling
mengerikan. Makanya, saya bersyukur mendapat hidayah pada usia 43 itu,”
ujarnya.
Ia lalu mencoba
berpuasa sedikit demi sedikit, menjalankan syariat yang lain setahap demi
setahap. Ingatannya lalu menerawang pada ucapan seorang teman: “Islam itu
tidaklah garang. Agama yang dibawa Muhammad itu memberikan kesejukan bila
dilaksanakan dengan ikhlas.” Sementara itu sang isteri berperan sebagai
“pelabuhan hati” tempat sang suami bertanya dan berdiskusi.
Berkat sang istri
pulalah ia mampu memahami Islam secara lebih utuh. “Saya tak sempat ikut
pengajian. Karena itu saya banyak berdiskusi dengan istri saya. Saya juga
belajar mengaji dari dia, dari A hingga Z,” tutur Manik memuji kemuliaan
istrinya. Pernah suatu malam, Manik berjamaah dengan sang istri melakukan salat
tahajud. Usai salat, ia bertanya: “Dulu, ketika kamu bermasalah dengan saya,
apa juga suka tahajud dan mendoakan saya?” Istrinya menjawab dengan lembut,
“Iya. Saya selalu tahajud dan mendoakan abang.”
Airmata Manik
membanjir tak terbendung. Ia teringat ketika sering berdebat dengan keras
bahkan sempat menyeretnya ke gereja. Diraihnya tangan sang isteri lalu
diciuminya dengan mesra penuh isak tangis: “Terima kasih, Mamah, terimaksih,
cintaku.” Aktor ini semakin tawadhu.
Tapi juga sering mendapat cobaan Allah: adik kandungnya enggan bersilaturahmi
dengannya.
“Saya sangat
sedih. Tapi saya terus berusaha menghubunginya,” katanya. Ia pun ingat paman
Nabi, Abdul Muthalib, yang sampai akhir hayatnya masih kafir tapi Nabi tetap
mencintainya. Karena itu Manik tetap berdoa untuk melembutkan hati adiknya.
“Ya, Allah, lembutkanlah hati dan pikirannnya supaya dia menerima kenyataan
bahwa saya seorang muslim. Jangan sampai ia memutuskan silaturahmi hanya karena
perbedaan di antara kami.” Ia pun berlinang air mata.
Bagi Manik,
sesama saudara boleh berbeda keyakinan, tapi satu dengan yang lain tidak boleh
saling mencela. “Kalau kamu bahagia dengan keyakinanmu, silakan. Aku juga
bahagia dengan keyakinanku. Aku tidak pernah memaksa kamu masuk Islam. Tidak!
Karena Islam itu bukan agama paksaan,” kata Manik suatu kali kepada sang adik.
Meski berbeda keyakinan, ia berharap hubungannya dengan sang adik tetap mesra.
Perjalanan Seorang
Mualaf
ustazidrissulaiman.wordpress.com |
Pada bulan-bulan
pertama sebagai muslim, Manik baru bisa membaca surat Al-Fatihah. Suatu hari, ketika mau salat Ashar di sebuah mesjid,
para jemaah yang berjumlah sekitar 10 orang mendaulatnya menjadi iman. Meski
sudah menolak berkali-kali, para jamaah yang rata-rata masih muda itu tetap
memaksanya. Sebaliknya, ia sedikit gengsi untuk mengaku sebagai mualaf yang
baru belajar.
Apa boleh buat,
ia pun maju menjadi imam. Untung, ketika itu salat Ashar, yang bacaan
surat-suratnya tidak perlu dilafalkan dengan keras. Ketika itu ia hanya hafal
surat Al-Fatihah, belum hafal
surat-surat yang lain. Yang diingatnya pun baru jumlah rekaat setiap salat.
“Saya takut salah, sih,” kenangnya. Tak ayal, ia salat sambil gemetaran dan
keringat dingin pun bercucuran. “Untunglah saat itu salat Ashar. Apa jadinya
kalau salat Mahrib atau Isya?” Manik terkekeh.
Usai salat ia
mengucap syukur. Lega! “Terimakasih, Tuhan. Aku berhasil menjadi iman untuk
kali pertama,” katanya dalam doa. Ada pengalaman lain yang agak lucu. Pada
suatu hari ia merasa terganggu. Jemaah yang salat di sebelahnya
menggerak-gerakkan jari telunjuk ketika membaca tahiyat awal dan akhir; dan ketika takbiratul ihram mengangkat kedua belah tangannya tinggi-tinggi.
“Saat itu saya
betul-betul terganggu. Sekarang saya baru mengerti ada yang namanya mazhab yang
bermacam-macam, meski intinya tetap berusaha mendekatkan diri kepada Allah,”
ujar Manik.
Pada 1996,
alhamdulillah, Manik sempat menunaikan ibadah haji bersama isterinya, atas
undangan Duta Besar Republik Mesir untuk Indonesia. Perkenalannya dengan Dubes
Mesir berawal ketika Manik menolong isterinya melahirkan di rumah sakit,
padahal tak ada mobil. Berkat mobil pick
up Manik, istri sang dubes bisa sampai ke rumah sakit dengan selamat, dan
melahirkan dengan selamat pula.
Manik sebetulnya
sudah lupa kejadian yang berlangsung beberapa tahun sebelumnya itu. Tapi,
rupanya sang dubes masih mengingatnya. Tiba-tiba pada 1996 Dubes Mesir itu
mengundang Manik untuk berhaji sekaligus menikmati keindahan negeri Mesir.
“Itupun saya tahunya setelah tiba di Mesir. Ternyata, berbuat baik tanpa
dihitung-hitung, tanpa pamrih, bisa membawa keberkahan tersendiri,” jelas Manik.
Alhamdulillah, kini Manik
hidup dalam keluarga sakinah. Berkat hidayah Allah pula, sebelum Manik memeluk
agama Allah, anak lelakinya juga sudah mendapat hidayah. Dan, anak gadisnya pun
sudah mengenakan jilbab. Subhanallah,
Allahu Akbar.
Domery Alpacino
Catatan: Pernah dimuat di majalah Islam Firdaus
Akhirnya El Manik menemukan jalan hidupnya
BalasHapus