Laman

Selasa, 03 Agustus 2004

Singa Mesir yang Gagah dan Tegar

HASAN AL-BANNA

Ia menegakkan amar makruf nahi mungkar di Mesir yang dikuasai imperialis Inggris. Aroma perjuangannya terus menebar di pelbagai belahan dunia.

Para pengamat menyejajarkan Al-Banna dengan Muhammad Abduh, bagai satu badan dan ruh. Bila Abduh yang lebih senior dianggap sebagai kepala, Al-Banna sebagai ekornya. Bila Abduh sebagai otak, Al-Banna sebagai penggerak kebangkitan perjuangan umat Islam internasional. Keduanya memang tidak berada dalam satu kurun waktu, namun pemikiran dan visi keduanya berada dalam tujuan yang sama.

Al-Banna telah mengejutkan Mesir, dunia Arab, dan dunia Islam lewat dakwah, kaderisasi, serta jihad yang luar biasa. Di dalamnya terdapat pemikiran yang brilian, daya nalar yang terang menyala, perasaan bergelora, hati yang penuh limpahan berkah, jiwa yang dinamis nan cemerlang, dan lidah yang tajam lagi berkesan.


Lewat tulisannya yang lembut, Al-Banna menghidupkan kembali Al-Quran di tanah Arab dan umat dunia. Hal itu tampak jelas pada jejak langkahnya. Ia berhasil menyurutkan deburan ombak materialisme yang merajai laut kehidupan. Sementara, barisan generasi baru, pelopor kebangkitan berada di sampingnya. 

Hasan Al-Banna lahir pada 1906 di desa Mahmudiyah, kawasan Al-Buhairah, Mesir. Ayahnya, Syekh Ahmad Abdurrahman Al-Banna, adalah ulama fikih dan hadis meski sehari-hari sibuk sebagai tukang jam dan penjilid buku (As-Sa’atiy).

Sejak kecil, Al-Banna telah menunjukkan tanda-tanda sebagai orang cerdas. Di usia 12 tahun, ia mampu menghafal separuh isi Al-Quran. Ia juga mampu membaca buku-buku berat di perpustakaan pribadi ayahnya, seperti Al-Kutub AS-Sittah, Muwaththa Malik, Musnad Asy-Syafi’iy dan beberapa buku karangan ayahnya. Pada usia 14 tahun, Al-Banna mampu menghafal seluruh Al-Quran.

Pendidikannya bermula di Madrasah Mahmudiyah, Madrasah Al-Mualimin di Damanhur, Universitas Daar Al-Uluum di Kairo. Usia 21, ia menjadi guru SD Al-Isma’iliyah di wilayah Suez setelah lulus dari Daar Al-Uluum. Kelak, di tempat inilah ia menggagas terbentuknya Al-Ikhwan Al-Muslimun (IM). Di setiap jenjang pendidikan, ia tidak hanya cerdas dalam menimba ilmu, tapi juga cekatan dalam berorganisasi. 

Hari-harinya dilewati dengan penuh kegiatan. Sepulang dari madrasah, ia membantu ayahnya sebagai tukang jam sampai sore. Kelak, hal itu sangat mempengaruhi dalam ketelititian, sabar, dan disiplin. Menjelang tidur, dimanfaatkan untuk mengulang pelajaran sekolah. Sementara, membaca dan mengulang hafalan Al-Quran dilakukan seusai salat Subuh. Tidak mengherankan, jika ia mampu menghafal seluruh isi Al-Quran dengan cepat dan lulus dengan predikat terbaik dan “lima terbaik” di tingkat Nasional. 

Sebagai remaja, Al-Banna sangat prihatin dengan kelakuan penjajah Inggris yang memperbudak bangsanya. Benaknya dijejali berbagai persoalan besar dan serius yang menimpa negerinya, seperti krisis ruhani, mental, sosial, ekonomi dan lain-lain. Saat itu khalifah Utsmaniyah di Turki sebagai pengayom umat Islam di seluruh dunia mengalami keruntuhan. Kemal Attaturk memberangus ajaran Islam di Turki.

Untuk mencari solusi hal-hal tersebut, Hasan sering menemui para ulama dan tokoh masyarakat. Namun, hanya sedikit yang memberi respons positif. Di lain pihak, Hasan merasa punya kemampuan untuk berbuat sesuatu. Oleh karena itu, Al-Banna kemudian bergabung dengan halakah zikir sebelum pada akhirnya bergerak ke bidang dakwah

Ia menggalang sekelompok orang dan berdakwah di kedai-kedai kopi dua minggu sekali dengan menggunakan metode ceramah dan diskusi tentang persoalan-persoalan Islam. Dakwahnya dalam waktu singkat mendapat sambutan sangat luas baik dari kaum buruh, petani, usahawan, ilmuwan, ulama, maupun praktisi. Puncaknya terjadi pada 1928, saat Hasan mengumumkan berdirinya organisasi Al-Ikhwan Al-Muslimun (IM) yang merangkum para pengemudi, tukang cukur, penjahit, dan tukang kayu.

Dalam waktu singkat, pengikutnya bertambah luas dan makin leluasa untuk mendiskusikan masalah-masalah Islam dan tantangan serta mengenalkan sumber-sumber kekuatan dan pemberdayaan potensi tersebut.

Ia lebih suka menggunakan frasa atau kelompok kata “wahai umat manusia” daripada “wahai kaum muslimin”. Hal itu mengacu pada nilai-nilai universal sehingga masalah jarak tidak lagi jadi kendala. Kecintaannya pada nilai-nilai kemanusiaan dan komitmennya pada ukhuwah Islamiah, mendorong Al-Banna mendirikan dan memimpin Komite Solidaritas bagi kemerdekaan Indonesia. 

Setelah opini publik dan sumber-sumber kekuatan, dari bawah hingga atas, terbentuk, Hasan memindahkan gerakannya dari kota Ismailiah ke Kairo, sambil melanjutkan kuliah di Universitas Daar Al-Uluum pada 1933. 

Saat itu, bertepatan dengan memanasnya suhu politik dan pemikiran yang mengubah Mesir. Umat Islam sedang mengalami keguncangan hebat. Al-Banna memandang fenomena itu dengan kacamata orang kampung yang taat beragama dan mencari solusinya.

Dua kelompok di Kairo yang dihubungi Hasan untuk menggalang kekuatan Islam tidak memberikan sambutan yang memuaskan, yaitu Thariqat Hushafiah dan Jamiah Makarim Al-Akhlaq Al-Islamiyah. Padahal, ancaman yang dihadapi umat Islam Mesir telah menimbulkan kesenjangan antara kaum muslimin dan akidah Islam beserta ajarannya.

Hasan kemudian mengorganisir sekelompok mahasiswa Universitas Al-Azhar dan Daar Ulum guna menyelenggarakan pelatihan dakwah – tugas penyadaran dan pembumian ajaran Islam – di tengah masyarakat. Beberapa lama kemudian, kader-kader ini dapat melakukan kegiatan-kegiatan dakwah di masjid-masjid untuk kemudian dilanjutkan di tempat-tempat umum secara langsung berinteraksi dengan rakyat untuk memperkokoh idealisme Islam dan menyebarluaskannya.

Untuk menyosialisasikan pemikiran dan gerakan dakwahnya, pada 1933, Hasan menerbitkan mingguan Al-Ikhwan Al-Muslimun bersama Thanthawi Jauhari dan Muhibuddin Khatib.  Ia juga menerbitkan An-Nadzir dan At-Ta’aruf pada 1938  dan harian Al-Ikhwan pada 1946. Di samping itu, ia juga menjadi pemimpin redaksi Daar Ash-Shahafah milik Al-Ikhwan. Honor bulanan media yang dipimpinnya dia sumbangkan pada kaum fakir miskin.

Ketika didirikan, IM hanya memiliki 100 orang anggota yang dipilih sendiri oleh Hasan Al-Banna. Dalam perjalanannya, IM berkembang luas hingga melampaui batas Mesir, seperti Yordania, Siria, dan Sudan. Ketika PD II berkobar, IM berkembang pesat dan menjadi elemen penting dalam peta kekuatan Mesir. Kelompok ini menarik perhatian mahasiswa, pegawai negeri, pekerja, dan berbagai kalangan. Tak mengherankan, jika IM kemudian terwakili di setiap strata sosial masyarakat Mesir dan membuka mata khalayak pada kenyataan, pemerintah Mesir telah berkhianat pada kepentingan nasionalisme Mesir sendiri. 

Ternyata, gerakan ini banyak kesamaan dengan ormas Muhammadiah di Indonesia. Dari mengelola amal sosial, seperti panti asuhan, rumah sakit, lembaga pendidikan, perdagangan hingga para kadernya banyak menguasai organisasi profesi, seperti persatuan wartawan, organisasi kedokteran, organisasi persatuan pengacara serta perdagangan. 

Di kancah politik, organisasi IM berupaya mewujudkan dunia Islam yang bersih serta menolak sekularisasi dan westernisasi atau turut serta melawan parsialisme terhadap risalah Islam. Hasan Al-Banna juga menyerukan pengikutnya untuk masuk dalam Perang Palestina. Ribuan mujahid IM masuk ke Palestina pada gelombang pertama, meski mendapat tentangan dari pemerintah Mesir.

Hal itu mereka lakukan karena kecintaan untuk menunaikan kewajiban berjihad. Dengan menggunakan kelengkapan militer, para mujahid itu menggunakan gerbong-gerbong kereta api pengangkut barang, kemudian berjalan jauh memotong Padang Pasir Sinai untuk menyelinap melintasi batas. Beberapa minggu kemudian, setelah pecah perang, Al-Ikhwan mengibarkan bendera jihad kepada seluruh masyarakat Arab.

Pemikiran dan visi IM memang tidak terlepas dari cara pandang Hasan Al-Banna. Pemahaman IM terhadap Islam bersifat universal. “Gerakan Ikhwan adalah dakwah salafiah, tarekat Suniah, hakikat sufiah, lembaga politik, klub olahraga, lembaga ilmiah dan kebudayaan, perserikatan ekonomi dan pemikiran sosial,” kata Hasan.

Sedang ciri gerakan IM, Hasan mengatakan, “Jauh dari sumber pertentangan, jauh dari pengaruh ria dan kesombongan, jauh dari partai politik dan lembaga-lembaga politik.” Ia justru lebih memperhatikan kaderisasi, mengutamakan aspek-aspek amaliah produktif daripada propaganda dan reklame, memberi perhatian sangat serius kepada para pemuda di kota maupun di kampung-kampung.

Dakwah Hasan Al-Banna, selain berkarakter rabaniah – menyeru manusia menjauhi, menentang, melawan tirani materialisme dan kembali beriman kepada Allah dan selalu merasa dalam pengawasan-Nya – juga memiliki karakter insaniah –mengajak kepada persaudaraan di antara sesama manusia dan berusaha membahagiakan mereka, untuk semua golongan.

Dari sisi ideologi, IM banyak mengadopsi dakwah salafiah menjadi gerakan dakwahnya. Hasan menekankan kepada pentingnya penelitian dan pembahasan terhadap dalil serta pentingnya kembali kepada Quran dan sunah serta membersihkan diri dari segala bentuk kemusyrikan untuk mencapai kesempurnaan tauhid. Dakwah Ikhwan banyak dipengaruhi Syekh Abdul Wahhab, Sanusiah, dan Rasyid Ridha. Pada umumnya, dakwah tersebut merupakan kelanjutan dari Madrasah Ibnu Taimiyyah (1328 M) yang juga merupakan kelanjutan Imam Ahmad Hambal. 

Namun, jalan yang ditempuh tidak semulus yang dibayangkan. Para pengikut IM, telanjur menjadi ancaman bagi pemerintah Mesir. Para aktivis IM mulai mendapat tekanan. Serbuan fitnah seakan mengikuti langkah kaki Hasan Al-Banna. Suatu hari, ia dituduh komunis yang menentang negara dan raja Arab Saudi. Pada kesempatan lain, sebuah petisi seorang warga menyebutkan, Hasan Al-Banna diskriminatif, membedakan perlakuan terhadap murid beragam Islam dan Kristen. Uniknya, pembelaan justru datang dari umat Kristen. Sekumpulan tokoh Kristen dipimpin Pastur gereja Ortodoks Ismailiah menolak petisi tersebut. Salah satunya adalah Ketua Asosiasi Gereja, Jirjis Sorial Afandi.

Tokoh-tokoh mereka kemudian ditangkap, disiksa, dan dihukum gantung oleh penguasa Djamal Abdul Nasser. Hasan Al-Banna sendiri, pada 12 Februari 1949, dibunuh dengan berondongan enam butir peluru oleh dua penembak misterius, yang oleh banyak kalangan diyakini sebagai penembak titipan pemerintah. Sebelum pukul dua tengah malam esok harinya, upaya medis tidak bisa menyelamatkan nyawanya.

 Ia meninggalkan sepuluh hal yang menjadi lentera bagi kepribadian langka, kefasihan berbicara; pemahaman dan penguasaan masalah-masalah khilafiah yag luar biasa; pengetahuannya yang luas tentang mazhab, teori, ideologi dan pertentangan-pertentangannya dengan Islam; berterus terang menyampaikan kebenaran kepada setiap penguasa yang tiran; mengaplikasikan metode Islam di dalam perdebatan dan menghadapi kebatilan, memahami pentingnya dakwah kepada Allah secara benar; melepaskan diri dari semua belenggu dan keterikatan, kecuali keterikatan terhadap Islam; menatap masa depan; dan mengimani kematian yang suci. 

Dua karya monumentalnya adalah Muzdakkirat Al-Dakwah wa Da’iyyah (Catatan Harian Dakwah dan Dai) dan Majmu’ah Rasail (Kumpulan Surat).


Domery Alpacino:
Catatan: Pernah dimuat di majalah Islam Alkisah 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar