Setelah memeluk Islam ia rajin mengikuti pengajian di beberapa majelis
taklim. Ia bahkan juga aktif memerangi kemurtadan.
Ia merasa risau mendengar
semakin banyaknya isu “kristenisasi.” Karena itu, ia ikut mendukung secara
moril perjuangan Ustadzah Hj. Irena Handono dalam membentengi kaum ibu dan
anak-anak muslim -- yang kebetulan hidupnya tersisihkan -- dari bahaya
pemurtadan. Itulah dr. Welly R. Tinihada, yang sejak sembilan tahun lalu
menjadi muslim.
Menurut Welly, banyak cara untuk membentengi bahaya
pemurtadan itu. Salah satu di antaranya melakukan kajian Kristologi – sebuah
studi tentang seluk beluk agama Kristen lewat titik pandang Al-Quran dan hadis.
“Kalau sebagian besar kaum muslimin bergandengan tangan,
bergotong-royong, tentulah upaya pemurtadan tidak berhasil. Kalau batang lidi
bisa dikumpulkan menjadi satu, niscaya akan menjadi satu ikatan yang kuat, bisa
untuk menyapu. Bahkan, kalau sapu itu kena golok pun tak bakal putus. Paling
hanya beberapa lidi saya yang putus. Tapi, kalau lidi-lidi itu tercerai berai
akan gampang dihancurkan. Bukankah kejahatan yang terorganissasi mampu
mengalahkan kebaikan yang amburadul?” kata Welly yang pernah menjadi penyiar
RRI Pusat (1992-1995) dan pembaca berita di TVRI (1996-1999).
Welly, yang kini bekerja di sebuah perusahaan farmasi lokal sebagai medical
manager, merasa bertanggungjawab untuk mencegah upaya pemurtadan -- meski
hanya sebatas memberikan bantuan moril. Pasalnya, dalam Al-Quran surah
Al-Baqarah ayat 120 dinyatakan bahwa orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan
senang sehingga kaum muslimin mengikuti agama mereka.
Itu sebabnya dalam dua tahun terakhir ini Welly rajin mengikuti
pengajian. Terutama pengajian yang digelar oleh Majelis Taklim Al-Manthiq pimpinan
Dr. Bambang Sukamto (di Masjid Namira di Tebet Barat Dalam, Jakarta
Selatan) yang menghimpun para mualaf -- saudara seiman yang baru memeluk Islam.
Selain itu sebulan sekali ia juga mengikuti studi Kristologi yang digelar
oleh Ustaz Wahid Rosyid Lasiman (dari Yogyakarta) di Kwitang, Jakarta Pusat.
Pagi-pagi buta, ia sering menjemput Uztaz Wahid di stasiun Jatinegara, Jakarta
Timur. Bersama istri, ia juga mengikuti tour dakwah Ustaz Wahid di
beberapa majelis taklim di Jakarta hingga larut malam.
Pendeta Kenamaan
Lahir di Jakarta, 20 Juni 1963, ia anak ketiga dari lima bersaudara
pasangan Anton Tinihada dan Harmonia Riung, asal Sangir Talaud, Maluku Utara.
Mereka adalah keluarga yang taat menganut Kristen Protestan. Ayahandanya
anggota Angkatan Laut berpangkat pembantu letnan satu, sementara ibundanya
seorang bidan. Kakeknya, baik dari garis ayah maupun ibu, adalah pendeta
kenamaan di Sangir Talaud. Menjelang berusia dua tahun, ayahandanya ditugaskan
ke Bitung, sekitar 45 kilometer dari Manado. Welly kecil pun ikut bersama
keluarga pindah ke sana.
Di Bitung, Welly bersekolah di SD Katolik. Setelah tamat
SD, ia melanjutkan di SMP dan SMA Negeri Girian, sekitar 10 kilometer dari
Bitung. Sejak kelas tiga SD ia sudah bercita-cita menjadi pendeta seperti
kakeknya. Dalam pandangan Welly kecil, pendeta adalah figur yang bisa memberi
kesejukan, ketenangan, jauh dari kejahatan dan mabuk-mabukan. Sejak kecil Welly
memang sering menyaksikan anak-anak muda di sekitar rumahnya yang suka minum
minuman keras dan mabuk-mabukan. Terutama di malam Natal dan Tahun Baru.
Welly merasa ia harus meninggalkan kebiasaan buruk
seperti itu. Bukan hanya minum dan mabuk-mabukkan, Welly bahkan juga tidak
merokok. Tentu saja, para tetangga, guru, dan teman-temannya di sekitar rumah
dan di sekolah banyak yang bersimpati kepadanya. Akhirnya, ia menjadi semacam
panutan di kalangan remaja. “Contoh tuh, perilaku baik Welly!” kata
mereka. Selain tidak minum, mabuk dan
merokok, Welly juga selalu menjadi bintang kelas sejak SD hingga SMA.
Di lain pihak, sebagai anak muda Welly mudah bergaul.
Ketika masih duduk di bangku SMA, ia menjadi Koordinator Pemuda Gereja
Protestan di kompleks Angkatan Laut di Bitung. Meski berlainan agama, ia dan
teman-temannya sering mengikuti takbir di malam Lebaran, keliling kampung.
Dengan mengendarai truk Angkatan Laut dan memukul beduk, para pemuda Kristen
dan Islam berbaur menjadi satu mengumandangkan takbir, tahlil dan tahmid. “Saya
malah sampai hafal betul kalimat takbir, tahlil dan tahmid,” tutur Welly. “Saya
betul-betul merasakan kehidupan yang indah dalam kerukunan hidup beragama,
tidak ada permusuhan,” tambahnya.
Singkat cerita, pada 1982 ia lulus SMA. Ketika itu ia
sudah melupakan cita-citanya untuk menjadi pendeta; ia ingin menjadi dokter.
Maka berangkatlah ia ke Jakarta, dan mendaftar sebagai mahasiswa di Fakultas
Kedokteran, Universitas Indonesia. Tapi, setelah mengikuti tes Sipenmaru
(seleksi penerimaan mahasiswa baru), ia gagal. Di tengah rasa frustrasi karena
tidak lulus tes, Welly mendengar di Batu, Malang, ada sekolah pendeta yang
masih menerima calon siswa. Bersama pamannya yang tinggal di Surabaya, ia
menuju Batu. Tapi, pendaftaran sudah ditutup.
Apa boleh buat, ia pun segera kembali ke Jakarta untuk
mengejar saat pendaftaran di Sekolah Tinggi Teologia di Jalan Proklamasi,
Jakarta Pusat. Anehnya, ia tak berhasil menemukan lokasi STT.
Pulang ke rumah pamannya di
jakarta, ia membaca iklan di sebuah koran tentang pembukaan pendaftaran
gelombang kedua di Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Jakarta (Ukrida) di
Jalan Gunung Sahari, Jakarta Pusat. Ia pun mendaftar dan diterima.
Menginjak semester dua, Welly aktif di organisasi Keluarga Mahasiswa
Kristen (KMK) Ukrida. Ketika itulah ia berkenalan dan berpacaran denga Sri
Abiyarti, teman kuliahnya, gadis keturunan keluarga Banten yang muslim. Suatu
hari Abiyarti meminjam buku biologi kepada Welly. Lambat laun mereka
bersahabat, bahkan sering belajar bersama. Dan lama-kelamaan, seperti bisa
diduga, keduanya pun saling jatuh cinta.
Dalam berpacaran, Welly sering membujuk Abiyarti masuk
Nasrani. “Saya juga sering mengajak dia ke gereja. Dia sempat beberapa kali
menemani saya ke gereja,” tutur Welly. Tapi, rupanya Abiyarti hanya sekadar
menemani. Tak sedikit pun iman Islamnya goyah. “Dia suka melahap buku-buku
filsafat, psikologi, sejarah, dan berbagai buku agama. Jadi, rupanya ia hanya
ingin mengetahui agama Kristen saja,” kata Welly.
Masalah Keyakinan
Menginjak semester empat, hubungan mereka ketahuan oleh
kakak perempuan Abiyarti. Maka sang kakak pun melaporkannya kepada orangtuanya
di Karawang, Jawa Barat. Kontan, ayahandanya memanggil pulang Abiyarti untuk
disidang. “Kalau kamu masih melanjutkan hubungan dengan Welly dan menikah,
berarti kamu berzina. Saya tidak mau anak saya memeluk agama lain,” kata Welly
menirukan ucapan ayahandanya. “Kamu memutuskan hubungan dengan Welly atau saya
pindahkan ke Fakultas Kedokteran Universitas Maranata, Bandung,” tambah
ayahandanya.
“Kalau Welly mau masuk Islam, bagaimana?” tanya Abiyarti.
“Kalau dia memeluk Islam, saya nikahkan kamu sekarang
juga, dan kuliahnya saya biayai. Saya beri waktu sehari untuk menjawab,” jawab
sang ayah.
Maka Abiyarti pun kembali ke Jakarta dan menemui Welly.
“Ini masalah keyakinan. Dan bagi saya ini masalah berat,” kata Welly.
“Tapi, bapak hanya memberi waktu sehari,” desak Abiyarti.
Maka Welly pun minta waktu semalam untuk memutuskan
masalah pelik itu. “Kalau malam nanti saya dapat petunjuk dari Tuhan Yesus,
apapun petunjuk itu akan saya ikuti,” kata Welly. Malam itu, pukul 24:00, ia
pun berdoa sembari berurai air mata. Usai berdoa ia tidur. Dalam tidurnya ia
bermimpi bertemu dengan seorang laki-laki yang mengendarai sedan warna biru di
pinggir pematang sawah. Laki-laki itu tinggi besar, berkopiah hitam, mengenakan
baju safari biru. Ia turun dari mobil, menyerahkan sebuah buku bersampul hitam
kepada Welly sembari tersenyum dan mengucap salam, tanpa sepatah kata pun
keluar dari mulutnya. Sejurus kemudian ia raib.
Bangun pagi-pagi, ia merasa telah mendapat petunjuk
Tuhan. Menurut Welly, mimpi itu mengisyaratkan agar dia memeluk Islam -- karena
lelaki dalam mimpi itu mengenakan kopiah hitam seperti lazimnya orang Islam. Ia
juga mengucap salam. “Mimpi itulah yang menenangkan gejolak hati saya yang
selalu berdebar-debar,” kata Welly.
Segeralah ia menemui Abiyarti, menceritakan mimpinya
semalam. Tanpa membuang waktu, Welly bersama Abiyarti menemui dr. H. Natjep
Soeryana SKM dan Nyi Mas Soernenglis – kedua orangtua Abiyarti – di Karawang,
Jawa Barat. Tapi, bukan main kagetnya. Ketika duduk di ruang tamu, Welly
melihat foto ayahanda Abiyarti – yang sama persis seperti lelaki yang muncul
dalam mimpinya. Padahal, ia belum pernah bertemu dengan ayahanda Abiyarti.
Sejurus kemudian, Welly bertemu dengan kedua orangtua Abiyarti. “Saya siap
memeluk Islam. Saya ingin memeluk Islam
karena kesadaran sendiri, tidak dipaksa, dan bukan karena maalah cinta,” kata
Welly tegas.
Beberapa hari kemudian, 14 Agustus 1985, Welly – Abiyarti
pun menikah secara Islam. Ia juga mendapat nama simbolik dari mertuanya: Rikat
Aria Sabrang, yang artinya “pangeran cekatan dari tanah seberang.” Setelah
berumah tangga selama 10 tahun, kini mereka dikaruniai oleh Allah SWT seorang
putri cantik bernama Mutiara Kinanti.
Setelah mantap memeluk Islam, Welly tak tinggal diam. Ia
ingin mengenal Islam lebih dekat dan lebih mendalam. Setiap hari ia belajar
membaca dan memahami kandungan Al-Quran, selain melahap sejumlah buku mengenai
Islam. “Saya ingin tahu lebih dahulu hakekat Islam. Kebenaran Islam itu seperti
apa,” katanya.
Dan akhirnya ia menemukan
kebenaran sejati. Ia juga ingin menunaikan ibadah umrah dan haji.
Yang pasti, sejak memeluk Islam dia merasa bahagia dan
tenteram. Dengan mantap ia selalu berkata dalam hati, “Saya ingin menjalani
hidup ini dengan tenang, dekat dengan kebaikan, jauh dari kemungkaran dan punya
keluarga yang sakinah, penuh rahmat dari Allah SWT.”
Domery Alpacino
Catatan: Pernah dimuat di majalah Islam
Alkisah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar