Setelah pindah dari satu agama
ke agama lain, ia menemukan kebenaran. Dan akhirnya seluruh keluarganya memeluk
Islam.
IA sering diperkenalkan sebagai “ustaz dari Hongkong.” Ia memang
keturunan Cina asal Hongkong. Itulah Mahmud Yunus, yang nama aslinya Lauw
Pengkun, muballig yang jadual ceramarnya cukup padat. Dari mesjid ke mesjid,
dari kampung ke kampung, dari majelis taklim ke majelis taklim, dari kota ke
kota. Bahkan pernah sekali ia berdakwah sampai ke Malaysia.
Ceramahnya kadang terdengar keras. Tapi, lebih sering menguras air mata.
Ia pun menyisipkan dalil-dalil Alquran dan hadist dengan fasih. Ia mampu
menjawab semua keluhan dan pertanyaan jemaah dengan bijak. Ia memberikan resep
jitu berlandaskan Alquran dan hadist.
Prinsip dakwahnya hanyalah semata-mata ikhlas karena Allah sebagaimna
disebut dalam Alquran (6:162): Katakanlah,
sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan
semesta alam.
Dalam menjalani hidup sehari-hari, ia ingin selalu mengacu pada kehidupan
Rasulullah, sebagaimana disebut dalam Alquran (33:21): Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yang baik
bagimu, yaitu bagi orang-orang yang mengharap rahmat Allah dan kedatangan hari
kiamat, sementara ia banyak menyebut Allah.
Profesinya sebagai muballig pun ia dasarkan pada Alquran, yaitu mencari
kebahagiaan akhirat dan kenikmatan dunia. Ia merujuk pada Alquran (28:77): Dan carilah pada apa yang telah
dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu
lupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi; dan berbuat baiklah sebagaimana
Allah telah berbuat baik kepadamu; dan janganlah kamu berbuat kerusakan di
bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.
Pengkun merasa bersyukur, ia masih sering diundang dan dihormati oleh
umat. Ia merasa sangat terharu menerima sambutan umat yang bergitu antusias,
sementara ia ingat betapa Rasulullah ketika berdakwah di Taif bukannya disambut
dengan baik, tapi malah dilawan, dilempari dengan batu.
Menyumbang Fakir Miskin
Itu sebabnya ia tak pernah menghargai dakwahnya dengan materi. Baginya,
dakwah tak lain ialah silaturahmi. Ia selalu ingat sabda Rasulullah: “Hai para
sahabat, tahukah kamu amalan yang derajatnya sama dengan para nabi atau
syuhada?” Tanya para sahabat: “Apa ya Rasulullah?” Jawab Rasulullah: “Yaitu
orang yang senantiasa bersilaturahmi karena Allah.”
Meski begitu, ia bukannya menolak jika ada jemaah yang memberinya sekedar
“amplop” usai berdakwah. Sebaliknya, tak sedikit pula umat yang mengundang
Pengkun berdakwah tanpa imbalan sepeser pun. Toh ia tetap menerimanya dengan
rasa syukur. Usai berdakwah, biasanya ia bersedekah. Sebab ia beranggapan bahwa
rezeki yang ia peroleh dari berdakwah adalah rezeki dari Allah. Ia selalu
menyumbang untuk pembangunan mesjid, mushalla atau rumah yatim piatu dan fakir
miskin.
Pengkun lahir pada 5 Mei 1968 di Petojo, Tanah Abang,
Jakarta Pusat, dari pasangan Lauw Tjuiw dan Tjia Neng Suh. Anak kelima dari
enam bersaudara ini dibesarkan di lingkungan keluarga yang taat beragama
Honghucu. Sejak kecil ia biasa diajak ke kelenteng oleh ayah ibu atau
kakak-kakaknya. “Saat itu saya hanya ikut-ikutan saja. Tidak tahu arti doa yang
diucapkan dan belum tahu maksud serta tujuannya,” kata Pengkun.
Ketika berusia 10 tahun, Pengkun ikut kakak sulungnya Mei Lani di Petojo,
membantu menjaga toko sembako Subur Makmur. Suatu hari, ketika sedang
menjaga toko, ia membaca kisah Sidharta Gautama yang ia temukan di antara
tumpukan kertas pembungkus. Ia tertarik akan kisah Sang Budha, terutama
kejujurannya.
Karena itu ia mulai kesal terhadap perilaku kakaknya yang suka mengurangi
timbangan beras bila ada pembeli. Maka diam-diam, tanpa sepengetahuan kakaknya,
ia suka menambahkan kekurangan beras itu kepada para pembelinya. Tapi tak
jarang ia menegur kakaknya yang curang itu. Dari situlah ia sering bertengkar dengan
kakaknya.
Suatu hari, Pengkun ingin tahu lebih banyak tentang Sidharta. Ia
memberanikan diri berkunjung ke wihara di kawasan Gunung Sahari, Jakarta Pusat.
Di sana ia berkenalan dengan banyak kaum budhis dan mendapat siraman ruhani. Ia
pun menemukan kedamaian. Mula-mula ia ikut sembahyang bersama-sama dan aktif
dalam semua kegiatan wihara.
Dipantek Pakai Kayu
Enam bulan kemudian ia harus pindah ke Karawang mengikuti kepindahan
orangtuanya. Di tempat baru ini beberapa temannya mengajaknya beribadat ke gereja.
Entah kenapa, ia mau saja menerima ajakan itu. Singkat cerita, ia pun dibaptis
dengan nama Yohanes. Sejak itu ia aktif ke gereja, juga dalam berbagai
kegiatannya. Sesekali ia memimpin koor lagu gerejani karena punya suara merdu.
Ia juga sering mengajak teman-teman lainnya, khususnya yang beragama Budha,
pergi ke gereja. “Banyak juga yang mau ikut saya dan akhirnya memeluk agama
Kristen,” tutur Pengkun.
Suatu hari Pengkun berpikir, “Tuhan kok bisa dipantek pakai paku
ya? Kenapa saat dipantek, Tuhan juga minta tolong berkali-kali? Berarti Yesus
itu sangat lemah, dong.” Berbagai pertanyaan berkecamuk di benak Pengkun.
Mengapa pula para pendeta selalu menekankan agar para jemaah menggunakan
pakaian rapi dan bersepatu bila ke gereja? Sedangkan Yesus sendiri hanya
berpakaian kolor dan bertelanjang dada?
Maka setiap kali ke gereja ia selalu bengong, pikirannya mulai goyah dan
gelisah. Hatinya mulai bimbang akan kebenaran agama itu. Ketika itulah ia mulai
penasaran dan mencari-cari agama yang cocok. Maka, ia pun tak lagi aktif ke
gereja. Kebetulan ia harus kembali ikut kakak sulungnya di Petojo menjaga toko
sembako. Setiap hari, ia biasa membuka toko sekitar pukul empat pagi, dan
menjaga toko seorang diri hingga siang hari. Baru setelah itu kakaknya datang.
Sembari menjaga toko ia mengamati kehidupan tetangga sebelah rumah,
seorang pedagang telur yang beragama Islam. Ia tampak hidup tenang dan
bersahaja. Belakangan, diam-diam, ia belajar salat kepada si pedagang telur,
kemudian belajar berpuasa. Di bulan Ramadhan ia bahkan diam-diam pergi ke
mesjid seorang diri. Kadang ke Mesjid Istiqlal, kadang ke Baiturahim di Istana
Negara, ikut salat isya dan tarawih berjemaah. Tapi, kepada kakaknya ia selalu
mengatakan nonton film atau jalan-jalan bersama teman.
Suatu pagi, bakda subuh, ia mendengarkan ceramah ustaz Ridwan Arifin
Nasution di radio Antar Nusa yang berbicara tentang orang-orang yang
akan masuk ke dalam neraka, disiksa selama-lamanya. “Begitu saya mendengar
ceramah itu, seluruh bulu roma saya merinding, badan rasanya panas dingin,”
tutur Pengkun. Setiap kali ia mendengarkan ceramah ustaz Ridwan jantungnya
selalu berdebar-debar. Belakangan, selama dua malam berturut-turut ia mimpi
disunat. “Dengan mimpi itu apakah berarti saya harus masuk Islam?” tanya
Pengkun dalam hati.
Menyempurnakan Agama
Sejak itu, hatinya selalu merinding mendengar alunan ayat-ayat suci
Alquran. Juga ketika azan magrib dikumandangkan. “Padahal, saya tidak tahu
artinya,” katanya. Beberapa hari kemudian, Jumat pagi, usai membuka toko – hanya
dengan mengenakan kaus oblong, celana pendek dan sandal jepit -- ia menemui ustaz Ridwan Arifin Nasution.
Sebelumnya, ia pernah berbicara kepada kakak sulungnya. “Seandainya saya masuk
Islam, apakah Taci akan mengusir saya?” tanya Pengkun. “Kamu harus keluar dari
rumah ini,” jawab kakak sulungnya itu.
Di rumah ustaz Ridwan, ia mengungkapkan niatnya untuk diislamkan secara
resmi, meski sejatinya ia sudah melakukan puasa Ramadhan dan menjalankan
sebagian salat fardu. “Pikiran saya ketika itu, rasanya belum sempurna kalau
tidak mengikrarkan secara lisan dan disaksikan banyak orang”, katanya.
Pada 1982, resmilah Pengkun menyempurnakan agamanya
dengan memeluk Islam di rumah ustaz Ridwan, disaksikan puluhan santri. Nama
baptisnya, Yohanes, diganti dengan Mahmud. “Nama Mahmud itu pemberian ustaz
Ridwan. Dan saya bangga menerima nama itu,” katanya tersenyum. Tak lama
kemudian ia disunat, dan mendapat tawaran dari ustaz Ridwan: tinggal di rumah
ustaz atau masuk pondok pesantren. Mahmud Yunus memilih masuk pesantren Yayasan
Pondok Karya Pembangunan Cibubur, Jakarta Timur.
Ketika itu, meski usia Mahmud sudah 16 tahun, ia terpaksa duduk di kelas
V. “Maklum, saya selalu berpindah-pindah, hingga sekolah saya terlambat. Tapi,
alhamdulillah ketika sekolah di YKP saya selalu berhasil di ranking
pertama terus,” katanya. Siang hingga malam hari ia bekerja mengepel dan
membersihkan ruang kelas hingga kamar mandi. Ia juga mendapat tugas tambahan
mencangkul sawah seluas 18 hektar bersama sejumlah kawan lain. Di sela-sela
kesibukannya ia belajar mengaji kepada para ustaz. “Semua itu saya kerjakan
dengan ikhlas meski tidak dibayar. Yang penting saya bisa menuntut ilmu agama,
makan dan tidur secara gratis,” kenangnya.
Di sekolah ini pula, Mahmud mendapat tambahan nama Yunus sehingga
lengkapnya Mahmud Yunus. Nama itu ia peroleh dari seorang teman sekaligus
“orangtua” yang selalu membimbing ke agama keselamatan.
Mantap dengan Islam
Suatu hari ia ditegus oleh kepala sekolah gara-gara pacaran. Islam memang
tidak memperbolehkan dua manusia lawan jenis saling bermesraan sebelum menikah.
Karena belum tahu, ia marah-marah. Ia pun menggebrak meja keras-keras hingga
sang kepala sekolah lari ketakutan. Maklum, Mahmud pernah belajar kungfu.
Akhirnya Mahmud dipindahkan ke Madrasah Tsanawilah Jam’iyyatul Khair,
Tanah Abang. “Ketika saya dipindahkan, banyak guru dan teman-teman menangis.
Mereka merasa kehilangan, dan takut saya kembali murtad. Padahal, saya sudah
mantap dengan Islam,” katanya. Belakangan ia juga pindah tempat tinggal. Ia
tinggal sementara di rumah bibi yang beragama Kristen di Petojo. Sepulang
sekolah ia membantu bibinya yang berdagang sembako.
Lulus dari Madrasah Tsanawiyah, Mahmud melanjutkan ke
Madrasah Aliyah Negeri III BBS, Ciputat. Bersamaan dengan itu, ia pun kembali
tingal di rumah kakak sulungnya, Mei Lani. Sang kakak menerimanya dengan senang
hati. “Mungkin karena saya punya sikap dan tingkah laku yang lebih baik setelah
masuk Islam,” katanya. Tamat dari MAN, ia kuliah di jurusan dakwah Al-Ma’had
Al-Hikmah di Jakarta, dan lulus dengan predikat sangat memuaskan.
Ketika Mahmud masih belajar di Madrasah Tsanawiyah,
ibunya sempat menengok. Mereka pun ngobrol dengan mesra. Maklum, sejak kabur
dari rumah kakak sulungnya, Mahmud tak pernah sekalipun berkomunikasi dengan
orangtua dan saudara-saudara kandungnya. Apalagi saling berjumpa. Saat ibunya
hendak pulang menjelang salat zuhur, Mahmud mencoba mencegahnya. “Mama, tunggu
dulu sebentar, saya mau azan dulu,” kata Mahmud. Diam-diam, sang ibu
mendengarkan alunan azan anaknya dengan takzim. Alunan azan itu membuat jiwa
ibunya tersentuh. “Usai azan, saya lihat ibu berurai air mata,” kenang Mahmud.
Beberapa hari kemudian, ibunda Mahmud menyempurnakan agamanya pula dengan
memeluk Islam. Namanya yang semua Tjia Neng Suh diganti dengan Ningsih. “Saya
sendiri yang mengantarkan ibu ke mesjid. Dengan disaksikan banyak orang, saya
mengislamkan Ibu saya,” tutur Mahmud berkaca-kaca. Dua tahun kemudian, ibunda
Mahmud dipanggil ke hadirat Allah SWT sebagai muslimah. “Alhamdullilah, mama
meninggal dalam keadaan Islam. Semoga ia mendapat surga jannatun na’im,”
doa Mahmud berkali-kali.
Mami dan Papi
Sebelum ibunya wafat, ayahanda Mahmud -- seorang pengusaha Metromini –
telah pula memeluk Islam. Namanya pun, Lau Tjuiw diganti dengan Latif Sofyan. “Ayah
mendapat hidayah setelah saya sering melantunkan ayat-ayat suci Alquran di
rumah,” kata Mahmud bangga. Sebelumnya, sang ayah memang sering bertanya
tentang arti ayat-ayat suci Alquran setiap kali Mahmud membacanya. Dengan
sabar, sang anak menerangkan satu demi satu. “Masuknya mami dan papi ke dalam
Islam mungkin karena melihat tingkah laku saya yang berubah total. Ketika kecil
saya kurang bergaul, suka main judi dan mencuri uang,” kata Mahmud.
Setelah kedua orangtuanya menjadi muslim dan muslimah, menyusul kakak
ketiga, Lao Mei Ing masuk Islam dan berganti nama Siti Maryam. Beberapa tahun
kemudian menyusul kakak kedua, Lao Ho Kie yang berganti nama Khoirus Salam. Dan
beberapa bulan kemudian kakak keempat, Lao Peng An, juga masuk Islam dengan
berganti nama Slamet. Sementara Mei Tie, adik perempuan satu-satunya, masuk
Islam belakangan; ia berganti nama Susi Susanti.
Hanya kakak sulung Mahmud yang hingga kini belum masuk Islam. Sebenarnya
ia ingin masuk Islam, cuma katanya berat, khususnya jika harus salat subuh.
Sebaliknya, ketika Mahmud bertanya mengapa masih ke gereja, kakak sulungnya itu
menjawab, “Saya hanya ikut-ikutan saja. Lagi pula ke gereja kan cuma seminggu
sekali.”
Pada usia 21 tahun, Mahmud berniat menkah. Ia takut berbuat zina.
Terutama setelah membaca hadist yang menyebutkan, barangsiapa berbuat zina
sekali saja gugurlah amal ibadah selama 40 tahun. Ia pun menikah dengan Iah
Marsiah, pembantu kakak sulungnya, seorang janda ditinggal mati suami yang
beranak dua, pembantu kakak sulungnya yang saat itu sudah 50 tahun. Meski
orangtua dan saudara-saudaranya tidak setuju, mereka tetap menikah di Sukabumi,
Jawa Barat.
Ketika itu ia masih duduk di Madrasah Aliyah Negeri di Jakarta. Sambil
sekolah ia menjadi muazin di Mesjid Al-Amin, Pusat Perbelanjaan Glodok,
Jakarta Barat dengan honorarium Rp 5 atau Rp 10 ribu untuk sekali azan. Suatu
hari, ia harus menjadi khatib pengganti karena khatib yang resmi berhalangan.
Ketika ia membawakan khotbah yang berkaitan dengan surat Ali Imran,
jemaah banyak yang menangis. Usai salat Jumat, seseorang mengajaknya berceramah
di Aceh. Ia pun pergi ke Aceh bersama ibunnya.
Ingin Selalu Adil
Delapan tahun menikah, Mahmud belum juga dikaruniai keturunan. Itu
sebabnya istri ahmud mempersilakannya menikah lagi. Meski terasa berat, Mahmud
menerimanya juga. “Andai istri saya tidak menyuruh saya menikah lagi, saya
tidak bakal mau,” katanya. Maka isteri dan kakak iparnya pun sibuk mencarikan
jodoh. Akhirnya, kakak iparnya menemukan seorang muslimah, Kusumayanti. Mahmud
menikah kedua kalinya disaksikan oleh istri pertama. Mereka dikarunia Allah dua
anak lelaki.
Mahmud sadar, ia harus adil terhadap kedua isterinya. “Kalau bicara adil
memang agak berat. Tapi, saya tetap berusaha untuk adil. Saya berusaha
meletakkan sesuatu pada tempatnya. Semoga Allah yang Maha Tahu memaklumi hal
ini,” kata Mahmud merendah.
Mahmud pun membagi sebagian rezeki kepada kedua istrinya secara adil.
Untuk lauk pauk, istri pertama memperoleh Rp 25.000, istri kedua Rp 30.000
sehari di luar beras dan kebutuhan lain. Sedang untuk kebutuhan batin, sehari
ia tinggal bersama istri pertama dan hari berikutnya tinggal di istri kedua.
“Bila lebaran tiba, tergantung Lebaran itu jatuh di istri yang mana. Kalau
jatuh di istri pertama, ya lebaran di istri pertama; kalau jatuh di istri
kedua, ya di istri kedua,” kata Mahmud.
Selain terus berusaha membina keluarga sakinah, Ustaz Mahmud ingin
menjadi hamba Allah yang sempurna. “Saya ingin meninggal dalam keadaan khusnul
khatimah,” katanya. Ketika menunaikan ibadah haji beberapa bulan lalu, ia
berkali-kali berdoa di Multazam -- ruang terbuka antara pintu Ka’bah dan hajar
aswad. Menurut Rasulullah, berdoa di Multazam sangat makbul.
Kini, di tengah kesibukannya berdakwah, ia berharap bisa
segera membangun sebuah pondok pesantren untuk anak yatim piatu tanpa memungut
biaya sepeser pun. Atau, sebuah Taman Kanak-kanak Islam, karena kebetulan istri
keduanya adalah lulusan Pendidikan Guru Taman Kanak-kanak. “Saya sudah mendapat
tanah wakaf dari seorang mualaf seluas 1.000 M2. Karena tempatnya di bawah
tegangan listrik tinggi, tanah itu akan saya jual lalu uangnya untuk membeli
tanah di tempat yang lebih strategis,” katanya.
Sungguh, cita-cita yang sangat luhur. Padahal, kehidupan
Ustaz Mahmud Yunus sendiri bukan tergolong mewah. Keluarganya hidup dalam
kesederhanaan – satu hal yang justru dianjurkan oleh Rasulullah. Ia selalu
pergi dan pulang berdakwah dari rumahnya di kawasan Sawangan, Bogor, yang
sederhana dengan mengendarai sepeda.
Domery Alpacino
Catatan: Pernah dimuat di majalah Islam Alkisah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar