Laman

Minggu, 15 Agustus 2004

Hidayah dari Radio Antar Nusa

Setelah pindah dari satu agama ke agama lain, ia menemukan kebenaran. Dan akhirnya seluruh keluarganya memeluk Islam.

IA sering diperkenalkan sebagai “ustaz dari Hongkong.” Ia memang keturunan Cina asal Hongkong. Itulah Mahmud Yunus, yang nama aslinya Lauw Pengkun, muballig yang jadual ceramarnya cukup padat. Dari mesjid ke mesjid, dari kampung ke kampung, dari majelis taklim ke majelis taklim, dari kota ke kota. Bahkan pernah sekali ia berdakwah sampai ke Malaysia.

Ceramahnya kadang terdengar keras. Tapi, lebih sering menguras air mata. Ia pun menyisipkan dalil-dalil Alquran dan hadist dengan fasih. Ia mampu menjawab semua keluhan dan pertanyaan jemaah dengan bijak. Ia memberikan resep jitu berlandaskan Alquran dan hadist.

Prinsip dakwahnya hanyalah semata-mata ikhlas karena Allah sebagaimna disebut dalam Alquran (6:162): Katakanlah, sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam

Dalam menjalani hidup sehari-hari, ia ingin selalu mengacu pada kehidupan Rasulullah, sebagaimana disebut dalam Alquran (33:21): Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu, yaitu bagi orang-orang yang mengharap rahmat Allah dan kedatangan hari kiamat, sementara ia banyak menyebut Allah.

Profesinya sebagai muballig pun ia dasarkan pada Alquran, yaitu mencari kebahagiaan akhirat dan kenikmatan dunia. Ia merujuk pada Alquran (28:77): Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu lupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi; dan berbuat baiklah sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu; dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.

Pengkun merasa bersyukur, ia masih sering diundang dan dihormati oleh umat. Ia merasa sangat terharu menerima sambutan umat yang bergitu antusias, sementara ia ingat betapa Rasulullah ketika berdakwah di Taif bukannya disambut dengan baik, tapi malah dilawan, dilempari dengan batu.           

Menyumbang Fakir Miskin

Itu sebabnya ia tak pernah menghargai dakwahnya dengan materi. Baginya, dakwah tak lain ialah silaturahmi. Ia selalu ingat sabda Rasulullah: “Hai para sahabat, tahukah kamu amalan yang derajatnya sama dengan para nabi atau syuhada?” Tanya para sahabat: “Apa ya Rasulullah?” Jawab Rasulullah: “Yaitu orang yang senantiasa bersilaturahmi karena Allah.”

Meski begitu, ia bukannya menolak jika ada jemaah yang memberinya sekedar “amplop” usai berdakwah. Sebaliknya, tak sedikit pula umat yang mengundang Pengkun berdakwah tanpa imbalan sepeser pun. Toh ia tetap menerimanya dengan rasa syukur. Usai berdakwah, biasanya ia bersedekah. Sebab ia beranggapan bahwa rezeki yang ia peroleh dari berdakwah adalah rezeki dari Allah. Ia selalu menyumbang untuk pembangunan mesjid, mushalla atau rumah yatim piatu dan fakir miskin.    

            Pengkun lahir pada 5 Mei 1968 di Petojo, Tanah Abang, Jakarta Pusat, dari pasangan Lauw Tjuiw dan Tjia Neng Suh. Anak kelima dari enam bersaudara ini dibesarkan di lingkungan keluarga yang taat beragama Honghucu. Sejak kecil ia biasa diajak ke kelenteng oleh ayah ibu atau kakak-kakaknya. “Saat itu saya hanya ikut-ikutan saja. Tidak tahu arti doa yang diucapkan dan belum tahu maksud serta tujuannya,” kata Pengkun.

Ketika berusia 10 tahun, Pengkun ikut kakak sulungnya Mei Lani di Petojo, membantu menjaga toko sembako Subur Makmur. Suatu hari, ketika sedang menjaga toko, ia membaca kisah Sidharta Gautama yang ia temukan di antara tumpukan kertas pembungkus. Ia tertarik akan kisah Sang Budha, terutama kejujurannya.

Karena itu ia mulai kesal terhadap perilaku kakaknya yang suka mengurangi timbangan beras bila ada pembeli. Maka diam-diam, tanpa sepengetahuan kakaknya, ia suka menambahkan kekurangan beras itu kepada para pembelinya. Tapi tak jarang ia menegur kakaknya yang curang itu. Dari situlah ia sering bertengkar dengan kakaknya.

Suatu hari, Pengkun ingin tahu lebih banyak tentang Sidharta. Ia memberanikan diri berkunjung ke wihara di kawasan Gunung Sahari, Jakarta Pusat. Di sana ia berkenalan dengan banyak kaum budhis dan mendapat siraman ruhani. Ia pun menemukan kedamaian. Mula-mula ia ikut sembahyang bersama-sama dan aktif dalam semua kegiatan wihara.

Dipantek Pakai Kayu

Enam bulan kemudian ia harus pindah ke Karawang mengikuti kepindahan orangtuanya. Di tempat baru ini beberapa temannya mengajaknya beribadat ke gereja. Entah kenapa, ia mau saja menerima ajakan itu. Singkat cerita, ia pun dibaptis dengan nama Yohanes. Sejak itu ia aktif ke gereja, juga dalam berbagai kegiatannya. Sesekali ia memimpin koor lagu gerejani karena punya suara merdu. Ia juga sering mengajak teman-teman lainnya, khususnya yang beragama Budha, pergi ke gereja. “Banyak juga yang mau ikut saya dan akhirnya memeluk agama Kristen,” tutur Pengkun.

Suatu hari Pengkun berpikir, “Tuhan kok bisa dipantek pakai paku ya? Kenapa saat dipantek, Tuhan juga minta tolong berkali-kali? Berarti Yesus itu sangat lemah, dong.” Berbagai pertanyaan berkecamuk di benak Pengkun. Mengapa pula para pendeta selalu menekankan agar para jemaah menggunakan pakaian rapi dan bersepatu bila ke gereja? Sedangkan Yesus sendiri hanya berpakaian kolor dan bertelanjang dada? 

Maka setiap kali ke gereja ia selalu bengong, pikirannya mulai goyah dan gelisah. Hatinya mulai bimbang akan kebenaran agama itu. Ketika itulah ia mulai penasaran dan mencari-cari agama yang cocok. Maka, ia pun tak lagi aktif ke gereja. Kebetulan ia harus kembali ikut kakak sulungnya di Petojo menjaga toko sembako. Setiap hari, ia biasa membuka toko sekitar pukul empat pagi, dan menjaga toko seorang diri hingga siang hari. Baru setelah itu kakaknya datang. 

Sembari menjaga toko ia mengamati kehidupan tetangga sebelah rumah, seorang pedagang telur yang beragama Islam. Ia tampak hidup tenang dan bersahaja. Belakangan, diam-diam, ia belajar salat kepada si pedagang telur, kemudian belajar berpuasa. Di bulan Ramadhan ia bahkan diam-diam pergi ke mesjid seorang diri. Kadang ke Mesjid Istiqlal, kadang ke Baiturahim di Istana Negara, ikut salat isya dan tarawih berjemaah. Tapi, kepada kakaknya ia selalu mengatakan nonton film atau jalan-jalan bersama teman.

Suatu pagi, bakda subuh, ia mendengarkan ceramah ustaz Ridwan Arifin Nasution di radio Antar Nusa yang berbicara tentang orang-orang yang akan masuk ke dalam neraka, disiksa selama-lamanya. “Begitu saya mendengar ceramah itu, seluruh bulu roma saya merinding, badan rasanya panas dingin,” tutur Pengkun. Setiap kali ia mendengarkan ceramah ustaz Ridwan jantungnya selalu berdebar-debar. Belakangan, selama dua malam berturut-turut ia mimpi disunat. “Dengan mimpi itu apakah berarti saya harus masuk Islam?” tanya Pengkun dalam hati.

Menyempurnakan Agama

Sejak itu, hatinya selalu merinding mendengar alunan ayat-ayat suci Alquran. Juga ketika azan magrib dikumandangkan. “Padahal, saya tidak tahu artinya,” katanya. Beberapa hari kemudian, Jumat pagi, usai membuka toko – hanya dengan mengenakan kaus oblong, celana pendek dan sandal jepit -- ia  menemui ustaz Ridwan Arifin Nasution. Sebelumnya, ia pernah berbicara kepada kakak sulungnya. “Seandainya saya masuk Islam, apakah Taci akan mengusir saya?” tanya Pengkun. “Kamu harus keluar dari rumah ini,” jawab kakak sulungnya itu.

Di rumah ustaz Ridwan, ia mengungkapkan niatnya untuk diislamkan secara resmi, meski sejatinya ia sudah melakukan puasa Ramadhan dan menjalankan sebagian salat fardu. “Pikiran saya ketika itu, rasanya belum sempurna kalau tidak mengikrarkan secara lisan dan disaksikan banyak orang”, katanya.

            Pada 1982, resmilah Pengkun menyempurnakan agamanya dengan memeluk Islam di rumah ustaz Ridwan, disaksikan puluhan santri. Nama baptisnya, Yohanes, diganti dengan Mahmud. “Nama Mahmud itu pemberian ustaz Ridwan. Dan saya bangga menerima nama itu,” katanya tersenyum. Tak lama kemudian ia disunat, dan mendapat tawaran dari ustaz Ridwan: tinggal di rumah ustaz atau masuk pondok pesantren. Mahmud Yunus memilih masuk pesantren Yayasan Pondok Karya Pembangunan Cibubur, Jakarta Timur.

Ketika itu, meski usia Mahmud sudah 16 tahun, ia terpaksa duduk di kelas V. “Maklum, saya selalu berpindah-pindah, hingga sekolah saya terlambat. Tapi, alhamdulillah ketika sekolah di YKP saya selalu berhasil di ranking pertama terus,” katanya. Siang hingga malam hari ia bekerja mengepel dan membersihkan ruang kelas hingga kamar mandi. Ia juga mendapat tugas tambahan mencangkul sawah seluas 18 hektar bersama sejumlah kawan lain. Di sela-sela kesibukannya ia belajar mengaji kepada para ustaz. “Semua itu saya kerjakan dengan ikhlas meski tidak dibayar. Yang penting saya bisa menuntut ilmu agama, makan dan tidur secara gratis,” kenangnya.

Di sekolah ini pula, Mahmud mendapat tambahan nama Yunus sehingga lengkapnya Mahmud Yunus. Nama itu ia peroleh dari seorang teman sekaligus “orangtua” yang selalu membimbing ke agama keselamatan.

Mantap dengan Islam
Suatu hari ia ditegus oleh kepala sekolah gara-gara pacaran. Islam memang tidak memperbolehkan dua manusia lawan jenis saling bermesraan sebelum menikah. Karena belum tahu, ia marah-marah. Ia pun menggebrak meja keras-keras hingga sang kepala sekolah lari ketakutan. Maklum, Mahmud pernah belajar kungfu. Akhirnya Mahmud dipindahkan ke Madrasah Tsanawilah Jam’iyyatul Khair, Tanah Abang. “Ketika saya dipindahkan, banyak guru dan teman-teman menangis. Mereka merasa kehilangan, dan takut saya kembali murtad. Padahal, saya sudah mantap dengan Islam,” katanya. Belakangan ia juga pindah tempat tinggal. Ia tinggal sementara di rumah bibi yang beragama Kristen di Petojo. Sepulang sekolah ia membantu bibinya yang berdagang sembako.
            Lulus dari Madrasah Tsanawiyah, Mahmud melanjutkan ke Madrasah Aliyah Negeri III BBS, Ciputat. Bersamaan dengan itu, ia pun kembali tingal di rumah kakak sulungnya, Mei Lani. Sang kakak menerimanya dengan senang hati. “Mungkin karena saya punya sikap dan tingkah laku yang lebih baik setelah masuk Islam,” katanya. Tamat dari MAN, ia kuliah di jurusan dakwah Al-Ma’had Al-Hikmah di Jakarta, dan lulus dengan predikat sangat memuaskan. 
            Ketika Mahmud masih belajar di Madrasah Tsanawiyah, ibunya sempat menengok. Mereka pun ngobrol dengan mesra. Maklum, sejak kabur dari rumah kakak sulungnya, Mahmud tak pernah sekalipun berkomunikasi dengan orangtua dan saudara-saudara kandungnya. Apalagi saling berjumpa. Saat ibunya hendak pulang menjelang salat zuhur, Mahmud mencoba mencegahnya. “Mama, tunggu dulu sebentar, saya mau azan dulu,” kata Mahmud. Diam-diam, sang ibu mendengarkan alunan azan anaknya dengan takzim. Alunan azan itu membuat jiwa ibunya tersentuh. “Usai azan, saya lihat ibu berurai air mata,” kenang Mahmud.
Beberapa hari kemudian, ibunda Mahmud menyempurnakan agamanya pula dengan memeluk Islam. Namanya yang semua Tjia Neng Suh diganti dengan Ningsih. “Saya sendiri yang mengantarkan ibu ke mesjid. Dengan disaksikan banyak orang, saya mengislamkan Ibu saya,” tutur Mahmud berkaca-kaca. Dua tahun kemudian, ibunda Mahmud dipanggil ke hadirat Allah SWT sebagai muslimah. “Alhamdullilah, mama meninggal dalam keadaan Islam. Semoga ia mendapat surga jannatun na’im,” doa Mahmud berkali-kali.

Mami dan Papi

Sebelum ibunya wafat, ayahanda Mahmud -- seorang pengusaha Metromini – telah pula memeluk Islam. Namanya pun, Lau Tjuiw diganti dengan Latif Sofyan. “Ayah mendapat hidayah setelah saya sering melantunkan ayat-ayat suci Alquran di rumah,” kata Mahmud bangga. Sebelumnya, sang ayah memang sering bertanya tentang arti ayat-ayat suci Alquran setiap kali Mahmud membacanya. Dengan sabar, sang anak menerangkan satu demi satu. “Masuknya mami dan papi ke dalam Islam mungkin karena melihat tingkah laku saya yang berubah total. Ketika kecil saya kurang bergaul, suka main judi dan mencuri uang,” kata Mahmud.
Setelah kedua orangtuanya menjadi muslim dan muslimah, menyusul kakak ketiga, Lao Mei Ing masuk Islam dan berganti nama Siti Maryam. Beberapa tahun kemudian menyusul kakak kedua, Lao Ho Kie yang berganti nama Khoirus Salam. Dan beberapa bulan kemudian kakak keempat, Lao Peng An, juga masuk Islam dengan berganti nama Slamet. Sementara Mei Tie, adik perempuan satu-satunya, masuk Islam belakangan; ia berganti nama Susi Susanti.
Hanya kakak sulung Mahmud yang hingga kini belum masuk Islam. Sebenarnya ia ingin masuk Islam, cuma katanya berat, khususnya jika harus salat subuh. Sebaliknya, ketika Mahmud bertanya mengapa masih ke gereja, kakak sulungnya itu menjawab, “Saya hanya ikut-ikutan saja. Lagi pula ke gereja kan cuma seminggu sekali.”
Pada usia 21 tahun, Mahmud berniat menkah. Ia takut berbuat zina. Terutama setelah membaca hadist yang menyebutkan, barangsiapa berbuat zina sekali saja gugurlah amal ibadah selama 40 tahun. Ia pun menikah dengan Iah Marsiah, pembantu kakak sulungnya, seorang janda ditinggal mati suami yang beranak dua, pembantu kakak sulungnya yang saat itu sudah 50 tahun. Meski orangtua dan saudara-saudaranya tidak setuju, mereka tetap menikah di Sukabumi, Jawa Barat.
Ketika itu ia masih duduk di Madrasah Aliyah Negeri di Jakarta. Sambil sekolah ia menjadi muazin di Mesjid Al-Amin, Pusat Perbelanjaan Glodok, Jakarta Barat dengan honorarium Rp 5 atau Rp 10 ribu untuk sekali azan. Suatu hari, ia harus menjadi khatib pengganti karena khatib yang resmi berhalangan. Ketika ia membawakan khotbah yang berkaitan dengan surat Ali Imran, jemaah banyak yang menangis. Usai salat Jumat, seseorang mengajaknya berceramah di Aceh. Ia pun pergi ke Aceh bersama ibunnya.

Ingin Selalu Adil

Delapan tahun menikah, Mahmud belum juga dikaruniai keturunan. Itu sebabnya istri ahmud mempersilakannya menikah lagi. Meski terasa berat, Mahmud menerimanya juga. “Andai istri saya tidak menyuruh saya menikah lagi, saya tidak bakal mau,” katanya. Maka isteri dan kakak iparnya pun sibuk mencarikan jodoh. Akhirnya, kakak iparnya menemukan seorang muslimah, Kusumayanti. Mahmud menikah kedua kalinya disaksikan oleh istri pertama. Mereka dikarunia Allah dua anak lelaki.
Mahmud sadar, ia harus adil terhadap kedua isterinya. “Kalau bicara adil memang agak berat. Tapi, saya tetap berusaha untuk adil. Saya berusaha meletakkan sesuatu pada tempatnya. Semoga Allah yang Maha Tahu memaklumi hal ini,” kata Mahmud merendah.
Mahmud pun membagi sebagian rezeki kepada kedua istrinya secara adil. Untuk lauk pauk, istri pertama memperoleh Rp 25.000, istri kedua Rp 30.000 sehari di luar beras dan kebutuhan lain. Sedang untuk kebutuhan batin, sehari ia tinggal bersama istri pertama dan hari berikutnya tinggal di istri kedua. “Bila lebaran tiba, tergantung Lebaran itu jatuh di istri yang mana. Kalau jatuh di istri pertama, ya lebaran di istri pertama; kalau jatuh di istri kedua, ya di istri kedua,” kata Mahmud.
Selain terus berusaha membina keluarga sakinah, Ustaz Mahmud ingin menjadi hamba Allah yang sempurna. “Saya ingin meninggal dalam keadaan khusnul khatimah,” katanya. Ketika menunaikan ibadah haji beberapa bulan lalu, ia berkali-kali berdoa di Multazam -- ruang terbuka antara pintu Ka’bah dan hajar aswad. Menurut Rasulullah, berdoa di Multazam sangat makbul.
            Kini, di tengah kesibukannya berdakwah, ia berharap bisa segera membangun sebuah pondok pesantren untuk anak yatim piatu tanpa memungut biaya sepeser pun. Atau, sebuah Taman Kanak-kanak Islam, karena kebetulan istri keduanya adalah lulusan Pendidikan Guru Taman Kanak-kanak. “Saya sudah mendapat tanah wakaf dari seorang mualaf seluas 1.000 M2. Karena tempatnya di bawah tegangan listrik tinggi, tanah itu akan saya jual lalu uangnya untuk membeli tanah di tempat yang lebih strategis,” katanya.
            Sungguh, cita-cita yang sangat luhur. Padahal, kehidupan Ustaz Mahmud Yunus sendiri bukan tergolong mewah. Keluarganya hidup dalam kesederhanaan – satu hal yang justru dianjurkan oleh Rasulullah. Ia selalu pergi dan pulang berdakwah dari rumahnya di kawasan Sawangan, Bogor, yang sederhana dengan mengendarai sepeda.

Domery Alpacino
Catatan: Pernah dimuat di majalah Islam Alkisah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar