Laman

Rabu, 05 Mei 2004

Pemimpin Besar Pakistan

Ia berhasil menyatukan kaum muslimin India di bawah bendera partai Liga Muslim, yang akhirnya melahirkan sebuah negara Islam, Pakistan.  

www.lalkarinternational.co
Sejak lahir di Karachi pada Desember 1876, Muhammad Ali Jinnah berada dalam lingkungan keluarga berada. Meski demikian, ia mendapat didikan keras dari ayahnya dengan disiplin tinggi.
Ketika berusia 16 tahun, ia dikirim ke Inggris untuk meraih pendidikan lebih tinggi setelah mengenyam pendidikan madrasah dan Sekolah Misi di Karachi. Di negeri ini, ia berkenalan dengan Dadabhani Maoroji. Kelak, orang inilah yang mengambil peran penting dalam pembentukan karier politik Ali Jinnah.

Karier hukumnya dimulai pada 1897 dengan Bombay sebagai tempat praktiknya yang pertama. Namun ia harus menahan diri selama tiga tahun pertama sebelum pada akhirnya menjadi sarjana hukum dan anggota parlemen paling besar yang pernah dilahirkan India.
Sebagai ahli hukum, reputasinya cukup menonjol. Karier politik, baru dimulai pada 1906, ketika ia hadir pada rapat Partai Kongres di Kalkuta. Saat itu ia menjadi sekretaris pribadi Dade Bhai Namoji, presiden Partai Kongres. Ia sangat terkesan dengan Gopal Krishna Gokhale sampai berniat menjadi anggota “Gokhale Muslim”. Gokhale sendiri juga amat terkesan oleh kesungguhan hati dan kemampuan murid politiknya itu sehingga ia ”meramal”, Ali Jinnah akan menjadi seorang duta besar Persatuan Hindu-Muslim yang paling besar.
Ali Jinnah adalah kombinasi antara hati yang tulus, kesungguhan, dan otak yang cemerlang. Sebagai “duta besar” Persatuan Hindu-Muslim, ia berusaha mendekatkan Liga Muslim dengan Partai Kongres. Dan, berhasil. Rapat Liga Muslim seluruh India di Bombay pada 1915 di bawah pimpinan Mazhaml Haq yang pro Kongres, merupakan langkah pertama menuju pendekatan Liga-Kongres.

Hindu Islam
www.thinktwicepakistan.com
Sebuah resolusi yang diprakarsainya, telah berhasil mempersatukan Hindu-Muslim pada rapat tahunan kedua Partai Kongres dan Liga di Lucknow 1917. Pola gabungan untuk reformasi, yang disusun komite negosiasi, diterima baik oleh Kongres maupun Liga. Pada 1917, rapat tahunan kedua Kongres dan Liga diadakan di Lucknow. Dan itu merupakan puncak persetujuan terbesar yang tercapai oleh kedua partai besar di India itu.
Keberhasilan ini menempatkan Ali Jinnah sebagai salah seorang pemimpin nasional paling penting di India. Ia terpilih menjadi ketua Liga Muslim cabang Bombay. Montaque, sekretaris negara India pada 1917 mencatat dalam buku hariannya, “Muhammad Ali Jinnah muda itu sangat sopan, mengesankan, dipersenjatai ilmu dialektika... (Lord Chelmford, salah seorang politikus Inggris, mengakui, “Jinnah sangat cerdas, dan tentu sangat tidak masuk akal bila tokoh semacam itu tidak mendapatkan kesempatan mengurus negaranya sendiri.”).”
Pada 1918, ia memimpin gerakan menentang upacara perpisahan dengan Lord Wellington, Gubernur Bombay yang pensiun. Itu merupakan protes terhadap rezim otokratik sang gubernur.
Setelah insiden itu, Jinnah mencuat menjadi pahlawan. Rapat-rapat umum dan pesta-pesta taman diadakan untuk menghormatinya. Untuk pertama kali dalam kariernya, Jinnah menjadi tokoh populer, pemimpin rakyat. Untuk menghormati Jinnah, para pengagum menyumbangkan tiga puluh ribu rupee untuk membangun sebuah “gedung pengetahuan”, dan kemudian disebut “Gedung Jinnah”. Di tembok gedung terpasang sebuah prasasti marmer, mengingatkan pada kemenangan penduduk Bombay di bawah pimpinan Muhammad Ali Jinnah yang berani dan cemerlang.”
Pada 1919, Jinnah mengundurkan diri dari keanggotaan dewan legislatif sebagai protes terhadap diterimanya “Persatuan Rowlat”. Di dalam rapat Liga Muslim seluruh India di Calcutta, September 1920, setelah mundur dari keanggotaan Dewan Legislatif, ia melontarkan kritik pedas terhadap kebijakan Pemerintah sehingga timbul perselisihan paham antara dirinya dan Gandhi, tokoh paling disegani. Jinnah tidak setuju dengan cara-cara Gandhi menangani situasi. Lagi pula, Gandhi telah merebut kepemimpinan Liga Muslim, mengubah anggaran dasar Liga Muslim, dan mengganti namanya dengan Swaraj Sabha. Inilah yang menyebabkan oposisi terbuka terhadap politik Gandhi. Perselisihan paham memuncak dengan terputusnya hubungan Ali Jinnah dan Kongres. Itu terjadi dalam rapat tahunan di Nagpur, 1920. Kongres seluruh India menerima resolusi non-kooperasi dengan pemerintah. Jinnah yang menentang keputusan itu, memilih mengundurkan diri.
Setelah berhasil menguasai Kongres, Gandhi masih tidak puas. Ia mulai memasuki berbagai organisasi politik lainnya merebut Liga Swatantra dan mengubah konstitusinya.
Jinnah masih meneruskan usahanya untuk mendekatkan kedua golongan masyarakat India yang besar itu, Hindu dan Islam. Namun, ia sangat terhalang oleh gerakan “Shuddhi Sangatahan” yang dirintis Madan Mohan Meleviya dan rekan-rekannya. Gerakan ini mulai menanamkan pengaruhnya yang lebih besar terhadap politik Kongres Nasional. Ini berakibat timbulnya berbagai kerusuhan di seluruh negeri.
Pada 1924, dalam rapat umum Liga Muslim di Lahore, ia gagal mendekatkan kedua kelompok dalam Liga Muslim yang berseteru karena keduanya berpengalaman pahit dalam sejumlah kerusuhan Hindu-Muslim di seluruh India.
Isu boikot Komisi Simon menyebabkan perpecahan dalam barisan Liga Muslim. Dalam boikot ini, Sir Muhammad Shafi dan para pengikutnya dari Punjab, bekerja sama dengan Komisi, sedang Ali Jinnah dan Maulana Muhammad Ali serta sisa anggota Liga Muslim lainnya seiring sejalan dengan Kongres. Dalam situasi seperti itu, Ali Jinnah pergi ke Inggris. Selama di sana, laporan Nehru diumumkan, yang sangat dikritik oleh semua kalangan Muslim, kecuali kaum nasionalis. Ini memperlebar jurang di antara dua kelompok masyarakat yang besar itu. Usaha terakhir memperkecil perselisihan pahamnya dilancarkan waktu diadakan amandemen yang diusulkan Ali Jinnah, baik di sidang komisi maupun di sidang parpurna. Apa yang disebut Kongres Nasional, tidak mau menunjukkan sikap kompromi. Jinnah pun pergi dengan sedih, tetapi menjadi lebih bijaksana.

Ahli Debat
Sebagai anggota parlemen dan ahli debat, Jinnah lebih cemerlang dari semua teman seangkatannya. Selama waktu yang panjang sebagai anggota Dewan Legislatif, 1910-1947, hampir tidak ada undang-undang penting tanpa keikutsertaan Jinnah.
Ali Jinnah memang lebih terkenal sebagai ahli debat ketimbang orator sampai mendapat julukan “tukang sulap.” Sukses itu terletak pada pribadinya yang menarik, penyajian makalah yang mengagumkan, argumentasi yang jelas dan meyakinkan, serta suara yang tidak keras tapi menawan.

berkahujan.blogspot.com

Ali Jinnah pertama kali terpilih menjadi anggota Dewan Legislatif tertinggi pada 1910, terangkat dari kedudukannya sebagai presiden kelompok penilik Muslim di Bombay. Di dalam badan perundang-undangan, ia mendukung semua tindakan liberal yang menyangkut isu-isu nasional, semua perubahan undang-undang perburuhan dan perubahan sosial.
Ia tidak pernah bersikap reaksioner, menyokong RUU Gokhale mengenai pendidikan dasar, dan RUU mengenai perkawinan khusus yang menimbulkan oposisi keras kaum konservatif. Keberhasilannya menggolkan RUU Wakaf, telah menyuguhkan pelayanan tunggal kepada kaum Muslimin. Di sini ia memeragakan kemahirannya dalam mengarahkan peraturan yang sangat rumit, yang dengan sengit kemudian diperdebatkan. Untuk beberapa waktu, kaum Muslimin sempat risau pada keputusan majelis khusus yang secara salah menafsirkan hukum Islam dan ini dianggap membahayakan. Setelah melalui tuntutan dan perjuangan, akhirnya direalisasikan RUU Pengesahan Wakaf yang diajukan pada 1913, dan Jinnah ditunjuk raja muda Lord Haidurga untuk menanganinya.
Selama tiga tahun istirahat dari pekerjaannya sebagai anggota perumus undang-undang, Jinnah cuti panjang ke Eropa. Pada 1916, ia dipilih lagi sebagai anggota Dewan Legislatif Kerajaan dari kelompok pemilih di Bombay. Sampai 1947, ia tetap menjadi anggota pusat perundang-undangan.
Ali Jinnah dua kali memimpin Partai Merdeka di dalam dewan pusat India. Sebagai pemimpin Partai Merdeka, ia melawan berbagai taktik keji pihak Kongres yang anti Muslim. Ia mendakwa Kongres menjalankan pola-pola eksploitasi dan teror terhadap Muslim India.
Ketika Partai Liga Muslim dibentuk, dengan Jinnah sebagai pemimpinnya, Liga menentang tuntutan Kongres untuk menjadi wakil seluruh kelompok masyarakat India. Pada 1945, waktu diadakan pemilihan anggota baru untuk Majelis Pusat India, Liga Muslim memenangkan seluruh kursi untuk golongan Islam. Dengan demikian, menjadikan blok muslim yang kuat di bawah kepemimpinan Ali Jinnah. Partai ini bertempur di dalam Badan Perundang-undangan Pusat menghadapi dua front untuk menghasilkan Pakistan.
Politik ala Gandhi yang mendominasi Kongres yang berpengaruh, menimbulkan berbagai kerusuhan komunal di seluruh negeri. Maka, Jinnah menyusun “Butir-butir Empat Belas” yang terkenal. Beberapa di antaranya menyangkut perwakilan minoritas yang efektif di provinsi-provinsi, daerah pemilihan yang terpisah, tidak ada gangguan terhadap mayoritas muslim Punjab, Bengal, dan F.P. Barat Laut, kebebasan beragama, sarana untuk menguatkan kebebasan beragama.
Dalam KMB 1930, Ali Jinnah mencoba menyusun suatu rumusan Hindu-Muslim, meski diveto Dr. Jagaker. Di sana Agha Khan mencoba bersatu pendapat dengan Gandhi tentang masalah Hindu-Muslim. Usaha ini didukung seluruh masyarakat India, kecuali Hindu. Ini memberikan kesempatan kepada Perdana Menteri Inggris untuk menghadiahkan status komunal kepada kelompok-kelompok minoritas India. Jinnah menolak suatu pemerintah pusat yang kuat, yang menurut pendapatnya akan memperkecil otonomi provinsi. Di KMB itu, Jinnah bahkan mendukung kepentingan nasional yang lebih luas. Iqbal, yang juga utusan golongan muslim, meyakinkan Ali Jinnah akan adanya keinginan menciptakan sebuah negara persetujuan. Tetapi di dalam UU 1935, Sind dan F.P. Barat Laut dijadikan dua provinsi yang saling terpisah, tindakan yang ternyata sangat berguna bagi golongan Islam.
Antara 1928-1935 dapat dianggap sebagai periode belantara politik bagi Jinnah. Sangat muak terhadap politik sejumlah politisi India, Jinnah menetap di Inggris dan berpraktik sebagai pengacara swasta. Tetapi, meninggalnya Maulana Muhammad Ali menyebabkan kaum muslimin India merasa ditinggalkan, sehingga Jinnah dibujuk kembali ke India pada 1935. Ia menata kembali Liga Muslim, dan menjadi lebih demokratis. Sebuah Dewan Pemilihan Pusat dibentuk untuk wadah perjuangan dalam Majelis Pemilihan Provinsi berdasarkan UU 1935. Jamiat-Al-Ulema-I-Hind mendukung Liga itu.
Pemilihan majelis provinsi 1937 membuahkan banyak kejutan, Kongres mendapat mayoritas total pada tujuh dari sebelas provinsi. Sukses ini membuat para pemimpinnya kian bersikap dingin terhadap organisasi-organisasi non-muslim.
Liga muslim mendapat popularitas yang kian besar karena kepemimpinan Ali Jinnah. Kaum Islam India bersatu di dalam Liga Muslim. Ali Jinnah kini menjadi pemimpin tunggal kaum Muslimin India. Sebagian lainnya mengakui ia sebagai Quaid-e-Azam (pemimpin besar) mereka.
Dalam rapat Liga Muslim seluruh India di Karachi, 1938, diputuskan, seluruh problem konstitusi India yang akan datang supaya ditinjau kembali untuk mencari jalan keluar bagi menemukan status subkomite, yang memberikan usul-usul untuk menciptakan sebuah negara Muslim terpisah, sebagai wadah perlindungan terhadap dominasi Hindu. Laporan subkomite itu diumumkan, tetapi diabaikan oleh komando tertinggi Kongres. Akhirnya, rekomendasi subkomite itu ditampilkan dalam bentuk resolusi Pakistan yang termasyhur. Resolusi diterima Liga Muslim seluruh India di Lahore, Maret 1940. Menurut resolusi itu, “Daerah-daerah mayoritas Islam yang sangat besar, seperti zone-zone Barat Laut dan Timur India agar dikelompokkan menjadi negara yang merdeka.”
Arah yang ditempuh Jinnah sudah jelas – sekarang Liga Muslim mengambil Pakistan sebagai sasarannya – dan kini tinggal bagaimana para pemimpin tertinggi merealisasikannya. Sasaran kaum muslimin India yang diimpikan Iqbal sampai 1930 di Allahabad mulai berbentuk dan menjadi kenyataan pada 14 Agustus 1947.
Desember 1946, empat pemimpin yang mewakili partai-partai utama India, termasuk Ali Jinnah, diundang ke London untuk meluruskan sebuah isu. Usaha ini juga gagal. Perdana Menteri Inggris membuat deklarsi dalam House of Commons (majelis rendah), 20 Februari 1947, pemerintah Inggris akan meninggalkan India pada Juni 1948 dan akan menyerahkan kekuasaan kepada satu atau lebih pemerintah pusat. Pernyataan ini menggelisahkan pemimpin Kongres yang menghasut kerusuhan-kerusuhan komunal yang keras di Punjab, Bihar, dan Uttar Pradesh bagian barat. Setelah gagal dengan kejinya mereka menekan kaum Muslimin di Punjab dan Bengal. Ini suatu tuntutan aneh dari sebuah partai yang baru saja menentang pembagian India.
Kemudian, rencana pembagian India dari Mountbatten diumumkan pada 3 Juni 1947, dan Pakistan didirikan pada 14 Agustus 1947 dengan Ali Jinnah sebagai gubernur jenderal yang pertama.
Berdirinya Pakistan membebankan tanggung jawab paling berat pada pundak Ali Jinnah. Ia, sebagai pemimpin rakyat dan kepala pemerintahan, harus membangun negara yang baru dilahirkan itu mulai dari nol. Bencana di Punjab Timur Delhi, negara Rajputana dan Uttar Pradesh Barat, maupun keinginan Muslim di seluruh India untuk pindah, menyebabkan lebih dari delapan juta orang Islam negeri itu melintasi perbatasan. Ini menciptakan problematika pengungsi yang sebelumnya tidak pernah terpikirkan oleh negara Pakistan yang baru lahir. Sementara itu, tentara India menyerbu dan menduduki negara bagian Kashmir yang penduduknya beragama Islam. Soalnya, Maharaja Kashmir adalah orang Hindu yang secara rahasia telah sepakat menjalin persekongkolan dengan pemerintah India.
Pemerintah India juga menahan bagian kekayaan Pakistan yang telah disepakati. Tetapi kehendak yang kuat dari Quaid-e-Azam dan kemahiran administrasi pembantunya yang terpercaya, Liaquat Ali Khan, perdana menteri Pakistan, banyak membantu negara baru itu menanggulangi berbagai kesukaran pada waktu-waktu awal. Dalam jangka waktu satu tahun, Pakistan mulai menunjukkan kestabilan di bidang administrasi dan melangkah menuju kemajuan. Quaid-e-Azam paling menitikberatkan pada stabilitas keuangan Pakistan. Ia menyelenggarakan politik ekonomi yang rumit, membuat mata uang sendiri dan mendirikan sebuah bank pemerintah Pakistan. Karachi menjadi ibu kota Federal. Keputusan-keputusannya mutlak karena dialah pemimpin Pakistan yang tidak dapat diganggu gugat, yang dihormati dan dicintai rakyatnya.

Bahasa negara
Quaid-e-Azam seorang pemimpin yang tidak mementingkan diri sendiri. Ia seorang dermawan yang sesungguhnya bagi rakyatnya. Ia sadar, provinsialisme merupakan ancaman yang terbesar bagi solidaritas negaranya. Ia memperingatkan rakyatnya, “Apakah kalian lupa ajaran yang diberikan kepada kita, seribu tiga ratus tahun yang lalu, dan apa artinya berkata, ‘Kita ini orang Bengal atau orang Sind atau orang Pashar atau Punjab? Tidak ada. Kita ini Muslim. Kalian tergolong dalam satu bangsa, kalian telah mengukir suatu wilayah yang amat luas. Dan, inilah semua punyamu. Ini bukan milik orang Punjab, Sindh atau Pashan. Ini kepunyaan kalian seluruhnya....”

literatypakistanblogs.com

Quaid juga memberikan sebuah keputusan, bahasa Urdu ialah satu-satunya bahasa negara Pakistan. Dengan tidak mengindahkan nasihat dokter, pada Maret 1948, ia menempuh perjalanan jauh ke Dacca dan memberi nasihat saudara-saudaranya di Pakistan Timur,  “Bahasa negara Pakistan adalah bahasa Urdu untuk dipergunakan secara resmi di negara ini sebagai lingua franca, bukan bahasa lain. Bahasa Urdu adalah suatu bahasa yang telah dipelihara seratus juta orang Muslim dari anak benua ini, suatu bahasa yang telah dimengerti di seluruh wilayah Pakistan, dan atas segalanya, sebuah bahasa yang melebihi bahasa provinsi mana saja. Ia adalah bahasa yang paling baik di dalam kebudayaan dan tradisi Islam, dan merupakan bahasa yang paling dekat dengan bahasa-bahasa yang dipakai di negara Islam. Bukan tanpa arti, bahasa Urdu telah diusir dari India dan huruf Urdu resmi telah dilarang.”
Quaid-e-Azam tidak hidup lama untuk menyaksikan kemajuan negara yang dibangunnya. Pekerjaan yang terlampau banyak menyebabkan ia terikat pada tempat tidurnya. Ia mengabdikan banyak waktunya untuk pekerjaan resmi. Tentu saja ini merusak kesehatannya. Setelah menderita sakit yang lama, ia meninggal dunia pada 11 September 1948 di Karachi. Seluruh bangsa berduka cita, terlebih-lebih wafatnya pada waktu itu masih sangat dibutuhkan.
Anggota DPR RI yang berideologi Islam, sepatutnya mencontoh spirit Muhammad Ali Jinnah. Ketika menjadi anggota Dewan Legislatif Pusat India, ia tak jemu-jemu mempersatukan kaum Muslimin India di bawah bendera Liga Muslim. Semua itu ia lakukan di bawah tantangan Kongres Hindu dan pemerintah kolonial Inggris.
“Dari semua negarawan yang saya kenal – Chemenceau Lloyd George, Churchill, Cursor, Mussolini, Mahatma Gandhi – Jinnah adalah yang luar biasa. Tidak seorang pun di antara mereka dapat mengungguli Jinnah dalam hal kekuatan akhlak dan kombinasi yang unik antara pra-ilmu dan ketetapan hati sebagai negarawan,” ungkap pemimpin partai politik India, H.R.H. Agha Khan.

Domery Alpacino
Catatan: Pernah dimuat di majalah Islam Alkisah


Tidak ada komentar:

Posting Komentar