Ia berhasil menyatukan kaum muslimin
India di bawah bendera partai Liga Muslim, yang akhirnya melahirkan sebuah
negara Islam, Pakistan.
www.lalkarinternational.co |
Sejak lahir di Karachi pada Desember 1876, Muhammad Ali Jinnah berada dalam
lingkungan keluarga berada. Meski demikian, ia mendapat didikan keras dari
ayahnya dengan disiplin tinggi.
Ketika berusia 16 tahun, ia dikirim ke Inggris untuk meraih pendidikan
lebih tinggi setelah mengenyam pendidikan madrasah dan Sekolah Misi di Karachi. Di negeri ini, ia berkenalan dengan Dadabhani Maoroji. Kelak, orang inilah
yang mengambil peran penting dalam pembentukan karier politik Ali Jinnah.
Karier hukumnya dimulai pada 1897 dengan Bombay sebagai tempat praktiknya
yang pertama. Namun ia harus menahan diri selama tiga tahun pertama sebelum
pada akhirnya menjadi sarjana hukum dan anggota parlemen paling besar yang
pernah dilahirkan India.
Sebagai ahli hukum, reputasinya cukup menonjol. Karier politik, baru
dimulai pada 1906, ketika ia hadir pada rapat Partai Kongres di Kalkuta. Saat
itu ia menjadi sekretaris pribadi Dade Bhai Namoji, presiden Partai Kongres. Ia
sangat terkesan dengan Gopal Krishna Gokhale sampai berniat menjadi anggota “Gokhale
Muslim”. Gokhale sendiri juga amat terkesan oleh kesungguhan hati dan kemampuan
murid politiknya itu sehingga ia ”meramal”, Ali Jinnah akan menjadi seorang
duta besar Persatuan Hindu-Muslim yang paling besar.
Ali Jinnah adalah kombinasi antara hati yang tulus, kesungguhan, dan otak
yang cemerlang. Sebagai “duta besar” Persatuan Hindu-Muslim, ia berusaha
mendekatkan Liga Muslim dengan Partai Kongres. Dan, berhasil. Rapat Liga Muslim
seluruh India di Bombay pada 1915 di bawah pimpinan Mazhaml Haq yang pro Kongres,
merupakan langkah pertama menuju pendekatan Liga-Kongres.
Hindu Islam
www.thinktwicepakistan.com |
Sebuah resolusi yang diprakarsainya, telah berhasil mempersatukan
Hindu-Muslim pada rapat tahunan kedua Partai Kongres dan Liga di Lucknow 1917.
Pola gabungan untuk reformasi, yang disusun komite negosiasi, diterima baik oleh
Kongres maupun Liga. Pada 1917, rapat tahunan kedua Kongres dan Liga diadakan
di Lucknow. Dan itu merupakan puncak persetujuan terbesar yang tercapai oleh
kedua partai besar di India itu.
Keberhasilan ini menempatkan Ali Jinnah sebagai salah seorang pemimpin
nasional paling penting di India. Ia terpilih menjadi ketua Liga Muslim cabang
Bombay. Montaque, sekretaris negara India pada 1917 mencatat dalam buku
hariannya, “Muhammad Ali Jinnah muda itu sangat sopan, mengesankan,
dipersenjatai ilmu dialektika... (Lord Chelmford, salah seorang politikus
Inggris, mengakui, “Jinnah sangat cerdas, dan tentu sangat tidak masuk akal
bila tokoh semacam itu tidak mendapatkan kesempatan mengurus negaranya
sendiri.”).”
Pada 1918, ia memimpin gerakan menentang upacara perpisahan dengan Lord
Wellington, Gubernur Bombay yang pensiun. Itu merupakan protes terhadap rezim
otokratik sang gubernur.
Setelah insiden itu, Jinnah mencuat menjadi pahlawan. Rapat-rapat umum dan
pesta-pesta taman diadakan untuk menghormatinya. Untuk pertama kali dalam
kariernya, Jinnah menjadi tokoh populer, pemimpin rakyat. Untuk menghormati
Jinnah, para pengagum menyumbangkan tiga puluh ribu rupee untuk membangun
sebuah “gedung pengetahuan”, dan kemudian disebut “Gedung Jinnah”. Di tembok
gedung terpasang sebuah prasasti marmer, mengingatkan pada kemenangan penduduk
Bombay di bawah pimpinan Muhammad Ali Jinnah yang berani dan cemerlang.”
Pada 1919, Jinnah mengundurkan diri dari keanggotaan dewan legislatif
sebagai protes terhadap diterimanya “Persatuan Rowlat”. Di dalam rapat Liga
Muslim seluruh India di Calcutta, September 1920, setelah mundur dari
keanggotaan Dewan Legislatif, ia melontarkan kritik pedas terhadap kebijakan
Pemerintah sehingga timbul perselisihan paham antara dirinya dan Gandhi, tokoh
paling disegani. Jinnah tidak setuju dengan cara-cara Gandhi menangani situasi.
Lagi pula, Gandhi telah merebut kepemimpinan Liga Muslim, mengubah anggaran
dasar Liga Muslim, dan mengganti namanya dengan Swaraj Sabha. Inilah yang
menyebabkan oposisi terbuka terhadap politik Gandhi. Perselisihan paham
memuncak dengan terputusnya hubungan Ali Jinnah dan Kongres. Itu terjadi dalam
rapat tahunan di Nagpur, 1920. Kongres seluruh India menerima resolusi
non-kooperasi dengan pemerintah. Jinnah yang menentang keputusan itu, memilih
mengundurkan diri.
Setelah berhasil menguasai Kongres, Gandhi masih tidak puas. Ia mulai
memasuki berbagai organisasi politik lainnya merebut Liga Swatantra dan
mengubah konstitusinya.
Jinnah masih meneruskan usahanya untuk mendekatkan kedua golongan
masyarakat India yang besar itu, Hindu dan Islam. Namun, ia sangat terhalang
oleh gerakan “Shuddhi Sangatahan” yang dirintis Madan Mohan Meleviya dan
rekan-rekannya. Gerakan ini mulai menanamkan pengaruhnya yang lebih besar
terhadap politik Kongres Nasional. Ini berakibat timbulnya berbagai kerusuhan
di seluruh negeri.
Pada 1924, dalam rapat umum Liga Muslim di Lahore, ia gagal mendekatkan
kedua kelompok dalam Liga Muslim yang berseteru karena keduanya berpengalaman
pahit dalam sejumlah kerusuhan Hindu-Muslim di seluruh India.
Isu boikot Komisi Simon menyebabkan perpecahan dalam barisan Liga Muslim.
Dalam boikot ini, Sir Muhammad Shafi dan para pengikutnya dari Punjab, bekerja
sama dengan Komisi, sedang Ali Jinnah dan Maulana Muhammad Ali serta sisa
anggota Liga Muslim lainnya seiring sejalan dengan Kongres. Dalam situasi
seperti itu, Ali Jinnah pergi ke Inggris. Selama di sana, laporan Nehru
diumumkan, yang sangat dikritik oleh semua kalangan Muslim, kecuali kaum
nasionalis. Ini memperlebar jurang di antara dua kelompok masyarakat yang besar
itu. Usaha terakhir memperkecil perselisihan pahamnya dilancarkan waktu
diadakan amandemen yang diusulkan Ali Jinnah, baik di sidang komisi maupun di
sidang parpurna. Apa yang disebut Kongres Nasional, tidak mau menunjukkan sikap
kompromi. Jinnah pun pergi dengan sedih, tetapi menjadi lebih bijaksana.
Ahli Debat
Sebagai anggota parlemen dan ahli debat, Jinnah lebih cemerlang dari semua
teman seangkatannya. Selama waktu yang panjang sebagai anggota Dewan
Legislatif, 1910-1947, hampir tidak ada undang-undang penting tanpa
keikutsertaan Jinnah.
Ali Jinnah memang lebih terkenal sebagai ahli debat ketimbang orator sampai
mendapat julukan “tukang sulap.” Sukses itu terletak pada pribadinya yang
menarik, penyajian makalah yang mengagumkan, argumentasi yang jelas dan
meyakinkan, serta suara yang tidak keras tapi menawan.
![]() |
berkahujan.blogspot.com |
Ali Jinnah pertama kali terpilih menjadi anggota Dewan Legislatif tertinggi
pada 1910, terangkat dari kedudukannya sebagai presiden kelompok penilik Muslim
di Bombay. Di dalam badan perundang-undangan, ia mendukung semua tindakan
liberal yang menyangkut isu-isu nasional, semua perubahan undang-undang perburuhan
dan perubahan sosial.
Ia tidak pernah bersikap reaksioner, menyokong RUU Gokhale mengenai
pendidikan dasar, dan RUU mengenai perkawinan khusus yang menimbulkan oposisi
keras kaum konservatif. Keberhasilannya menggolkan RUU Wakaf, telah menyuguhkan
pelayanan tunggal kepada kaum Muslimin. Di sini ia memeragakan kemahirannya
dalam mengarahkan peraturan yang sangat rumit, yang dengan sengit kemudian
diperdebatkan. Untuk beberapa waktu, kaum Muslimin sempat risau pada keputusan
majelis khusus yang secara salah menafsirkan hukum Islam dan ini dianggap
membahayakan. Setelah melalui tuntutan dan perjuangan, akhirnya direalisasikan
RUU Pengesahan Wakaf yang diajukan pada 1913, dan Jinnah ditunjuk raja muda
Lord Haidurga untuk menanganinya.
Selama tiga tahun istirahat dari pekerjaannya sebagai anggota perumus
undang-undang, Jinnah cuti panjang ke Eropa. Pada 1916, ia dipilih lagi sebagai
anggota Dewan Legislatif Kerajaan dari kelompok pemilih di Bombay. Sampai 1947,
ia tetap menjadi anggota pusat perundang-undangan.
Ali Jinnah dua kali memimpin Partai Merdeka di dalam dewan pusat India.
Sebagai pemimpin Partai Merdeka, ia melawan berbagai taktik keji pihak Kongres
yang anti Muslim. Ia mendakwa Kongres menjalankan pola-pola eksploitasi dan
teror terhadap Muslim India.
Ketika Partai Liga Muslim dibentuk, dengan Jinnah sebagai pemimpinnya, Liga
menentang tuntutan Kongres untuk menjadi wakil seluruh kelompok masyarakat
India. Pada 1945, waktu diadakan pemilihan anggota baru untuk Majelis Pusat
India, Liga Muslim memenangkan seluruh kursi untuk golongan Islam. Dengan
demikian, menjadikan blok muslim yang kuat di bawah kepemimpinan Ali Jinnah.
Partai ini bertempur di dalam Badan Perundang-undangan Pusat menghadapi dua
front untuk menghasilkan Pakistan.
Politik ala Gandhi yang mendominasi Kongres yang berpengaruh, menimbulkan
berbagai kerusuhan komunal di seluruh negeri. Maka, Jinnah menyusun “Butir-butir
Empat Belas” yang terkenal. Beberapa di antaranya menyangkut perwakilan minoritas
yang efektif di provinsi-provinsi, daerah pemilihan yang terpisah, tidak ada
gangguan terhadap mayoritas muslim Punjab, Bengal, dan F.P. Barat Laut,
kebebasan beragama, sarana untuk menguatkan kebebasan beragama.
Dalam KMB 1930, Ali Jinnah mencoba menyusun suatu rumusan Hindu-Muslim,
meski diveto Dr. Jagaker. Di sana Agha Khan mencoba bersatu pendapat dengan
Gandhi tentang masalah Hindu-Muslim. Usaha ini didukung seluruh masyarakat
India, kecuali Hindu. Ini memberikan kesempatan kepada Perdana Menteri Inggris
untuk menghadiahkan status komunal kepada kelompok-kelompok minoritas India.
Jinnah menolak suatu pemerintah pusat yang kuat, yang menurut pendapatnya akan
memperkecil otonomi provinsi. Di KMB itu, Jinnah bahkan mendukung kepentingan
nasional yang lebih luas. Iqbal, yang juga utusan golongan muslim, meyakinkan
Ali Jinnah akan adanya keinginan menciptakan sebuah negara persetujuan. Tetapi
di dalam UU 1935, Sind dan F.P. Barat Laut dijadikan dua provinsi yang saling
terpisah, tindakan yang ternyata sangat berguna bagi golongan Islam.
Antara 1928-1935 dapat dianggap sebagai periode belantara politik bagi
Jinnah. Sangat muak terhadap politik sejumlah politisi India, Jinnah menetap di
Inggris dan berpraktik sebagai pengacara swasta. Tetapi, meninggalnya Maulana
Muhammad Ali menyebabkan kaum muslimin India merasa ditinggalkan, sehingga
Jinnah dibujuk kembali ke India pada 1935. Ia menata kembali Liga Muslim, dan
menjadi lebih demokratis. Sebuah Dewan Pemilihan Pusat dibentuk untuk wadah
perjuangan dalam Majelis Pemilihan Provinsi berdasarkan UU 1935. Jamiat-Al-Ulema-I-Hind
mendukung Liga itu.
Pemilihan majelis provinsi 1937 membuahkan banyak kejutan, Kongres mendapat
mayoritas total pada tujuh dari sebelas provinsi. Sukses ini membuat para
pemimpinnya kian bersikap dingin terhadap organisasi-organisasi non-muslim.
Liga muslim mendapat popularitas yang kian besar karena kepemimpinan Ali
Jinnah. Kaum Islam India bersatu di dalam Liga Muslim. Ali Jinnah kini menjadi
pemimpin tunggal kaum Muslimin India. Sebagian lainnya mengakui ia sebagai Quaid-e-Azam
(pemimpin besar) mereka.
Dalam rapat Liga Muslim seluruh India di Karachi, 1938, diputuskan, seluruh
problem konstitusi India yang akan datang supaya ditinjau kembali untuk mencari
jalan keluar bagi menemukan status subkomite, yang memberikan usul-usul untuk
menciptakan sebuah negara Muslim terpisah, sebagai wadah perlindungan terhadap
dominasi Hindu. Laporan subkomite itu diumumkan, tetapi diabaikan oleh komando
tertinggi Kongres. Akhirnya, rekomendasi subkomite itu ditampilkan dalam bentuk
resolusi Pakistan yang termasyhur. Resolusi diterima Liga Muslim seluruh India
di Lahore, Maret 1940. Menurut resolusi itu, “Daerah-daerah mayoritas Islam yang
sangat besar, seperti zone-zone Barat Laut dan Timur India agar dikelompokkan
menjadi negara yang merdeka.”
Arah yang ditempuh Jinnah sudah jelas – sekarang Liga Muslim mengambil
Pakistan sebagai sasarannya – dan kini tinggal bagaimana para pemimpin
tertinggi merealisasikannya. Sasaran kaum muslimin India yang diimpikan Iqbal
sampai 1930 di Allahabad mulai berbentuk dan menjadi kenyataan pada 14 Agustus
1947.
Desember 1946, empat pemimpin yang mewakili partai-partai utama India,
termasuk Ali Jinnah, diundang ke London untuk meluruskan sebuah isu. Usaha ini
juga gagal. Perdana Menteri Inggris membuat deklarsi dalam House of Commons
(majelis rendah), 20 Februari 1947, pemerintah Inggris akan meninggalkan India
pada Juni 1948 dan akan menyerahkan kekuasaan kepada satu atau lebih pemerintah
pusat. Pernyataan ini menggelisahkan pemimpin Kongres yang menghasut
kerusuhan-kerusuhan komunal yang keras di Punjab, Bihar, dan Uttar Pradesh
bagian barat. Setelah gagal dengan kejinya mereka menekan kaum Muslimin di Punjab
dan Bengal. Ini suatu tuntutan aneh dari sebuah partai yang baru saja menentang
pembagian India.
Kemudian, rencana pembagian India dari Mountbatten diumumkan pada 3 Juni
1947, dan Pakistan didirikan pada 14 Agustus 1947 dengan Ali Jinnah sebagai
gubernur jenderal yang pertama.
Berdirinya Pakistan membebankan tanggung jawab paling berat pada pundak Ali
Jinnah. Ia, sebagai pemimpin rakyat dan kepala pemerintahan, harus membangun
negara yang baru dilahirkan itu mulai dari nol. Bencana di Punjab Timur Delhi,
negara Rajputana dan Uttar Pradesh Barat, maupun keinginan Muslim di seluruh
India untuk pindah, menyebabkan lebih dari delapan juta orang Islam negeri itu
melintasi perbatasan. Ini menciptakan problematika pengungsi yang sebelumnya
tidak pernah terpikirkan oleh negara Pakistan yang baru lahir. Sementara itu,
tentara India menyerbu dan menduduki negara bagian Kashmir yang penduduknya
beragama Islam. Soalnya, Maharaja Kashmir adalah orang Hindu yang secara
rahasia telah sepakat menjalin persekongkolan dengan pemerintah India.
Pemerintah India juga menahan bagian kekayaan Pakistan yang telah
disepakati. Tetapi kehendak yang kuat dari Quaid-e-Azam dan kemahiran administrasi
pembantunya yang terpercaya, Liaquat Ali Khan, perdana menteri Pakistan, banyak
membantu negara baru itu menanggulangi berbagai kesukaran pada waktu-waktu
awal. Dalam jangka waktu satu tahun, Pakistan mulai menunjukkan kestabilan di
bidang administrasi dan melangkah menuju kemajuan. Quaid-e-Azam paling menitikberatkan
pada stabilitas keuangan Pakistan. Ia menyelenggarakan politik ekonomi yang
rumit, membuat mata uang sendiri dan mendirikan sebuah bank pemerintah
Pakistan. Karachi menjadi ibu kota Federal. Keputusan-keputusannya mutlak
karena dialah pemimpin Pakistan yang tidak dapat diganggu gugat, yang dihormati
dan dicintai rakyatnya.
Bahasa negara
Quaid-e-Azam seorang pemimpin yang tidak mementingkan diri sendiri. Ia
seorang dermawan yang sesungguhnya bagi rakyatnya. Ia sadar, provinsialisme
merupakan ancaman yang terbesar bagi solidaritas negaranya. Ia memperingatkan
rakyatnya, “Apakah kalian lupa ajaran yang diberikan kepada kita, seribu tiga
ratus tahun yang lalu, dan apa artinya berkata, ‘Kita ini orang Bengal atau
orang Sind atau orang Pashar atau Punjab? Tidak ada. Kita ini Muslim. Kalian
tergolong dalam satu bangsa, kalian telah mengukir suatu wilayah yang amat
luas. Dan, inilah semua punyamu. Ini bukan milik orang Punjab, Sindh atau
Pashan. Ini kepunyaan kalian seluruhnya....”
literatypakistanblogs.com |
Quaid juga memberikan sebuah keputusan, bahasa Urdu ialah satu-satunya
bahasa negara Pakistan. Dengan tidak mengindahkan nasihat dokter, pada Maret
1948, ia menempuh perjalanan jauh ke Dacca dan memberi nasihat
saudara-saudaranya di Pakistan Timur, “Bahasa
negara Pakistan adalah bahasa Urdu untuk dipergunakan secara resmi di negara
ini sebagai lingua franca, bukan bahasa lain. Bahasa Urdu adalah suatu
bahasa yang telah dipelihara seratus juta orang Muslim dari anak benua ini,
suatu bahasa yang telah dimengerti di seluruh wilayah Pakistan, dan atas
segalanya, sebuah bahasa yang melebihi bahasa provinsi mana saja. Ia adalah
bahasa yang paling baik di dalam kebudayaan dan tradisi Islam, dan merupakan
bahasa yang paling dekat dengan bahasa-bahasa yang dipakai di negara Islam.
Bukan tanpa arti, bahasa Urdu telah diusir dari India dan huruf Urdu resmi
telah dilarang.”
Quaid-e-Azam tidak hidup lama untuk menyaksikan kemajuan negara yang
dibangunnya. Pekerjaan yang terlampau banyak menyebabkan ia terikat pada tempat
tidurnya. Ia mengabdikan banyak waktunya untuk pekerjaan resmi. Tentu saja ini
merusak kesehatannya. Setelah menderita sakit yang lama, ia meninggal dunia
pada 11 September 1948 di Karachi. Seluruh bangsa berduka cita, terlebih-lebih
wafatnya pada waktu itu masih sangat dibutuhkan.
Anggota DPR RI yang berideologi Islam, sepatutnya mencontoh spirit Muhammad
Ali Jinnah. Ketika menjadi anggota Dewan Legislatif Pusat India, ia tak
jemu-jemu mempersatukan kaum Muslimin India di bawah bendera Liga Muslim. Semua
itu ia lakukan di bawah tantangan Kongres Hindu dan pemerintah kolonial
Inggris.
“Dari semua negarawan yang saya kenal – Chemenceau Lloyd George, Churchill,
Cursor, Mussolini, Mahatma Gandhi – Jinnah adalah yang luar biasa. Tidak
seorang pun di antara mereka dapat mengungguli Jinnah dalam hal kekuatan akhlak
dan kombinasi yang unik antara pra-ilmu dan ketetapan hati sebagai negarawan,”
ungkap pemimpin partai politik India, H.R.H. Agha Khan.
Domery Alpacino
Catatan: Pernah dimuat di majalah
Islam Alkisah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar