Laman

Jumat, 23 April 2004

Hidayah Lewat Surah Maryam

Perjuangannya mencari kebenaran mengundang teror. Setelah menjadi muslimah, perempuan bekas Katolik ini rajin berdakwah.

SABTU pagi, pertengahan April 2004. Puluhan jemaah memadati masjid Namira di Tebet Barat Dalam V, Jakarta Selatan. Mereka mengikuti pengajian yang digelar oleh Majelis Taklim Al-Manthiq, yang kali itu menampilkan Ustazah Hj. Maria Theresia Suprasti. Ia mengisahkan suka dukanya dalam mencari kebenaran Islam. Perempuan bekas Katolik asal Yogyakarta itu, 20 tahun lalu telah memeluk Islam.
            Ia memang sering diundang untuk menceritakan suka dukanya yang dialaminya itu. “Biasanya setelah saya berkisah, seorang ustaz menambah atau mengoreksi kisah saya dengan dalil-dalil Al-Quran atau hadis. Dengan demikian saya membantu syiar Islam,” katanya.

            Selain berdakwah, ia rajin mengikuti majelis-majelis taklim. Setiap malam Jumat, misalnya, ia mengikuti majelis taklim ibu-ibu muslimah di kompleks rumahnya di Jalan Margasatwa, Pondok Labu, Jakarta Selatan. Sedang setiap Ahad pagi hingga siang ia belajar tafsir Al-Quran. Bahkan hampir setiap hari ia menghadiri majelis taklim di beberapa tempat.
            Lahir pada 23 September 1957 di Surabaya, ia anak sulung dari lima bersaudara pasangan Johanes Sudirjo dan Yohana Maria Tatik Muryati. Ayahandanya seorang kapten Angkatan Darat, sementara ibundanya seorang guru sekolah dasar. Ia dibesarkan dalam keluarga Katolik yang taat. Ayahandanya mendidik anak-anaknya berdisiplin layaknya prajurit; ibundanya membimbing mereka menjalankan ajaran Katolik.
            Sejak masa kanak-kanak, Suprasti yang sudah dibaptis sejak lahir, rajin ke gereja dan Sekolah Minggu. Ia juga aktif dalam kegiatan muda-mudi gereja. Menjelang masuk ke sekolah dasar, keluarganya pindah ke Malang, Jawa Timur. Suprasti kecil pun masuk ke sebuah SD Negeri di kota yang sejuk ini. Nah, di sinilah ia mendapat pelajaran agama Islam, termasuk pelajaran membaca Al-Quran dan praktik salat, sejak kelas satu hingga kelas tiga. “Meskipun sebenarnya boleh meninggalkan kelas, saya lebih suka mengikuti pelajaran agama Islam,” tutur Suprasti.
            Suatu hari, pulang dari sekolah ia mencoba membaca surah Al-Fatihah. Lambat laun ia hafal surah pertama yang juga disebut Ummul Kitab itu. Kebetulan ibunya melihat. “Kamu sedang membaca apa?” tanya sang ibu. “Surat Al-Fatihah,” jawab Suprasti, enteng. Gara-gara ia membaca Al-Fatihah itu, ibunya melarangnya mengikuti pelajaran agama Islam di sekolah. Karena takut anaknya memeluk Islam, sang ibu memindahkannya ke SD Katolik.
            Sejak itu pula Suprasti kembali menekuni ajaran Katolik. Tamat dari SD Katolik, ia ikut pamannya di Yogyakarta dan masuk ke SMP Katolik dekat terminal bus Umbul Hardjo, Yogyakarta. Tamat dari SMP, ia kembali ke Malang, masuk ke SMA Santo Yosef. Tamat SMA pada 1976, ia kuliah di Jurusan Filsafat Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, dan aktif dalam kegiatan kerohanian mahasiswa Katolik. Ia bahkan sempat menjadi koordinator kerohanian Kristen-Katolik Senat Mahasiswa UGM selama beberapa periode.

Surah Maryam
            Pada tahun 1979 ia tinggal di Asrama Mahasiswi Ratnaningsih di Jalan Kartini, Yogyakarta. Di asrama khusus mahasiswi ini ia berusaha menunjukkan jati diri sebagai Katolik yang taat. Setiap pagi, sebelum kuliah, ia selalu mengikuti misa kudus di sebuah kapel alias gereja kecil. Semua kegiatan kerohanian Kristen-Katolik di asrama juga ia ikuti dengan baik. Bahkan kemudian ia dipercaya sebagai koordinator kerohanian Kristen-Katolik di asrama tersebut, meski penghuni asrama yang beragama Nasrani hanya 12 orang – dibanding penghuni muslim yang 10 kali lipat. 
            Selama dua tahun tinggal di asrama itu, teman sekamar Suprasti silih berganti. Sampai pada suatu saat ia sekamar dengan dua teman muslimah yang taat beribadah. Selepas Maghrib, salah seorang di antara mereka selalu membaca Al-Quran, sedang yang lain membacakan terjemahannya. Di saat seperti itu Suprasti lebih sering keluar kamar berkumpul dengan teman-temannya seiman. Suatu hari, kedua teman itu mengajaknya memperbandingkan Al-Quran dengan Injil. Kebetulan yang mereka bandingkan surah Maryam ayat 30-36:
            Berkatalah Isa: “Sesungguhnya aku ini hamba Allah. Dia memberiku Al-Kitab (Injil) dan Dia menjadikan aku seorang nabi. Dia menjadikan aku seorang yang diberkati di mana saja aku berada, dan Dia memerintahkan aku mendirikan salat dan menunaikan zakat selama aku hidup. Serta berbakti kepada ibuku; dan Dia tidak menjadikan aku seorang yang sombong lagi celaka. Kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku pada hari aku dilahirkan, pada hari aku wafat dan pada hari aku dibangkitkan kembali. Itulah Isa putra Maryam, yang berkata dengan perkataan benar, yang mereka berbantah-bantahan tentang kebenarannya. Tidak layak bagi Allah mempunyai anak; Maha Suci Dia. Apabila telah menetapkan sesuatu, Dia hanya berkata: “Jadilah”, maka jadilah ia. Sesungguhnya Allah adalah Tuhanku dan Tuhanmu, maka sembahlah Dia. Ini adalah jalan yang lurus.
            Begitu mereka selesai membaca terjemah surah Maryam, Suprasti tercenung, gelisah. “Kok predikat Isa dalam Al-Quran sangat berbeda dengan keyakinan umat Katolik bahwa Isa atau Yesus adalah Tuhan sekaligus manusia?” tanyanya dalam hati. Keinginan tahunya pun semakin besar, sehingga mendorongnya membaca sendiri terjemahan surah Maryam. Saat dua temannya kuliah, diam-diam ia membacanya, lalu membandingkannya dengan Injil.
Sejumlah pertanyaan pun berkecamuk di benaknya. Mengapa Isa tidak disebut sebagai anak Tuhan tapi hanya anak Maryam? Mengapa ada penegasan bahwa tidak layak bagi Allah mempunyai anak? Mengapa umat Katolik menyebut Yesus sebagai anak Allah? Kalau Isa menyebut, “Sesungguhnya Allah adalah Tuhanku dan Tuhanmu,” lalu siapakah Yesus sebenarnya?
           
Terima Saja!
Dalam kegelisahan itulah, Suprasti makin rajin membaca Injil. Tapi,  semakin menggali, semakin ia menemukan banyak persoalan yang tidak bisa dijawab ketika ia menanyakannya kepada pastor. “Terima saja soal itu, pasti nanti kamu masuk surga. Kalau kamu ragu-ragu, hukumnya dosa,” kata Suprasti menirukan ucapan beberapa pastor. Padahal, dalam Matius 16:27, misalnya, Yesus menyebut dirinya anak manusia, bukan anak Tuhan; sementara dalam Markus 12:28-32, Yesus menyuruh umat Israel menyembah Tuhan, bukan menyembah Trinitas.
Ia bahkan menduga, yang disebut sebagai ”penghibur” dalam Yohanes 14:25-26, jangan-jangan Muhammad; sementara Al-Quran mungkin sudah diramalkan sebagai wahyu Tuhan yang disampaikan oleh Nabi Muhammad kepada umat manusia sebagaimana disebut dalam Yohanes 16: 8-15.
            Ingin lebih mendalami kebenaran, akhirnya ia memutuskan mempelajari Islam dengan membaca beberapa buku mengenai Islam koleksi perpustakaan asrama. Dengan tekun dan penuh gairah ia melahap sejumlah buku mengenai Islam selama beberapa bulan. Sepanjang masa itu, ia dalam keadaan tanpa keyakinan, berusaha bersikap netral terhadap kedua agama: Ialam dan Nasrani. Akhirnya, ia berhasil menemukan simpul kebenaran: ternyata konsep ketuhanan Islamlah yang benar: bahwa Allah itu esa, tiada beranak, tidak diperanakkan, dan tidak seorang pun setara dengan-Nya.
Seiring dengan penemuan kesimpunan mengenai kebenaran Islam tersebut, ia selesai menulis skripsi, dan berhasil menyelesaikan studi filsafat pada Februari 1984. Setelah menggondol S1, ia pindah dan tinggal in de cost di tempat lain, sekamar dengan adik kandungnya. Saat itu, karena sudah mengakui Islam sebagai agama yang benar, ia mulai belajar salat dari buku. Ia juga menyempatkan diri menghadiri beberapa pengajian meski secara sembunyi-sembunyi. Ia tidak ingin orangtua, adik-adik dan teman-temannya mengetahui perubahan sikapnya itu.
           
Mukena Siapa?
Ketika adiknya kuliah, ia melakukan salat secara diam-diam. Ia bahkan juga men-jamak (mengumpulkan jadi satu) beberapa salat yang selama ini belum dilaksanakannya. Belakangan ia baru tahu bagaimana cara yang benar untuk men-jamak salat. Usai salat, ia menyimpan sajadah dan mukena di lemari dengan sangat rapih, jangan sampai ketahuan oleh adiknya. Namun, suatu hari, sang adik menemukan sajadah dan mukena itu. “Ini barang milik siapa?” tanya adiknya. “Oh,  itu milik temanku, ketinggalan. Nanti aku kembalikan,” kata Suprasti mencoba bohong.
            Tapi, setelah beberapa hari, ternyata sajadah dan mukena itu masih tersimpan rapi dalam lemari. Akhirnya adiknya curiga. Apalagi setiap kali ia mengajak kakaknya ke gereja, sang kakak selalu menghindar. Karuan saja, ia lalu melaporkan perilaku kakaknya kepada orangtuanya di Malang. Beberapa hari kemudian, ayahandanya berkunjung ke Yogyakarta menemuinya. Tiga jam lamanya sang ayah menginterogasi sang anak; dan akhirnya menakut-nakuti. “Kalau tetap memeluk Islam, kamu akan mati sia-sia. Sebab, kamu bisa ditembak mati karena dituduh sebagai teroris,” kata Suprasti menirukan ayahandanya.
            Begitu ayahnya pulang, Suprasti sangat sedih. Tapi, tekadnya untuk tetap memeluk Islam tak tergoyahkan lagi. Maka, usai melakukan salat, ia pun mengadu kepada Allah SWT, menangis sejadinya-jadinya di atas sajadah: “Ya Allah, mengapa ayah yang selama ini mencintai aku, ternyata begitu kasar. Ya Allah, mengapa ia mengancamku saat aku hendak memeluk agama-Mu. Ya Allah, aku minta perlindungan-Mu karena hanya Engkau yang dapat melindungiku dalam rangka menegakkan agama-Mu.” Begitu doa Suprasti berkali-kali sembari menangis, setiap kali usai salat.
Suatu hari, tak berapa lama setelah interogasi itu, adik Suprasti terserang penyakit usus buntu, dan harus segera dioperasi. Setelah sembuh, sang adik pindah tempat kos yang jaraknya lebih dekat dengan kampus. Ini kesempatan bagi Suprasti tinggal sendirian di kamar, dan saat itulah ia bisa lebih khusyu’ menjalankan salat. Ketika salat ia menutup pintu dan jendela kamar rapat-rapat.
            Tapi rupanya jalan untuk menemukan kebenaran bagi Suprasti masih berliku. Sehari menjelang puasa Ramadhan, orangtuanya kembali mengunjungi anak-anaknya di Yogyakarta. Mereka menginap dua hari dua malam di tempat kos Suprasti. Tentu saja, praktis Suprasti tidak bisa salat dan berpuasa. “Saat itu hati saya menangis. Tapi saya yakin, Allah maha mengetahui kegalauan saya,” kenangnya. Setelah orangtuanya pulang, ia baru bisa salat dan berpuasa Ramadhan. Ia pun bisa ikut salat taraweh di masjid dan salat Idulfitri untuk kali pertama.

Berurai Airmata
Saat itu bertepatan dengan hari Jumat. Ia bersyukur sambil berurai airmata; terharu campur bahagia. Tapi, dua hari kemudian ia dipaksa oleh pamannya pergi ke gereja. Hati Suprasti kembali menjerit. Ia ingin menolak, tapi tak berdaya. Pulang dari gereja ia menangis sejadi-jadinya. Ia kemudian berdoa mohon petunjuk kepada Allah SWT agar jiwanya mendapat kekuatan menghadapi segala cobaan.
            Seminggu kemudian, seseorang yang mengaku sebagai utusan seorang pastor – yang kebetulan juga sahabat ayahnya – menemui Suprasti. Ia memaksa Suprasti menyerahkan data pribadi, katanya untuk dikirimkan ke Roma untuk diberkati oleh Sri Paus. Tapi, dengan berani ia berkata: “Saya sudah menjadi muslimah. Karena itu, tidak berhak seorang pastor memaksa saya menyerahkan data pribadi. Silakan pastor itu datang sendiri mengambil data pribadi saya.” Setelah utusan pastor itu pergi, sang pastor yang ditunggu-tunggu tak kunjung tiba. “Ini bagian dari teror terhadap saya,” ujar Suprasti.
Sejak itu, iman Suprasti semakin teguh. Apalagi, kebetulan adik sepupunya -- yang memang beragama Islam -- mengetahui Suprasti telah menjadi muslimah. “Kamu kan belum mengucap dua kalimat syahadat. Jadi, Islammu belum sempurna. Ayo, besok saya antar ke Departemen Agama untuk mengucapkan kalimat syahadat,” kata Suprasti menirukan ajakan adik sepupunya yang dosen UGM. “Tapi, saya kan sudah salat. Artinya, saya sudah mengucapkan dua kalimat syahadat,” jawab Suprasti sambil tersenyum.
“Tidak bisa. Kamu sebaiknya segera ke Departemen Agama untuk mengucapkan dua kalimat syahadat. Besok pagi akan saya antar,” kata adik sepupu itu lagi.
            Merasa ajakan itu tidak ada salahnya, Suprasti menurut. Maka, pada 21 September 1984, mereka pun pergi ke Kantor Wilayah Departemen Agama Yogyakarta, sementara saudara-saudara lainnya dari garis ibu (yang semuanya muslim) tak berani menyaksikan peristiwa bersejarah itu. Sebab, sejak awal ayahanda Suprasti minta agar mereka tak ikut campur dalam urusan ini. Singkat cerita, Suprasti mengucapkan dua kalimat syahadat dengan dibimbing KH Musytari Syirot.
Segera setelah itu ia menerima ucapan selamat dari sanak famili dan karyawan Departemen Agama yang menyaksikannya. Rasa haru, lega, campur bahagia pun, lebur jadi satu. Tak terasa, ia berurai airmata. Tapi, ia tetap menggunakan nama lengkapnya: Maria Theresia Suprasti. Sebab, menurut KH Musytari, itu tidak jadi soal. Bahkan sebaliknya bisa menjadi sarana dakwah: punya nama Katolik tapi tetap mantap sebagai muslimah.
           
Ketemu Jodoh
Dalam pada itu, meski ayahandanya masih tidak menyetujui sikapnya, dengan sabar Suprasti selalu berusaha memberikan pengertian. Ia pun tetap bersikap baik kepada orangtua dan adik-adiknya. Bahkan ia selalu berdoa kepada Allah SWT agar pintu hati mereka dibuka hingga mampu bersikap bijak. “Setiap kali berdoa kepada Allah SWT mengenai hal itu, saya selalu menangis,” kenangnya.
            Alhamdulillah, akhirnya Allah SWT mengabulkan doa Suprasti. Suatu hari, orangtuanya berkenan merestui anaknya menjadi muslimah. “Ya, kami sudah merestui kamu. Asal kamu menjalankan Islam secara benar dan bertanggungjawab,” kata Suprasti menirukan pesan orangtuanya.
Untuk ke sekian kalinya Suprasti bersyukur kepada Allah SWT. Dan sejak itu ia rajin mengikuti pengajian di beberapa majelis taklim secara terbuka. Dan akhirnya, teman-teman seasrama, bahkan sekampus, mengetahui bahwa ia telah memeluk Islam. Tak diduga, ia menerima ucapan selamat, bahkan juga sejumlah kado berupa sajadah, mukena, dan baju muslimah. “Saya senang mereka memperhatikan saya. Mereka menerima saya dalam satu keluarga muslimah,” ujarnya berkaca-kaca.
            Ia juga mengundang guru mengaji, Ibu Romlah Nasution, ke tempat kos. Alhamdulillah, hanya dalam waktu satu tahun ia sudah mampu membaca Al-Quran dengan baik, bahkan beberapa kali menghatamkan Al-Quran. Belakangan ia mengajar sejarah di SMA Muhammadiyah V, Yogyakarta. Di sekolah ini pula ia belajar banyak tentang Islam, baik kepada sesama guru maupun murid-muridnya. Mulai dari akidah hingga perilaku sehari-hari sebagai muslimah.
“Suatu hari tanpa sadar, saya masuk kelas dengan melangkahkan kaki kiri terlebih dulu. Murid-murid mengetahui perilaku saya yang salah itu, lalu memberitahu agar masuk ruang kelas dengan melangkahkan kaki kanan terlebih dulu,” tuturnya.
            Saat menjadi guru inilah, Allah SWT memilihkan jodoh: Widjijanto, duda beranak tiga, karyawan Kantor Bea Cukai, Yogyakarta. Seorang teman baik memperkenalkannya. Mereka pun menikah pada tanggal 1 Januari 2001. Tiga tahun lalu mereka menetap di Jakarta, setelah sebelumnya pasangan itu menunaikan ibadah haji. Cobaan demi cobaan telah terlewati, dan itu semua justru semakin mempertebal keimanan Suprasti sebagai seorang muslimah yang kaffah, yang sempurna.

Domery Alpacino
Catatan: Pernah dimuat di majalah Islam Alkisah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar