Perjuangannya
mencari kebenaran mengundang teror. Setelah menjadi muslimah, perempuan bekas
Katolik ini rajin berdakwah.
SABTU pagi, pertengahan April
2004. Puluhan jemaah memadati masjid Namira di Tebet Barat Dalam V, Jakarta
Selatan. Mereka mengikuti pengajian yang digelar oleh Majelis Taklim Al-Manthiq,
yang kali itu menampilkan Ustazah Hj. Maria Theresia Suprasti. Ia mengisahkan
suka dukanya dalam mencari kebenaran Islam. Perempuan bekas Katolik asal
Yogyakarta itu, 20 tahun lalu telah memeluk Islam.
Ia memang sering diundang untuk
menceritakan suka dukanya yang dialaminya itu. “Biasanya setelah saya berkisah,
seorang ustaz menambah atau mengoreksi kisah saya dengan dalil-dalil Al-Quran
atau hadis. Dengan demikian saya membantu syiar Islam,” katanya.
Selain berdakwah, ia rajin mengikuti majelis-majelis
taklim. Setiap malam Jumat, misalnya, ia mengikuti majelis taklim ibu-ibu
muslimah di kompleks rumahnya di Jalan Margasatwa, Pondok Labu, Jakarta
Selatan. Sedang setiap Ahad pagi hingga siang ia belajar tafsir Al-Quran.
Bahkan hampir setiap hari ia menghadiri majelis taklim di beberapa tempat.
Lahir pada 23 September 1957 di Surabaya, ia anak sulung
dari lima bersaudara pasangan Johanes Sudirjo dan Yohana Maria Tatik Muryati.
Ayahandanya seorang kapten Angkatan Darat, sementara ibundanya seorang guru
sekolah dasar. Ia dibesarkan dalam keluarga Katolik yang taat. Ayahandanya
mendidik anak-anaknya berdisiplin layaknya prajurit; ibundanya membimbing
mereka menjalankan ajaran Katolik.
Sejak masa kanak-kanak, Suprasti yang sudah dibaptis
sejak lahir, rajin ke gereja dan Sekolah Minggu. Ia juga aktif dalam kegiatan
muda-mudi gereja. Menjelang masuk ke sekolah dasar, keluarganya pindah ke
Malang, Jawa Timur. Suprasti kecil pun masuk ke sebuah SD Negeri di kota yang
sejuk ini. Nah, di sinilah ia mendapat pelajaran agama Islam, termasuk
pelajaran membaca Al-Quran dan praktik salat, sejak kelas satu hingga kelas
tiga. “Meskipun sebenarnya boleh meninggalkan kelas, saya lebih suka mengikuti
pelajaran agama Islam,” tutur Suprasti.
Suatu hari, pulang dari sekolah ia mencoba membaca surah
Al-Fatihah. Lambat laun ia hafal surah pertama yang juga disebut Ummul Kitab
itu. Kebetulan ibunya melihat. “Kamu sedang membaca apa?” tanya sang ibu.
“Surat Al-Fatihah,” jawab Suprasti, enteng. Gara-gara ia membaca Al-Fatihah
itu, ibunya melarangnya mengikuti pelajaran agama Islam di sekolah. Karena
takut anaknya memeluk Islam, sang ibu memindahkannya ke SD Katolik.
Sejak itu pula Suprasti kembali menekuni ajaran Katolik.
Tamat dari SD Katolik, ia ikut pamannya di Yogyakarta dan masuk ke SMP Katolik
dekat terminal bus Umbul Hardjo, Yogyakarta. Tamat dari SMP, ia kembali ke
Malang, masuk ke SMA Santo Yosef. Tamat SMA pada 1976, ia kuliah di Jurusan
Filsafat Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, dan aktif dalam kegiatan
kerohanian mahasiswa Katolik. Ia bahkan sempat menjadi koordinator kerohanian
Kristen-Katolik Senat Mahasiswa UGM selama beberapa periode.
Surah Maryam
Pada tahun 1979 ia tinggal di Asrama Mahasiswi
Ratnaningsih di Jalan Kartini, Yogyakarta. Di asrama khusus mahasiswi ini ia
berusaha menunjukkan jati diri sebagai Katolik yang taat. Setiap pagi, sebelum
kuliah, ia selalu mengikuti misa kudus di sebuah kapel alias gereja kecil.
Semua kegiatan kerohanian Kristen-Katolik di asrama juga ia ikuti dengan baik.
Bahkan kemudian ia dipercaya sebagai koordinator kerohanian Kristen-Katolik di
asrama tersebut, meski penghuni asrama yang beragama Nasrani hanya 12 orang –
dibanding penghuni muslim yang 10 kali lipat.
Selama dua tahun tinggal di asrama itu, teman sekamar
Suprasti silih berganti. Sampai pada suatu saat ia sekamar dengan dua teman
muslimah yang taat beribadah. Selepas Maghrib, salah seorang di antara mereka
selalu membaca Al-Quran, sedang yang lain membacakan terjemahannya. Di saat
seperti itu Suprasti lebih sering keluar kamar berkumpul dengan teman-temannya
seiman. Suatu hari, kedua teman itu mengajaknya memperbandingkan Al-Quran
dengan Injil. Kebetulan yang mereka bandingkan surah Maryam ayat 30-36:
Berkatalah
Isa: “Sesungguhnya aku ini hamba Allah. Dia memberiku Al-Kitab (Injil) dan Dia
menjadikan aku seorang nabi. Dia menjadikan aku seorang yang diberkati di mana
saja aku berada, dan Dia memerintahkan aku mendirikan salat dan menunaikan
zakat selama aku hidup. Serta berbakti kepada ibuku; dan Dia tidak menjadikan
aku seorang yang sombong lagi celaka. Kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku
pada hari aku dilahirkan, pada hari aku wafat dan pada hari aku dibangkitkan
kembali. Itulah Isa putra Maryam, yang berkata dengan perkataan benar, yang
mereka berbantah-bantahan tentang kebenarannya. Tidak layak bagi Allah
mempunyai anak; Maha Suci Dia. Apabila telah menetapkan sesuatu, Dia hanya
berkata: “Jadilah”, maka jadilah ia. Sesungguhnya Allah adalah Tuhanku dan
Tuhanmu, maka sembahlah Dia. Ini adalah jalan yang lurus.
Begitu mereka selesai membaca terjemah surah Maryam,
Suprasti tercenung, gelisah. “Kok predikat Isa dalam Al-Quran sangat
berbeda dengan keyakinan umat Katolik bahwa Isa atau Yesus adalah Tuhan
sekaligus manusia?” tanyanya dalam hati. Keinginan tahunya pun semakin besar,
sehingga mendorongnya membaca sendiri terjemahan surah Maryam. Saat dua
temannya kuliah, diam-diam ia membacanya, lalu membandingkannya dengan Injil.
Sejumlah pertanyaan pun berkecamuk di benaknya. Mengapa Isa tidak disebut
sebagai anak Tuhan tapi hanya anak Maryam? Mengapa ada penegasan bahwa tidak
layak bagi Allah mempunyai anak? Mengapa umat Katolik menyebut Yesus sebagai
anak Allah? Kalau Isa menyebut, “Sesungguhnya Allah adalah Tuhanku dan
Tuhanmu,” lalu siapakah Yesus sebenarnya?
Terima Saja!
Dalam kegelisahan itulah, Suprasti makin rajin membaca Injil. Tapi, semakin menggali, semakin ia menemukan banyak
persoalan yang tidak bisa dijawab ketika ia menanyakannya kepada pastor.
“Terima saja soal itu, pasti nanti kamu masuk surga. Kalau kamu ragu-ragu,
hukumnya dosa,” kata Suprasti menirukan ucapan beberapa pastor. Padahal, dalam
Matius 16:27, misalnya, Yesus menyebut dirinya anak manusia, bukan anak Tuhan;
sementara dalam Markus 12:28-32, Yesus menyuruh umat Israel menyembah Tuhan,
bukan menyembah Trinitas.
Ia bahkan menduga, yang disebut sebagai ”penghibur” dalam Yohanes
14:25-26, jangan-jangan Muhammad; sementara Al-Quran mungkin sudah diramalkan
sebagai wahyu Tuhan yang disampaikan oleh Nabi Muhammad kepada umat manusia
sebagaimana disebut dalam Yohanes 16: 8-15.
Ingin lebih mendalami kebenaran, akhirnya ia memutuskan
mempelajari Islam dengan membaca beberapa buku mengenai Islam koleksi
perpustakaan asrama. Dengan tekun dan penuh gairah ia melahap sejumlah buku
mengenai Islam selama beberapa bulan. Sepanjang masa itu, ia dalam keadaan
tanpa keyakinan, berusaha bersikap netral terhadap kedua agama: Ialam dan
Nasrani. Akhirnya, ia berhasil menemukan simpul kebenaran: ternyata konsep
ketuhanan Islamlah yang benar: bahwa Allah itu esa, tiada beranak, tidak
diperanakkan, dan tidak seorang pun setara dengan-Nya.
Seiring dengan penemuan kesimpunan mengenai kebenaran Islam tersebut, ia
selesai menulis skripsi, dan berhasil menyelesaikan studi filsafat pada
Februari 1984. Setelah menggondol S1, ia pindah dan tinggal in de cost
di tempat lain, sekamar dengan adik kandungnya. Saat itu, karena sudah mengakui
Islam sebagai agama yang benar, ia mulai belajar salat dari buku. Ia juga
menyempatkan diri menghadiri beberapa pengajian meski secara sembunyi-sembunyi.
Ia tidak ingin orangtua, adik-adik dan teman-temannya mengetahui perubahan sikapnya
itu.
Mukena Siapa?
Ketika adiknya kuliah, ia melakukan salat secara diam-diam. Ia bahkan
juga men-jamak (mengumpulkan jadi satu) beberapa salat yang selama ini
belum dilaksanakannya. Belakangan ia baru tahu bagaimana cara yang benar untuk
men-jamak salat. Usai salat, ia menyimpan sajadah dan mukena di lemari
dengan sangat rapih, jangan sampai ketahuan oleh adiknya. Namun, suatu hari,
sang adik menemukan sajadah dan mukena itu. “Ini barang milik siapa?” tanya
adiknya. “Oh, itu milik temanku, ketinggalan.
Nanti aku kembalikan,” kata Suprasti mencoba bohong.
Tapi, setelah beberapa hari, ternyata sajadah dan mukena
itu masih tersimpan rapi dalam lemari. Akhirnya adiknya curiga. Apalagi setiap
kali ia mengajak kakaknya ke gereja, sang kakak selalu menghindar. Karuan saja,
ia lalu melaporkan perilaku kakaknya kepada orangtuanya di Malang. Beberapa
hari kemudian, ayahandanya berkunjung ke Yogyakarta menemuinya. Tiga jam
lamanya sang ayah menginterogasi sang anak; dan akhirnya menakut-nakuti. “Kalau
tetap memeluk Islam, kamu akan mati sia-sia. Sebab, kamu bisa ditembak mati
karena dituduh sebagai teroris,” kata Suprasti menirukan ayahandanya.
Begitu ayahnya pulang, Suprasti sangat sedih. Tapi,
tekadnya untuk tetap memeluk Islam tak tergoyahkan lagi. Maka, usai melakukan
salat, ia pun mengadu kepada Allah SWT, menangis sejadinya-jadinya di atas
sajadah: “Ya Allah, mengapa ayah yang selama ini mencintai aku, ternyata begitu
kasar. Ya Allah, mengapa ia mengancamku saat aku hendak memeluk agama-Mu. Ya
Allah, aku minta perlindungan-Mu karena hanya Engkau yang dapat melindungiku
dalam rangka menegakkan agama-Mu.” Begitu doa Suprasti berkali-kali sembari
menangis, setiap kali usai salat.
Suatu hari, tak berapa lama setelah interogasi itu, adik Suprasti
terserang penyakit usus buntu, dan harus segera dioperasi. Setelah sembuh, sang
adik pindah tempat kos yang jaraknya lebih dekat dengan kampus. Ini kesempatan
bagi Suprasti tinggal sendirian di kamar, dan saat itulah ia bisa lebih khusyu’
menjalankan salat. Ketika salat ia menutup pintu dan jendela kamar rapat-rapat.
Tapi rupanya jalan untuk menemukan kebenaran bagi
Suprasti masih berliku. Sehari menjelang puasa Ramadhan, orangtuanya kembali
mengunjungi anak-anaknya di Yogyakarta. Mereka menginap dua hari dua malam di
tempat kos Suprasti. Tentu saja, praktis Suprasti tidak bisa salat dan
berpuasa. “Saat itu hati saya menangis. Tapi saya yakin, Allah maha mengetahui
kegalauan saya,” kenangnya. Setelah orangtuanya pulang, ia baru bisa salat dan
berpuasa Ramadhan. Ia pun bisa ikut salat taraweh di masjid dan salat Idulfitri
untuk kali pertama.
Berurai Airmata
Saat itu bertepatan dengan hari Jumat. Ia bersyukur sambil berurai
airmata; terharu campur bahagia. Tapi, dua hari kemudian ia dipaksa oleh
pamannya pergi ke gereja. Hati Suprasti kembali menjerit. Ia ingin menolak,
tapi tak berdaya. Pulang dari gereja ia menangis sejadi-jadinya. Ia kemudian
berdoa mohon petunjuk kepada Allah SWT agar jiwanya mendapat kekuatan
menghadapi segala cobaan.
Seminggu kemudian, seseorang yang mengaku sebagai utusan
seorang pastor – yang kebetulan juga sahabat ayahnya – menemui Suprasti. Ia
memaksa Suprasti menyerahkan data pribadi, katanya untuk dikirimkan ke Roma
untuk diberkati oleh Sri Paus. Tapi, dengan berani ia berkata: “Saya sudah menjadi
muslimah. Karena itu, tidak berhak seorang pastor memaksa saya menyerahkan data
pribadi. Silakan pastor itu datang sendiri mengambil data pribadi saya.”
Setelah utusan pastor itu pergi, sang pastor yang ditunggu-tunggu tak kunjung
tiba. “Ini bagian dari teror terhadap saya,” ujar Suprasti.
Sejak itu, iman Suprasti semakin teguh. Apalagi, kebetulan adik sepupunya
-- yang memang beragama Islam -- mengetahui Suprasti telah menjadi muslimah.
“Kamu kan belum mengucap dua kalimat syahadat. Jadi, Islammu belum sempurna.
Ayo, besok saya antar ke Departemen Agama untuk mengucapkan kalimat syahadat,”
kata Suprasti menirukan ajakan adik sepupunya yang dosen UGM. “Tapi, saya kan
sudah salat. Artinya, saya sudah mengucapkan dua kalimat syahadat,” jawab
Suprasti sambil tersenyum.
“Tidak bisa. Kamu sebaiknya segera ke Departemen Agama untuk mengucapkan
dua kalimat syahadat. Besok pagi akan saya antar,” kata adik sepupu itu lagi.
Merasa ajakan itu tidak ada salahnya, Suprasti menurut.
Maka, pada 21 September 1984, mereka pun pergi ke Kantor Wilayah Departemen
Agama Yogyakarta, sementara saudara-saudara lainnya dari garis ibu (yang
semuanya muslim) tak berani menyaksikan peristiwa bersejarah itu. Sebab, sejak
awal ayahanda Suprasti minta agar mereka tak ikut campur dalam urusan ini.
Singkat cerita, Suprasti mengucapkan dua kalimat syahadat dengan dibimbing KH
Musytari Syirot.
Segera setelah itu ia menerima ucapan selamat dari sanak famili dan
karyawan Departemen Agama yang menyaksikannya. Rasa haru, lega, campur bahagia
pun, lebur jadi satu. Tak terasa, ia berurai airmata. Tapi, ia tetap
menggunakan nama lengkapnya: Maria Theresia Suprasti. Sebab, menurut KH
Musytari, itu tidak jadi soal. Bahkan sebaliknya bisa menjadi sarana dakwah:
punya nama Katolik tapi tetap mantap sebagai muslimah.
Ketemu Jodoh
Dalam pada itu, meski ayahandanya masih tidak menyetujui sikapnya, dengan
sabar Suprasti selalu berusaha memberikan pengertian. Ia pun tetap bersikap
baik kepada orangtua dan adik-adiknya. Bahkan ia selalu berdoa kepada Allah SWT
agar pintu hati mereka dibuka hingga mampu bersikap bijak. “Setiap kali berdoa
kepada Allah SWT mengenai hal itu, saya selalu menangis,” kenangnya.
Alhamdulillah, akhirnya Allah SWT mengabulkan doa
Suprasti. Suatu hari, orangtuanya berkenan merestui anaknya menjadi muslimah.
“Ya, kami sudah merestui kamu. Asal kamu menjalankan Islam secara benar dan
bertanggungjawab,” kata Suprasti menirukan pesan orangtuanya.
Untuk ke sekian kalinya Suprasti bersyukur kepada Allah SWT. Dan sejak
itu ia rajin mengikuti pengajian di beberapa majelis taklim secara terbuka. Dan
akhirnya, teman-teman seasrama, bahkan sekampus, mengetahui bahwa ia telah
memeluk Islam. Tak diduga, ia menerima ucapan selamat, bahkan juga sejumlah
kado berupa sajadah, mukena, dan baju muslimah. “Saya senang mereka
memperhatikan saya. Mereka menerima saya dalam satu keluarga muslimah,” ujarnya
berkaca-kaca.
Ia juga mengundang guru mengaji, Ibu Romlah Nasution, ke
tempat kos. Alhamdulillah, hanya dalam waktu satu tahun ia sudah mampu membaca Al-Quran
dengan baik, bahkan beberapa kali menghatamkan Al-Quran. Belakangan ia mengajar
sejarah di SMA Muhammadiyah V, Yogyakarta. Di sekolah ini pula ia belajar
banyak tentang Islam, baik kepada sesama guru maupun murid-muridnya. Mulai dari
akidah hingga perilaku sehari-hari sebagai muslimah.
“Suatu hari tanpa sadar, saya masuk kelas dengan melangkahkan kaki kiri
terlebih dulu. Murid-murid mengetahui perilaku saya yang salah itu, lalu
memberitahu agar masuk ruang kelas dengan melangkahkan kaki kanan terlebih
dulu,” tuturnya.
Saat menjadi guru inilah, Allah SWT memilihkan jodoh:
Widjijanto, duda beranak tiga, karyawan Kantor Bea Cukai, Yogyakarta. Seorang
teman baik memperkenalkannya. Mereka pun menikah pada tanggal 1 Januari 2001.
Tiga tahun lalu mereka menetap di Jakarta, setelah sebelumnya pasangan itu
menunaikan ibadah haji. Cobaan demi cobaan telah terlewati, dan itu semua
justru semakin mempertebal keimanan Suprasti sebagai seorang muslimah yang kaffah,
yang sempurna.
Domery Alpacino
Catatan: Pernah dimuat di majalah Islam Alkisah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar