Laman

Sabtu, 15 Mei 2004

Hidayah Datang lewat Office Boy

Setelah memeluk Islam, ia mengalami berbagai cobaan yang sangat berat, bahkan sampai kini. Namun, dengan sabar dan ikhlas, ia mampu mengatasi semua cobaan itu.

Pada 1997 ia divonis dokter sebagai pengidap kanker stadium empat, alias tidak ada harapan hidup lagi. Bila bisa bertahan hidup, usianya tidak bakal mencapai dua tahun.
 Tapi, Allah SWT menghendaki lain. Ia  mendapat rahmat, sembuh dari penyakit. Hingga saat ini ia sehat walafiat dan menjalani kehidupan dengan cukup bahagia.

Semangatnya dalam mengarungi kehidupan bertambah menyala. Mungkin ini  buah dari pendekatannya yang intens kepada Sang Khalik. Hampir setiap hari ia salat Tahajud dan Duha, puasa sunah Senin-Kamis, serta menghadiri beberapa majelis taklim muslimah.
Itulah Hj. Maria Elisabeth Lilly Sulianti, yang sejak 29 tahun lalu menjadi muslimah. Menurut Lilly, rahasia di balik kesembuhannya – dan beban-beban hidup yang selalu menghantuinya – ia sering minum air zamzam dan mengamalkan zikir, Asmaul Husna, doa Asy Syifa, Nurbuat, dan selawat Nariyah. Tentu juga, selain bersabar dan ikhlas menghadapi liku-liku kehidupan, serta tetap rajin menjalankan beberapa terapi ringan.
Berkat itu, banyak teman memintanya  membagi pengalaman. Semua itu ia layani dengan baik dan penuh senyum.
            Lahir 10 Mei 1953 di Yogyakarta, ia anak pertama dari enam bersaudara pasangan Bambang Sutrisno dan Anne Marie Keppel. Ia dibesarkan dalam keluarga Katolik yang taat. Sebelum menikah, ayahnya, yang asli Yogyakarta, adalah penganut “Islam abangan”: muslim namun tidak sepenuhnya melaksanakan syariat Islam dalam kehidupan. Ibunya, yang Indo, pemeluk Katolik tulen –  sejak kecil diasuh dalam asrama susteran sebagai anak yatim piatu.
            Meski perwira tinggi Angkatan Darat, Sutrisno tidak menerapkan disiplin tentara kepada anak-anaknya. Sementara Anne Marie, yang apoteker, mendidik mereka dengan lembut, penuh senyum, dan lebih banyak memberikan contoh kebajikan ketimbang banyak bicara.
Sejak masa kanak-kanak, Lilly, yang dibaptis ketika kelas dua SD, rajin ke gereja dan Sekolah Minggu. “Setiap pagi saya selalu pergi ke gereja mengikuti misa,” kenang Lilly.
Masa kecilnya dihabiskan di Yogyakarta, dan ketika masuk SMA pindah ke Bandung mengikuti tugas sang ayah (Dari SD hingga SMA, ia belajar di sekolah perempuan Katolik). Ketika kuliah, ia mengambil jurusan psikologi di UGM, Yogyakarta, dan jurusan perbankan di Akademi Perbankan. Di Kota Gudeg ini ia tinggal bersama neneknya dari garis ayah. “Tapi, setiap Minggu saya pulang ke Bandung. Entah kenapa, saat itu saya merasa tidak tenteram menjalani hidup,” ujarnya sedih.
Pada semester dua, kaki kirinya patah, lantaran ditabrak taksi gelap. Perawatan selama setahun di rumah sakit Distira, Cimahi, tidak membuahkan hasil. Ia malah tidak bisa berjalan. “Saya ini anak muda yang lagi bersemangat kuliah, kok kena musibah berkepanjangan?” pikir Lilly saat itu. Akibatnya, ia sering iri melihat adik-adiknya yang leluasa pergi ke pesta atau bermain. Keruan saja, ia stres dan sering mencoba bunuh diri.
Setelah bisa berjalan, ia tidak melanjutkan kuliah. Ia bekerja di PT Garuda Indonesia Airways, Pontianak. Di kota ini ia mengikuti orangtuanya yang ditugaskan di Kodam Tanjungpura. 
Suatu malam, saat tirakat, antara melek dan merem ia laksana mimpi, bersimpuh di lantai dalam balutan kerudung.
“Pa, mungkin lebih baik saya masuk biarawati, seperti digambarkan dalam mimpi itu,” kata Lily keesokan harinya kepada ayahnya. 
“Tidak ada anak saya yang menjadi biarawati!” jawab sang ayah, tegas. Kelak, Lilly mengetahui tafsir mimpi itu. Ternyata yang dimaksud adalah bayangan dirinya sedang membaca Al-Quran dengan menggunakan rehal, meja kecil khusus tempat menaruh Al-Quran untuk dibaca.
Beberapa bulan kemudian, Lilly bertanya kepada Wahab, office boy yang sudah tua. Pasalnya, ia sering melihat, Wahab setiap siang dan sore ke kamar mandi sebelum salat. “Pak Wahab, Bapak pasti membasahi muka dan kedua tangan serta kaki lebih dahulu sebelum salat. Mengapa begitu?” tanya Lilly, polos.
“Itu namanya berwudu, membersihkan sebagian tubuh dengan air. Dan, itu syarat sahnya salat,” jawab Wahab.
“Jadi, kalau salatnya lima kali, wudunya juga harus lima kali?” tanya Lilly lagi.
“Betul,” jawab Wahab. “Kalau sudah salat, lalu kita batal, harus berwudu lagi.”
            Sejak itu ia sering bertanya kepada Wahab tentang ajaran Islam yang lain. Lambat laun, teman-teman sekantor yang punya pengetahuan lebih luas tentang Islam ikut nimbrung. Obrolan di antara mereka kemudian berkembang setiap istirahat siang sehingga Lilly makin tertarik kepada Islam.
“Kalau mau masuk Islam, apa syaratnya?” tanya Lilly kepada Husni, teman asal Palembang.
“Gampang, ucapkan saja dua kalimah syahadat,” jawab teman itu.
“Sesederhana itukah?” Lilly bertanya kembali setengah heran. Ia kemudian bertanya tentang seputar makna syahadat, salat, puasa, dan lain-lain. Dengan lembut, teman dari Palembang ini memberikan contoh mengucapkan syahadat yang baik. Anehnya, hanya dalam satu kali contoh, ia bisa mengucapkan kalimat tayibah itu dengan sempurna.
Pengetahuan tentang Islam, juga ia dapatkan dari Suyoso Basuki, pemimpin perusahaan tempat ia bekerja. Seperti kepada anak sendiri, Suyoso sering memberi nasihat  kepada Lilly. Dan, Lilly pun makin tertarik tentang Islam.
Seiring dengan itu, ia juga mulai membandingkan agamanya dengan Islam. Mengapa, dalam Al-Quran, Isa tidak disebut sebagai anak Tuhan tapi anak Maryam? Mengapa, dalam Al-Quran, ada penegasan bahwa tidak layak bagi Allah mempunyai anak, padahal dalam ajaran Nasrani ada konsep Trinitas: Tuhan itu satu tapi pribadinya tiga, yaitu Tuhan Bapak, Tuhan Putra, dan Tuhan Roh Kudus.
Jawaban-jawaban yang diterimanya membuat imannya mulai goyah. Hati nuraninya mulai membenarkan bahwa Allah itu esa, satu, tiada beranak, tidak diperanakkan; tidak seorang pun setara dengan-Nya. Sejak itu Lilly makin penasaran, dan setiap hari menggali ajaran Islam. Dari situ ia menemukan simpul-simpul kebenaran, sehingga benih iman Islamnya semakin mantap. Tanpa pikir panjang lagi, ia turunkan salib di kamar tidurnya dan membungkusnya rapat-rapat. Saat itulah, ibunya memergoki.
Sebelum sang ibu bertanya lebih jauh, Lilly memberanikan diri mengungkapkan galau hati, sekaligus memantapkan pendirian. “Saya ingin masuk Islam, boleh apa tidak?” tanya Lilly lirih dan jantung berdebar-debar.
Di luar dugaan, sang ibu memeluk dengan hangat sambil berkata, “Kamu sudah dewasa dan berhak memilih keyakinanmu sendiri. Tapi, satu hal yang harus kamu perhatikan... bila sudah memilih Islam, kamu harus menjalani agama itu dengan total,” nasihat ibu Lilly.  
Lilly pun kaget. Ia merasa mendapat izin secara mendadak yang harus dipegang teguh dan penuh tanggung jawab. Karena itu, ia bertekad tidak akan setengah-setengah dalam menjalankan agama yang akan dipeluknya nanti. Ia berjanji akan sungguh-sungguh menjalankan perintah dan menjauhi semua larangan yang digariskan Islam. Bagi Lilly, izin ibunya itu adalah sebuah konsekuensi bagi diri dan keluarganya. Artinya, ia akan dituduh murtad oleh teman-temannya sesama Katolik. Dan ibunya akan dicap gagal, karena anaknya telah murtad.
Esok harinya, Lilly mengutarakan keinginannya memeluk Islam kepada Suyoso. Karena sudah bertekad bulat memilih Islam, akhirnya Lilly diantar ke Kantor Wilayah Departemen Agama Pontianak. Perisitiwa itu terjadi pada 1975, saat ia berusia 22 tahun. Dengan bimbingan Kakanwil Depag Pontianak, Lily mengucapkan dua kalimah syahadat, disaksikan Suyoso dan istri,  beberapa rekan sekantor, dan para pegawai Kanwil Depag. Kelak, semua adik Lilly mengikuti jejaknya memeluk Islam.
            Sembari menerima ucapan selamat, tak
terasa air matanya mengalir deras. Lega, bahagia, campur aduk jadi satu. Air mata itu semakin deras ketika ia teringat peristiwa lama: kecelakaan, masa-masa ketika beban hidup mengimpit, dan “turunnya izin” sang ibu.
Dua tahun kemudian Lilly menikah dengan seorang pengusaha. Ia berharap, suaminya, yang Islam sejak lahir, bisa menuntun jalan hidupnya, seorang mualaf. Ternyata, harapan itu sirna. Lima tahun mengarungi bahtera rumah tangga dan dikaruniai seorang putra, ia tidak mendapat tuntunan agama Islam yang baik dari sang suami. Sepulang dari Belanda, karena tidak ada kecocokan, ia berpisah. Gugatan perceraiannya di kantor Pengadilan Agama Jakarta dikabulkan.
Bersama anak, Lilly menjalani hidup. Ia merajut kembali serpihan-serpihan hati yang retak. Ia melamar dan diterima di Asuransi Tugu Life, Jalan Rasuna Said, Jakarta Selatan. Di kantor ini, ia disibukkan oleh fungsinya di biro umum dan aktif mengikuti berbagai macam kursus bahasa dan keterampilan pada malam hari. Selain itu ia juga melakukan bisnis informal yang terus berjalan – mulai  dari penyediaan pakaian, sepatu, hingga tas. Pendek kata, hari-harinya tidak ada yang terbuang percuma.
Tidak mengherankan bila teman-teman sejawatnya lantas menobatkan dirinya sebagai figur seorang ibu pekerja keras dan bijaksana, dan memberi julukan Ibu Lurah. “Mulai dari persoalan pribadi hingga urusan kantor dan interior rumah direksi, saya yang menangani,” kata Lilly dengan sikap merendah.
Di kantor asuransi ini juga, ia orang pertama yang menyediakan ruangan khusus untuk musala. “Dengan adanya musala kecil, para karyawan bisa melaksanakan salat berjemaah,” tutur Lilly mengungkapkan kelegaan teman-teman sejawatnya.
Suatu hari, seorang pria dengan tiga orang anak yang masih kecil-kecil mengajak menikah. Awalnya, Lilly menolak. Pasalnya, ia merasa sudah mapan secara materi. Ia juga sibuk bekerja. Dan, yang terpenting, ia bertekad tidak ingin mengulangi masa lalunya yang tidak bahagia. Karena pria itu begitu menggebu-gebu dan serius, hati Lilly luluh juga. Lamaran itu diterima, dan mereka pun menikah.
Beberapa tahun kemudian, ia membeli PT Nipindo Antar Wisata, sebuah biro perjalanan haji dan umrah. Setiap kali memberangkatkan jemaah umrah atau haji, jemaahnya makin bertambah. Ia pernah memberangkatkan jemaah umrah hingga 150 orang. Ia bekerja sama dengan Ustazah Lutfiah Sungkar dan suaminya, dr. Kolonel Mulya Tarmizi, sebagai pembimbing ibadah jemaah umrah atau haji.
Melihat perkembangan itu, suami Lilly, yang bekerja di Pulo Gadung, Jakarta Timur, memilih membantu biro perjalanan umrah dan haji tersebut.
Sukses menyetir perusahaan ternyata tidak identik dengan sukses membina rumah tangga. Lagi-lagi ia merasa tidak mendapatkan tuntunan agama Islam yang kafah dari suami kedua. Juga, muncul masalah-masalah rumah tangga. Karena itu, setelah berumah tangga 13 tahun, ia mengajukan tuntutan berpisah. Pada 2000, Kantor Pengadilan Agama Bekasi mengabulkan tuntutannya. 
PT Nipindo Antar Wisata, yang dia bina sejak awal, dikuasai mantan suami kedua. “Semua saya serahkan semata kepada Allah SWT. Dialah Yang Mahaadil dan menentukan jalan hidup saya,” tutur Lilly, pasrah.
Di tengah cobaan itu, ia mendirikan lagi perusahaan biro perjalanan umrah dan haji. Namun, karena kekurangan dana, perusahaan  ditutup untuk sementara. Agaknya, cobaan masih terus menerpa diri wanita salihah ini.

Domery Alpacino
Catatan: Pernah dimuat di majalah Islam Alkisah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar