Setelah memeluk Islam, ia mengalami berbagai cobaan yang sangat berat,
bahkan sampai kini. Namun, dengan sabar dan ikhlas, ia mampu mengatasi semua
cobaan itu.
Pada 1997 ia divonis dokter sebagai pengidap kanker
stadium empat, alias tidak ada harapan hidup lagi. Bila bisa bertahan hidup,
usianya tidak bakal mencapai dua tahun.
Tapi, Allah
SWT menghendaki lain. Ia mendapat
rahmat, sembuh dari penyakit. Hingga saat ini ia sehat walafiat dan menjalani
kehidupan dengan cukup bahagia.
Semangatnya dalam mengarungi kehidupan bertambah menyala. Mungkin
ini buah dari pendekatannya yang intens
kepada Sang Khalik. Hampir setiap hari ia salat Tahajud dan Duha, puasa sunah
Senin-Kamis, serta menghadiri beberapa majelis taklim muslimah.
Itulah Hj. Maria Elisabeth Lilly Sulianti, yang sejak 29 tahun lalu
menjadi muslimah. Menurut Lilly, rahasia di balik kesembuhannya – dan
beban-beban hidup yang selalu menghantuinya – ia sering minum air zamzam dan
mengamalkan zikir, Asmaul Husna, doa Asy Syifa, Nurbuat, dan selawat Nariyah.
Tentu juga, selain bersabar dan ikhlas menghadapi liku-liku kehidupan, serta
tetap rajin menjalankan beberapa terapi ringan.
Berkat itu, banyak teman memintanya
membagi pengalaman. Semua itu ia layani dengan baik dan penuh senyum.
Lahir
10 Mei 1953 di Yogyakarta, ia anak pertama dari enam bersaudara pasangan
Bambang Sutrisno dan Anne Marie Keppel. Ia dibesarkan dalam keluarga Katolik
yang taat. Sebelum menikah, ayahnya, yang asli Yogyakarta, adalah penganut
“Islam abangan”: muslim namun tidak sepenuhnya melaksanakan syariat Islam dalam
kehidupan. Ibunya, yang Indo, pemeluk Katolik tulen – sejak kecil diasuh dalam asrama susteran
sebagai anak yatim piatu.
Meski
perwira tinggi Angkatan Darat, Sutrisno tidak menerapkan disiplin tentara
kepada anak-anaknya. Sementara Anne Marie, yang apoteker, mendidik mereka
dengan lembut, penuh senyum, dan lebih banyak memberikan contoh kebajikan
ketimbang banyak bicara.
Sejak masa kanak-kanak, Lilly, yang dibaptis ketika kelas dua SD, rajin
ke gereja dan Sekolah Minggu. “Setiap pagi saya selalu pergi ke gereja
mengikuti misa,” kenang Lilly.
Masa kecilnya dihabiskan di Yogyakarta, dan ketika masuk SMA pindah ke
Bandung mengikuti tugas sang ayah (Dari SD hingga SMA, ia belajar di sekolah
perempuan Katolik). Ketika kuliah, ia mengambil jurusan psikologi di UGM,
Yogyakarta, dan jurusan perbankan di Akademi Perbankan. Di Kota Gudeg ini ia
tinggal bersama neneknya dari garis ayah. “Tapi, setiap Minggu saya pulang ke
Bandung. Entah kenapa, saat itu saya merasa tidak tenteram menjalani hidup,”
ujarnya sedih.
Pada semester dua, kaki kirinya patah, lantaran ditabrak taksi gelap.
Perawatan selama setahun di rumah sakit Distira, Cimahi, tidak membuahkan
hasil. Ia malah tidak bisa berjalan. “Saya ini anak muda yang lagi bersemangat
kuliah, kok kena musibah berkepanjangan?” pikir Lilly saat itu. Akibatnya, ia
sering iri melihat adik-adiknya yang leluasa pergi ke pesta atau bermain.
Keruan saja, ia stres dan sering mencoba bunuh diri.
Setelah bisa berjalan, ia tidak melanjutkan kuliah. Ia bekerja di PT
Garuda Indonesia Airways, Pontianak. Di kota ini ia mengikuti orangtuanya yang
ditugaskan di Kodam Tanjungpura.
Suatu malam, saat tirakat, antara melek dan merem ia laksana mimpi,
bersimpuh di lantai dalam balutan kerudung.
“Pa, mungkin lebih baik saya masuk biarawati, seperti digambarkan dalam
mimpi itu,” kata Lily keesokan harinya kepada ayahnya.
“Tidak ada anak saya yang menjadi biarawati!” jawab sang ayah, tegas.
Kelak, Lilly mengetahui tafsir mimpi itu. Ternyata yang dimaksud adalah
bayangan dirinya sedang membaca Al-Quran dengan menggunakan rehal, meja kecil
khusus tempat menaruh Al-Quran untuk dibaca.
Beberapa bulan kemudian, Lilly bertanya kepada Wahab, office boy
yang sudah tua. Pasalnya, ia sering melihat, Wahab setiap siang dan sore ke
kamar mandi sebelum salat. “Pak Wahab, Bapak pasti membasahi muka dan kedua
tangan serta kaki lebih dahulu sebelum salat. Mengapa begitu?” tanya Lilly, polos.
“Itu namanya berwudu, membersihkan sebagian tubuh dengan air. Dan, itu
syarat sahnya salat,” jawab Wahab.
“Jadi, kalau salatnya lima kali, wudunya juga harus lima kali?” tanya
Lilly lagi.
“Betul,” jawab Wahab. “Kalau sudah salat, lalu kita batal, harus berwudu
lagi.”
Sejak
itu ia sering bertanya kepada Wahab tentang ajaran Islam yang lain. Lambat
laun, teman-teman sekantor yang punya pengetahuan lebih luas tentang Islam ikut
nimbrung. Obrolan di antara mereka kemudian berkembang setiap istirahat siang
sehingga Lilly makin tertarik kepada Islam.
“Kalau mau masuk Islam, apa syaratnya?” tanya Lilly kepada Husni, teman
asal Palembang.
“Gampang, ucapkan saja dua kalimah syahadat,” jawab teman itu.
“Sesederhana itukah?” Lilly bertanya kembali setengah heran. Ia kemudian
bertanya tentang seputar makna syahadat, salat, puasa, dan lain-lain. Dengan
lembut, teman dari Palembang ini memberikan contoh mengucapkan syahadat yang
baik. Anehnya, hanya dalam satu kali contoh, ia bisa mengucapkan kalimat
tayibah itu dengan sempurna.
Pengetahuan tentang Islam, juga ia dapatkan dari Suyoso Basuki, pemimpin
perusahaan tempat ia bekerja. Seperti kepada anak sendiri, Suyoso sering
memberi nasihat kepada Lilly. Dan, Lilly
pun makin tertarik tentang Islam.
Seiring dengan itu, ia juga mulai membandingkan agamanya dengan Islam.
Mengapa, dalam Al-Quran, Isa tidak disebut sebagai anak Tuhan tapi anak Maryam?
Mengapa, dalam Al-Quran, ada penegasan bahwa tidak layak bagi Allah mempunyai
anak, padahal dalam ajaran Nasrani ada konsep Trinitas: Tuhan itu satu tapi
pribadinya tiga, yaitu Tuhan Bapak, Tuhan Putra, dan Tuhan Roh Kudus.
Jawaban-jawaban
yang diterimanya membuat imannya mulai goyah. Hati nuraninya mulai membenarkan
bahwa Allah itu esa, satu, tiada beranak, tidak diperanakkan; tidak seorang pun
setara dengan-Nya. Sejak itu Lilly makin penasaran, dan setiap hari menggali
ajaran Islam. Dari situ ia menemukan simpul-simpul kebenaran, sehingga benih
iman Islamnya semakin mantap. Tanpa pikir panjang lagi, ia turunkan salib di kamar
tidurnya dan membungkusnya rapat-rapat. Saat itulah, ibunya memergoki.
Sebelum sang ibu bertanya lebih jauh, Lilly memberanikan diri
mengungkapkan galau hati, sekaligus memantapkan pendirian. “Saya ingin masuk
Islam, boleh apa tidak?” tanya Lilly lirih dan jantung berdebar-debar.
Di luar dugaan, sang ibu memeluk dengan hangat sambil berkata, “Kamu
sudah dewasa dan berhak memilih keyakinanmu sendiri. Tapi, satu hal yang harus
kamu perhatikan... bila sudah memilih Islam, kamu harus menjalani agama itu dengan
total,” nasihat ibu Lilly.
Lilly pun kaget. Ia merasa mendapat izin secara mendadak yang harus
dipegang teguh dan penuh tanggung jawab. Karena itu, ia bertekad tidak akan
setengah-setengah dalam menjalankan agama yang akan dipeluknya nanti. Ia berjanji
akan sungguh-sungguh menjalankan perintah dan menjauhi semua larangan yang
digariskan Islam. Bagi Lilly, izin ibunya itu adalah sebuah konsekuensi bagi
diri dan keluarganya. Artinya, ia akan dituduh murtad oleh teman-temannya
sesama Katolik. Dan ibunya akan dicap gagal, karena anaknya telah murtad.
Esok harinya, Lilly mengutarakan keinginannya memeluk Islam kepada
Suyoso. Karena sudah bertekad bulat memilih Islam, akhirnya Lilly diantar ke
Kantor Wilayah Departemen Agama Pontianak. Perisitiwa itu terjadi pada 1975,
saat ia berusia 22 tahun. Dengan bimbingan Kakanwil Depag Pontianak, Lily
mengucapkan dua kalimah syahadat, disaksikan Suyoso dan istri, beberapa rekan sekantor, dan para pegawai
Kanwil Depag. Kelak, semua adik Lilly mengikuti jejaknya memeluk Islam.
Sembari menerima ucapan selamat, tak
terasa air matanya mengalir
deras. Lega, bahagia, campur aduk jadi satu. Air mata itu semakin deras ketika
ia teringat peristiwa lama: kecelakaan, masa-masa ketika beban hidup mengimpit,
dan “turunnya izin” sang ibu.
Dua tahun kemudian Lilly menikah dengan seorang pengusaha. Ia berharap,
suaminya, yang Islam sejak lahir, bisa menuntun jalan hidupnya, seorang mualaf.
Ternyata, harapan itu sirna. Lima tahun mengarungi bahtera rumah tangga dan
dikaruniai seorang putra, ia tidak mendapat tuntunan agama Islam yang baik dari
sang suami. Sepulang dari Belanda, karena tidak ada kecocokan, ia berpisah.
Gugatan perceraiannya di kantor Pengadilan Agama Jakarta dikabulkan.
Bersama anak, Lilly menjalani hidup. Ia merajut kembali serpihan-serpihan
hati yang retak. Ia melamar dan diterima di Asuransi Tugu Life, Jalan Rasuna
Said, Jakarta Selatan. Di kantor ini, ia disibukkan oleh fungsinya di biro umum
dan aktif mengikuti berbagai macam kursus bahasa dan keterampilan pada malam
hari. Selain itu ia juga melakukan bisnis informal yang terus berjalan –
mulai dari penyediaan pakaian, sepatu,
hingga tas. Pendek kata, hari-harinya tidak ada yang terbuang percuma.
Tidak mengherankan bila teman-teman sejawatnya lantas menobatkan dirinya
sebagai figur seorang ibu pekerja keras dan bijaksana, dan memberi julukan Ibu
Lurah. “Mulai dari persoalan pribadi hingga urusan kantor dan interior rumah
direksi, saya yang menangani,” kata Lilly dengan sikap merendah.
Di kantor asuransi ini juga, ia orang pertama yang menyediakan ruangan
khusus untuk musala. “Dengan adanya musala kecil, para karyawan bisa
melaksanakan salat berjemaah,” tutur Lilly mengungkapkan kelegaan teman-teman
sejawatnya.
Suatu hari, seorang pria dengan tiga orang anak yang masih kecil-kecil
mengajak menikah. Awalnya, Lilly menolak. Pasalnya, ia merasa sudah mapan
secara materi. Ia juga sibuk bekerja. Dan, yang terpenting, ia bertekad tidak
ingin mengulangi masa lalunya yang tidak bahagia. Karena pria itu begitu
menggebu-gebu dan serius, hati Lilly luluh juga. Lamaran itu diterima, dan
mereka pun menikah.
Beberapa tahun kemudian, ia membeli PT Nipindo Antar Wisata, sebuah biro
perjalanan haji dan umrah. Setiap kali memberangkatkan jemaah umrah atau haji,
jemaahnya makin bertambah. Ia pernah memberangkatkan jemaah umrah hingga 150
orang. Ia bekerja sama dengan Ustazah Lutfiah Sungkar dan suaminya, dr. Kolonel
Mulya Tarmizi, sebagai pembimbing ibadah jemaah umrah atau haji.
Melihat perkembangan itu, suami Lilly, yang bekerja di Pulo Gadung,
Jakarta Timur, memilih membantu biro perjalanan umrah dan haji tersebut.
Sukses menyetir perusahaan ternyata tidak identik dengan sukses membina
rumah tangga. Lagi-lagi ia merasa tidak mendapatkan tuntunan agama Islam yang
kafah dari suami kedua. Juga, muncul masalah-masalah rumah tangga. Karena itu,
setelah berumah tangga 13 tahun, ia mengajukan tuntutan berpisah. Pada 2000,
Kantor Pengadilan Agama Bekasi mengabulkan tuntutannya.
PT Nipindo Antar Wisata, yang dia bina sejak awal, dikuasai mantan suami
kedua. “Semua saya serahkan semata kepada Allah SWT. Dialah Yang Mahaadil dan
menentukan jalan hidup saya,” tutur Lilly, pasrah.
Di tengah cobaan itu, ia mendirikan lagi perusahaan biro perjalanan umrah
dan haji. Namun, karena kekurangan dana, perusahaan ditutup untuk sementara. Agaknya, cobaan
masih terus menerpa diri wanita salihah ini.
Domery Alpacino
Catatan: Pernah
dimuat di majalah Islam Alkisah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar