Laman

Selasa, 22 Juni 2004

Airmata Membanjir dalam Salat

Awalnya ia ingin membalas budi. Belakangan malah menemukan kebenaran Islam.

Setiap hari ia berusaha mengikuti pengajian di beberapa majelis taklim. Terutama setiap malam Jumat, ia tak pernah absen menghadiri majelis taklim ibu-ibu muslimah di kompleks perumahan Binong Permai, Tangerang, Banteng, yang beranggotakan sekitar 30 muslimah. Sudah sejak 13 tahun yang lalu ia memeluk Islam. Ia adalah Murni Sari Ningsih.

            Selain itu, ia juga belajar qiraah sab’ah, tujuh macam gaya melagukan ayat-ayat suci Al-Quran. Meski belum pernah mengikuti Musabaqah Tilawatil Quran, suaranya cukup merdu, dengan tajwid yang terpelihara. Apalagi suaminya senantiasa mendorong semangat mantan guru Sekolah Minggu dari sebuah gereja Protestan di Salatiga. 


            Lahir pada 16 Juli 1970 di Salatiga, Jawa Tengah, ia anak kedua dari tiga bersaudara pasangan Sujiyem dan Prawiro Kasimin. Ayahandanya seorang petani yang cukup kaya, sementara ibundanya seorang ibu rumah tangga. Ia dibesarkan dalam keluarga Kristen Protestan yang taat. Sejak masa kanak-kanak, Murni rajin ke gereja dan Sekolah Minggu sebagaimana layaknya keluarga Nasrani. Ketika duduk di kelas tiga Sekolah Pendidikan Guru Negeri di Salatiga, ia sempat menjadi guru Sekolah Dasar. Ia juga pernah menjadi guru Sekolah Minggu.

            Anehnya, di luar gereja ia berubah menjadi anak remaja yang mbeling. Ia sempat menunjukkan ketidak-syukaannya kepada umat beragama yang lain. Ia, misalnya, pernah beberapa kali membuang atau menyembunyikan sandal jemaah yang tengah salat di masjid -- yang kebetulan bersebelahan dengan rumahnya. “Saat itu saya menilai orang-orang Islam sangat kumuh. Bila ke masjid mereka hanya mengenakan sarung dan baju seadanya. Sedangkan orang-orang Nasrani yang hendak ke gereja pasti mengenakan baju yang paling baik. Di mata saya, orang-orang Islam sangat terbelakang dalam pendidikan. Sedangkan kaum Nasrani banyak yang berpendidikan tinggi. Pendek kata, saya melihat orang-orang Islam secara lahiriah jauh berbeda dari orang-orang Nasrani di sekitar saya,” kata Murni, mengenang.

            Tamat dari SPG Negeri Salatiga, 1989, Murni merantau ke Tangerang, dan sempat bekerja di sebuah pabrik kaos kaki. Hanya bertahan empat bulan, ia pindah kerja di PT Gajah Tunggal. Di sini ia mengontrak sebuah kamar di sebuah bedeng panjang yang dihuni puluhan buruh. Di sinilah ia mulai punya banyak teman. Seorang di antaranya Abdillah, bujangan asal Brebes, Jawa Tengah.

            Suatu hari Murni jatuh sakit. Ia terserang penyakit radang usus akut, dan harus menjalani rawat inap di Rumah Sakit Kesehatan Daerah Militer di Tangerang. Ketika itulah Abdillah sering membesuk Murni, dengan memberi perhatian dan semangat, agar rekannya itu lekas sembuh dan bisa bekerja kembali. “Saya kasihan kepada Murni. Saya wajib menolong seseorang yang sedang mengalami musibah, meski ia seorang Nasrani sekalipun,” kata Abdillah merendah.
            
Merayakan Natal

Singkat cerita, Murni sembuh, dan merasa berhutang budi kepada Abdillah. “Andai tak ada Abdillah, mungkin saya sudah meninggal karena tak ada yang merawat dan memberikan semangat hidup,” tuturnya. Beberapa hari setelah keluar dari rumah sakit, kebetulan hari Natal hampir tiba. Murni ingin merayakan Natal di kampung halamannya, di Salatiga. Tiba-tiba Abdillah ingin ikut. “Karena saya menganggap dia teman yang paling baik, saya meluluskan permintaannya,” kata Murni.

            Sampai di Salatiga, Abdillah tak sekedar ingin melihat-lihat keindahan kota yang sejuk itu, lebih dari itu ternyata ia ingin melamar Murni sebagai isteri. Maka, ia pun mengutarakan isi hatinya kepada Murni dan orangtua Murni. Mungkin ingin membalas budi, Murni langsung menerima lamaran pemuda muslim itu, meski sebelumnya tak pernah tebersit sedikit pun di hatinya untuk mencintai Abdillah.

“Ketika itu saya hanya ingin membalas budi belaka. Bahkan saya sempat punya niat jahat, kalau saya sudah menikah dan ternyata dalam perjalanan hidup berumahtangga tidak ada kecocokan, saya akan minta cerai. Jadi, tidak ada komitmen kalau sudah berumahtangga harus harmonis, apalagi sampai akhir hayat. Yang penting dengan cara menikah, lunaslah hutang budi saya kepadanya,” tutur Murni mengenang. 

            Sebaliknya, orangtua Murni menerima lamaran Abdillah dengan sikap dingin. Bahkan lambat laun mereka mulai berkasak-kusuk menunjukkan ketidaksenangan mereka. Dan, akhirnya mereka menolak lamaran itu. “Apa sih yang bisa diharapkan dari orang kecil seperti dia? Lagi pula agamanya berbeda dengan kita,” kata Murni menirukan ibundanya.

            Tapi, Murni sudah bertekad bulat menikah dengan Abduillah. Bahkan katanya setengah mengancam, “Kalau tidak boleh menikah dengan dia, saya akan bikin malu keluarga. Kalau saya sudah bikin malu, bukan saya saja yang kena, tapi satu keluarga juga kena malu! Masa, orang yang pernah menolong jiwa saya, bukannya diterima dengan baik, tapi malah diejek-ejek.” Karena Murni tetap bersikeras, terpaksalah orangtuanya mengizinkan anak gadisnya itu menikah dengan Abdillah. Tapi, dengan satu syarat: tidak boleh mengucapkan ijab kabul secara Islam dalam rumah orangtuanya. 

            Maka, Murni dan Abdillah pun segera bergegas ke Kantor Urusan Agama Kecamatan Brangkongan Lor, Ulur-ulur, Salatiga, untuk mengurus persyaratan administrasi pernikahan mereka. Tapi, anehnya, salah seorang pegawai KUA malah menyuruh Murni minta surat izin lebih dahulu kepada seorang pendeta.

            Murni pun mengikuti persyaratan itu dengan rasa dongkol. Bersama calon suaminya ia menemui Yesaya Abdi, seorang pendeta yang dia kenal dengan baik, di rumahnya. Tapi, sang pendeta tidak mau memberikan surat izin. “Pihak KUA minta agar saya minta surat izin kepada pendeta,” desak Murni. ”Nggak usah pakai surat izin,” jawab sang pendeta. Kembali ke KUA, dengan mudah mereka melangsungkan pernikahan pada 7 Maret 1991, disaksikan oleh ayahanda, kakak-kakak dan teman-teman gereja. Hanya ibundanya saja yang tak bersedia hadir. Meski begitu, orangtua Murni tetap menggelar selamatan kecil-kecilan – sebagai pertanda anak mereka sudah menikah.
           
Membohongi Suami

Ketika mengucapkan dua kalimat syahadat dalam proses pernikahan secara Islam, Murni mengaku tidak bersungguh-sungguh meresapi maknanya. Ia malah cengengesan. Saat mengucapkan dua kalimat syahadat itu,  salah satu kaki Murni bahkan sempat diinjak oleh ayahandanya.

            Usai menikah, pasangan pengantin baru itu kembali ke Tangerang. Bagi Murni saat itu, menjalani hidup baru berumah tangga dan memeluk Islam, tak ubahnya seperti hari-hari sebelum menikah: jiwanya masih berselimutkan suasana Nasrani. Tak heran jika ia sering marah-marah kepada suaminya setiap kali mereka bicara soal akidah. Bahkan, setiap kali suaminya kerja lembur pada hari Minggu, diam-diam ia ke gereja. Hal itu berlangsung selama beberapa bulan. 

            Suatu hari seorang teman baik Murni memergokinya. Bahkan ia sempat menegur, “Kamu tidak baik membohongi suamimu terus-menerus, lho. Kamu dosa dan bisa masuk neraka. Kamu kamu kan sudah mengucapkan dua kalimah syahadat; berarti sudah masuk Islam. Kalau sudah memeluk Islam, seharusnya kamu menjalankan Islam secara benar.” Awalnya Murni tak mengacuhkannya. Tapi, akhirnya ia sadar. Ia teringat pesan ibundanya, “Bila kamu sudah menikah, ikutlah apa perintah suami. Kamu mau senang, menderita, kaya atau miskin, harus ditanggung bersama.” 

            Sejak itu, ia tak lagi ke gereja; lalu mengisi hari-harinya dengan membaca buku-buku tentang Islam milik suaminya. Kebetulan Abdillah punya sebuah perpustakaan kecil. Beberapa koleksinya antara lain buku-buku mengenai Islam. Awalnya Murni hanya iseng, tapi lambat laun mulai tertarik mendalami ajaran Islam -- meski hatinya masih sering bertanya-tanya. Misalnya, mengapa sebelum salat harus berwudhu lebih dulu; mengapa harus menggunakan bahasa Arab; bukankah menggunakan bahasa sendiri jauh lebih mengena? 

Merasa penasaran, ia selalu berdiskusi dengan adik ipar yang kebetulan tinggal serumah. Dengan bijak, adik ipar perempuan itu menjelaskannya dengan jawaban-jawaban yang bisa diterima akal. Akhirnya, Murni pun tertarik menjalankan salat bersama adik iparnya. “Saya ini tidak suka diperintah orang lain, termasuk oleh suami sendiri. Saya lebih suka mengerjakan sesuatu yang tumbuh dari dalam hati sendiri, termasuk dalam hal mencoba salat,” kata Murni terus terang. 

            Meski sudah sering salat, hatinya belum tertambat sepenuhnya kepada Islam. Sampai suatu hari ia berpikir, “Kata orang saya sudah masuk Islam karena sudah mengucapkan dua kalimat syahadat. Tapi, mengapa saya harus menjalani hidup dalam dua agama? Bukankah berpegang teguh pada satu agama sudah cukup?” Di lain pihak, keinginan tahunya tentang Islam semakin besar, sehingga ia terdorong mempelajari buku-buku Islam semakin tekun. Diskusinya dengan adik iparnya pun semakin intensif.

Lebih Lengkap 

Dan ternyata semakin menggali, ia semakin menemukan simpul-simpul kebenaran, sehingga imannya semakin mantap. Maka pada suatu hari ia mengambil keputusan sangat penting: ingin menjalankan Islam secara kaffah, utuh dan sempurna. “Saya ini kan orang waras, maka saya harus memilih salah salah satu agama, yaitu Islam,” tekadnya dalam hati. Keputusan itu ia ambil setelah ia mempelajari terjemahan beberapa ayat Al-Quran. Misalnya surah Al-Maidah ayat 3: “Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Aku ridhai Islam menjadi agama bagimu.”

            Imannya semakin mantap ketika suatu hari ia mencoba memperbandingkan antara Al-Quran dan Injil. Dalam Al-Quran diakui adanya kitab Injil, bahkan kaum muslimin diwajibkan mengimaninya, begitu pula keberadaan Nabi Isa yang oleh kaum Nasrani disebut sebagai Yesus. “Kalau begitu Islam lebih lengkap. Dan, Islam ternyata juga sumber ilmu pengetahuan. Hanya saja, orang Islam belum mampu menggalinya secara maksimal,” ujarnya. Sejak itu, ia semakin rajin salat.

Beberapa bulan kemudian, pada suatu pagi, saat ia salat Dhuha, tiba-tiba ia melihat bayangan seorang kakek tua berjubah putih menghampirinya. Sang kakek yang tampak berwibawa itu kemudian mundur tanpa membelakangi Murni sembari berpesan, agar Murni menjalankan Islam sebaik-baiknya, niscaya Allah akan melebur segala dosa-dosanya. Dan sejurus kemudian, bayangan kakek tua itu menghilang.

Ketika itu, Murni yang tengah hamil tujuh bulan, gemetaran. Badannya panas dingin. Dalam kegugupan itu, entah mengapa tiba-tiba ia merindukan kembali bayangan itu sang kakek. “Apakah besok kakek akan hadir kembali ya?” gumamnya dalam hati. Di bulan Ramadhan tiga tahun lalu, untuk pertama kalinya Murni salat tarawih bersama suaminya – yang kebetulan pengurus masjid. Suatu malam, saat imam membaca doa qunut dalam salat witir, hati Murni tersentuh. Ia terbayang akan dosa-dosa yang pernah diperbuatnya: sebagai nonmuslim, melawan orangtua, membohongi suami. Tak terasa airmatanya membanjir.

Usai salat, ia pun berdoa dengan bahasanya sendiri secara khusyuk, sembari berurai airmata: “Ya Allah ya Tuhanku, ampunilah segala dosa-dosaku. Aku pernah kafir, telah menghianati suami, dan melukai hati orangtuaku. Ya Allah, ya Tuhanku, seandainya Engkau tidak mengampuniku, aku termasuk orang-orang yang sungguh merugi.” Sampai kini pun, setiap kali berdoa ia selalu menangis.

Sejak itu pula Murni mulai mengenakan jilbab. Ia pun semakin bertekad untuk melaksanakan Islam secara kaffah, utuh dan sempurna. Ia teringat sebuah hadis Rasulullah SAW yang diriwayatkan Imam Muslim, yang pernah dibacanya dalam sebuah buku: “Siapa yang baik Islamnya, dia tidak akan disiksa karena amalnya di masa jahiliyah. Tapi, siapa yang buruk Islamnya, dia akan disiksa karena amalnya di masa jahiliyah dan di masa Islam.”

           Kini, bersama suami dan kedua anaknya, Murni menjalani hidup dalam sebuah keluarga yang sakinah, bahagia dan sejahtera. Berkat ridha Allah SWT, cobaan demi cobaan telah berhasil ia lewati dengan baik. Segala macam suka duka itu justru semakin mempertebal keimanannya sebagai seorang muslimah.

Domery Alpacino
Catatan: Pernah dimuat di majalah Islam Alkisah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar