Awalnya ia ingin membalas budi.
Belakangan malah menemukan kebenaran Islam.
Setiap hari ia berusaha
mengikuti pengajian di beberapa majelis taklim. Terutama setiap malam Jumat, ia
tak pernah absen menghadiri majelis taklim ibu-ibu muslimah di kompleks
perumahan Binong Permai, Tangerang, Banteng, yang beranggotakan sekitar 30
muslimah. Sudah sejak 13 tahun yang lalu ia memeluk Islam. Ia adalah Murni Sari
Ningsih.
Selain itu, ia juga belajar qiraah sab’ah, tujuh
macam gaya melagukan ayat-ayat suci Al-Quran. Meski belum pernah mengikuti
Musabaqah Tilawatil Quran, suaranya cukup merdu, dengan tajwid yang
terpelihara. Apalagi suaminya senantiasa mendorong semangat mantan guru Sekolah
Minggu dari sebuah gereja Protestan di Salatiga.
Lahir pada 16 Juli 1970 di Salatiga, Jawa Tengah, ia anak
kedua dari tiga bersaudara pasangan Sujiyem dan Prawiro Kasimin. Ayahandanya
seorang petani yang cukup kaya, sementara ibundanya seorang ibu rumah tangga.
Ia dibesarkan dalam keluarga Kristen Protestan yang taat. Sejak masa
kanak-kanak, Murni rajin ke gereja dan Sekolah Minggu sebagaimana layaknya
keluarga Nasrani. Ketika duduk di kelas tiga Sekolah Pendidikan Guru Negeri di
Salatiga, ia sempat menjadi guru Sekolah Dasar. Ia juga pernah menjadi guru
Sekolah Minggu.
Anehnya, di luar gereja ia berubah menjadi anak remaja
yang mbeling. Ia sempat menunjukkan ketidak-syukaannya kepada umat
beragama yang lain. Ia, misalnya, pernah beberapa kali membuang atau
menyembunyikan sandal jemaah yang tengah salat di masjid -- yang kebetulan
bersebelahan dengan rumahnya. “Saat itu saya menilai orang-orang Islam sangat
kumuh. Bila ke masjid mereka hanya mengenakan sarung dan baju seadanya.
Sedangkan orang-orang Nasrani yang hendak ke gereja pasti mengenakan baju yang
paling baik. Di mata saya, orang-orang Islam sangat terbelakang dalam
pendidikan. Sedangkan kaum Nasrani banyak yang berpendidikan tinggi. Pendek kata,
saya melihat orang-orang Islam secara lahiriah jauh berbeda dari orang-orang
Nasrani di sekitar saya,” kata Murni, mengenang.
Tamat dari SPG Negeri Salatiga, 1989, Murni merantau ke
Tangerang, dan sempat bekerja di sebuah pabrik kaos kaki. Hanya bertahan empat
bulan, ia pindah kerja di PT Gajah Tunggal. Di sini ia mengontrak sebuah kamar
di sebuah bedeng panjang yang dihuni puluhan buruh. Di sinilah ia mulai punya
banyak teman. Seorang di antaranya Abdillah, bujangan asal Brebes, Jawa Tengah.
Suatu hari Murni jatuh sakit. Ia terserang penyakit
radang usus akut, dan harus menjalani rawat inap di Rumah Sakit Kesehatan
Daerah Militer di Tangerang. Ketika itulah Abdillah sering membesuk Murni,
dengan memberi perhatian dan semangat, agar rekannya itu lekas sembuh dan bisa
bekerja kembali. “Saya kasihan kepada Murni. Saya wajib menolong seseorang yang
sedang mengalami musibah, meski ia seorang Nasrani sekalipun,” kata Abdillah
merendah.
Merayakan Natal
Singkat cerita, Murni sembuh, dan merasa berhutang budi kepada Abdillah.
“Andai tak ada Abdillah, mungkin saya sudah meninggal karena tak ada yang
merawat dan memberikan semangat hidup,” tuturnya. Beberapa hari setelah keluar
dari rumah sakit, kebetulan hari Natal hampir tiba. Murni ingin merayakan Natal
di kampung halamannya, di Salatiga. Tiba-tiba Abdillah ingin ikut. “Karena saya
menganggap dia teman yang paling baik, saya meluluskan permintaannya,” kata
Murni.
Sampai di Salatiga, Abdillah tak sekedar ingin
melihat-lihat keindahan kota yang sejuk itu, lebih dari itu ternyata ia ingin
melamar Murni sebagai isteri. Maka, ia pun mengutarakan isi hatinya kepada
Murni dan orangtua Murni. Mungkin ingin membalas budi, Murni langsung menerima
lamaran pemuda muslim itu, meski sebelumnya tak pernah tebersit sedikit pun di
hatinya untuk mencintai Abdillah.
“Ketika itu saya hanya ingin membalas budi belaka. Bahkan saya sempat
punya niat jahat, kalau saya sudah menikah dan ternyata dalam perjalanan hidup
berumahtangga tidak ada kecocokan, saya akan minta cerai. Jadi, tidak ada
komitmen kalau sudah berumahtangga harus harmonis, apalagi sampai akhir hayat.
Yang penting dengan cara menikah, lunaslah hutang budi saya kepadanya,” tutur
Murni mengenang.
Sebaliknya, orangtua Murni menerima lamaran Abdillah
dengan sikap dingin. Bahkan lambat laun mereka mulai berkasak-kusuk menunjukkan
ketidaksenangan mereka. Dan, akhirnya mereka menolak lamaran itu. “Apa sih yang
bisa diharapkan dari orang kecil seperti dia? Lagi pula agamanya berbeda dengan
kita,” kata Murni menirukan ibundanya.
Tapi, Murni sudah bertekad bulat menikah dengan
Abduillah. Bahkan katanya setengah mengancam, “Kalau tidak boleh menikah dengan
dia, saya akan bikin malu keluarga. Kalau saya sudah bikin malu, bukan saya
saja yang kena, tapi satu keluarga juga kena malu! Masa, orang yang pernah
menolong jiwa saya, bukannya diterima dengan baik, tapi malah diejek-ejek.”
Karena Murni tetap bersikeras, terpaksalah orangtuanya mengizinkan anak
gadisnya itu menikah dengan Abdillah. Tapi, dengan satu syarat: tidak boleh mengucapkan
ijab kabul secara Islam dalam rumah orangtuanya.
Maka, Murni dan Abdillah pun segera bergegas ke Kantor
Urusan Agama Kecamatan Brangkongan Lor, Ulur-ulur, Salatiga, untuk mengurus
persyaratan administrasi pernikahan mereka. Tapi, anehnya, salah seorang
pegawai KUA malah menyuruh Murni minta surat izin lebih dahulu kepada seorang
pendeta.
Murni pun mengikuti persyaratan itu dengan rasa dongkol.
Bersama calon suaminya ia menemui Yesaya Abdi, seorang pendeta yang dia kenal
dengan baik, di rumahnya. Tapi, sang pendeta tidak mau memberikan surat izin.
“Pihak KUA minta agar saya minta surat izin kepada pendeta,” desak Murni.
”Nggak usah pakai surat izin,” jawab sang pendeta. Kembali ke KUA, dengan mudah
mereka melangsungkan pernikahan pada 7 Maret 1991, disaksikan oleh ayahanda,
kakak-kakak dan teman-teman gereja. Hanya ibundanya saja yang tak bersedia
hadir. Meski begitu, orangtua Murni tetap menggelar selamatan kecil-kecilan –
sebagai pertanda anak mereka sudah menikah.
Membohongi Suami
Ketika mengucapkan dua kalimat syahadat dalam proses pernikahan secara
Islam, Murni mengaku tidak bersungguh-sungguh meresapi maknanya. Ia malah cengengesan.
Saat mengucapkan dua kalimat syahadat itu,
salah satu kaki Murni bahkan sempat diinjak oleh ayahandanya.
Usai menikah, pasangan pengantin baru itu kembali ke
Tangerang. Bagi Murni saat itu, menjalani hidup baru berumah tangga dan memeluk
Islam, tak ubahnya seperti hari-hari sebelum menikah: jiwanya masih
berselimutkan suasana Nasrani. Tak heran jika ia sering marah-marah kepada
suaminya setiap kali mereka bicara soal akidah. Bahkan, setiap kali suaminya
kerja lembur pada hari Minggu, diam-diam ia ke gereja. Hal itu berlangsung
selama beberapa bulan.
Suatu hari seorang teman baik Murni memergokinya. Bahkan
ia sempat menegur, “Kamu tidak baik membohongi suamimu terus-menerus, lho.
Kamu dosa dan bisa masuk neraka. Kamu kamu kan sudah mengucapkan dua kalimah
syahadat; berarti sudah masuk Islam. Kalau sudah memeluk Islam, seharusnya kamu
menjalankan Islam secara benar.” Awalnya Murni tak mengacuhkannya. Tapi,
akhirnya ia sadar. Ia teringat pesan ibundanya, “Bila kamu sudah menikah,
ikutlah apa perintah suami. Kamu mau senang, menderita, kaya atau miskin, harus
ditanggung bersama.”
Sejak itu, ia tak lagi ke gereja; lalu mengisi
hari-harinya dengan membaca buku-buku tentang Islam milik suaminya. Kebetulan
Abdillah punya sebuah perpustakaan kecil. Beberapa koleksinya antara lain
buku-buku mengenai Islam. Awalnya Murni hanya iseng, tapi lambat laun mulai
tertarik mendalami ajaran Islam -- meski hatinya masih sering bertanya-tanya.
Misalnya, mengapa sebelum salat harus berwudhu lebih dulu; mengapa harus
menggunakan bahasa Arab; bukankah menggunakan bahasa sendiri jauh lebih
mengena?
Merasa penasaran, ia selalu berdiskusi dengan adik ipar yang kebetulan
tinggal serumah. Dengan bijak, adik ipar perempuan itu menjelaskannya dengan
jawaban-jawaban yang bisa diterima akal. Akhirnya, Murni pun tertarik
menjalankan salat bersama adik iparnya. “Saya ini tidak suka diperintah orang
lain, termasuk oleh suami sendiri. Saya lebih suka mengerjakan sesuatu yang
tumbuh dari dalam hati sendiri, termasuk dalam hal mencoba salat,” kata Murni
terus terang.
Meski sudah sering salat, hatinya belum tertambat
sepenuhnya kepada Islam. Sampai suatu hari ia berpikir, “Kata orang saya sudah
masuk Islam karena sudah mengucapkan dua kalimat syahadat. Tapi, mengapa saya
harus menjalani hidup dalam dua agama? Bukankah berpegang teguh pada satu agama
sudah cukup?” Di lain pihak, keinginan tahunya tentang Islam semakin besar,
sehingga ia terdorong mempelajari buku-buku Islam semakin tekun. Diskusinya
dengan adik iparnya pun semakin intensif.
Lebih Lengkap
Dan ternyata semakin menggali, ia semakin menemukan simpul-simpul
kebenaran, sehingga imannya semakin mantap. Maka pada suatu hari ia mengambil
keputusan sangat penting: ingin menjalankan Islam secara kaffah, utuh
dan sempurna. “Saya ini kan orang waras, maka saya harus memilih salah salah
satu agama, yaitu Islam,” tekadnya dalam hati. Keputusan itu ia ambil setelah
ia mempelajari terjemahan beberapa ayat Al-Quran. Misalnya surah Al-Maidah
ayat 3: “Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Aku
cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Aku ridhai Islam menjadi agama bagimu.”
Imannya semakin mantap ketika suatu hari ia mencoba
memperbandingkan antara Al-Quran dan Injil. Dalam Al-Quran diakui adanya kitab
Injil, bahkan kaum muslimin diwajibkan mengimaninya, begitu pula keberadaan
Nabi Isa yang oleh kaum Nasrani disebut sebagai Yesus. “Kalau begitu Islam
lebih lengkap. Dan, Islam ternyata juga sumber ilmu pengetahuan. Hanya saja,
orang Islam belum mampu menggalinya secara maksimal,” ujarnya. Sejak itu, ia
semakin rajin salat.
Beberapa bulan kemudian, pada suatu pagi, saat ia salat Dhuha, tiba-tiba
ia melihat bayangan seorang kakek tua berjubah putih menghampirinya. Sang kakek
yang tampak berwibawa itu kemudian mundur tanpa membelakangi Murni sembari
berpesan, agar Murni menjalankan Islam sebaik-baiknya, niscaya Allah akan
melebur segala dosa-dosanya. Dan sejurus kemudian, bayangan kakek tua itu
menghilang.
Ketika itu, Murni yang tengah hamil tujuh bulan,
gemetaran. Badannya panas dingin. Dalam kegugupan itu, entah mengapa tiba-tiba
ia merindukan kembali bayangan itu sang kakek. “Apakah besok kakek akan hadir
kembali ya?” gumamnya dalam hati. Di bulan Ramadhan tiga tahun lalu, untuk
pertama kalinya Murni salat tarawih bersama suaminya – yang kebetulan pengurus
masjid. Suatu malam, saat imam membaca doa qunut dalam salat witir, hati Murni
tersentuh. Ia terbayang akan dosa-dosa yang pernah diperbuatnya: sebagai
nonmuslim, melawan orangtua, membohongi suami. Tak terasa airmatanya membanjir.
Usai salat, ia pun berdoa dengan bahasanya sendiri
secara khusyuk, sembari berurai airmata: “Ya Allah ya Tuhanku, ampunilah segala
dosa-dosaku. Aku pernah kafir, telah menghianati suami, dan melukai hati
orangtuaku. Ya Allah, ya Tuhanku, seandainya Engkau tidak mengampuniku, aku
termasuk orang-orang yang sungguh merugi.” Sampai kini pun, setiap kali berdoa
ia selalu menangis.
Sejak itu pula Murni mulai
mengenakan jilbab. Ia pun semakin bertekad untuk melaksanakan Islam secara kaffah,
utuh dan sempurna. Ia teringat sebuah hadis Rasulullah SAW yang diriwayatkan
Imam Muslim, yang pernah dibacanya dalam sebuah buku: “Siapa yang baik
Islamnya, dia tidak akan disiksa karena amalnya di masa jahiliyah. Tapi, siapa
yang buruk Islamnya, dia akan disiksa karena amalnya di masa jahiliyah dan di
masa Islam.”
Kini, bersama suami dan kedua anaknya, Murni menjalani
hidup dalam sebuah keluarga yang sakinah, bahagia dan sejahtera. Berkat ridha
Allah SWT, cobaan demi cobaan telah berhasil ia lewati dengan baik. Segala
macam suka duka itu justru semakin mempertebal keimanannya sebagai seorang
muslimah.
Domery Alpacino
Catatan: Pernah dimuat di majalah Islam
Alkisah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar