Semangatnya mengasuh anak yatim bisa
diteladani. Ia pantang memanfaatkan hak anak yatim, tapi terus memelihara dan
memuliakannya.
![]() |
hsudiana.wordpress.com |
IA tetap setia memegang prinsip: “menghidupi yayasan
dan tidak hidup dari yayasan.” Karena itu, segala aktivitas yang memerlukan
biaya dalam mengasuh anak yatim, ia keluarkan dari kocek sendiri. Lelaki yang
berusaha selalu ihlas ini adalah Ir. Ali Abu Bakar Shahab, ketua Yayasan Panti
Asuhan Anak-anak Yatim Darul Aitam di Tanah Abang, Jakarta Pusat.
Sehari-hari
ia dipanggil Ami Ali. Lelaki tinggi besar ini (tinggi 171 cm, berat lebih dari
satu kuintal) tidak sepeser pun mendapat gaji dari Yayasan Darul Aitam.
Sebaliknya, bersama pembina dan pengurus yayasan menyumbang pikiran, tenaga dan
materi untuk keperluan anak-anak asuh.
Padahal Islam
mengajarkan, setelah kita mewakafkan harta untuk kepentingan umat, misalnya
untuk madrasah, mesjid, dan segala kepentingan menyangkut agama, maka hak
mereka otomatis hilang. “Jadi, semua yang sudah diserahkan kepada umat tidak
lagi masuk dalam warisan, sehingga anak dan cucu mereka tidak bisa menuntut
bahwa ayah atau kakek mereka adalah pendiri panti asuhan atau madrasah, dan
berhak mendapat segala fasilitas atau hak-hak lain,” katanya lagi.
Menurut
Ali, saat ini masih banyak orang mewakafkan tanah atau bangunan untuk panti
asuhan anak yatim, tapi seluruh keluarga ingin terlibat dalam manajemen. Ayah,
ibu, anak-anak dan saudara-saudara mereka ingin memegang posisi kunci,
sementara orang lain yang bekerja di situ hanya dijadikan kuli. “Anehnya, kalau
yayasan menghasilkan untung, mereka minta jatah lebih besar. Padahal bukan itu
yang dikehendaki Allah, tapi agar kita mewakafkan atau memberikan sebagian
harta yang kita miliki secara ikhlas,” tambahnya.
Salah Menafsirkan
Ali merasakan sendiri
betapa pedih mengalami peristiwa seperti itu. Bahkan sampai kini pun masih ada
orang yang menganggap Darul Aitam sudah masuk kelompok kaya, sehingga
masyarakat enggan menyumbang. Padahal, sampai Agustus lalu, Darul Aitam mengalami
devisit Rp 151 juta. Kalau tidak ada sumbangan hingga Desember nanti, devisit
itu akan membengkak jadi Rp 349 juta. “Kami berharap Ramadhan nanti banyak
orang yang bersedekah,” doa Ali berkali-kali. Ia juga prihatin karena saat ini
masih banyak orang yang salah dalam menafsirkan Alquran (9:60) yang menyebutkan
hanya ada lima golongan yang berhak menerima zakat (fakir miskin, mualaf, amil
zakat, orang yang banyak hutang, orang yang berjuang fisabilillah), tidak
termasuk anak yatim. Padahal, anak yatim tergolong fakir miskin.
Secara
fisik Darul Aitam tampak berbeda dengan panti asuhan lainnya. Semua ruangan
bersih, segar dipandang, manajemennya tertata rapi. Bila ada sumbangan bahan
makanan berlebih dan dikhawatirkan bisa kadaluwarsa, pengurus menyumbangkannya
kepada panti asuhan lain atau masyarakat miskin di sekitarnya. “Jangan sampai
ada anggapan bahwa panti asuhan milik umat Islam kesannya jorok, kumal, dan
sedekah yang diterima dikorup oleh pengurus,” ujar Ali. Gedung panti asuhan itu
cukup megah, punya sederet aset berupa ruko perkantoran dan sebuah gedung
pertemuan umum yang cukup besar. Tapi, kini tak banyak orang menyewanya sejak
krisis moneter, meski harga sudah diturunkan dan fasilitas ditingkatkan. Sejak
tiga tahun lalu, dari 10 ruko perkantoran, empat baru laku disewa.
Ali mulai memimpin Darul Aitam sejak ia pensiun sebagai Kepala
Divisi Telekomunikasi Pertamina. Setelah ditimbang-timbang, dan minta saran
dari sanak keluarganya, akhirnya ia menerima tawaran memimpin Yayasan Darul
Aitam. Sikapnya yang tawadlu’ rupanya memang sudah tertanam sejak kecil.
Ayahandanya adalah Abu Bakar bin Ali Syahab, ulama besar di awal abad 20 dan
pendiri sekolah Islam tertua Indonesia, Jam’iyyatul Khair. Meski ia
sudah ditinggalkan kedua orangtuanya selama-lamanya sejak masih kecil, ia
tumbuh dalam pendidikan agama yang cukup kuat. Bak duplikat ayahandanya yang
cerdas, ia selalu ingin tahu dan bertekad mensyi’arkan Islam.
Gus Dur
jombang-jatim.blogspot.com |
Sejak duduk di taman
kanak-kanak, Ali kecil sudah menguasai bahasa Arab. Awalnya, ia belajar di Jam’iyyatul
Khair hingga kelas dua SD. Setelah itu, ia pindah ke Sekolah Dasar Yayasan
Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi (KRIS) di Jalan Sam Ratulangi, Jakarta,
sampai SMA di yayasan yang sama. Ia pernah satu kelas dengan mantan Presiden KH
Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Menko Perekonomian Dorodjatun Kuntjorodjati.
Pagi belajar di KRIS, sore hari belajar di Madrasah Nurul Huda. Di
madrasah itu ia banyak belajar agama kepada KH Achfaz, Kepala Sekolah Nurul
Huda, ulama besar yang pernah mengambil sumpah Jenderal Soeharto saat
menjadi presiden di awal masa Orde Baru. Ia juga mengaji kepada KH Achfaz
setiap hari minggu selama beberapa tahun.
Tamat
dari SMA KRIS, Ali melanjutkan belajar ke Fakultas Ekonomi Universitas
Indonesia, Jakarta. Baru di tingkat enam, ia mendapat tawaran beasiswa belajar
ke Jepang (1963). Ia belajar elektro di Universitas Tokyo Denky, salah satu
universitas swasta ternama di Jepang. Awalnya Ali belajar bahasa Jepang secara
intensif selama satu tahun, lalu belajar selama empat tahun. Tapi, selama di
Jepang ia tidak hanya belajar elektro melainkan juga berdakwah melalui
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang. Bahkan ia juga sempat menjadi ketua
umum PPI (1967-1968). Tamat dari universitas, ia bekerja di sebuah perusahaan
besar Jepang selama dua tahun.
Pulang
sebentar dari Jepang, 1968, ia menikah dengan seorang gadis, yang kebetulan
cicit Habib Ali bin Abdurahman bin Abdullah bin Muhammad Alhabsyi, salah
seorang ulama terkenal di Jakarta. Fatma Alaydrus, demikian nama sang gadis,
adalah alumni Fakultas Hukum UI dan adik teman kuliahnya. Usai menikah, Ali
memboyong istrinya ke Jepang dan tinggal di sana selama dua tahun. Di sana
mereka dikaruniai Allah dua orang anak. Dan ketika kembali mukim di Jakarta
Allah kembali mengeruinai mereka seorang anak. Sampai Jakarta ia langsung
melamar ke Pertamina dan diterima, ditempatkan di Riau selama tujuh tahun, di
Kalimantan selama lima tahun, baru kemudian ditempatkan di kantor pusat Jakarta
hingga menjabat Kepala Divisi Telekomunikasi. Menjelang pensiunan ia diminta
jadi komisaris PT Patrakom, anak persuahaan PT Elnusa, Indosat, Telkom dan
Sinar Mas.
Sebagai
rasa syukur kepada Allah atas karunia kebahagiaan membina keluarga sakinah,
bersama isterinya Ali menuaikan ibadah umroh. Setahun kemudian melaksanakan
ibadah haji, dan berturut-turut setiap tahun beribadah umroh – sampai tujuh
kali. “Di saat yang sangat berbahagia di Tanah Suci itulah saya bisa lebih
mendekatkan diri kepada Allah. Bukankah doa orang yang sedang berbahagia lebih didengar
oleh Allah?” katanya.
Domery Alpacino
Catatan: Pernah dimuat di majalah Islam Alkisah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar