Laman

Rabu, 21 April 2004

Memelihara dan Memuliakan Hak Anak Yatim

Semangatnya mengasuh anak yatim bisa diteladani. Ia pantang memanfaatkan hak anak yatim, tapi terus memelihara dan memuliakannya.

hsudiana.wordpress.com
IA tetap setia memegang prinsip: “menghidupi yayasan dan tidak hidup dari yayasan.” Karena itu, segala aktivitas yang memerlukan biaya dalam mengasuh anak yatim, ia keluarkan dari kocek sendiri. Lelaki yang berusaha selalu ihlas ini adalah Ir. Ali Abu Bakar Shahab, ketua Yayasan Panti Asuhan Anak-anak Yatim Darul Aitam di Tanah Abang, Jakarta Pusat.
       Sehari-hari ia dipanggil Ami Ali. Lelaki tinggi besar ini (tinggi 171 cm, berat lebih dari satu kuintal) tidak sepeser pun mendapat gaji dari Yayasan Darul Aitam. Sebaliknya, bersama pembina dan pengurus yayasan menyumbang pikiran, tenaga dan materi untuk keperluan anak-anak asuh. 

Bagi mereka, haram hukumnya makan dan mengambil hak anak yatim. Ketika menyelenggarakan acara buka puasa bersama dengan mengundang para tamu dan anak-anak yatim, misalnya, mereka selalu merogoh kocek sendiri. “Sangat disayangkan, di Indonesia sekarang ini masih ada pengurus yayasan panti asuhan anak-anak yatim yang menggantungkan hidup dari yayasan,” kata Ali. Ia sedih melihat kenyataan itu, dan miris melihat masih banyak orang-orang mewakafkan harta tidak secara total.
Padahal Islam mengajarkan, setelah kita mewakafkan harta untuk kepentingan umat, misalnya untuk madrasah, mesjid, dan segala kepentingan menyangkut agama, maka hak mereka otomatis hilang. “Jadi, semua yang sudah diserahkan kepada umat tidak lagi masuk dalam warisan, sehingga anak dan cucu mereka tidak bisa menuntut bahwa ayah atau kakek mereka adalah pendiri panti asuhan atau madrasah, dan berhak mendapat segala fasilitas atau hak-hak lain,” katanya lagi.
       Menurut Ali, saat ini masih banyak orang mewakafkan tanah atau bangunan untuk panti asuhan anak yatim, tapi seluruh keluarga ingin terlibat dalam manajemen. Ayah, ibu, anak-anak dan saudara-saudara mereka ingin memegang posisi kunci, sementara orang lain yang bekerja di situ hanya dijadikan kuli. “Anehnya, kalau yayasan menghasilkan untung, mereka minta jatah lebih besar. Padahal bukan itu yang dikehendaki Allah, tapi agar kita mewakafkan atau memberikan sebagian harta yang kita miliki secara ikhlas,” tambahnya.

Salah Menafsirkan

Ali merasakan sendiri betapa pedih mengalami peristiwa seperti itu. Bahkan sampai kini pun masih ada orang yang menganggap Darul Aitam sudah masuk kelompok kaya, sehingga masyarakat enggan menyumbang. Padahal, sampai Agustus lalu, Darul Aitam mengalami devisit Rp 151 juta. Kalau tidak ada sumbangan hingga Desember nanti, devisit itu akan membengkak jadi Rp 349 juta. “Kami berharap Ramadhan nanti banyak orang yang bersedekah,” doa Ali berkali-kali. Ia juga prihatin karena saat ini masih banyak orang yang salah dalam menafsirkan Alquran (9:60) yang menyebutkan hanya ada lima golongan yang berhak menerima zakat (fakir miskin, mualaf, amil zakat, orang yang banyak hutang, orang yang berjuang fisabilillah), tidak termasuk anak yatim. Padahal, anak yatim tergolong fakir miskin.
       Secara fisik Darul Aitam tampak berbeda dengan panti asuhan lainnya. Semua ruangan bersih, segar dipandang, manajemennya tertata rapi. Bila ada sumbangan bahan makanan berlebih dan dikhawatirkan bisa kadaluwarsa, pengurus menyumbangkannya kepada panti asuhan lain atau masyarakat miskin di sekitarnya. “Jangan sampai ada anggapan bahwa panti asuhan milik umat Islam kesannya jorok, kumal, dan sedekah yang diterima dikorup oleh pengurus,” ujar Ali. Gedung panti asuhan itu cukup megah, punya sederet aset berupa ruko perkantoran dan sebuah gedung pertemuan umum yang cukup besar. Tapi, kini tak banyak orang menyewanya sejak krisis moneter, meski harga sudah diturunkan dan fasilitas ditingkatkan. Sejak tiga tahun lalu, dari 10 ruko perkantoran, empat baru laku disewa.
       Ali mulai memimpin Darul Aitam sejak ia pensiun sebagai Kepala Divisi Telekomunikasi Pertamina. Setelah ditimbang-timbang, dan minta saran dari sanak keluarganya, akhirnya ia menerima tawaran memimpin Yayasan Darul Aitam. Sikapnya yang tawadlu’ rupanya memang sudah tertanam sejak kecil. Ayahandanya adalah Abu Bakar bin Ali Syahab, ulama besar di awal abad 20 dan pendiri sekolah Islam tertua Indonesia, Jam’iyyatul Khair. Meski ia sudah ditinggalkan kedua orangtuanya selama-lamanya sejak masih kecil, ia tumbuh dalam pendidikan agama yang cukup kuat. Bak duplikat ayahandanya yang cerdas, ia selalu ingin tahu dan bertekad mensyi’arkan Islam.

Gus Dur

jombang-jatim.blogspot.com
Sejak duduk di taman kanak-kanak, Ali kecil sudah menguasai bahasa Arab. Awalnya, ia belajar di Jam’iyyatul Khair hingga kelas dua SD. Setelah itu, ia pindah ke Sekolah Dasar Yayasan Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi (KRIS) di Jalan Sam Ratulangi, Jakarta, sampai SMA di yayasan yang sama. Ia pernah satu kelas dengan mantan Presiden KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Menko Perekonomian Dorodjatun Kuntjorodjati. Pagi belajar di KRIS, sore hari belajar di Madrasah Nurul Huda. Di madrasah itu ia banyak belajar agama kepada KH Achfaz, Kepala Sekolah Nurul Huda, ulama besar yang pernah mengambil sumpah Jenderal Soeharto saat menjadi presiden di awal masa Orde Baru. Ia juga mengaji kepada KH Achfaz setiap hari minggu selama beberapa tahun.
       Tamat dari SMA KRIS, Ali melanjutkan belajar ke Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta. Baru di tingkat enam, ia mendapat tawaran beasiswa belajar ke Jepang (1963). Ia belajar elektro di Universitas Tokyo Denky, salah satu universitas swasta ternama di Jepang. Awalnya Ali belajar bahasa Jepang secara intensif selama satu tahun, lalu belajar selama empat tahun. Tapi, selama di Jepang ia tidak hanya belajar elektro melainkan juga berdakwah melalui Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang. Bahkan ia juga sempat menjadi ketua umum PPI (1967-1968). Tamat dari universitas, ia bekerja di sebuah perusahaan besar Jepang selama dua tahun.
       Pulang sebentar dari Jepang, 1968, ia menikah dengan seorang gadis, yang kebetulan cicit Habib Ali bin Abdurahman bin Abdullah bin Muhammad Alhabsyi, salah seorang ulama terkenal di Jakarta. Fatma Alaydrus, demikian nama sang gadis, adalah alumni Fakultas Hukum UI dan adik teman kuliahnya. Usai menikah, Ali memboyong istrinya ke Jepang dan tinggal di sana selama dua tahun. Di sana mereka dikaruniai Allah dua orang anak. Dan ketika kembali mukim di Jakarta Allah kembali mengeruinai mereka seorang anak. Sampai Jakarta ia langsung melamar ke Pertamina dan diterima, ditempatkan di Riau selama tujuh tahun, di Kalimantan selama lima tahun, baru kemudian ditempatkan di kantor pusat Jakarta hingga menjabat Kepala Divisi Telekomunikasi. Menjelang pensiunan ia diminta jadi komisaris PT Patrakom, anak persuahaan PT Elnusa, Indosat, Telkom dan Sinar Mas.
       Sebagai rasa syukur kepada Allah atas karunia kebahagiaan membina keluarga sakinah, bersama isterinya Ali menuaikan ibadah umroh. Setahun kemudian melaksanakan ibadah haji, dan berturut-turut setiap tahun beribadah umroh – sampai tujuh kali. “Di saat yang sangat berbahagia di Tanah Suci itulah saya bisa lebih mendekatkan diri kepada Allah. Bukankah doa orang yang sedang berbahagia lebih didengar oleh Allah?” katanya.

Domery Alpacino
Catatan: Pernah dimuat di majalah Islam Alkisah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar