Bila berdagang, ia punya kiat
khusus. Pernah mendirikan rumah sakit Islam dan kini tetap menekuni sebagai
calo tanah.
store.tempo.co |
Merasa tersinggung, Tadjus
segera mengumpulkan tokoh-tokoh masyarakat Islam Tangerang di pendopo
kabupaten. Tujuannya agar segera membentuk sebuah yayasan dan kemudian membuat
rumah sakit Islam. “Jadi, saya sebelumnya tidak merencanakan lebih dahulu.
Hanya menggunakan management by ilham, bukan management by kalbu. Sebab, kalau
menggunakan management by kalbu, bisa kurang pas. Karena kalau kalbunya jelek,
pasti managemennya jelek dan sebaliknya. Sedang management by ilham, datangnya
langsung dari Allah SWT,” tutur Tadjus, tidak bermaksud bercanda.
Saat membentuk yayasan,
seorang kolega mengusulkan nama yayasan dan rumah sakit Islam: As-Shobirin.
Tadjus keberatan, nama dirinya untuk nama sebuah rumah sakit, “Jangan nama saya
dipasang, dong!” seru Tadjus.
Dengan enteng si kolega
Tadjus menyatakan, “Eh, nama ente kan
Tadjus Sobirin. Sedang yayasan dan nama rumah sakit yang akan dibuat ini adalah
As-Shobirin. Jadi, bukan nama ente. Dan, ente tidak usah keberatan!” ujar si
kolega, tak kalah serunya.
Karuan saja Tadjus menyerah.
Singkat cerita, setelah dana dari kantong pribadi maupun selaku bupati terkumpul,
ditambah bantuan dana dari tokoh-tokoh masyarkat Islam Tangerang dan Pemda Jawa
Barat, rumah sakit Islam As-Shobirin dibangun. Berdiri di lahan seluas dua
hektar. Letaknya di Jalan Raya Serpong Kav. 11, Serpong, Tangerang, “Saya sih
cuma menyumbang Rp 30 juta untuk kamar mayat,” kata Tadjus, yang suka beramal.
Pada tahun-tahun awal
berdiri, Tadjus terus menyokong dana yang cukup besar. Ia sempat marah dalam
sebuah pertemuan dengan masyarakat muslim Tangerang. Pasalnya, saat Pemda
Tangerang mengeluarkan kupon Rp 1.000,- per lembar, tidak ada masyarakat muslim
Tangerang yang membelinya. Padahal kupon itu untuk dana pembangunan rumah sakit
Islam di kotanya sendiri, “Bagaimana sih mereka. Kalau ada sekolah Kristen atau
gereja mau didirikan, semua ribut. Tapi, saat ada rumah sakit Islam memerlukan
dana cukup besar, mereka pada cicing wae,
tidak ada yang mau membantu. Jadi, maunya mereka itu apa sih!” omel Tadjus yang
suka ceplas-ceplos.
Sejak mula Rumah Sakit As-Shobirin
memang ditujukan untuk menolong kelas menengah ke bawah. Tidak heran, bila
jumlah tempat tidur kelas tiganya lebih banyak ketimbang kelas dua dan satu.
Awal berdiri, baru puluhan. Kini jumlah totalnya sudah mencapai 62 buah, 31 di
antaranya untuk kelas bawah alias kelas tiga. Rata-rata setiap hari pasien yang
rawat inap sekitar 30 orang dan yang rawat jalan mencapai 70 orang. Mereka
ditangani 31 dokter spesialis dan tiga dokter umum, dengan dibantu sekitar 100
karyawan medis dan non medis. “Mudah-mudahan rumah sakit itu tetap bisa terjangkau
masyarakat kelas bawah,” harap Tadjus.
Karena mengutamakan pertolongan
pasien lebih dahulu, rumah sakit ini tidak memungut uang muka, seperti
kebanyakan rumah sakit swasta lainnya. Baru setelah empat lima hari pasien dirawat, petugas rumah sakit
menginformasikan jumlah biaya perawatan dan pengobatannya. Akhirnya, menurut
Tadjus, setiap tahun hampir 20 persen ada pasien yang kabur setelah mendapat
perawatan atau pengobatan, “Bila sudah begitu, pihak rumah sakit angkat tangan
karena mereka pasti susah ditagih.” Ujar Tadjus, terus terang.
Tadjus mengkritik keberadaan
rumah sakit-rumah sakit sekarang yang masih banyak menolak pasien, khususnya
rakyat miskin, hanya karena mereka tidak sanggup membayar uang muka, apalagi
biaya perawatan. Padahal, fungsi rumah sakit sesungguhnya harus mengutamakan
pertolongan pasien lebih dahulu. Seharusnya, tandas Tadjus, Departemen
Kesehatan harus lebih proaktif mengontrol rumah sakit sehingga bisa diketahui
rumah sakit mana yang mengabaikan pertolongan untuk rakyat miskin. “Mungkin
aturan untuk rumah sakit yang dikeluarkan Departemen Keshatan sudah bagus.
Cuma, kontrol dan sanksinya saja yang tidak tegas. Kalau pihak rumah sakit hanya diberi ancaman
tapi sanksinya tidak jelas, ya cenderung melanggar?” tandas Tadjus, alumni
Akademi Militer Nasional 1964.
Kini Tadjus sudah menyerahkan
sepenuhnya rumah sakit itu kepada para professional. Hanya sekali-sekali
mengunjungi dan memberi pengarahan.
Meski telah mendirikan rumah
sakit, Tadjus tidak mau disebut sebagai pengusaha.”Tapi, kalau membuat yayasan
dan mendirikan rumah sakit serta ikut terlibat dalam mengurus rumah sakit itu,
khususnya pada tahap awal, bisalah dikatakan demikian,” kata Tadjus merendah.
Usai pension, baik dari
pejabat Bupati Tangerang maupun Ketua Golkar DKI, Tadjus menjadi calo tanah.
Meski sejatinya, calo tanah itu telah dilakukannya saat dinas aktif. “Dulu saya
suka membeli tanah orang kalau ada orang minta tolong kepada saya agar tanah
itu bisa dibeli. Lihat saja, semua tanah yang saya beli tidak ada yang
strategis,” ujar Tadjus, sembari tersenyum. “Meski demikian, kalau Allah
menghendaki tanah itu laku dengan harga yang cukup tinggi, ya langsung bisa,”
tambah Tadjus yang mengaku punya tanah tinggal beberapa hektar saja.
Yang penting, kata Tadjus,
pembeli dan penjual sama-sama ridho. Jangan saling menipu. Soalnya, “Di
Tangerang kadang orang hidup bisa dimatikan dan orang mati bisa dihidupkan,
hanya karena ingin memerlukan sertifikat tanah. Makanya, banyak pemalsuan
sertifikat tanah di sana,”
kata suami Fathiah Basalamah, istri kedua Tadjus, sedangkan istri pertamanya,
Inti Amaliah, telah meninggal dunia.
Lahir pada 2 Februari 1940 di
Cirebon, Jawa Barat, ia
berasal dari keluarga bersahaja. Ayahnya, Muntaha, pernah menjadi buruh jahit
di sebuah perusahaan. Kemudian mencoba berdagang, antara lain berdagang, antara
lain berdagang sepeda. Sedang ibunya, Saonah berjualan keperluan dapur.
Ketika Tadjus menginjak
bangku SMP, ibunya mulai membuka usaha jual beli perhiasan. Tadjus ingat suatu
kali ibunya berkata bahwa yang diperlukan dalam berdagang sebenarnya bukan
modal uang, melainkan kepercayaan. Kalau seseorang dipercaya sebagai orang
jujur, orang-orang Cina yang banyak modal itu akan menitipkan barang dagangan
mereka kepada orang tersebut.
Kedua orangtua Tadjus memberi
nasihat agar meniru kiat orang Cina dalam berdagang. Bila orang Cina memiliki
modal Rp 1 juta dan kemudian untung Rp 200 ribu, maka yang dipakai untuk
kebutuhan sehari-hari sekitar Rp 50 ribu hingga Rp 100 ribu saja. Sisanya
dijadikan tambahan modal. Dengan demikian, modal terus bertambah. “Jangan
seperti kebanyakan orang Cirebon.
Dengan modal Rp 1 juta, kalau mereka untung Rp 200 ribu, yang mereka gunakan
untuk keperluan sehari-hari sekitar Rp 300 ribu. Akibatnya, modal mereka terus
berkurang,” kata Tadjus menirukan nasihat orangtuanya.
Domery Alpacino
Catatan: Pernah dimuat di
majalah Islam Firdaus
Tidak ada komentar:
Posting Komentar