Laman

Rabu, 01 Januari 2003

Hanya Pakai Management by Ilham

Bila berdagang, ia punya kiat khusus. Pernah mendirikan rumah sakit Islam dan kini tetap menekuni sebagai calo tanah.

store.tempo.co
Saat menjabat Bupati Tangerang yang kali kedua, Tadjus Sobirin merasa tersinggung. Bukan kepada teman, atasan maupun bawahannya, melainkan kepada kota Sukabumi, Jawa Barat. Apa pasal? Pada 1990-an, saat ia melintas di kota yang hanya terdiri dari tiga empat kecamatan ini, ternyata telah berdiri rumah sakit Islam yang cukup besar. Sedang Tangerang, kota yang jauh lebih besar dari kota itu sama sekali tidak ada rumah sakit Islam, “Masa sih, Tangerang tidak punya rumah sakit Islam,” gerutu Tadjus, saat itu.


Merasa tersinggung, Tadjus segera mengumpulkan tokoh-tokoh masyarakat Islam Tangerang di pendopo kabupaten. Tujuannya agar segera membentuk sebuah yayasan dan kemudian membuat rumah sakit Islam. “Jadi, saya sebelumnya tidak merencanakan lebih dahulu. Hanya menggunakan management by ilham, bukan management by kalbu. Sebab, kalau menggunakan management by kalbu, bisa kurang pas. Karena kalau kalbunya jelek, pasti managemennya jelek dan sebaliknya. Sedang management by ilham, datangnya langsung dari Allah SWT,” tutur Tadjus, tidak bermaksud bercanda.  

Saat membentuk yayasan, seorang kolega mengusulkan nama yayasan dan rumah sakit Islam: As-Shobirin. Tadjus keberatan, nama dirinya untuk nama sebuah rumah sakit, “Jangan nama saya dipasang, dong!” seru Tadjus.
Dengan enteng si kolega Tadjus menyatakan, “Eh, nama ente kan Tadjus Sobirin. Sedang yayasan dan nama rumah sakit yang akan dibuat ini adalah As-Shobirin. Jadi, bukan nama ente. Dan, ente tidak usah keberatan!” ujar si kolega, tak kalah serunya.

Karuan saja Tadjus menyerah. Singkat cerita, setelah dana dari kantong pribadi maupun selaku bupati terkumpul, ditambah bantuan dana dari tokoh-tokoh masyarkat Islam Tangerang dan Pemda Jawa Barat, rumah sakit Islam As-Shobirin dibangun. Berdiri di lahan seluas dua hektar. Letaknya di Jalan Raya Serpong Kav. 11, Serpong, Tangerang, “Saya sih cuma menyumbang Rp 30 juta untuk kamar mayat,” kata Tadjus, yang suka beramal.

Pada tahun-tahun awal berdiri, Tadjus terus menyokong dana yang cukup besar. Ia sempat marah dalam sebuah pertemuan dengan masyarakat muslim Tangerang. Pasalnya, saat Pemda Tangerang mengeluarkan kupon Rp 1.000,- per lembar, tidak ada masyarakat muslim Tangerang yang membelinya. Padahal kupon itu untuk dana pembangunan rumah sakit Islam di kotanya sendiri, “Bagaimana sih mereka. Kalau ada sekolah Kristen atau gereja mau didirikan, semua ribut. Tapi, saat ada rumah sakit Islam memerlukan dana cukup besar, mereka pada cicing wae, tidak ada yang mau membantu. Jadi, maunya mereka itu apa sih!” omel Tadjus yang suka ceplas-ceplos.

Sejak mula Rumah Sakit As-Shobirin memang ditujukan untuk menolong kelas menengah ke bawah. Tidak heran, bila jumlah tempat tidur kelas tiganya lebih banyak ketimbang kelas dua dan satu. Awal berdiri, baru puluhan. Kini jumlah totalnya sudah mencapai 62 buah, 31 di antaranya untuk kelas bawah alias kelas tiga. Rata-rata setiap hari pasien yang rawat inap sekitar 30 orang dan yang rawat jalan mencapai 70 orang. Mereka ditangani 31 dokter spesialis dan tiga dokter umum, dengan dibantu sekitar 100 karyawan medis dan non medis. “Mudah-mudahan rumah sakit itu tetap bisa terjangkau masyarakat kelas bawah,” harap Tadjus.

Karena mengutamakan pertolongan pasien lebih dahulu, rumah sakit ini tidak memungut uang muka, seperti kebanyakan rumah sakit swasta lainnya. Baru setelah empat lima hari pasien dirawat, petugas rumah sakit menginformasikan jumlah biaya perawatan dan pengobatannya. Akhirnya, menurut Tadjus, setiap tahun hampir 20 persen ada pasien yang kabur setelah mendapat perawatan atau pengobatan, “Bila sudah begitu, pihak rumah sakit angkat tangan karena mereka pasti susah ditagih.” Ujar Tadjus, terus terang.

Tadjus mengkritik keberadaan rumah sakit-rumah sakit sekarang yang masih banyak menolak pasien, khususnya rakyat miskin, hanya karena mereka tidak sanggup membayar uang muka, apalagi biaya perawatan. Padahal, fungsi rumah sakit sesungguhnya harus mengutamakan pertolongan pasien lebih dahulu. Seharusnya, tandas Tadjus, Departemen Kesehatan harus lebih proaktif mengontrol rumah sakit sehingga bisa diketahui rumah sakit mana yang mengabaikan pertolongan untuk rakyat miskin. “Mungkin aturan untuk rumah sakit yang dikeluarkan Departemen Keshatan sudah bagus. Cuma, kontrol dan sanksinya saja yang tidak tegas.  Kalau pihak rumah sakit hanya diberi ancaman tapi sanksinya tidak jelas, ya cenderung melanggar?” tandas Tadjus, alumni Akademi Militer Nasional 1964.

Kini Tadjus sudah menyerahkan sepenuhnya rumah sakit itu kepada para professional. Hanya sekali-sekali mengunjungi dan memberi pengarahan.

Meski telah mendirikan rumah sakit, Tadjus tidak mau disebut sebagai pengusaha.”Tapi, kalau membuat yayasan dan mendirikan rumah sakit serta ikut terlibat dalam mengurus rumah sakit itu, khususnya pada tahap awal, bisalah dikatakan demikian,” kata Tadjus merendah.

Usai pension, baik dari pejabat Bupati Tangerang maupun Ketua Golkar DKI, Tadjus menjadi calo tanah. Meski sejatinya, calo tanah itu telah dilakukannya saat dinas aktif. “Dulu saya suka membeli tanah orang kalau ada orang minta tolong kepada saya agar tanah itu bisa dibeli. Lihat saja, semua tanah yang saya beli tidak ada yang strategis,” ujar Tadjus, sembari tersenyum. “Meski demikian, kalau Allah menghendaki tanah itu laku dengan harga yang cukup tinggi, ya langsung bisa,” tambah Tadjus yang mengaku punya tanah tinggal beberapa hektar saja.

Yang penting, kata Tadjus, pembeli dan penjual sama-sama ridho. Jangan saling menipu. Soalnya, “Di Tangerang kadang orang hidup bisa dimatikan dan orang mati bisa dihidupkan, hanya karena ingin memerlukan sertifikat tanah. Makanya, banyak pemalsuan sertifikat tanah di sana,” kata suami Fathiah Basalamah, istri kedua Tadjus, sedangkan istri pertamanya, Inti Amaliah, telah meninggal dunia.

Lahir pada 2 Februari 1940 di Cirebon, Jawa Barat, ia berasal dari keluarga bersahaja. Ayahnya, Muntaha, pernah menjadi buruh jahit di sebuah perusahaan. Kemudian mencoba berdagang, antara lain berdagang, antara lain berdagang sepeda. Sedang ibunya, Saonah berjualan keperluan dapur.

Ketika Tadjus menginjak bangku SMP, ibunya mulai membuka usaha jual beli perhiasan. Tadjus ingat suatu kali ibunya berkata bahwa yang diperlukan dalam berdagang sebenarnya bukan modal uang, melainkan kepercayaan. Kalau seseorang dipercaya sebagai orang jujur, orang-orang Cina yang banyak modal itu akan menitipkan barang dagangan mereka kepada orang tersebut.

Kedua orangtua Tadjus memberi nasihat agar meniru kiat orang Cina dalam berdagang. Bila orang Cina memiliki modal Rp 1 juta dan kemudian untung Rp 200 ribu, maka yang dipakai untuk kebutuhan sehari-hari sekitar Rp 50 ribu hingga Rp 100 ribu saja. Sisanya dijadikan tambahan modal. Dengan demikian, modal terus bertambah. “Jangan seperti kebanyakan orang Cirebon. Dengan modal Rp 1 juta, kalau mereka untung Rp 200 ribu, yang mereka gunakan untuk keperluan sehari-hari sekitar Rp 300 ribu. Akibatnya, modal mereka terus berkurang,” kata Tadjus menirukan nasihat orangtuanya.

Domery Alpacino
Catatan: Pernah dimuat di majalah Islam Firdaus

Tidak ada komentar:

Posting Komentar